Mengapa Aku Sulit Menjadi Pelaku Firman? Sebuah Refleksi Diri di Bulan Kitab Suci

2 September 2020

Sesuai dengan kalender gerejawi GKJW, bulan Kitab Suci sudah dimulai pada 3 September 2020 ini. Dan melalui Panduan Bulan Kitab Suci, Dewan Pembinaan Teologi (DPT) Majelis Agung mengajak segenap warga GKJW untuk mau “membaca, merenungkan serta melakukan Firman Tuhan” sebagaimana yang ada dalam Alkitab. Artinya kita menyediakan waktu secara khusus untuk mempelajari, mendengar dan merenungkan Firman Tuhan itu setiap harinya.

Dari ketiga tindakan diatas, yang paling sulit untuk diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari ialah melakukan Firman itu sendiri. Banyak hal yang menjadi sebab, alasan, hambatan dan faktor lainnya sehingga hal ini belum bisa dilakukan.

Dalam tulisan ini hanya dibahas salah satu saja contoh yang paling nyata dan pernah ditemui oleh penulis adalah ketika salah seorang warga jemaat, sebut saja namanya Bu Tejo, yang belum bisa “mengampuni atau memaafkan” sesama warga jemaat, sebut saja Yu Ning, yang telah menyakiti dan membuatnya terluka, hingga terlontar ucapan demikian dari mulut Bu Tejo, “Sampai mati pun, aku tidak akan mau memaafkan dia! Terlalu sakit…hatiku ini!”

Bahkan ketika penulis mengingatkan akan Firman Tuhan untuk mengasihi musuh sekalipun dan untuk mengampuni kesalahan orang lain seperti yang sering kita ucapkan dalam Doa Bapa Kami; semuanya dengan begitu mudah dimentahkan, seolah rasa sakit hati dan terluka tidak sebanding lagi dengan pemberian maaf dan ampunan.

Mengapa rasa sakit hati dan terluka bisa begitu mudah menutupi akan kebenaran Firman Tuhan ini? Apakah Firman Tuhan sudah tidak mempunyai kuasa lagi?

Sebelum lebih dalam lagi, ada beberapa hal yang perlu diketahui, dipahami dan dimengerti bersama, yaitu :

  1. Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan citra dan gambar Allah (Kejadian 1:27) yang artinya manusia diciptakan oleh Tuhan dengan begitu luar biasa, untuk bisa mewujudnyatakan citra Allah di dalam kehidupan dirinya. Dan salah satu anugerah Tuhan bagi setiap manusia untuk bisa mewujudkan akan hal ini adalah anugerah “pikiran”
  2. Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap manusia (Roma 8:28), akan tetapi cara Tuhan dalam menolong manusia lebih sering dilakukanNya dengan cara-cara yang “alamiah” yaitu dengan mendayagunakan segala anugerah yang telah Tuhan berikan kepada manusia, termasuk pikiran itu sendiri.
  3. Pertolongan Tuhan yang alamiah ini juga sering terjadi dengan memakai manusia lain beserta dengan hasil budi-daya manusia berupa “pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill)”

Kembali ke pertanyaan diatas, “Mengapa rasa sakit hati dan terluka bisa menutupi akan kebenaran Firman Tuhan?” Apakah kuasa Firman Tuhan kalah dengan rasa sakit hati dan terluka? Sekali-kali tidak! Firman Tuhan yang tidak lain adalah Allah sendiri tidak pernah dan tidak akan kalah kuasanya dengan rasa sakit hati dan terluka. Tetapi, mengapa yang terjadi seringkali sebaliknya, seperti cerita diatas? Tuhan tidak membiarkan kita, Tuhan pasti menolong kita, tetapi dengan melalui cara Tuhan yang terjadi secara “alamiah”

Apa sebenarnya sakit hati dan terluka ini?

Sakit hati dan terluka adalah salah satu dari sekian banyak macam emosi atau perasaan yang bersifat negative. Contoh emosi lain yang sifatnya negative adalah perasaan benci, putus asa, cemas, kuatir, cemburu, dendam, frustrasi, kecewa, kesal, malu, marah, minder, muak, pesimis, bersalah, sedih, kesepian, takut, merasa tidak dicintai, tidak dihargai, tidak diakui keberadaannya, dll.

