Kualitas Diri dan Relasi Dalam Keluarga Refleksi Bulan Keluarga GKJW Tahun 2020

26 June 2020

Dengan berakhirnya bulan Kesaksian dan Pelayanan, maka kita warga jemaat GKJW segera memasuki bulan Keluarga, dimana di tahun 2020 ini yang mengambil tema “Keluarga yang lestari dan ikut serta dalam karya Tuhan Allah”. Diharapkan keluarga-keluarga warga jemaat GKJW tetap senantiasi utuh, mampu menjaga dan merawat persekutuan kasih ditengah-tengah keluarga serta bisa mewujudkan kepedulian berbagi kasih dengan sesama di masa pandemi Covid-19 ini; demikianlah yang diharapkan dari Majelis Agung melalui buku panduan bulan Keluarga di tahun ini.

Jika kita perhatikan tema bulan Keluarga, kita melihat ada kata “lestari”. Sesuai dengan kamus besar bahasa indonesia (KBBI) dikatakan bahwa lestari berarti tetap seperti keadaannya semula; tidak berubah; bertahan; kekal. Suatu keadaan yang tidak berubah, tetap bertahan; tentunya sebuah keadaan yang “baik” adanya sehingga diharapkan tetap lestari.

Pertanyaannya sekarang adalah: “Keadaan baik seperti apa suatu keluarga itu sehingga perlu terus dipertahankan dan lestari?

Tentunya keadaan ini lebih tepat ditujukan untuk setiap anggota keluarga, baik orangtua (suami-istri) dan anak-anak serta relasi dan komunikasi di antara mereka. Keadaan baik inilah yang diharapkan untuk bisa dialami dan dirasakan lebih dahulu sebagai sebuah keluarga yang lestari sehingga bisa merasa pantas, layak dan ikut serta dalam karya Tuhan Allah.

Menurut nats yang melandasi bulan Keluarga di tahun ini yaitu terambil dari Yakobus 3:13-18; tentunya keadaan baik suatu keluarga terjadi oleh karena adanya hikmat dari Tuhan Allah yaitu pendamai, pihak atau orang yang mendamaikan (ayat 17-18). Secara logika tentunya orang yang mampu mendamaikan adalah orang yang telah lebih dahulu merasakan kedamaian, ketenangan, ketentraman dan perasaan dicintai di dalam hidupnya.

Damai, tenang, tentram dan cinta adalah sebuah kondisi perasaan atau emosi di dalam diri seseorang, yang tidak tergantung atau dipengaruhi oleh kondisi di luar dirinya; oleh karena sudah adanya pendamaian dengan dirinya sendiri. Kondisi perasaan ini sangat berbeda sekali dengan rasa malu, rasa bersalah, kesedihan mendalam, marah, benci dan kecewa.

Kondisi perasaan damai, tenang, tentram dan cinta merupakan kondisi emosi positif yang memiliki muatan energi positif yang sangat luar biasa; demikian juga sebaliknya, kondisi emosi negatif mengandung muatan energi
negatif yang merusak tidak hanya di tubuh mental atau psikis saja akan tetapi bisa juga merusak di tubuh fisik (mind-body).

Sebagai catatan, emosi yang dalam bahasa inggris disebut sebagai emotion (e-motion = energy in motion) tidak lain adalah sebuah energi. Oleh karenanya setiap emosi harus bisa dirasakan di bagian tubuh fisik, disinilah bagaimana sebuah emosi negatif tertentu sering menjadi akar penyebab sakit di tubuh fisik (psikosomatis).

Seorang medical doctor bernama David R. Hawkins, Ph.D telah melakukan sebuah penelitian yang sangat mendalam tentang Peta Kesadaran (Map of Consciousness); yang dituangkan dalam disertasinya dengan judul “Qualitative and Quantitative Analysis And Calibration Of The Level Of Human Consciousness“. Dan intisari dari disertasi ini telah ditulis dalam buku “Power vs Force.

Penelitian David Hawkins diatas berhasil menjelaskan dengan sangat gamblang berbagai level kesadaran berkaitan dengan level energi psikis. Peta kesadaran ini terbagi menjadi 2 bagian besar yaitu bagian bawah terdiri dari 8 level kesadaran dengan muatan emosi negatif dan bagian atas terdiri dari 8 level kesadaran dengan muatan emosi positif. Dan diantara kedua bagian tersebut dipisahkan dengan level kesadaran “berani” dengan level energi 10200 (penegasan atau dukungan pada sesuatu).

Level kesadaran yang disebut dengan perasaan damai, berada diatas level sukacita dan cinta; dimana level kedamaian ini mempunyai muatan energi yang sangat besar sekali hingga 10600 (kebahagian yang luar biasa) hanya satu level dibawah pencerahan sebagai level tertinggi.

Sedangkan level kesadaran dengan muatan emosi negatif yang sangat merusak adalah perasaan bersalah dengan energi 1030 (menyalahkan orang lain atau lingkungan) dimana hanya satu level diatas rasa malu sebagai level terendah dan dibawah beberapa level lainnya seperti marah, takut, kesedihan mendalam dan apatis.

Level kesadaran yang ada di bawah kedamaian adalah perasaan cinta (level energi 10500) dan sukacita (level energi 10540).

Cinta pada level ini adalah cinta yang tidak bersyarat, tidak berubah, tulus dan permanen. Tidak berfluktuasi karena sumber cinta berasal dari dalam diri orang yang mencintai, bukan dari faktor eksternal. Saat cinta semakin tidak bersyarat, kita mulai merasakan kebahagiaan yang berasal dari dalam diri. Perasaan bahagia ini bukan muncul karena suatu kondisi atau peristiwa tertentu, akan tetapi terus ada dalam segala aktivitas yang kita lakukan.

