Pemahaman Alkitab (PA) November (I)
Bulan Budaya

Bacaan: Bilangan 36 : 1 – 13
Tema Liturgis: GKJW Membudayakan Perdamaian dan Keadilan Sosial
Tema PA: Budaya Waris dalam Iman Kristen

Pengantar:
Orang mendapat warisan, bagaimana rasanya? Tentu senang dan bahagia, apalagi warisan yang didapatkan itu melimpah. Yang tidak senang, hanya kalau mendapat warisan utang-piutang. Banyak kisah pewarisan yang menimbulkan persoalan dan perselisihan di dalam keluarga. Hal ini bisa terjadi, karena ada pihak yang merasa dikesampingkan atau merasa tidak adil. Salah satu contoh kasus, Konflik Harta Warisan, Seorang Ibu di Yogyakarta Saling Gugat dengan 4 Anaknya di Pengadilan (tvonenews.com), atau mungkin kasus lainnya di sekitar kehidupan kita yang riil. Ternyata hal tentang pewarisan ini menarik untuk didalami bersama dalam terang firman Tuhan.

Penjelasan Teks:
Teks dalam kitab Bilangan mengisahkan tentang peraturan Musa terhadap syarat perkawinan anak-anak perempuan yang mempunyai hak waris. Hal ini tentu terkait erat dengan budaya patriakhi, yang lebih mengutamakan peran laki-laki sebagai yang superior (utama) dan perempuan lebih inferior (kelas dua). Budaya Patriakhi, juga lebih mengutamakan hak waris menjadi hak dari kaum laki-laki sebagai pemimpin dan penanggung jawab dari kelompok atau kaum keluarganya. Hal ini tentu terkait pemahaman menjaga kelestarian klan/kelompok/komunitas keluarga besar. Berdasar teks, terkait kasus kaum Makhir dari suku Manasye yang telah mendapat tempat di seberang Yordan. Para pemimpin kaum itu datang kepada Musa (Ay. 1) dengan masalah bahwa anak-anak Zelafehad mungkin menikah dengan keluarga Israel yang lain dan karenanya kehilangan tanah dari suku ayahnya (Ay. 2-3). Sebab, jika seorang wanita menikah, semua miliknya menjadi milik suaminya. Akibatnya ialah berkurangnya tanah yang ditentukan kepada suku dibawa bimbingan Allah. Para pemimpin menambahkan bahwa tanah itu akan menjadi milik suami secara permanen pada tahun Yobel (Ay. 4, lih.Im.25:8-34). Hukum mengatur tahun Yobel yang menentukan bahwa semua tanah yang dijual harus dikembalikan kepada pemilik yang asli setiap lima puluh tahun. Hukum ini rupanya tidak berlaku untuk tanah yang sudah menjadi milik suku lain sebagai akibat dari perkawinan dalam suku.

Peraturan pertama menimbulkan masalah yang meminta perubahan. Peraturan baru tidak menyangkal keputusan pertama, yang memberikan hak kepada wanita, yakni hak menjadi pewaris jika tidak ada anggota keluarga yang laki-laki. Musa mengemukakan perubahan bahwa anak-anak perempuan Zelafehad hanya boleh menikah dengan pria dari kaum keluarganya sendiri, sehingga tanahnya tidak hilang (Ay. 5-7). Peraturan baru ini menjadi presenden bagi semua kasus warisan oleh wanita, sehingga setiap suku dapat tetap memiliki tanah yang ditentukan baginya (Ay. 8-9). Catatan terakhir ditambahkan dengan pemberitahuan bahwa anak-anak perempuan Zelafehad menikah dengan pria dari kaum keluarga ayah mereka (Ay. 10-12). Kitab Bilangan ditutup dengan suatu pernyataan mengenai hukum dan peraturan. Semua itu diberikan sewaktu umat Allah tinggal di padang Moab, supaya mereka dapat hidup dengan setia sewaktu mereka masuk ke tanah yang diberikan Tuhan Allah kepada mereka dan demikian memiliki tanah itu sebagai warisan yang tetap.

Berdasar Ensiklopedia masa kini, Hak Waris (Ibrani nakhal, nakhala). Kata ini terdapat terutama dalam Bilangan dan Ulangan, mengacu pada tanah Perjanjian yang ditetapkan bagi tiap keluarga Israel. (Kadang-kadang disalin ‘warisan’, ump. Kej. 31:14, artinya bagi dari milik keluarga yang diwariskan kepada orang). Kata yarasy juga sering dipakai dalam anti demikian, diterjemahkan ‘menduduki’ dalam konteks memiliki Kanaan.