Mengapa sakit hati dan terluka yang merupakan emosi negative begitu kuatnya dirasakan dan mempengaruhi serta mengendalikan cara berpikir, ucapan, tindakan dan perbuatan kita?

Emosi atau bahasa awamnya adalah perasaan adalah sesuatu yang seharusnya “diekspresikan” keluar dari dalam diri agar tidak mempengaruhi sistem mental, psikis dan tubuh kita. Namun yang sering terjadi adalah sebaliknya. Ada beberapa kemungkinan perlakuan kita terhadap emosi, diantaranya adalah :

  1. Membiarkan emosi tetap berada di dalam diri kita. Dengan harapan emosi ini akan mereda dan hilang seiring dengan berjalannya waktu. Ini adalah pandangan yang salah! Waktu tidak akan pernah bisa menghilangkan emosi dari dalam diri kita. Kitalah yang harus mengeluarkannya secara sadar; dengan penuh keberanian, kejujuran diri serta kerendahan hati dalam mengakui akan emosi tersebut dan menghilangkannya.
  2. Menolak emosi. Berpura-pura seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Men-denial (menyangkal) emosi, tidak akan menyelesaikan masalah. Justru akan membuat semakin besar emosi tersebut. Karena pada saat emosi disangkal sesungguhnya kita justru melakukan penggandaan (compounding) terhadap emosi tersebut.
  3. Mengalihkan emosi. Jenis yang satu ini cukup banyak dilakukan. Contoh mengalihkan emosi seperti kecanduan bermain game, obat terlarang, merokok, minuman keras dan penyimpangan perilaku seksual, gila kerja, shoping, dll.
  4. Menekan emosi. Jika cara ini yang dipilih, tentu saja tidak baik. Karena sesuatu yang ditekan dengan kuat, ketika dilepaskan maka kekuatannya akan berlipat dan menyebabkan lompatan emosi yang jauh lebih tinggi lagi (analogi menekan bola volley ke dalam air dengan menggunakan tangan)
  5. Melepaskan emosi. Inilah cara yang paling tepat dan konstruktif dalam memperlakukan emosi di dalam diri kita. Kita harus berani mengakui akan keberadaan emosi tersebut, dan dengan ikhlas melepaskannya keluar. (Disini penulis sengaja tidak menguraikan bagaimana cara melepaskan emosi negative dari dalam diri, karena penjelasannya terlalu bersifat teknis)

Jika cara memperlakukan emosi yang diambil adalah No.1 – 4 maka akan mempengaruhi diri kita secara destruktif dan merusak. Emosi tidak lain adalah sebuah energi yang bergerak (e-motion), yang meminta untuk diekspresikan keluar dari tubuh kita. Semakin lama emosi negative bercokol di dalam sistem metal, psikis dan tubuh kita; sama artinya dengan sengaja kita menanam bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak hebat apabila terpicu oleh suatu peristiwa spesifik yang mengandung muatan emosi negative yang sama dan intens. Ledakan hebat ini yang salah satunya bisa mewujud dalam bentuk sakit psikosomatis (sakit tubuh fisik akibat masalah emosi dan pikiran).

Emosi begitu kuatnya dalam mempengaruhi cara berpikir, berucap dan tindakan kita dikarenakan emosi terletak di pikiran bawah sadar (PBS)*, dimana kekuatannya jauh lebih besar dibandingkan dengan pikiran sadar (PS). Silahkan melihat catatan kaki dibagian paling bawah.

Pada saat emosi sedang berkobar dalam diri kita maka pikiran sadar atau logis tidak akan mampu mengalahkannya. Kita tidak akan mampu berpikir dengan jernih manakala kita masih diselimuti oleh api emosi dalam diri. Pikiran logis dan emosi layaknya sebuah mainan jungkat-jungkit dimana keduanya tidak bisa bekerja dan mempengaruhi secara bersama-sama, tetapi selalu bergantian. Kita bisa berpikir dengan logis dan jernih dalam merespon suatu kejadian manakala emosi telah mereda. Meskipun dengan meredanya emosi, jika tidak benar-benar dinetralkan dan keluar dari sistem tubuh akan bisa kembali mempengaruhi dan mengendalikan diri kita saat terpicu oleh suatu kejadian spesifik dengan muatan emosi yang sama.

