Pemahaman Alkitab Juli 2023

Pemahaman Alkitab (PA) Juli 2023 (I)
Bulan Keluarga

Bacaan: Ulangan 28 : 1 – 14
Tema Liturgis: Keluarga GKJW sebagai Keluarga Kerajaan Allah
Tema PA: Keluarga yang Diberkati dan Menjadi Berkat

Pengantar
Beberapa tahun lalu ada sebuah film yang menceritakan kisah hidup dua ekor ikan, bapak dan anak ikan Badut (Clown Fish). Dalam film itu dikisahkan betapa si anak setiap hari dan secara berulang-ulang berkata kepada bapaknya: “Dad, I want to see the ocean. Dad, I want to see the ocean.” (Ayah, aku mau melihat samudera). Suatu hari si anak diambil oleh seorang penyelam dan dipelihara di dalam sebuah aquarium. Setelah hidupnya dipindahkan ke dalam aquarium tersebut, barulah ia menyadari bahwa selama ini ia hidup di dalam ocean (samudera).

Cerita di atas adalah sebuah cerita sederhana yang diceritakan dalam sebuah film, tetapi juga memiliki pengertian yang mendalam bagi kita semua. Setiap hari secara berulang-ulang kita berdoa kepada Tuhan: “Tuhan berkati aku. Tuhan berkati aku.” Kenyataannya kita tidak pernah sadar bahwa selama ini kita sedang hidup dalam berkat Tuhan. Tentulah sikap ini tidak baik. Kita perlu hati-hati agar tidak salah fokus. Jangan sampai kita hanya fokus pada persoalan-persoalan hidup  sehingga menghalangi mata hati kita untuk melihat berkat-berkat Tuhan yang sudah diberikan kepada kita, terlebih kepada Sang Sumber Berkat itu sendiri.

Tidak dapat dipungkiri bahwa semua manusia di dunia ini, tanpa terkecuali, pasti ingin memiliki kehidupan yang diberkati, sehat, dan penuh sukacita.  Ada begitu banyak orang yang merasa bahwa apa yang dilakukannya selalu gagal. Berusaha tetapi tidak mendapatkan hasil, seolah pintu rezeki tertutup baginya. Bahkan tidak jarang mengeluh dan merasakan Tuhan tidak adil. Karena itulah maka sampai sekarang, masih ada orang yang memakai jasa dukun atau jimat supaya toko, warung atau usahanya menjadi laris. Memang, ada banyak cara untuk sukses dan menjadi kaya ditawarkan oleh dunia ini, namun harus diingat baik-baik bahwa hasil akhirnya selalu tidak baik.

Berbicara soal janji berkat, ada begitu banyak orang yang menginginkan berkat, tetapi ternyata tidak semua mau taat. Mungkin kita bertanya, mengapa berkat harus dikaitkan dengan ketaatan? Sebab berkat yang sesungguhnya adalah dari ketaatan pada perintah Tuhan. Inilah yang menjadi penekanan dalam Ulangan 28:1-14.

Penjelasan Teks
Kitab Ulangan disebut “Deuteronomy”, yaitu terjemahan dari LXX, dari kata “Deuteronomion” (Ul. 17:18), pengulangan hukum Taurat. Kitab ini ditulis kira-kira pada abad ke-7 atau tahun 622/621 SM. Kitab ini juga dihubungkan dengan reformasi Yosia yang bersifat anti-sinkretisme, maka yang menjadi pusat sinkretisme harus dimusnahkan. Kuil-kuil dewa-dewi Kanaan ditutup karena kehidupan yang demikianlah yang menyebabkan umat Israel mengalami kemerosotan iman. Kitab ini juga sangat menekankan tradisi “Perjanjian Sinai”, hal itu dapat diperhatikan melalui penggunaan frasa “hayyom” (“today:hari ini”). Kata “hayyom” ingin menegaskan kepada umat Israel bahwa mereka adalah kepunyaan-Nya. Artinya Allah akan murka jika mereka tidak taat atau hidup bersinkretisme dengan ilah-ilah yang sebenarnya bukan Allah.