Tanah Kanaan dianggap khas milik pusaka Yahweh (Kel. 15:17; bnd. Yos. 22:19; Mzm. 79:1) biarpun Dia Allah dari seluruh dunia (Mzm. 47:3 dab). Itu alasan bagi Israel untuk dapat menikmati daerah itu sebagai milik pusakanya. Walaupun tanah itu ditaklukkan oleh Israel, namun Yahweh-lah yang memberikannya (Yos. 21:43-45) untuk menggenapi janji-Nya kepada Abraham (Kej. 12:7; 15:18-21). Undi dibuang untuk mengetahui keputusan Yahweh mengenal pembagian tanah Kanaan kepada masing-masing suku (Yos. 18:2-10). Suku Lewi tidak mempunyai tanah sebab Yahweh sendiri milik pusakanya (Ul. 18:1-2), tetapi suku itu disokong dari persembahan dan tuaian pertama yang dipersembahkan kepada Yahweh (Ul. 18:3-4). Bangsa Israel adalah bangsa yang menjadi milik pusaka Allah (Ul. 7:6; 32:9).

Milik pusaka dimiliki oleh seluruh keluarga, bukan oleh perseorangan, karena itu ada hukum warisan yang mutlak. Putra sulung memperoleh bagian dua kali lipat dan yang lain memperoleh bagian yang sama. Apabila seorang suami meninggal dan tidak meninggalkan putra, maka milik pusakanya berpindah kepada putrinya; apabila tidak punya putri, kepada abang atau adiknya lelaki; apabila tidak punya abang adik lelaki kepada abang adik bapaknya; apabila bapaknya tidak punya abang adik kepada kerabatnya yang terdekat (Bil. 27:8-11). Apabila anak perempuan mewarisi milik pusaka keluarga, maka ia harus kawin dalam lingkungan suku ayahnya (Bil. 36:6).

Surat wasiat tidak dikenal di Israel sebelum masa Herodes. Milik pusaka tidak boleh dijual untuk selama-lamanya (Im. 25:23-24); apabila dijual, tanah milik pusaka itu dapat ditebus oleh kerabat terdekat (Im. 25:25). Nabot sadar bahwa tawaran Ahab bertentangan dengan hukum warisan (1 Raj. 21:3). ‘Milik pusaka’ dalam Ibr. 11:8 menunjuk pada tanah yang dijanjikan Allah kepada Abraham sebagai upahnya.

Sedangkan makna Hak Waris, menurut Kamus Alkitab, Browning antara lain Hukum-hukum mengenai hak waris di Israel purba telah demikian cermat. Hukum-hukum itu memberi prioritas kepada anak laki-laki tertua (Ul. 21:17) dari istri seseorang. Karena itu, secara hukum Esau lebih berhak memperoleh berkat ayahnya daripada Yakub (Kej. 27:36; bnd. Luk. 15:31). Namun, ada pula kemungkinan bagi anak perempuan untuk memperoleh warisan (Ayb. 42:15), asalkan ia tidak menikah dengan seseorang di luar sukunya (Bil. 27:1-8). Jika tidak mempunyai anak, saudara laki-laki orang yang telah meninggal berhak menjadi ahli warisnya. Paulus menggunakan prinsip ahli waris untuk menggambarkan hubungan seseorang dengan Allah (Rm. 8:16-17; bnd. Ibr. 9:15).

Berdasar dari penjelasan tersebut di atas, maka pewarisan merupakan bagian dari fenomena kehidupan membangun komunitas dan keluarga besar dalam tradisi keluarga Israel. Hal ini, juga dilandaskan penghayatan tentang tanah adalah milik Allah yang diwariskan kepada keluarga dan keturunannya. Lalu, bagaimanakah relevansinya dengan kehidupan kita saat ini? Apakah masih relevan, dunia millenial saat ini berbicara tentang budaya waris?

Relevansi:
Berdasar KBBI,  Waris adalah orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Dengan demikian, berbicara tentang hak waris dalam konteks saat ini dan teks Alkitab tersebut di atas, maka menarik untuk memahami budaya waris dalam konteks Iman Kristen. Dalam Iman Kristen memang tidak secara eksplisit memberikan kesaksian iman tentang mengatur terkait budaya waris, namun melalui kesaksian teks Perjanjian Lama, bisa kita refleksikan bersama bahwa : 1) Pewarisan merupakan usaha dalam mensyukuri dan bertanggung jawab terhadap berkat dan rahmat Tuhan melalui kekayaan yang sudah diberikan kepada keluarga/komunitas. 2) Pewarisan merupakan salah satu usaha menjaga hubungan di dalam keluarga/komunitas tetap terjaga harmonis. 3) Pewarisan dalam konteks masyarakat patriakhal menjadi hal yang menarik untuk dipergumulkan lebih lanjut, mengingat budaya Jawa di dunia modern saat ini semakin egaliter,  antara laki-laki dan perempuan setara.