Sekarang, bagaimana dengan emosi sakit hati dan terluka yang dialami oleh Bu Tejo akibat perbuatan Yu Ning, sehingga Bu Tejo belum bisa mengampuni dan memaafkan Yu Ning?

Pertolongan Tuhan yang bersifat alamiah dan dengan mendayagunakan anugerah pikiran (khususnya PBS), diharapkan bisa menolong Bu Tejo untuk memperlakukan emosi sakit hati dan terlukanya dengan cara yang konstruktif yaitu dengan mengakui keberadaan emosi tersebut dan melepaskannya keluar dari dalam sistem tubuh mental. Sehingga dengan lepasnya emosi negative tersebut maka tidak ada lagi emosi/energi yang menghalangi Bu Tejo untuk berpikir dengan jernih dan memandang kesalahan Yu Ning dengan cara pandang yang baru yang lebih bijaksana. Hal ini bisa terjadi manakala beban emosi sakit hati dan terluka Bu Tejo sudah dilepaskan, dan yang tersisa hanyalah perasaan “plong” dalam hati Bu Tejo karena sudah “berdamai dengan dirinya sendiri”. Saat semua emosi sakit hati dan terluka sudah sirna, maka akan dengan mudah Bu Tejo memberi pengampunan dan memaafkan Yu Ning dengan penuh ketulusan hati dan rasa welas asih.

Belajar dari kisah Bu Tejo ini, kita semua diajak untuk lebih berani, jujur, dan rendah hati dalam kehidupan iman kita masing-masing. Jika masih adanya ketidakberanian, ketidakjujuran dan kekerasan hati (wangkot) menunjukkan dengan jelas masih adanya muatan emosi negative di dalam diri kita sebagai akibat peristiwa traumatis di masa lalu yang belum terselesaikan.

Di bulan Kitab Suci ini, kita diharapkan untuk semakin tekun di dalam membaca, merenungkan serta melakukan Firman Tuhan. Namun hendaknya kita mau dengan rendah hati untuk “nggayemi” Firman Tuhan yang sudah kita baca dan berani melakukan perjalanan masuk ke dalam diri (batin), dan dengan jujur mengakui adanya penghalang berupa emosi negative yang membuat kita sulit dalam melakukan Firman Tuhan.

Kiranya Tuhan Allah Semesta Alam memampukan kita semua untuk merenungkan dan melakukan Firman Tuhan di dalam kehidupan kita masing-masing – Amien!

* Catatan :

  1. Pikiran manusia secara umum terbagi menjadi 3 bagian, yaitu pikiran sadar (PS), pikiran bawah sadar (PBS) dan pikiran nirsadar (PN). Dimana masing-masing pikiran mempunyai fungsi dan peran yang berbeda.
  2. PS berfungsi untuk berpikir secara logis, analitis, keinginan kehendak (will power), memori jangka pendek dan faktor kritis. PBS berperan untuk mengendalikan kebiasaan, emosi, belief, value, memori jangka panjang, intuisi, kreativitas dan persepsi. Sedangkan PN bertugas dalam pengendalian fungsi tubuh yang bersifat otonom seperti detak jantung, pernafasan, pencernaan dan immune tubuh.
  3. PN dan PBS selalu aktif bekerja setiap saat selama 24 jam/hari tanpa berhenti sama sekali, sedangkan PS hanya aktif bekerja pada saat kita dalam kondisi sadar atau bangun, dan berhenti bekerja pada saat kita tidur.
  4. Cognitive neuroscientist menemukan bahwa pikiran bawah sadar (PBS) bertanggungjawab, mempengaruhi, dan menentukan proses dan hasil dari 95% hingga 99% aktivitas berpikir – dengan demikian menentukan hampir semua keputusan, tindakan, emosi dan perilaku kita (Azegedy-Maszak dalam artikel “Mysteries of the Mind:Your Unconscious is Making Your Everyday Decisions”)

Purnomo
Warga GKJW Jemaat Lawang

Renungan Harian

Renungan Harian Anak