“Kita sebagai gereja kadang mengalami disorientasi, kita salah arah. Gereja adalah orang-orang yang berjumpa dan bersekutu merasakan kasih Allah dan meneruskan kasih Allah itu. Namun, yang sering terjadi kita sibuk mengurus angka, program, dan rapat yang tidak menjawab kebutuhan organisme gereja, para manusia di dalamnya – dengan segala pergumulan hidupnya. Akhirnya kita kering, warga jemaat pun kering. Perjumpaan satu sama lain tidak terjadi, pada saat yang sama orang terus menerus haus, merindukan perjumpaan dengan Tuhan yang sesungguhnya.” Dalam keynote yang disampaikan kepada para Guru Injil se-GKJW, Pdt. Gideon H. Buono, direktur IPTh Balewiyata menyampaikan mengapa Patuwen menjadi penting dalam perjalanan bergereja di GKJW. Patuwen adalah wujud perjumpaan seseorang dengan Tuhan, sekaligus dengan sesamanya.
Sabtu-Minggu, 2-3 November 2024, sejumlah 13 Guru Injil (GI se-GKJW berjumpa di IPTh Balewiyata dalam kegiatan Pembinaan GI kedua tahun 2024. Tema pembinaan GI kali ini adalah “Menghidupi dan Menghidupkan Patuwen”. Melalui tema ini, para GI diajak untuk kembali menghayati olah rasa dan olah katresnan dalam sebuah bingkai khas GKJW, Patuwen. Patuwen berasal dari kata tuwi, yang artinya mendatangi, menjumpai, mengunjungi, merengkuh. Para GI dipandu oleh dua orang narasumber, Pdt. Ari Musytorini dan Pdt. Sumardijana.
Pdt. Ari Mustyorini menandaskan bahwa hari ini Patuwen telah bergeser menjadi ibadah keluarga bersama (kumpulan). Hal tersebut membuat semangat patuwen yang adalah perjumpaan seseorang dengan Tuhan, sekaligus dengan sesama itu, lalu menjadi tersturktuisasi, terorganisasi. Hal tersebut justru mencerabut makna sejati dari Patuwen, perkunjungan. Pdt. Ari menyampaikan bagaimana Jellesma memberikan model patuwen dalam sejarah GKJW, ketika dia datang ke jemaat untuk mengunjungi warga gereja, saling bercerita, lalu mengajar pokok-pokok iman Kristen dan menguatkan mereka, bagaimana iman itu berjumpa dengan realitas keseharian hidup warga gereja. Dampaknya patuwen lalu menjadi sesuatu yang memberatkan, karena biaya naik, harus menyiapkan sugata (makanan), dan menjadi formal. Perjumpaan sejati tidak terjadi, sekadar menjadi program.
Pdt. Sumardijana memberikan refleksinya bahwa dalam perjalanan beliau sebagai pendeta, beliau keliru ketika menjadi pendeta yang dilayani adalah organisasi gereja, bukan organisme, warga jemaat mereka dalam pergumulan hidup mereka. Beliau mengisahkan bagaiamana beliau berusaha untuk secara konsisten menuliskan refleksi beliau, yang akhirnya diterbitatkan menjadi buku-buku reflektif beliau, Nggayemi dan Mingkima Sik! Pdt. Sumardijana juga menyoroti bahwa saat ini banyak pembinaan, PKT, aktivitas-aktivitas yang dilakukan gereja, kadang sia-sia saja. Warga jemaat kadang tanpa dikunjungi tetap hidup, tetapi ada warga yang pergumulan hidupnya berat. Dan yang kedua ini banyak. Pendeta dan GI diajak menemani yang kelompok warga kedua ini secara real dalam perjumpaan. Pdt. Sumardijana mengajak mendata PKT jemaat yang benar-benar mewujudkan tubuh Kristus dan mana yang untuk kesenangan.
Di sisi lain, Pdt. Sumardijana juga menyampaikan bahwa kadang terjadi dinamika antara dimensi teologis dan organisatoris yang menjadi berkat. Organisasi adalah pagar, pagar itu dibutuhkan. Pagar itu perlu ditaati, tetapi pagar itu jangan sampai mematikan sisi teologisnya.
Pada akhirnya para GI diajak untuk menemukan perubahan yang terjadi dalam konsep patuwen hari ini, tantangan yang dialami, dan merumuskan dengan dengan upaya merevitalisasi peran GI, khususnya dalam melakukan perjumpaan dengan warga jemaat, sehingga gereja tidak sekadar menjadi organisasi masyarakat dan organisasi umat Kristen, kembali sungguh-sungguh menjadi tubuh Kristus. (IPTH. Balewiyata)