Pemahaman Alkitab (PA) Agustus 2023 (I)
Bulan Pembangunan GKJW
Bacaan: Keluaran 16 : 2 – 16, 32 – 36
Tema Liturgis: Kesatuan sebagai Modal Keterlibatan GKJW dalam Pemulihan Masyarakat
Tema PA: Percaya pada Pemeliharaan Allah
Pengantar
Seringkali iman dikaburkan dengan agama. Padahal sebenarnya keduanya berbeda. Orang yang beragama Kristen, belum tentu beriman Kristen. Orang yang beriman Kristen, biasanya beragama Kristen, tetapi tidak selalu begitu. Teolog Karl Rahner membuat istilah “Kristen Anonim”, bagi orang-orang yang tidak beragama Kristen, tetapi beriman Kristen. Beragama Kristen berarti sudah dibaptiskan dan tercatat sebagai anggota gereja, menjalankan upacara-upacara gerejawi dan berhak atas layanan gereja pada saat-saat penting hidupnya sampai pada kematiannya. Beragama Kristen biasa ditunjukkan melalui simbol-simbol kekristenan seperti salib, nama yang diambil dari Alkitab, sering menggunakan istilah-istilah khas seperti ‘Haleluya’, ‘Syaloom’, dsb.
Namun jika kita kemudian dengan yakin mendeklarasikan diri sebagai seorang yang beragama Kristen dan beriman secara Kristen, seharusnya hal ini akan membuat kita menjadi pribadi yang berbeda dari yang lain. Sebab beriman itu berarti tidak hanya sekedar percaya, tetapi mempercayakan diri sepenuhnya kepada Tuhan Sang Pemilik Kehidupan. Mempercayakan diri dalam hal ini, tentu dilakukan baik pada masa suka maupun duka, sehat maupun sakit, hingga maut memisahkan kita dengan dunia ini. Namun masalahnya, tidak jarang kita sebagai manusia hanya beriman ketika sedang butuh atau dalam keadaan terpojok. Kalau persoalan kita sudah selesai, penyakit kita sudah sembuh, keinginan sudah terpenuhi, apakah Tuhan masih penting? Barangkali masih, tetapi apakah Tuhan masih jadi yang terpenting? Mungkin tidak lagi.
Sayangnya kita pun juga sering hanya menginginkan mukjizat Tuhan yang instan, yang di luar nalar dan spektakuler. Namun lupa bahwa Tuhan pun juga dapat mendatangkan pertolongan serta mukjizat-Nya melalui proses yang harus kita lewati terlebih dahulu dan biasanya melalui jalan berliku. Maka jangan heran, kalau ada orang-orang yang mudah goyah imannya, ketika ada masalah ekonomi atau masalah keluarga yang besar. Bahkan jangan heran kalau ada orang-orang yang mudah berpindah agama, karena merasa agama yang baru memberi tawaran yang lebih menguntungkan.
Penjelasan Teks
Kekurangan makanan menjadi persoalan yang seringkali dihadapi oleh Bangsa Israel ketika melakukan perjalanan keluar dari tanah perbudakan Mesir menuju tanah yang dijanjikan, yaitu Kanaan. Hal inilah yang seringkali membuat Bangsa Israel seringkali berseteru dengan saudara sebangsanya, dengan Musa dan Harun selaku pemimpin perjalanan mereka, dan terlebih mereka bersungut-sungut dan protes terhadap Allah. Kalau diperhatikan sifat kekerasan hati dari Israel sudah terlihat sejak peristiwa di Mara dan dilanjutkan dengan Manna sampai di Masa dan Meriba. Dimana ketiga peristiwa ini terjadi dalam jangka waktu yang relatif singkat. Dari awal Israel terus-menerus menggerutu, protes dan bersungut-sungut terhadap Allah. Seakan-akan mereka “dipaksa” oleh Allah untuk keluar dari penindasan dan perbudakan.
Dalam perikop ini (Psl.16) digambarkan bahwa sesudah tiba di padang gurun Sin, umat Israel mulai bersungut-sungut dengan membayangkan jikalau keadaan mereka dahulu di Mesir jauhlah lebih baik daripada pada kondisi yang saat itu mereka hadapi. Mereka melupakan penindasan yang mereka derita sebagai budak dan menganggap negeri itu hanya sebagai sumber makanan yang menyenangkan. Mereka berpikir bahwa kebutuhan mereka akan makanan dan minuman jauhlah lebih penting daripada nasib mereka pada masa depan. Mereka seakan-akan jauh lebih suka berada dalam penindasan asal terpuaskan secara duniawi, daripada hidup kekurangan sekalipun dalam rengkuhan tangan Tuhan.
