Pemahaman Alkitab (PA) Februari 2025 (I)
Bulan Penciptaan
Bacaan: Ezra 1 : 1 – 11
Tema Liturgis: Merangkul Sesama, Merawat Kehidupan
Tema PA: Kasih Allah yang Tak Terbatas
Pengantar:
Ada sebuah pepatah yang mengatakan, ”Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan.” Artinya kasih sayang anak kepada orang tua dapatlah terukur, sedangkan kasih ibu kepada anaknya tidak terukur. Meski pepatah ini ingin mengungkapkan adanya kasih ibu yang tak terukur/tak terbatas, namun tetap saja kasih si ibu itu ada dalam batas-batas kekeluargaan yang memiliki hubungan darah. Lain halnya dengan kasih Allah yang memang benar-benar tidak terukur dalam kehidupan manusia. Dimana cinta kasih yang terwujud dalam karya nyata di kehidupan manusia itu, seringkali melampaui akal pikiran manusia dan menembus berbagai sekat-sekat ras, suku, dan bahkan agama.
Kasih Allah sungguh begitu besar akan dunia ini, namun sayangnya ada begitu banyak manusia yang tak mampu menyelami karya agung Allah. Terlebih khusus perwujudan kasih dan karya Allah dalam konteks sesama manusia, yang memiliki perbedaan agama dan kepercayaan. Pada masa kini, berbagai hujatan, makian dan bahkan pertumpahan darah dilakukan, katanya demi membela nama Tuhan. Debat kusir oleh tokoh-tokoh agama, untuk memperebutkan predikat “agama yang paling benar”, begitu merebak akhir-akhir ini. Pernyataan-pernyataan yang berusaha menjatuhkan dan merendahkan agama lain, tak segan diucapkan. Dimana hal itu kemudian, tanpa disadari justru mempersempit cara pandang kita pada kasih dan karya Allah, yang menjadi terbatas hanya pada satu kelompok agama tertentu. Allah dipandang hanya mengasihi dan memberkati kelompok agama tertentu. Allah juga diyakini hanya berkarya di dalam diri kelompok agama tertentu. Benarkah demikian yang terjadi?
Penjelasan Teks:
Kitab Ezra ditulis pada tahun 538 SM, yakni sekitar 70 tahun setelah Raja Nebukadnezar menghancurkan Yerusalem. Penghancuran tersebut ia lakukan dengan cara mengalahkan kerajaan Yehuda dan kemudian membawa orang-orang Yahudi pergi ke Babel sebagai tawanan (2 Raja-raja 25; 2 Taw. 36; Yer. 29:10-14). Perlu diketahui bahwa keruntuhan Yehuda dan pembuangan ke Babel tersebut terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama (605 SM), pengangkutan kaum bangsawan muda Yehuda, termasuk Daniel. Tahap kedua (597 SM), pengangkutan 11.000 orang termasuk Yehezkiel. Tahap ketiga (586 SM), pengangkutan penduduk Yehuda yang tersisa.
Raja Nebukadnezar kemudian meninggal pada tahun 562 SM. Dimana hal ini kemudian diikuti dengan kehancuran kerajaannya (Babel) oleh Persia pada tahun 539 SM. Penyebab kehancuran tersebut selain karena serbuan dari Persia, juga dikarenakan penerus dari Nebukadnezar bukanlah sosok yang kuat. Dalam bacaan kita saat ini, memperlihatkan bagaimana setelah kehancuran Babel, Raja Koresh mengizinkan orang-orang buangan itu, untuk kembali ke tanah air mereka. Dengan harapan supaya ia juga dapat memenangkan hati dan kesetiaan dari mereka. Langkah politis dari Raja Koresh ini kemudian menjadi penting untuk dilakukan. Sebab dengan demikian, mereka (orang buangan dan orang-orang Yahudi) dapat menyediakan zona penyangga yang aman di sekitar perbatasan kerajaannya.
Bagi orang Yahudi, tindakan Raja Koresh ini bukanlah semata-mata dipandang sebagai langkah politis saja. Tindakan tersebut juga dipandang sebagai sebuah bentuk Providentia Dei (Pemeliharaan Allah) dan penggenapan janji Allah dalam kehidupan mereka. Janji Allah ini telah disampaikan sejak zaman nabi Yesaya (bdk. Yes. 44:28) lebih kurang tahun 700-an SM. Ini berarti sebelum Koresh dilahirkan pun (kira-kita tahun 500-an SM), janji Allah ini sudah diberikan kepada bangsa Israel. Koresh memang bukan orang Yahudi, tetapi Allah bekerja melalui dia untuk mengembalikan orang-orang Yahudi, yang diasingkan ke tanah air mereka.