Israel Utara mengalami kehancuran pada tahun 722 SM. dan  penduduknya dibuang ke Asyur karena tidak setia pada “Perjanjian Sinai”. Sedangkan Israel Selatan (Yehuda) mengalami krisis yang sangat hebat, yaitu adanya ancaman kekafiran dan penyembahan berhala yang dibawa oleh Raja Manasye. Untuk menjaga supaya Israel tetap eksis sebagai umat pilihan Allah atau sebagai umat yang kudus, maka penulis kitab Ulangan menganjurkan pentingnya pengadaan reformasi atau pembaharuan hidup bagi umat pilihan Allah. Hanya mereka yang hidup setia menurut hukum dan ketetapan-ketetapan Allah sajalah yang terjamin masa depan hidupnya. Dengan kata lain relasi itu sangat penting, karena relasi umat Israel dengan Allah akan memberi jawaban apakah itu berkat atau kutuk. Kedua pernyataan ini merupakan suatu pilihan hidup, yaitu hidup dan mati atau berkat dan kutuk.

Konteks kitab Ulangan memperlihatkan bahwa umat Israel tidak lagi setia pada “Perjanjian Sinai”. Mereka hidup bersinkretisme dengan dewa-dewa Asyur/Kanaan. Oleh sebab itu, penulis kitab Ulangan memperbaharui kembali hukum-hukum yang terabaikan, kemudian diungkapkannya menurut caranya sendiri, supaya umat Israel mengingat kembali perjanjian dan kasih Allah yang membawa mereka keluar dari tanah Mesir, Allah yang memberkati dan menuntun mereka selama di padang gurun. Memelihara janji-Nya berarti berusaha mendengarkan kembali suara Allah yang memanggil umat-Nya keluar dari penyembahan berhala atau kutuk, untuk menikmati berkat-berkat-Nya sesuai dengan janji-Nya.

Satu-satunya jalan untuk menjamin masa depan bagi umat Israel adalah mendengarkan suara Allah atau menaati hukum-hukum dan tetap setia pada perjanjian-Nya seperti yang tertulis dalam Ul. 6:4. Mendengarkan suara Allah berarti mengakui-Nya sebagai Allah yang berdaulat, Allah yang Esa. Allah Israel tidak sama dengan ilah-ilah atau dewa-dewa yang disembah bangsa-bangsa sekitar Israel. Karena diakui sebagai Allah yang Esa. Karena Allah adalah Esa adanya, maka hanya Dialah yang menjadi sumber berkat bagi umat Israel. Dengan demikian mereka harus mendengarkan suara-Nya. Mendengarkan suara Allah berarti melakukan ketetapan-ketetapan dan perintah-perintah-Nya. Jika umat Israel menutup telinga berarti sama juga dengan mengeraskan hati serta menjauhkan diri dari berkat-Nya. Jadi segala sesuatu yang membuat Israel jauh dari Allah adalah kutuk, demikian sebaliknya. Hanya ranting yang masih melekat pada pohonnya yang masih bisa hidup dan menghasilkan buah. Artinya berkat itu tidak akan pernah ada ketika umat-Nya terpisah/terlepas dari Sang Sumber Berkat.

Demikianlah juga yang ingin disampaikan oleh penulis kitab Ulangan ini, bahwa tanpa ketaatan pada Perjanjian Sinai maka berkat itu tidak akan ada. Karena ketidaktaatan menyebabkan terjadinya penyembahan berhala (sinkretisme), ketidakadilan, penindasan, pemerasan dan sebagainya. Sehingga semuanya itu mendatangkan kutuk bagi orang Israel. Secara jelas itu nampak pada frasa “jika engkau” atau “apabila engkau” di dalam Ulangan 28:1, 2, 9, 13, 14 ini jelas menunjukkan sifat bersyarat. Seandainya bangsa Israel mendengarkan suara Tuhan sebagaimana seharusnya, kemudian melakukan dengan setia segala perintah-Nya, maka Ia akan memberikan berkat-berkat-Nya: berkat berupa tempat yang lebih utama bagi Israel melebihi semua bangsa lain (Ay. 1); rangkaian berkat di tempat kerja, keturunan, hasil pekerjaan atau usaha dan rumah tangga, bahkan saat pergi atau pulang (Ay. 2-6); berkat perlindungan dan kemenangan atas musuh (Ay. 7); berkat kesejahteraan dan kelimpahan hidup di tanah perjanjian (Ay. 8, 11-12); berkat sebagai umat yang kudus (Ay. 9). Tuhan berjanji akan membuka perbendaharaan-Nya yang melimpah (Ay. 12). Namun semua berkat-Nya ini memiliki syarat, yaitu mereka tetap setia mendengarkan perintah-Nya, tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri, tidak mengikuti illah lain dan beribadah kepadanya (Ay. 14). Maka berkat yang mengejar dan menyusul bangsa Israel karena ketaatan mereka kepada TUHAN.