Kalau melihat ke bagian yang lebih luas, keseluruhan pasal 16 ini terdapat riwayat panjang mengenai cara Tuhan memuaskan Bangsa Israel dengan makanan, sekaligus menuntut mereka untuk mempercayai providensi-Nya (pemeliharaan) dan taat kepada hukum-Nya, terutama hukum Sabat. Tuhan berjanji kepada Musa bahwa Dia akan memberikan kepada umat Israel roti Manna dan juga daging burung Puyuh yang berasal dari Sorga sebagai makanan mereka setiap hari.
Diterangkan pada ayat 13b-15 tentang bagaimana bentuk dan wujud roti dari Sorga itu. Dijelaskan pula bahwa Bangsa Israel sebelumnya tidak pernah melihat roti seperti itu, sehingga mereka pun bertanya, “Apakah ini?” Itulah juga yang kemudian menjadi nama dari roti ini dalam bahasa Ibrani. Apabila embun turun di tempat perkemahan orang Israel pada waktu malam, maka turunlah juga Manna di situ. Bangsa itu berlari kian ke mari untuk memungutnya, lalu menggilingnya dengan batu kilangan atau menumbuknya dalam lumpang. Mereka memasaknya dalam periuk dan membuatnya menjadi roti bundar; rasanya seperti rasa makanan yang digoreng.
Adapun Manna itu warnanya putih seperti ketumbar, kelihatannya seperti Damar Bedolah dan rasanya seperti rasa kue madu. Mereka harus memungutnya menurut perintah Tuhan dan pada hari keenam mereka akan diminta untuk mengumpulkan sebanyak dua kali lipat dan Tuhan akan menurunkan Manna sebanyak dua kali lipat dari biasanya, sedangkan pada hari ketujuh mereka harus berhenti untuk mengumpulkan demi menguduskan hari Sabat. Di sanalah Tuhan ingin menguji apakah mereka mempercayai pemeliharaan-Nya ataukah tidak (Ay. 4-5).
Pertanyaan untuk Didiskusikan
- Berkaca dari kisah bangsa Israel di atas, menurut saudara bagaimanakah seharusnya menjalani hidup sebagai orang yang benar-benar beriman kepada Tuhan?
- Ceritakanlah pengalaman iman saudara, secara khusus ketika saudara berada dalam masa paling sukar! Bagaimana caranya Tuhan memelihara dan menolong hidup saudara pada saat itu?
- Sebagai umat Allah dan warga GKJW, apakah yang harus kita lakukan demi mewujudkan GKJW yang menjadi berkat? [YAH].
Pemahaman Alkitab (PA) Agustus 2023 (II)
Bulan Pembangunan GKJW
Bacaan: Kisah Para Rasul 2 : 37 – 47
Tema Liturgis: Kesatuan sebagai Modal Keterlibatan GKJW dalam Pemulihan Masyarakat
Tema PA: Persekutuan Meja Makan
Pengantar
Kekristenan pada masa sekarang ini, telah terbagi-bagi ke dalam berbagai aliran dan denominasi gereja. Dimana setiap denominasi gereja tersebut, masing-masing telah berupaya untuk dapat menghadirkan sebuah peribadahan, yang khusuk dan khidmat dengan berbagai aturan bakunya. Tak jarang dalam berbagai peribadahan tersebut, juga telah dikemas dengan begitu kreatif dan atraktif. Sehingga sudah tidak asing lagi, jika suatu peribadahan kemudian dihiasi dengan berbagai penataan lampu sorot panggung, musik band yang meriah serta berbagai tari-tarian yang juga turut disajikan. Namun jika kita melihat ibadah Kristen yang mula-mula, nyatanya bukanlah dimulai dari sebuah pertunjukan yang megah, panggung yang gemerlap, maupun upacara formal dengan segala aturan bakunya. Ibadah Kristen yang pertama dan mula-mula adalah persekutuan di seputar meja makan.
Tentu kita memahami bahwa gereja mula-mula didirikan bukan oleh malaikat-malaikat, dalam suasana yang agung, dengan dihadirinya pejabat-pejabat tinggi dalam suatu upacara protokoler yang khidmat. Namun justru gereja mula-mula itu berdiri, dari beberapa orang murid Yesus yang berkumpul di seputar meja makan. Mereka memecah roti dan makan bersama-sama, seperti halnya yang diperlihatkan dalam bacaan kita saat ini. Tentu kita pun juga masih ingat, bagaimana Yesus menyuruh murid-murid-Nya mencari makanan dan kemudian membuat mukjizat dari 5 roti dan 2 ikan, supaya bisa makan bersama 5000 orang. Yesus pun dalam perjalanan-Nya, menerima Zakheus si pemungut cukai dalam acara makan di rumahnya. Yesus bahkan dikecam oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, karena begitu sering menghadiri undangan makan dari orang-orang berdosa. Bahkan sebelum Yesus memasuki jalan penderitaan-Nya, Ia pun mengadakan perjamuan makan terakhir bersama dengan para murid-Nya.
