Bacaan: 1 Tawarikh 21 : 1 – 17 | Pujian: KJ. 27
Nats: “Jawab Daud kepada Gad, ‘Aku merasa sangat susah. Biarlah aku jatuh ke dalam tangan TUHAN, sebab sangat besar belas kasihan-Nya, tetapi janganlah aku jatuh ke dalam tangan manusia.” (Ayat 13b)
Titanic terkenal sebagai kapal pesiar terbesar dan termewah pada masanya. Sebuah kebanggan bisa menciptakan mahakarya yang diyakini oleh awak kapalnya sendiri, bahwa kapal ini tidak akan bisa dan tidak mungkin tenggelam. Dengan pongah, sang awak pun meyakinkan para penumpangnya bahwa Tuhan pun tak akan mungkin menenggelamkan kapal itu. Namun sayangnya, pada tanggal 14 April 1912, pukul 23:40, kapal pesiar yang besar, kuat, megah, dan mewah itu menabrak gunung es. Dan tepat pada tanggal 15 April 1912, pukul 02.20 kapal tersebut tenggelam di Samudera Atlantik Utara. Hampir semua orang yang melompat atau jatuh ke laut, tenggelam dan tewas dalam hitungan menit akibat serangan jantung dan syok karena kedinginan.
Membanggakan diri secara berlebihan merupakan kesempatan yang menyenangkan bagi si Jahat. Hal ini terbukti dalam diri Raja Daud, ketika Iblis berhasil mempengaruhinya untuk menghitung jumlah orang Israel. Yoab sebetulnya menentang perintah ini. Namun karena keangkuhan, kebanggaan, dan hasrat kekuasaan yang membara atas rangkaian keberhasilan yang telah dicapainya, Daud tetap memaksakan kehendaknya dan berakhir dengan penyesalan. Daud menyadari bahwa perbuatannya ini telah mendukakan hati Allah. Daud lebih memilih untuk mengikuti hasrat kekuasaan dan kebanggaan dirinya. Padahal menurut pandangan pada masa itu, seseorang hanya berhak menghitung apa yang menjadi miliknya. Sedangkan Israel sama sekali bukan milik Daud, melainkan milik Allah. Perhitungan itu hanya mungkin terjadi di bawah perintah Allah. Akhirnya, Daud harus menanggung konsekuensi dari kesombongannya, berupa penyakit sampar yang tidak hanya menimpa Daud seorang diri, melainkan juga 70.000 orang Israel lainnya.
Melalui kisah Daud, setidaknya kita belajar bahwa kesalahan kecil karena kelalaian kita dalam hal penguasaan diri dapat berakibat fatal dan berakhir dengan penyesalan. Satu-satunya cara untuk menghentikan murka Allah, yaitu dengan bertobat, mengakui kesalahan kita di hadapan Allah dan memohon belas kasih-Nya, lalu belajar setia mengikuti kehendak-Nya. Kita perlu untuk terus menyadari karya Allah di setiap keberhasilan dan pencapaian yang kita raih, agar kita tidak mudah tergoda apalagi terjatuh dalam dosa kesombongan dan tenggelam dalam sebuah penyesalan. Amin. [Prst].
“Debu kok sombong?”