Sungguh, betapa besarnya rahmat Tuhan bagi umat-Nya. Ia memberikan berkat jasmani dan materi. Ia menjanjikan berkat damai sejahtera, keamanan, serta kesejahteraan. Ia memenuhi apa yang menjadi kebutuhan umat-Nya dan memberikan yang terbaik. Akan tetapi, semua itu dikaruniakan-Nya kepada mereka yang mereka yang mendengarkan suara Tuhan (Ay. 2) dan yang berpegang pada perintah Tuhan serta hidup menurut jalan-Nya (Ay.9).

Pertanyaan untuk Didiskusikan

  1. Menurut saudara apa kaitannya antara ketaatan dan berkat Tuhan dalam Ulangan 28:1-14?
  2. Apakah saudara siap membuka hati untuk semakin taat terhadap perintah Tuhan sehingga bisa menjadi pribadi yang semakin diberkati dan menjadi berkat bagi sesama?
  3. Dalam kehidupan berkeluarga, apakah saudara telah mengantar keluarga saudara semakin dekat dan taat kepada Allah, Sang Sumber Berkat? Bagaimana caranya?
  4. Berkat yang dilimpahkan kepada kita adalah anugerah dari Tuhan. Kalau begitu bukankah seharusnya kita tidak menahan berkat itu bagi orang lain? Apakah yang akan saudara lakukan jika saudara merasa diberkati oleh Tuhan? [RA].

Pemahaman Alkitab (PA) Juli 2023 (II)
Bulan Keluarga

Bacaan: Efesus 4 : 17 – 32
Tema Liturgis:
Keluarga GKJW sebagai Keluarga Kerajaan Allah
Tema PA: 
Menanggalkan Manusia Lama dan Mengenakan Manusia Baru

Pengantar
Leonardo Da Vinci adalah salah satu pelukis terhebat di sepanjang sejarah. Karya Da Vinci yang paling terkenal adalah The Last Supper (Perjamuan Terakhir) dan Mona Lisa. Ada kisah nyata yang melatarbelakangi lukisan “Perjamuan Terakhir”. Leonardo Da Vinci ternyata membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan mahakaryanya itu. Da Vinci tidak  mengalami kesulitan untuk menemukan model untuk melukis wajah para murid. Akan tetapi, untuk menemukan model untuk melukis gambar diri Tuhan Yesus, bukan perkara yang mudah. Akhirnya ia bertemu dengan Pietri Bandineli. Da Vinci merasa cocok Pietri Bandineli untuk dijadikan model Yesus.

Namun, masih ada satu model lagi yang harus dia temukan untuk menyelesaikan lukisannya dan nampaknya jauh lebih sulit jika dibandingkan mencari model bagi gambar Yesus. Ya, Da Vinci kesulitan menemukan model wajah Yudas Iskariot yang tentunya sangat berbeda sekali dengan karakter murid-murid Yesus. Sampai suatu ketika ia bertemu dengan satu orang yang menurutnya tepat memberikan gambaran tentang karakter Yudas. Da Vincipun akhirnya bisa melanjutkan proses penyelesaian lukisan “Perjamuan Terakhir.” Ada satu hal yang menarik, ketika Da Vinci sedang melukis gambar Yudas. Sang model Yudas bertanya kepada Da Vinci: “Pak Da Vinci, apakah bapak sudah tidak mengenali saya lagi? Beberapa tahun yang lalu saya duduk di kursi ini, juga untuk menjadi model lukisan bapak. Ini saya, pak. Dulu saya menjadi model bagi wajah Yesus. Dan ternyata perjalanan hidup saya membawa saya sekarang ini menjadi model yang menggambarkan wajah Yudas Iskariot.”