Pertanyaan Diskusi:

  1. Apakah yang bapak, ibu, saudara pahami tentang budaya pewarisan menurut kitab Bilangan dalam teks hari ini? Apakah ada pemaknaan Teologis tertentu yang mendasari peraturan Pewarisan tersebut? Jelaskan!
  2. Bagaimana tanggapan, sikap, pandangan, atau tindakan yang sebaiknya dilakukan dalam merespons budaya pewarisan? Jika terjadi pergumulan dan persoalan dalam realitas tentang pewarisan. Bagaimana kita sebagai gereja bersikap dan menanggapi situasi yang ada? (Bnd. Dengan Pranata Pewarisan, hal. 201). [KULZ].

Pemahaman Alkitab (PA) November (II)
Bulan Budaya

Bacaan: 1 Timotius 6 : 11 – 21
Tema Liturgis: GKJW Membudayakan Perdamaian dan Keadilan Sosial
Tema PA: Budaya Menang Tanpa Ngasorake

Pengantar:
Kisah Nelson Mandela yang menjadi Presiden Afrika Selatan dan tidak membalas perlakuan sipir penjara mengantar PA saat ini. Nelson Mandela pernah dipenjara selama 27 tahun oleh lawan politiknya. Di dalam penjara, oleh salah seorang sipir dia sering disiksa, bahkan pernah digantung dengan kepala terbalik dan dikencingi, dia hanya berkata tunggu saatnya. Ketika Mandela keluar dari penjara dan kemudian menjadi Presiden Afrika Selatan, hal pertama yang dia lakukan adalah meminta pengawal pribadinya untuk mencari sipir tersebut. Pengawalnya langsung menangkap dan membawa sipir itu ke hadapannya. Sipir tersebut sangat ketakutan, mengira Mandela akan membalas, menyiksa, dan memenjarakannya, tetapi ternyata Mandela malah merangkul dan berkata, “Hal pertama yang ingin saya lakukan ketika menjadi presiden adalah memaafkanmu.” Mandela tidak dikuasai kebencian dan niat untuk balas dendam terhadap lawan-lawan politik yang dulu memenjarakannya, sipir yang dulu menghina dan menyiksanya. Mandela mengajarkan kepada kita, bagaimana membalas kejahatan dengan kebaikan, kebencian dengan kasih. Apakah yang kita lakukan ketika kita sudah begitu dilukai oleh seseorang dan kini kita memiliki kesempatan untuk balas dendam?

Penjelasan Teks:
Surat rasul Paulus kepada Timotius, anak rohani yang dikasihinya memberikan pesan yang kuat terkait tantangan dan tanggung jawab dalam melakukan pelayanan. Tujuan surat Paulus ini memberikan penguatan bahwa hidup dalam persekutuan lebih menekankan bahwa semua dipanggil menjadi “berharga” di hadapan Tuhan. Manusia sebagai citra Allah harus mewujudkan hidup sebagai gambar Allah dengan bertekun dalam Firman Tuhan. Berdasar Tafsir Alkitab PB, Lembaga Biblika Indonesia, dalam teks saat ini, kita sampai pada akhir dari kewajiban rumah tangga yang disebutkan dalam surat Timotius. Berlawanan dengan pengajar-pengajar sesat, Timotius adalah abdi Allah. Bukannya mencari uang, ia hendaknya mencari keutamaan, terutama keutamaan yang membangun jemaat, seperti kesalehan, iman, pelayanan kasih, ketekunan, dan kelembutan (lih. 1 Kor. 13:4-7). Ajaran yang sejati tidak memecah belah jemaat dan tidak menyebabkan pertengkaran dan kesombongan. Tugas Timotius adalah menjadi saksi setia Kristus dan Injil, seperti Yesus menampilkan kesaksian setia kepada Allah di hadapan Pilatus (lih. Luk. 21:12-13). Tugas yang berat semacam ini mempunyai ganjaran yang khusus, yaitu kehidupan abadi (lih. 2 Tim. 2:11).