Persekutuan di seputar meja makan, nyatanya memiliki tempat yang cukup penting dalam rangkaian pelayanan Yesus di dunia ini. Dimana yang diutamakan di dalamnya, bukanlah soal apa yang dimakan, namun justru yang terpenting adalah kehadiran sebagai sebuah keluarga. Dengan adanya persekutuan semacam ini, kita perlu mengakui satu sama lain bahwa kita ini adalah saudara dan bukan orang asing. Karena itu, suasana yang perlu dibangun adalah suasana kekeluargaan yang hangat dan akrab. Semangat persekutuan di seputar meja makan itu pun, bukanlah kumpulan dari orang-orang yang tidak punya salah dan masalah, tetapi orang-orang yang mau memupuk semangat perdamaian, menyelesaikan konflik, menghapus dendam, mengampuni orang yang bersalah, memperbarui hubungan yang retak/putus dan menguatkan kembali mereka yang lemah serta putus asa.
Penjelasan Teks
Jika kita melihat bagian teks bacaan kita secara utuh, maka kita akan memahami bahwa gerak persekutuan jemaat yang pertama itu lahir, dari orang-orang yang telah mendengar khotbah Petrus, menerima perkataan itu dan kemudian memberi diri mereka untuk dibaptis (Ay. 41). Kata menerima dalam bahasa Yunani adalah apodechomai, dimana kata ini memiliki makna: 1) menyambut seseorang, 2) menerima sesuatu/seseorang sebagai yang benar dan pantas, 3) mengakui kebenaran atau nilai dari sesuatu atau seseorang. Dimana setelah mereka menerima kebenaran dari pengajaran Petrus, maka mereka kemudian bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan (Ay. 42). Pada titik ini kita dapat melihat bagaimana jemaat mula-mula menaklukkan diri mereka di bawah kepemimpinan para rasul dan secara konsisten hidup dalam pengajarannya. Sehingga para rasul pun juga memiliki keleluasaan untuk memberikan kesaksian tentang segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Yesus kepada mereka. Unsur terpenting yang ingin ditunjukkan oleh ayat ini adalah kebiasaan jemaat yang secara konsisten, terfokus dan penuh kerinduan untuk mencari tahu tentang pengajaran yang benar, seperti yang telah diajarkan oleh Sang Kristus sendiri.
Dari semangat itulah, jemaat mula-mula terus tergerak untuk membangun komunitas keluarga baru, dengan pengalaman iman yang juga terus saling menumbuhkan. Upaya untuk saling menumbuhkan, saling mengasihi, saling mendukung, saling peduli antara satu dengan yang lain, nyatanya kemudian tidak hanya bergerak pada aspek spiritual saja. Namun juga merambah pada aspek pemenuhan kebutuhan jasmani, dengan menganggap bahwa segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama (Ay. 44-45). Gerak saling mendukung dalam kesehatian yang holistik inilah, yang benar-benar nampak di antara jemaat mula-mula. Dimana kesehatian yang dimaksud, kemudian bukan ingin mengatakan bahwa mereka selalu setuju terhadap segala hal. Namun hati dan pikiran mereka sama-sama terjalin dan tertuju, untuk memprioritaskan pertumbuhan iman serta terwujudnya Kerajaan Allah; bukannya agenda-agenda/kepentingan pribadinya sendiri.
Selain berbagai hal yang telah disebutkan di atas, salah satu ciri khas jemaat mula-mula adalah ketika mereka senantiasa mengadakan persekutuan dalam bentuk perjamuan kasih, yang dilaksanakan secara bergilir dari rumah ke rumah. Dimana dalam perjamuan kasih tersebut, semuanya dilakukan dengan penuh kegembiraan dan ketulusan, sambil memuji Allah (Ay. 46-47). Melalui gerak persekutuan di sekitar meja makan tersebut, kita dapat melihat bagaimana jemaat mula-mula, sungguh ingin menghilangkan sekat antara satu dengan yang lain. Semuanya diharapkan dapat duduk sejajar sebagai anak-anak Allah, dengan segala kekurangan dan kelemahannya, dengan segala dosa dan kesalahannya. Tidak ada lagi istilah “orang jauh” atau “orang dekat”, namun semuanya berusaha benar-benar diterima dan direngkuh menjadi satu keluarga, yaitu keluarga Allah.
Pertanyaan untuk Didiskusikan
- Di tengah arus modernisasi dgn tingkat individualisme yg tinggi seperti sekarang ini, apakah masih mungkin mewujudkan semangat dan sikap hidup spt halnya jemaat mula-mula di atas? Kemukakan alasan saudara!
- Menurut pengalaman saudara, sulit atau tidak menerima orang lain (secara khusus mereka yang berdosa dan memiliki kesalahan) dalam sebuah persekutuan? Kemukakan alasan saudara!
- Apakah dampak nyatanya dalam hidup bermasyarakat, jika semangat dan sikap hidup jemaat mula-mula tersebut di atas, diterapkan pada masa sekarang ini? [YAH].