Apa yang dialami oleh Bandinelli bisa terjadi dalam kehidupan kita. Dalam beberapa waktu seseorang bisa menjalani hidupnya sebagai orang yang mengenal Allah (dalam ilustrasi: “mirip Yesus”), namun seiring dengan perjalanan kehidupan yang semakin berat, bukan tidak mungkin seseorang berubah drastis menjadi orang yang tidak mengenal Allah (dalam ilustrasi: “mirip Yudas Iskariot”)

Penjelasan Teks
Kitab Efesus dapat dibagi menjadi 2 bagian besar. Yang pertama, pasal 1-3 berisi tentang tujuan-tujuan abadi Allah untuk manusia dalam Kristus. Yang kedua, pasal 4-6 berisi tentang akibat-akibat praktis dalam kehidupan umat. Pada pasal 4 juga dapat dibagi 2 bagian besar, yaitu ayat 1-16 berbicara tentang gereja sebagai satu tubuh di dalam Kristus dan ayat 17-32 berisi tentang gereja yang harus hidup dalam kekudusan. Dalam Efesus 4:17-30, Rasul Paulus memperlihatkan secara jelas perbedaan antara kehidupan orang yang tidak mengenal Allah (manusia lama) dengan kehidupan orang yang mengenal Allah (manusia baru). Gambaran tentang manusia lama itu dapat kita lihat pada ayat 17-18. Sangat jelas Paulus menegaskan kepada jemaat supaya jangan mengikuti jalan yang sama seperti bangsa-bangsa yang membuat jalan mereka sendiri, yang hidup di dalam hawa nafsu, menuruti kedagingan dan pikiran mereka yang sia-sia. Maksud Paulus dengan pikiran yang sia-sia, yaitu tidak memiliki kebenaran dan ketepatan, penuh dengan tipu muslihat, kebejatan, kesombongan dan kehampaan karena pikiran mereka telah ditutupi dengan kegelapan (Ay. 18). Mereka berbuat seolah-olah penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh (Roma 1:22). Mereka tidak bisa melihat kebenaran dan terang di dalam Yesus Kristus, bukan hanya mata hati mereka yang dibutakan, tetapi juga pikiran sehingga mereka tidak dapat memikirkan hal-hal rohani. Selain itu, Paulus juga mengatakan bahwa mereka “jauh dari hidup persekutuan dengan Allah.” Kata “jauh” dalam konteks ini berarti mengasingkan, menjauhkan, akan dikucilkan dari persekutuan, “akan terasing dengan,” atau menjadi asing (Ay. 18). Oleh sebab itu, sebagai akibat dari pikiran mereka yang sia-sia dan pengertiannya digelapkan, maka hidup mereka “terasing” atau terpisah dari persekutuan dengan Allah.

Yang menyebabkan mereka memiliki pengertian yang gelap sehingga jauh dari hidup persekutuan dengan Allah adalah karena kebodohan dan kedegilan, kebutaan, kekerasan, perasaan yang tumpul serta hati mereka yang buta dan keras. Perasaan yang tumpul berarti mati rasa, tidak memiliki perasaan, bersikap apatis, hilang perasaan atau tidak ada kesadaran dalam hati mereka (Ay. 19). Dapat disimpulkan bahwa mereka yang tidak mengenal Allah adalah mereka yang dalam keputusan-keputusan hidupnya hanya untuk menuruti keinginan sendiri, berjalan berdasarkan pengertian sendiri yang mengakibatkan hati menjadi mati rasa, putus asa, tidak berperasaan, bersikap apatis, bahkan tidak ada kesadaran dalam hati atas dosa, atas kesia-siaan sehingga memberi diri pada hawa nafsu.