Selain itu, dalam kehidupan nyata biasanya kita melihat bahwa para tawanan perang yang dikembalikan ke negara asalnya, hanya akan pergi dengan tangan kosong. Namun pada zaman Raja Koresh, ia juga memberikan tambahan perintah untuk turut membangun Bait Allah di Yerusalem (Ay. 3), serta mengembalikan seluruh perlengkapan Bait Allah yang dulu pernah dijarah Raja Nebukadnezar (Ay. 7). Selain itu bagi orang-orang yang tinggal di kerajaannya, juga diperintahkan untuk memberikan kepada orang-orang Israel, emas, harta benda, dan ternak (Ay. 4). Tidak ketinggalan juga perintah untuk memberi persembahan sukarela demi Bait Allah yang ada di Yerusalem (Ay. 6).
Relevansi:
Melalui kisah ini, kita diajak untuk melihat bahwa Tuhan itu dapat memakai dan menggerakkan orang lain, untuk mendatangkan berkat dan mewujudkan pemeliharaan-Nya bagi kita. Keyakinan akan campur tangan Allah dalam hidup kita, kiranya dapat meneguhkan hati kita dalam menghadapi persoalan. Ketika ada peristiwa buruk yang terjadi, hati kita tidak menjadi lemah. Sebaliknya, kita harus makin kuat karena kita meyakini adanya penyertaan Allah yang tak terbatas dalam hidup kita. Allah bisa memakai semua orang yang ada di sekitar kita, entah siapapun itu untuk menolong dan mewujudkan rencana-Nya yang indah. Dimana rencana Allah yang indah itu, tidak hanya tersedia bagi kehidupan kita secara pribadi, namun juga disediakan bagi semua ciptaan. Karya-Nya terbukti mampu melampaui akal pikiran manusia, menembus sekat-sekat perbedaan ras, suku, dan bahkan agama sekalipun.
Pertanyaan Untuk Didiskusikan:
- Jika Allah bisa memakai semua orang tanpa dapat dibatasi oleh sekat-sekat ras, suku dan bahkan agama, lalu bagaimana anda melihat fenomena radikalisme yang ada di agama lain? Yang tak jarang begitu gencar menyerang Kekristenan. Apakah mereka juga dapat atau sedang dipakai oleh Allah?
- Jika Allah adalah Kasih, apakah Ia juga memberkati dan menyertai orang-orang di luar sana yang berbeda agama/kepercayaan dengan kita?
- Ceritakan pengalaman anda ditolong dan dipelihara oleh Allah, melalui cara-cara-Nya yang tak terduga! [YAH].
Pemahaman Alkitab (PA) Februari 2025 (II)
Bulan Penciptaan
Bacaan: 1 Petrus 1 : 17 – 25
Tema Liturgis: Merangkul Sesama, Merawat Kehidupan
Tema PA: Mengasihi dengan Kasih Persaudaraan
Pengantar:
Hampir setiap tahun, Indonesia menghadapi kasus pelarangan ibadah. Dimana pihak yang seringkali menjadi korban adalah saudara-saudara kita seiman, para pengikut Kristus diberbagai tempat. Seperti halnya yang terjadi di wilayah Tanggerang, Gresik, Cilegon, Padang, dan ratusan kasus di berbagai tempat lainnya, yang turut mewarnai Indonesia setidaknya selama 2 tahun terakhir (2023-2025). Menurut SETARA Institute, selama tahun 2023 saja sudah terdapat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB). Angka tersebut naik signifikan dari tahun 2022, yang tercatat sebanyak 175 peristiwa dengan 333 tindakan. Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, menambahkan bahwa 329 kasus selama tahun 2023 tersebut terjadi, dimana 114 di antaranya dilakukan oleh aktor negara dan 215 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara.
Kasus-kasus pelarangan seseorang untuk beribadah seperti ini, tentu sangat menyedihkan dan mengecewakan. Di saat umat agama lain (dan sebagian dari kita para pengikut Kristus) dapat beribadah dengan aman dan nyaman, namun di atas langit yang sama, di bumi Indonesia, masih saja ada saudara kita yang tidak bisa beribadah dengan tenang. Mereka dipersekusi, mendapat ancaman, dibenci, diusir, dan ditolak. Lalu bagaimana seharusnya setiap pengikut Kristus bertindak?
Penjelasan Teks:
Surat yang ditulis oleh Rasul Petrus ini ditujukan kepada jemaat-jemaat yang tersebar di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil, dan Bitinia. Dalam suratnya, Petrus memberi kesan yang kuat bahwa para pembaca adalah jemaat Kristen yang tersebar di pedalaman kota-kota tersebut dan oleh masyarakat sedang diperlakukan tidak adil. Orang-orang Kristen yang menjadi para pembaca suratnya, menjadi sasaran penganiayaan, difitnah, dan dikucilkan karena memilih untuk mengikut Kristus. Mereka merupakan kelompok minoritas yang tidak dipandang. Mereka mengalami diskriminasi sosial dari masyarakat setempat karena identitas mereka sebagai orang Kristen.