Sedangkan salah satu ciri dari level kesadaran yang disebut sukacita adalah kesabaran yang luar biasa, persistensi dalam sikap positif walaupun mengalami hambatan hidup yang luar biasa. Ciri lainnya adalah rasa belas kasihan yang mendalam (compassion). Orang yang telah mencapai level ini mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap orang-orang di sekitarnya.

Dari semuanya ini, diharapkan kita bisa menyadari bahwa ternyata emosi (energy in motion) mempunyai level-level energi, begitu pula dengan kesadaran. Jadi, kita perlu senantiasa mempunyai kesadaran (awareness) untuk terus belajar agar bisa selalu berada dalam kondisi emosi atau kesadaran yang positif.

Tentunya untuk bisa merasakan hikmat dari Tuhan Allah berupa pendamaian dan rasa damai, tidak hanya cukup dengan sebuah “claim” bahwa kita sudah berdamai dengan diri sendiri; sudah melepaskan dan mengiklhlaskan berbagai muatan emosi negatif terkait dengan masa lalu kita. Akan tetapi kita perlu mengalaminya sendiri. Mengalami bagaimana berdamai dengan diri sendiri. Mengalami bagaimana melepaskan beban emosi negatif dari peristiwa di masa lalu; baik dengan orangtua kita dahulu, dengan pasangan kita, dengan anak-anak kita, dengan saudara-saudara kita, dan juga dengan sesama kita.

Apabila kita sudah memperbaiki “kualitas diri” dengan mengalami pendamaian dengan diri sendiri; tinggal sekarang bagaimana dengan “kualitas relasi” dan komunikasi dengan orang lain? Khususnya relasi dan komunikasi di dalam keluarga kita, antara orangtua dan anak, antara suami dan istri, juga antara anak dengan anak sebagai saudara. Apakah kualitas relasi ini sudah bisa memenuhi kebutuhan “rasa aman” sebagai sebuah kebutuhan paling utama dari kebutuhan mental psikis semua anggota keluarga?

Sekali lagi kita sering kali mengklaim bahwa kita sudah mati-matian di dalam memberikan rasa cinta, baik kepada anak kita maupun kepada pasangan kita. Tetapi apakah kita pernah dan berani untuk menanyakannya secara langsung kepada mereka? “Nak, apakah kamu merasa dicintai oleh ayah dan ibu?” atau “Istriku, apakah kamu merasa dicintai oleh aku sebagai suamimu?”. Setiap orangtua dan pasangan pastilah merasa sudah benar-benar mencintai anak-anaknya atau pasangannya, melalui interaksi dan komunikasi baik berupa pemikiran, perasaan, ucapan tutur kata, sikap dan perilaku. Namun maksud baik ini tidaklah menjamin bahwa anak-anak atau pasangan kita benar-benar merasa dicintai oleh kita, justru kadang yang terjadi adalah sebaliknya.

Karenanya, pastikanlah bahwa anak-anak kita dan juga pasangan kita benar-benar merasa dicintai. Dengan melalui upaya secara sadar mengisi kebutuhan mental psikis mereka secara penuh setiap harinya; yaitu
kebutuhan akan perasaan aman, dicintai, dihargai, diakui dan diterima apa adanya.

Untuk inilah maka perasaan damai di dalam diri kita yang diperoleh melalui upaya berdamai dengan diri sendiri akan memampukan kita untuk bisa memberikan “cinta tanpa syarat” kepada anak dan pasangan kita. Mencintai tanpa syarat tidak lain adalah mencintai tanpa melihat apa pun perilaku dan ucapan yang pernah menyakiti hati kita. Mencintai tanpa syarat adalah upaya mencintai satu arah, tanpa menuntut balasan. Mencintai tanpa syarat bukanlah sebuah cinta yang bersifat transaksional. Cinta tanpa syarat hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, sudah berdamai dengan dirinya sendiri, sudah menerima dan mengalami hikmat dari Tuhan Allah.

Emosi marah, kecewa, terluka, sakit hati, sulit memaafkan dan dendam adalah bukti bahwa kita belum bisa memberikan cinta tanpa syarat. Karena saat anak dan pasangan kita berperilaku tidak seperti yang kita inginkan, saat kita menyalahkan akan perilaku itu dan menuntut sebaliknya mereka berperilaku seperti yang kita inginkan; saat itulah cinta yang kita berikan selama ini masih sebatas cinta bersyarat dan bersifat transaksional.

Dalam masa bulan keluarga ini, dimana waktu berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama anggota keluarga tersedia begitu banyaknya oleh karena anjuran untuk “stay at home – work from home” akibat pandemi Covid-19; kiranya hal ini memberikan kesempatan dan manfaat positif bagi keluarga warga jemaat GKJW untuk bisa memperbaiki kualitas diri dan relasi dalam keluarga sehingga bisa menjadi lebih baik dan bermakna bagi semua anggota keluarga dan sesama.

Selanjutnya, marilah kita lestarikan kualitas diri dan relasi yang semakin baik ini untuk bisa ikut serta dalam karya Tuhan Allah di dunia ini; dengan menjadikan diri kita masing-masing saksi dan pelayan serta menjadi sarana berkat bagi sesama ciptaan.

Kiranya Tuhan Semesta Alam memampukan dan memberi berkat dan kekuatan kepada kita semua. Selamat menghayati bulan Keluarga bersama orangtua, suami, istri dan anak-anak kita – Amien!


Purnomo
Warga jemaat GKJW Lawang

Renungan Harian

Renungan Harian Anak