Timotius ditugaskan untuk menaati perintah ini, mungkin hukum perjanjian umum yang dituntut dari semua orang (lih. 1:8-11) atau pengutusannya yang khusus yang berasal dari Allah. Bagaimanapun juga, ia dipanggil untuk menjadi tanpa cela dan tanpa cacat, istilah dalam surat ini untuk pelayanan yang setia, tekun, dan sepenuh hati. Seperti Paulus, pelaksanaan pengutusan ini dihubungkan dengan kedatangan Yesus dan penelitian Ilahi atas hidup manusia, terutama para pemimpin (1 Kor. 4:1-5; 1 Tes. 2:4). Perintah yang khusus kepada Timotius ditutup dengan berkat yang khas, seruan kepada Allah dan pengakuan akan keunikan dan kedaulatan-Nya (6:15-16). Fungsi seruan kepada penghakiman Allah dalam hal pengutusan seseorang adalah biasa dalam surat Pastoral (lih. 5:21 dan 2 Tim. 4:2). Dan, isi berkat adalah jarang mengenai sifat monotheis Allah yang secara khusus diwartakan di sini juga (lih. 1:17; 2:4-5). Berkat itu menggarisbawahi pentingnya tugas yang diserahkan kepada Timotius. Dan karenanya, berakhirlah penampilan luas mengenai peraturan rumah tangga dalam jemaat-jemaat.

Ayat 17-19, beberapa kata terakhir ditujukan kepada anggota jemaat yang kaya supaya bermurah hati dalam menggunakan kekayaan mereka, tidak sombong, karenanya juga tidak mempercayainya. Nasihat ini merupakan kekhasan nasihat yang ditemukan dalam Lukas, supaya bangsa-bangsa lain yang tidak mempunyai tradisi memberi derma dan melaksanakan karya kasih hendaknya melihat bahwa kekayaan adalah baik hanya kalau digunakan untuk melayani dengan murah hati. Harta di surga tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan harta kekayaan di bumi (Luk. 12:32-34).

Ayat 20-21, surat ini ditutup tanpa menyebutkan rencana perjalanan, salam dan sebagainya, yang khas dalam surat-surat lain. Surat ini berakhir dalam nada khawatir. Peringatan terakhir diberikan kepada Timotius untuk menjaga kekayaan iman dan menghilangkan spekulasi yang tak berguna dan dongeng-dongeng pengajar saingannya.

Relevansi:
Dalam hidup tentu banyak tantangan dan pergumulan yang kita hadapi. Salah satu tantangan itu dalam dunia pelayanan, seperti yang dialami oleh Timotius. Merujuk dari surat pastoral Paulus kepada Timotius, tentu banyak memberikan penguatan dan peneguhan kepada kita dalam menghadapi tantangan dan pergumulan dalam dunia pelayanan. Salah satu tantangan yang disebutkan Paulus adalah menghadapi pengajar-pengajar sesat yang bisa memecah belah jemaat. Nasihat Paulus, supaya tetap membangun Jemaat dengan kesalehan, iman, pelayanan kasih, ketekunan, dan kelembutan. Ini menunjukkan pilihan sikap Paulus dalam melayani dan membangun jemaat dengan sikap rendah hati dan penuh kedamaian. Sikap ini senada dengan budaya menang tanpa ngasorake (Jawa), sebuah filosofi hidup yang menghayati bahwa seseorang bisa menang tanpa mempermalukan orang lain yang kalah. Hal ini sangat kental dengan kebatinan orang Jawa, yang senang dengan hidup harmonis dengan sesama. Semangat Nelson Mandela seperti di atas tentu menarik untuk dihayati bersama sebagai usaha menciptakan perdamaian dunia, khususnya pewartaan Injil (Yun.Euangelion) kabar sukacita, kabar baik, dls. Dalam konteks saat ini, surat Pastoral Paulus kepada Timotius menjadi relevan dengan kita antara lain :

  1. Setialah, taat, dan tekun dalam tugas tanggung jawab pelayanan yang sudah Tuhan berikan kepada kita.
  2. Segala tantangan dan pergumulan dalam pelayanan, perlu kita respons dengan kebaikan hati, seperti menang tanpa
  3. Bertanggung-jawablah sebagai pengikut Kristus yang diutus mewartakan kabar sukacita, hendaknya hidup kita semakin serupa dengan Kristus.

 Pertanyaan Diskusi:

  1. Apakah yang saudara pahami tentang surat pastoral Paulus kepada Timotius, anak rohani yang begitu dikasihinya?
  2. Apakah yang akan saudara lakukan dalam menghadapi tantangan dan pergumulan dalam kehidupan pelayanan, khususnya menghadapi pemahaman-pemahaman sesat dalam iman Kristen?
  3. Bagaimana sikap Gereja sebagai persekutuan iman dan sikap kita dalam merespons realitas kehidupan saat ini yang banyak informasi, ajaran, dan indoktrinasi yang tidak sesuai dengan iman Kristen, dan tersebar di dunia maya melalui Internet? Jelaskan! [KULZ].

Renungan Harian

Renungan Harian Anak