Dalam konteks itulah, Petrus menulis surat ini. Petrus menegaskan bahwa walaupun orang Kristen harus menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung, mereka dapat memandang karya keselamatan yang diberikan Allah melalui Sang Kristus. Sebab Allah di dalam Sang Kristus, telah datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Ia memilih kita menjadi umat tebusan-Nya, dan memberi kita kehidupan yang baru. Atas anugerah Allah itu, ada standar hidup baru yang harus dimiliki orang Kristen. Ada dua nilai utama yang ditegaskan Petrus. Pertama, orang Kristen harus hidup kudus seperti Kristus, dengan tidak menuruti segala hawa nafsu duniawi (Bdk. 1 Ptr. 1:14-15). Kedua, orang Kristen harus hidup dalam kasih. Betapapun dianiaya, dikucilkan, difitnah, namun harus tetap mengasihi (Bdk. 1 Ptr. 1:22).
Lalu pertanyaannya sekarang, kasih yang bagaimana yang harus dilakukan? 1 Petrus 1:22 menyebutkan bahwa mereka diajak untuk mengamalkan kasih persaudaraan. Kata kasih persaudaraan sendiri, diterjemahkan dari bahasa Yunani: Philadelphia. Kata philadelphia berasal dari dua suku kata, yakni phileo/philia, yang berarti kasih/mengasihi, dan adelphos, yang berarti saudara. Dengan kata lain, betapa pun hidup sebagai minoritas yang menderita, dikucilkan, difitnah, dan dianiaya, namun mereka harus mengasihi sesama mereka. Saling memperlakukan satu dengan yang lain layaknya saudara sendiri, bahkan terhadap musuh sekali pun.
Petrus tidak main-main dengan tuntutannya bagi orang Kristen. Itulah sebabnya ia menegaskan, kasih persaudaraan yang dibangun harus tulus ikhlas, sungguh-sungguh, dan dengan segenap hati. Mengasihi dengan tulus ikhlas (dalam terjemahan Versi KJV: unto unfiegned love), artinya tidak pura-pura, tidak munafik, tidak dibuat-buat. Selanjutnya ketika Petrus mengatakan “hendaklah kamu saling mengasihi dengan segenap hatimu”, ia memakai kata agapasate untuk kata segenap hati. Kata tersebut berasal dari kata dasar agapao/agape, yakni kasih tanpa syarat, kasih Allah. Artinya standar kasih yang harus dimiliki oleh orang Kristen untuk mengasihi sesamanya adalah kasih Allah, kasih tanpa syarat, kasih yang rela berkorban dan kasih yang memberi tanpa berharap kembali. Dimana hal ini kemudian berlaku, baik untuk saudara seiman ataupun bukan dan bahkan kepada mereka yang melakukan penganiayaan kepada mereka.
Mengapa tuntutan ini diberikan kepada jemaat Kristen yang sedang menderita? Karena mereka adalah orang-orang yang telah dilahirkan kembali oleh firman Allah. Mereka telah menerima kebenaran di dalam Kristus, bahwa Allah mengasihi mereka dan menyelamatkan mereka. Allah menerima mereka dan menjadikan mereka anak-anak-Nya. Maka kasih Kristus yang sudah mereka nikmati, menggerakkan hati mereka untuk menerima orang lain dan mengasihinya.
Relevansi:
Dunia tanpa permusuhan, tanpa kebencian, tanpa pembalasan dendam, serta mampu mengasihi semua orang dengan tulus, tanpa batas, seperti saudara sendiri; itulah yang dikehendaki Kristus terjadi di dunia ini. Pengikut Kristus diminta untuk dapat memutus rantai kekerasan dan kebencian. Terlebih khusus dengan cara mengasihi, tidak dengan membalas kebencian dengan kebencian. Bahkan jika kita meneruskan pembacaan kita pada perikop selanjutnya, Petrus kembali memberi penegasan yang menarik. Dalam 1 Petrus 3:8-9, ia mengatakan, ”Hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati, dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk menjadi berkat.”
Pertanyaan Untuk Didiskusikan:
- Ceritakan pengalaman anda ketika menghadapi situasi yang sangat sulit (seperti halnya ditolak, dibenci, dibully, mengalami diskriminasi) karena menjadi pengikut Kristus!
- Di era digitalisasi dan gaung kesadaran toleransi yang semakin luas, menurut anda mengapa kebencian dan aksi-aksi intoleransi masih saja terjadi?
- Dengan segala persekusi, kebencian, dan diskriminasi yang dialami oleh para pengikut Kristus, masih relevankah ajaran kasih yang ditegaskan oleh Rasul Petrus itu? Bagaimana seharusnya kita bersikap? [YAH].