Bacaan: Ayub 36 : 24 – 33 | Pujian: KJ. 417
Nats: “Sesungguhnya, Allah itu besar, tidak tercapai oleh pengetahuan kita, jumlah tahun-Nya tidak dapat diselidiki.” (Ayat 26)
Ungkapan bahasa Jawa: “Tan kena kinaya ngapa” dimaksudkan untuk melukiskan hakekat Tuhan sebagai sesuatu yang ‘tidak tergambarkan’ atau ‘tidak bisa disepertikan’. Ia tidak nampak, tetapi pancaran energi-Nya dapat dirasakan melalui gerak dan geliat semesta. Manusia dengan keterbatasannya tidak akan mampu menyelami kebesaran Sang Khalik, pun tak sepenuhnya memahami maksud-maksud yang tersembunyi di balik setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan.
Ayub yang digambarkan sebagai orang saleh pun terbatas pengertiannya untuk menyelami kehendak Allah. Dalam penderitaannya, Ayub tidak mampu melihat maksud Allah dengan jelas. Ia merasa berhak protes dan mempertanyakan keadilan Allah. Yang dilakukan Ayub sebenarnya wajar. Karena ia merasa telah begitu taat kepada Allah, tetapi mengapa ia harus menderita bertubi-tubi. Elihu hadir untuk memberitahu Ayub, agar Ayub merendahkan diri di hadapan Allah dengan mempertandingkan kebesaran Allah dan manusia. Kekuasaan ilahi diilustrasikan dengan siklus hujan berupa penguapan dan pengendapan, guntur kilat dan gemuruh menakutkan, serta es dan salju musim dingin. Gejala alam ini dikemukakan dengan diawali pengakuan tentang tak terpahaminya karya-karya Allah. Berbagai kekuatan alam berada di bawah kendali Allah. Ayub sebagai makhluk ciptaan yang terbatas, tidak mungkin dapat menghakimi Allah yang seluruh jalan-Nya tak terselami, lebih tinggi dari pikiran manusia.
Di tengah derita, manusia rentan mempertanyakan keadilan Allah. Seperti Ayub, kita terlalu terbatas untuk memahami maksud Allah ketika Allah mengizinkan penderitaan terjadi. Kita perlu merendahkan hati dan menyadari betapa kecilnya diri kita bila dibandingkan dengan Kemahabesaran Allah. Kadang, kepongahan membuat kita merasa tidak pantas menderita. Kadang kita tidak mampu melihat maksud-maksud Allah yang tersembunyi, karena beratnya tekanan. Kadang kita hanya melihat dengan kacamata manusiawi yang rapuh. Di balik derita, Allah hadir untuk menopang. Ia yang terlebih dulu menderita, menemani kita memikul beban derita. Hanya perlu waktu dan kesabaran untuk mampu menyelami maksud Allah. Dalam kerendahan hati, percayalah bahwa penderitaan yang terjadi adalah bagian dari didikan iman yang memurnikan kita. Amin. [wdp].
“Jika hari ini kita belum menyelami maksud Allah di balik derita,
mungkin esok kita akan memahaminya dengan terang benderang.”