Bacaan: Lukas 9 : 28 – 36 | Pujian: KJ. 293 : 1, 3
Nats: “Ketika kedua orang itu hendak meninggalkan Yesus, Petrus berkata kepada-Nya: “Guru, sungguh baik kita berada di tempat ini. Biarlah kami dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” Namun, Petrus tidak tahu apa yang dikatakannya itu.” (Ayat 33)
Pernahkah saudara merasakan pengalaman rohani yang menggetarkan? Merasakan perjumpaan dengan Tuhan yang membuat saudara merasa penuh, menciptakan gelombang emosi yang berbeda dari biasanya? Membuat saudara ingin berada dalam suasana yang sama dan menggairahkan kehidupan iman saudara terus-menerus? Sayangnya, gelombang emosi yang tercipta dalam pengalaman rohani yang menggetarkan itu biasanya tidak berlangsung lama. Seringkali kita akan kembali pada kehidupan iman sehari-hari yang terasa biasa-biasa saja.
Adalah pengalaman rohani luar biasa ketika Petrus, Yohanes, dan Yakobus menyaksikan transfigurasi atau perubahan rupa Kristus. Ungkapan: to eidos tou prosōpou heteron berarti rupa wajah-Nya lain daripada rupa sebelumnya. Wajah-Nya sangat bercahaya, pakaian-Nya putih berkilau-kilauan, terang seperti kilat, seperti berbajukan cahaya. Menyaksikan kemuliaan Kristus menumbuhkan sukacita dan kekaguman dalam diri Petrus, sehingga ia berinisiatif mendirikan kemah bagi Yesus, Musa, dan Elia. Namun Tuhan tidak menghendaki mereka tenggelam dalam euphoria kemuliaan itu. Kristus harus menanggalkan kemuliaan-Nya untuk pergi ke Yerusalem, menggenapi karya keselamatan yang harus ditempuh lewat jalan penderitaan. Kemuliaan itu dinyatakan untuk meneguhkan iman mereka dan kelak menolong mereka bersaksi tentang Kristus dan karya-Nya.
Kristus juga menyatakan kemuliaan-Nya kepada kita yang rapuh, penuh kelemahan dan dosa. Bukan dengan perubahan rupa yang berkilau-kilauan, tetapi lewat pengalaman iman yang membuat kita berjumpa dengan-Nya secara pribadi. Ia menyapa lewat berbagai peristiwa, doa, pergumulan, cara-Nya menolong, mukjizat, dan peringatan-peringatan-Nya. Tentu pengalaman rohani tidak seharusnya menjadikan kita jumawa atau merasa lebih dekat dengan Tuhan dibanding orang lain. Karena kerapuhan diri semestinya membuat kita merasa tidak layak berjumpa dengan Tuhan yang penuh kemuliaan. Perjumpaan itu harusnya meneguhkan kita untuk semakin beriman kepada Kristus dan menyemangati kita untuk setia bersaksi serta giat dalam pekerjaan-pekerjaan Tuhan. Amin. [wdp].
“Jika tidak dihayati sebagai rahmat dalam kerendahan hati, pengalaman rohani rentan menumbuhkan kesombongan rohani.”