Sehubungan dengan keadaan orang-orang percaya di dalam Kristus sebagai ciptaan baru (manusia baru), maka Rasul Paulus memberikan gambaran kehidupan secara praktis bagi orang percaya, sebab orang-orang percaya tersebut telah belajar mengenal Kristus. Belajar mengenal Kristus  ditandai dengan persekutuan dengan Allah, yaitu mau mendengar dan menerima pengajaran Kristus. Oleh karena itu, mereka sudah meninggalkan manusia lama mereka dan diperbaharui dalam roh dan pikirannya untuk menjadi manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan (Ay. 20-24). Mereka juga sudah diperbaharui sehingga mereka mampu melakukan perbuatan yang benar dan tulus. Pembaharuan hidup sebagai manusia baru tersebut mempunyai tanda bukan sekedar tidak berbuat yang jahat atau tidak suka berbuat dosa, tetapi juga hidup dalam kebenaran, keadilan, dan kekudusan yang sesungguhnya.

Setelah ada perbedaaan yang cukup signifikan antara kehidupan orang yang mengenal Allah dan yang tidak mengenal Allah di dalam kehidupan jemaat, maka selanjutnya Rasul Paulus memberikan nasihat-nasihat umum yang bersifat praktis dan kongkret kepada jemaat. Paulus memulai nasihatnya dengan berkata “karena itu” yang berarti kata penghubung sebuah kesimpulan berdasarkan atas apa yang telah diuraikan. Paulus ingin memberikan suatu nasihat yang merupakan kesimpulan sebagai manusia baru itu dengan menggunakan kata “buanglah” yang berarti menanggalkan. Jemaat harus meletakkan, menanggalkan atau membuang perbuatan-perbuatan yang seharusnya tidak berpadanan dengan hidup sebagai manusia baru. Jika dibandingkan dengan ayat 13-15, maka sebenarnya nasihat Paulus ini ditujukan kepada dua kelompok orang/jemaat yaitu kelompok orang-orang yang baru bertobat supaya tetap teguh dalam iman kepada Kristus dan kelompok orang-orang yang sudah memiliki kedewasaan rohani supaya mencapai tingkat kedewasaan yang penuh di dalam Kristus. Berikut ini ada beberapa kebiasaan-kebiasaan di dalam jemaat yang harus dibuang atau ditanggalkan, yaitu:

  1. Dusta (Ay. 25). Membuang dusta harus diikuti dengan berkata yang benar
  2. Kemarahan (Ay. 26). Semua orang dapat menjadi marah, akan tetapi harus bisa menguasai amarah itu sedemikian rupa dan tidak dikuasai oleh amarah yang berlarut-larut, supaya iblis tidak mengambil kesempatan, yang dapat mempengaruhi untuk melakukan perbuatan yang menimbulkan kekacauan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
  3. Mencuri (Ay. 28). Peringatan yang disampaikan Rasul Paulus kepada jemaat saat itu karena aksi pencurian sangat merajalela dan menjadi kebiasaan dalam jemaat yang terus terjadi. Paulus memberi nasihat sebagai ganti mencuri dengan bekerja keras dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Secara umum sebenarnya Rasul Paulus menghendaki supaya sebagai sesama anggota tubuh Kristus bisa saling membantu bagi orang-orang yang berkekurangan.
  4. Perkataan kotor (Ay. 29). Dalam hal ini Rasul Paulus mengingatkan supaya menggunakan perkataan yang baik, yang membangun atau mendidik daripada perkataan kotor yang dapat merusak supaya memberi faedah atau berkat kepada orang yang mendengarkan.
  5. Mendukakan Roh Kudus (Ay. 30). Rasul Paulus memberi nasihat bahwa perbuatan-perbuatan yang tidak baik dalam ayat-ayat sebelumnya adalah perbuatan yang mendukakan atau menyakiti Roh Kudus.

Pertanyaan untuk Didiskusikan

  1. Setelah membaca dan merenungkan Efesus 4:17-32, bagaimana pendapat saudara? Apakah kita dapat mengevaluasi diri masing-masing dan berani melibatkan orang-orang serumah untuk menilai dan mengevaluasi diri kita, apakah kita sudah benar-benar diubahkan atau belum?
  2. Adakah perubahan hidup yang dapat dilihat oleh anggota keluarga kita yang lain dari manusia lama kita ke manusia baru kita? Sebutkan?
  3. Bagaimana sikap kita sebagai manusia baru yang sudah mengalami pembaharuan hidup, baik dalam hidup berkeluarga maupun bermasyarakat? [RA].
 

Bagikan Entri Ini: