Natal
Stola Putih
Bacaan 1: Yesaya 62 : 6 – 12
Mazmur: Mazmur 97 : 1 – 12
Bacaan 2: Titus 3 : 4 – 7
Bacaan 3: Lukas 2 : 8 – 20
Tema Liturgis: Damai Sejahtera di Antara Manusia yang Berkenan kepada-Nya
Tema Khotbah: Natal Yang Sempurna
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Yesaya 62 : 6 – 12
Biasanya para penjaga ditempatkan untuk melihat utusan membawa kabar baik dan memperingatkan kota untuk ikut merayakannya. Namun kali ini para penjaga ini mempunyai tugas yang sangat berbeda. Mereka harus mengingatkan Tuhan akan janji-janji-Nya di sepanjang hari dan sepanjang malam (Ay. 6). Seorang raja biasanya memiliki seorang pejabat yang ditugaskan untuk mengingatkannya tentang janji-janji yang dibuat dan kewajiban yang dilakukan. Di sini Raja Yahweh mempunyai penjaga yang ditugaskan untuk tujuan itu. Tampaknya Tuhan tidak perlu diingatkan, namun hal ini akan meyakinkan orang-orang karena mengetahui bahwa manusia ditugaskan untuk mengingatkan Tuhan siang dan malam. Setelah mereka kembali dari pembuangan, Tuhan telah berjanji untuk membangun kembali kota Yerusalem yang dihancurkan pada tahun 587 SM oleh bangsa Babilonia. Namun tidak cukup hanya dengan membangunnya kembali. Kota ini harus dibangun kembali menjadi sebuah kota besar, “menjadi kemasyhuran di bumi.” (Ay. 7).
Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah Tuhan itu pelupa dan membutuhkan pengingat? Atau mungkin Tuhan memiliki ingatan yang sangat baik namun mengharuskan doa kita sebagai prasyarat untuk melakukan apa yang telah Dia janjikan. Penduduk Yerusalem dan Yehuda memang telah mengalami banyak penderitaan. Bahkan sebelum mereka ditawan, mereka terbiasa membayar upeti kepada negara-negara yang lebih kuat sebagai harga untuk mempertahankan kebebasan mereka. Begitu mereka dibawa ke pengasingan, sebagian besar hasil kerja mereka akan bermanfaat bagi orang Babilonia. Sebagai pekerja paksa, sebagian besar produktivitas mereka menguntungkan para penculiknya. Mereka bisa berharap untuk menerima hanya secukupnya untuk menopang kehidupan.
Namun sekarang, Tuhan berjanji untuk menghilangkan kutukan kesia-siaan tersebut. Musuh dan orang asing tidak akan lagi mengambil makanan dan anggur yang ditanam oleh orang-orang buangan di Yudea. Orang-orang buangan akan bebas, tidak hanya bebas untuk pulang ke rumahnya di Yerusalem tetapi juga bebas dari tekanan upeti yang besar (Ay. 8). Bahkan Tuhan juga akan memulihkan kehidupan keagamaan mereka. Ungkapan “di pelataran-Ku yang kudus” menyiratkan restorasi Bait Suci dan halaman-halamannya. Apa yang kita lihat digambarkan dalam ayat 9 adalah sebuah pesta sukacita yang berkelanjutan, yang dilakukan oleh orang-orang yang telah diberkati oleh Tuhan. Sekarang orang-orang yang pernah diasingkan telah tiba di Yerusalem, dan diperintahkan untuk melewati gerbangnya. Namun mereka juga harus mempersiapkan jalan bagi bangsa lain. Mereka tidak hanya harus membangun kembali kota itu, namun mereka juga harus membangun jalan raya menuju kota itu (Ay. 10). Dengan kata lain, jalan raya dan panji dimaksudkan untuk memudahkan kesaksian kepada bangsa lain serta memudahkan kepulangan sisa orang buangan. Panji (bendera) berfungsi sebagai mercusuar, untuk memandu orang-orang yang masih dalam perjalanan. Namun, yang paling penting, hal ini akan menyemangati dan menginspirasi umat yang menghadapi hari-hari sulit sebelum kota tersebut dibangun kembali. Saat mereka mengalihkan pandangan dari puing-puing ke panji, mereka akan diingatkan akan kehadiran Tuhan di antara mereka, kesetiaan Tuhan yang menghasilkan pembebasan mereka dari pengasingan. Tentang janji Tuhan akan sebuah kota yang tidak hanya dipulihkan namun juga terkenal. Namun agar orang-orang dapat melihat janji-janji ini digenapi, mereka harus pergi mempersiapkan jalan, membangun, membersihkannya dari batu dan mengibarkan sebuah panji. Tuhan akan membuat pekerjaan mereka membuahkan hasil, namun mengharuskan mereka melakukan pekerjaan yang telah ditugaskan kepada mereka. Tuhan telah menyelamatkan mereka, tetapi mereka tidak bisa hanya tinggal diam saja.
Tadi di ayat 7, kita mengetahui bahwa Yahweh akan mendirikan Yerusalem dan menjadikannya terkenal di seluruh dunia. Di ayat 11 kita melihat janji itu terulang kembali. Tuhan akan memberkati Yerusalem dan mereka mempunyai hak istimewa untuk tinggal di dalam temboknya sehingga orang-orang dari seluruh dunia akan memperhatikan berkat yang telah diterimanya dari Tuhan. Teks ini secara umum menunjukkan gambaran tentang pemulihan dan perlindungan Allah terhadap Yerusalem, serta persiapan untuk kedatangan kehadiran-Nya yang kudus. Pemberian gelar ”orang-orang Kudus” dan ”orang-orang yang ditebus oleh TUHAN” (Ay. 12) menegaskan status khusus dan relasi yang mendalam antara Allah dengan umat-Nya.
Titus 3 : 4 – 7
Kata ”Tetapi” pada ayat 4 menghubungkan ayat ini dengan ayat 3, di mana Paulus berbicara tentang perilaku dosa yang akhir-akhir ini menjadi ciri orang Kristen. Dia membuat kontras antara kondisi umat sebelum umat diselamatkan (Ay. 3 perilaku berdosa) dengan kondisi umat setelah Allah menyelamatkan mereka, yang dalam ayat 7 ditunjukkan dengan kata ”dibenarkan”. Penting untuk mengingat hal ini, karena Paulus bermaksud agar ayat-ayat ini saling berkaitan dengan frase kuncinya ”Dia menyelamatkan kita” (Ay. 5b). Orang Yunani menganggap kebenaran sebagai penyesuaian terhadap tradisi atau adat istiadat. Orang Yahudi menganggap kebenaran sebagai ketaatan pada hukum Taurat. Orang Kristen memahami kebenaran dengan cara yang sangat berbeda. Paulus telah mengejar kebenaran dengan sungguh-sungguh, akan tetapi dia tetaplah seorang berdosa. Dia telah melakukan yang terbaik, tetapi yang terbaik itu tidak cukup. “tetapi karena kemurahan-Nya. Dia menyelamatkan kita.” (Ay. 5b). Meskipun ia ingin umat Kristiani menjalani kehidupan seperti Kristus, ia menjelaskan bahwa perilaku moral adalah hasil dari keselamatan dan bukan penyebab keselamatan. Penekanan pada belas kasihan Tuhan ini menyerang inti kesombongan manusia, dan dengan demikian menghilangkan kesempatan manusia untuk meninggikan diri mereka sendiri. Dalam ayat 5d, Paulus tidak menjelaskan “pembaruan” secara rinci, namun menekankan bahwa pembaruan tersebut adalah pekerjaan Roh Kudus dan bukan upaya pribadi kita. Yesus Kristus memungkinkan pencurahan Roh Kudus itu terjadi (Ay. 6).
Kata “kasih karunia” (charis) di ayat 7 adalah kata penting dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam surat-surat Paulus. Penggunaan charis dalam Perjanjian Baru berakar pada kata Ibrani “hesed”, yang digunakan dalam Perjanjian Lama untuk berbicara tentang kasih setia, belas kasihan, dan kesetiaan Allah. Orang Yunani sering menggunakan kata charis untuk berbicara tentang patronasi (dukungan dari seorang patron, seperti seseorang yang memberikan dukungan finansial atau politik). Bagi orang Yunani, kata charis berarti kemurahan hati yang menuntut kesetiaan dari pihak penerimanya. Oleh karena itu, mudah untuk memahami mengapa Paulus mengadaptasi charis ke dalam suratnya. Charis Kristen adalah anugerah keselamatan dari Tuhan kepada semua orang yang menerima Ketuhanan Yesus Kristus. Oleh karena itu, Tuhan adalah pelindung dan pemberi. Sama seperti kita tidak akan pernah bisa membalas sepenuhnya seseorang yang meninggalkan warisan kekayaan yang tak terbayangkan kepada kita, demikian pula kita tidak akan pernah bisa membalas anugerah keselamatan yang diberikan Tuhan. Namun, jika seorang patron memberi kita kekayaan yang tak terbayangkan, kita bisa setia kepada patron tersebut dengan menggunakan uang tersebut dengan cara yang sesuai dengan keinginan atau nilai-nilai patron tersebut. Begitu pula kita bisa setia kepada Tuhan yang memberi kita keselamatan dengan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.
Lukas 2 : 8 – 20
Penggembala adalah pekerjaan yang sepi, kotor, dan tidak menarik. Para penggembala merasa sulit menjalankan kewajiban agama. Siapa yang akan mengawasi domba-domba saat mereka menghadiri kebaktian di Sinagoge? Bagaimana mereka bisa setia dalam menjalankan ritualnya? Dalam masyarakat di mana perayaan seperti itu memisahkan yang baik dari yang buruk, yang diinginkan dari yang tidak diinginkan, orang tidak menginginkan gembala untuk menjadi tetangganya atau menantunya. “Lihatlah, seorang malaikat Tuhan berdiri di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka, dan mereka sangat ketakutan.” (Ay. 9). Ini adalah pemberitaan ketiga yang disampaikan malaikat, setelah yang pertama kepada Zakharia (1:5-20) dan yang kedua kepada Maria (1:26-38). Dalam setiap peristiwa, penerima kabar gembira menanggapinya dengan memuji Tuhan (1:46-55; 1:67-79; 2:20).
Kata “kemuliaan” digunakan dalam Alkitab untuk menyebut berbagai hal yang menakjubkan, tetapi digunakan terutama untuk berbicara tentang kemuliaan Tuhan, sebuah aura yang dikaitkan dengan penampakan Tuhan yang menyingkapkan keagungan Tuhan kepada manusia. Meskipun kenyataannya penampakan malaikat yang melambangkan kekuasaan Tuhan merupakan hal yang menakutkan bagi para gembala. “Jangan takut” (Ay. 10a). Ini adalah kata-kata yang sama yang digunakan para malaikat dalam pemberitaannya kepada Zakharia (1:13) dan Maria (1:30). “Aku membawakan kepadamu kabar baik tentang kesukaan besar bagi seluruh bangsa” (Ay. 10b). Di sini Lukas yang adalah seorang bukan Yahudi, di awal Injil ini menegaskan bahwa Yesus adalah untuk semua orang dan bukan hanya untuk umat Israel saja.
Bangsa Romawi menganggap Kaisar Agustus sebagai penyelamat, namun Para malaikat memperkenalkan seorang penyelamat yang menjadi Juruselamat Dunia, yaitu “Kristus (Christos), Tuhan” (kurios ) (Ay. 11). Christos adalah bahasa Yunani dan Mesias adalah bahasa Ibrani, keduanya berarti “yang diurapi”. Pengurapan dengan minyak digunakan untuk menunjuk seseorang yang mempunyai peran penting. Dalam Perjanjian Lama, para nabi diurapi (1 Raja-raja 19:16). Para imam diurapi (Keluaran 40:13-15). Raja diurapi (1 Samuel 10:1; 16:3, 12-13; 2 Samuel 23:1; 1 Raja 1:39). Pengurapan ini mengakui bahwa orang-orang ini istimewa, dipanggil oleh Allah untuk memenuhi tugas-tugas jabatan khusus mereka. Perjanjian Baru berbicara tentang Yesus sebagai yang diurapi (Lukas 4:18; Yohanes 20:31; Kisah Para Rasul 5:42; Ibrani 1:9, dll.). Pengurapan-Nya membedakan Dia karena peran-Nya yang unik sebagai nabi, imam, dan raja.
Tanda yang harus diperhatikan oleh para gembala adalah “seorang bayi yang dibungkus dengan kain, terbaring di dalam palungan.” (Ay. 12). Seperti disebutkan di atas, potongan kain tersebut merupakan pakaian khas bayi yang baru lahir, namun palungan merupakan tanda yang membedakannya. Tidak akan ada bayi lain di sekitar situ yang terbaring di palungan pada malam itu. Itu juga merupakan tanda bahwa Tuhan telah memilih untuk bekerja melalui orang-orang biasa dan hal-hal lain untuk melahirkan seorang Mesias yang dapat diakses oleh orang-orang dari segala keadaan.
“Mari kita pergi ke Betlehem” (Ay. 15). Para gembala bisa dengan mudah berkata, “Pertama, izinkan saya mencari seseorang untuk menggembalakan dombanya.” Mereka bisa saja berkata, “Saya ingin pergi, tetapi saya dibutuhkan di sini.” Sebaliknya, seperti para nelayan yang akan meninggalkan perahunya dan pemungut cukai yang akan meninggalkan loket pajaknya, mereka mengindahkan seruan tersebut. Tidak puas memuji Tuhan dengan bibir mereka, mereka juga memuji Dia dengan kaki mereka, dengan pergi untuk melihat apa yang disampaikan malaikat kepada mereka.
Di saat para gembala sudah menemukan Yusuf dan Maria serta bayi dalam palungan, dengan antusias mereka menceritakan perkataan yang diucapkan malaikat kepada mereka tentang anak itu (Ay. 17). Hal itu membuat semua yang mendengar merasa takjub, bahkan Maria harus menyimpan dan merenungkan apa yang disampaikan para gembala di dalam hatinya (Ay. 18). Begitu kita mendapat kesempatan istimewa untuk mengalami kehadiran Allah, kita kemudian mempunyai tanggung jawab untuk membagikan pengalaman itu kepada orang lain untuk menyebarkan berita, untuk mewartakan Injil. “Para gembala kembali sambil memuliakan dan memuji Allah atas segala hal yang telah mereka dengar dan lihat, seperti yang diberitahukan kepada mereka.” (Ay. 20). Sama seperti orang-orang biasa yang kemudian menjadi saksi kebangkitan, begitu pula para gembala biasa yang menjadi saksi inkarnasi. Selain para malaikat, merekalah yang pertama memberitakan kabar baik kelahiran Yesus.
Benang Merah Tiga Bacaan:
Kehadiran para gembala di sekitar palungan bayi Yesus menunjukkan bahwa kabar sukacita kelahiran Juru Selamat berlaku bagi siapa saja. Meski para gembala adalah orang-orang yang tidak sempurna kehidupannya namun mereka mau bergerak maju menemukan bayi Yesus, seperti bangsa Israel yang diminta untuk bergerak maju membangun kota, jalan, dan memasang panji setelah bebas dari pembungan. Allah berjanji untuk setia mengasihi umat-Nya, namun umat-Nya juga diminta terus bergerak dan semangat berusaha di jalan yang sesuai dengan kehendak Allah untuk menyongsong janji Allah tersebut. Hidup sesuai dengan kehendak Allah adalah cerminan kehidupan umat Tuhan yang sudah dibenarkan dan mendapatkan anugerah keselamatan.
Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)
Pendahuluan
Yang terpikirkan oleh hampir semua orang sepanjang tahun ini adalah fantasi Natal yang sempurna. Fantasi ini memiliki berbagai versi, tetapi versi standarnya kira-kira seperti ini: Sebuah rumah tua yang menarik terletak dengan aman di sebuah desa, diliputi oleh gerimis hujan dan udara dingin yang segar di bulan Desember. Di dalam rumah, anggota keluarga besar sedang merayakan liburan mereka dengan penuh kebahagiaan. Orang tua menampung anak-anak mereka yang sudah dewasa dan cucu-cucu mereka yang masih kecil, saudara atau mungkin teman. Setiap anggota berhasil di sekolah, maju dalam karier, atau menikmati masa pensiun yang nyaman. Tidak ada seorang pun yang tidak seimbang secara mental, semua tersenyum lebar, tidak ada yang sakit parah, atau menganggur. Semua anggota keluarga rukun, tidak ada permusuhan, tidak ada dendam, tidak ada kata-kata kasar yang keluar. Di dalam rumah makanan berlimpah, meja makan penuh dengan makanan yang lezat, semua orang duduk menikmati makanan dengan canda dan tawa. Namun, realitasnya seringkali berbeda. Saat Natal tidak semua anggota keluarga memiliki kehidupan yang sempurna. Beberapa mungkin menghadapi masalah, seseorang yang berharga mungkin hilang dari lingkaran keluarga di Natal tahun ini, kesulitan ekonomi, kegagalan dalam usaha, ketidakcocokan dalam hubungan keluarga, atau kesulitan dalam menerima satu sama lain. Pertengkaran, perdebatan, dan ketidaksempurnaan muncul di antara mereka. Tidak semua anggota keluarga bisa pulang, masih kebingungan belum tahu kue natal dan tahun baru dibeli dengan uang apa? Fantasi ini menciptakan harapan yang sulit dipenuhi, menyebabkan frustrasi dan kekecewaan. Namun, jika kita melihat kembali ke cerita Natal, kita dapat menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan.
Isi
Orang-orang yang ada di sekitar palungan adalah orang-orang yang mempunyai masalah. Yusuf yang tiba-tiba harus melakukan perjalanan jauh untuk sensus dengan membawa tunangannya yang hamil besar. Maria yang setelah melakukan perjalanan sulit dipaksa harus melahirkan di dalam kandang dan bayi yang ditaruh dalam palungan jauh dari kata sempurna. Lalu kisah kelahiran Yesus di kandang dengan kehadiran para gembala yang memiliki kehidupan yang keras dan susah. Ini menunjukkan bahwa Natal sejati tidak sempurna, tetapi penuh kasih dan penerimaan. Dalam bacaan Injil hari ini, kita berhadapan dengan sekelompok gembala yang sangat terkejut dan ketakutan ketika tiba-tiba malaikat Tuhan muncul di dekat mereka, dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka, menyebabkan ketakutan yang mendalam. Takut adalah reaksi yang wajar dalam situasi seperti itu. Para gembala merasa heran dan takut karena mereka tidak mengharapkan bahwa berita besar ini akan disampaikan kepada mereka. Dalam benak mereka, menjadi gembala tidak membuat mereka layak menerima kabar gembira. Mereka mungkin bertanya dalam pikiran mereka, “Mengapa kabar baik ini disampaikan kepada kami, yang hanya sekelompok gembala?” Pada zaman itu, menjadi gembala dianggap sebagai pekerjaan rendahan di lapisan masyarakat. Para gembala tidak hanya menjaga domba-domba, tetapi juga bekerja sebagai buruh, tanpa memiliki kepemilikan atas ternak yang mereka jaga. Selain itu, kalangan Farisi dan Ahli Taurat pada masa itu melihat gembala sebagai orang yang hina dan dianggap tidak mampu menaati hukum Taurat. Tetapi dalam kisah kelahiran Yesus ini, Tuhan memilih memberitakan kabar sukacita kepada para gembala, ini menunjukkan bahwa pesan-Nya tidak memandang status sosial atau kedudukan. Kabar gembira itu disampaikan kepada mereka yang mungkin dianggap rendah oleh dunia, tetapi dihargai oleh Tuhan. Hal ini mengajarkan bahwa kehadiran Yesus datang untuk semua orang, tanpa memandang latar belakang atau status sosial, dan bahwa kabar sukacita itu adalah anugerah bagi setiap jiwa yang mau menerima.
Natal tidak akan memiliki makna apa pun bagi para gembala yang ketakutan jika mereka memilih untuk tetap dalam ketakutan dan tidak melangkah maju untuk menyambut kabar sukacita itu! Setelah malaikat Tuhan itu pergi dan kembali ke sorga, gembala-gembala tersebut saling berbicara, satu kepada yang lain, dengan kata-kata penuh keberanian, “Mari kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang telah diberitakan Tuhan kepada kita.” Tanpa ragu, mereka segera melangkah maju dan mendapati Maria, Yusuf, dan bayi Yesus berbaring di dalam palungan. Apabila Natal diartikan sebagai manifestasi perjuangan Allah dalam menyelamatkan umat manusia melalui kelahiran Putera Natal, Yesus Kristus, hal ini menjadi Kabar Baik Natal yang membanggakan. Namun, mari kita tidak melupakan peran kita dalam narasi ini, sebagaimana yang dilakukan oleh para gembala dalam perikop kita. Mereka aktif menyambut perjuangan Allah dengan tindakan konkret. Begitu juga kita, dengan keputusan pribadi untuk mengambil langkah, bergerak maju, mencari, dan akhirnya menemukan Kristus, kita dapat memuji dan memuliakan karya penyelamatan Allah melalui Yesus.
Semangat untuk terus bergerak dan melangkah maju juga diperintahkan Tuhan melalui nabi Yesaya. Saat itu, orang-orang yang sebelumnya diasingkan di Babilonia telah tiba di Yerusalem. Mereka diberi tugas untuk melewati gerbangnya. Tanggung jawab mereka tidak hanya sebatas membangun kembali kota, tetapi juga membangun jalan raya menuju kota tersebut (Yes. 62:10). Ini berarti bahwa mereka tidak hanya mempersiapkan tempat tinggal bagi mereka sendiri, tetapi juga membuka jalan bagi bangsa lain. Pembangunan jalan raya dan pengibaran panji memiliki tujuan ganda, yaitu memudahkan kesaksian kepada bangsa-bangsa lain dan menyediakan sarana bagi kepulangan sisa-sisa orang yang telah diasingkan. Panji atau bendera berfungsi sebagai mercusuar, yang membimbing mereka yang masih dalam perjalanan. Lebih dari itu, panji menjadi sumber semangat dan inspirasi bagi umat yang menghadapi tantangan sebelum kota mereka dibangun kembali. Ketika mereka memalingkan perhatian dari reruntuhan dan melihat panji, mereka diingatkan akan kehadiran Tuhan di tengah-tengah mereka dan kesetiaan Tuhan yang memimpin mereka keluar dari pengasingan. Ini juga berkaitan dengan janji Tuhan mengenai kota yang tidak hanya akan dipulihkan, tetapi juga akan terkenal. Namun, untuk melihat janji-janji ini terwujud, mereka harus aktif dalam persiapan jalan, pembangunan, pembersihan dari rintangan, dan pengibaran panji. Meskipun Tuhan yang akan memastikan hasilnya, tetapi mereka tetap memiliki tanggung jawab untuk menjalankan pekerjaan yang telah ditugaskan kepada mereka. Meski telah diselamatkan oleh Tuhan, mereka tidak dapat hanya berdiam diri, mereka perlu bergerak dan bekerja sesuai dengan rencana Tuhan untuk memastikan janji-janji-Nya terwujud.
Seperti bangsa Israel yang diminta membangun kembali kota Yerusalem untuk membuka jalan bagi bangsa lain, begitu juga para gembala yang telah melihat bayi Yesus, mereka membagikan pengalaman mereka itu kepada orang lain dengan menyebarkan berita, mewartakan Injil. “Para gembala kembali sambil memuliakan dan memuji Allah atas segala hal yang telah mereka dengar dan lihat, seperti yang diberitahukan kepada mereka.” (Ay. 20). Selain para malaikat, merekalah para gembala biasa yang pertama memberitakan kabar baik kelahiran Yesus. Jadi jangan sampai ketidaksempurnaan dalam hidup membuat kita menjadi tidak bisa merasakan sukacita Natal, melupakan tugas panggilan kita menjadi saksi kasih-Nya bagi dunia. Jangan sampai permasalahan dalam kehidupan membuat kita melupakan kasih Allah dan ada di dalam kehidupan yang penuh dosa. Ingatlah bahwa kita adalah orang-orang yang sudah dibenarkan oleh kasih karunia-Nya (Titus 3:7), sehingga kita diminta untuk tetap melakukan pekerjaan baik (Titus 3:8). Kalau kita sudah menerima anugerah keselamatan dari Tuhan maka kita juga harus setia kepada Tuhan dengan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.
Penutup
Sebagai manusia, kita dapat belajar untuk melepaskan beban mencapai kesempurnaan dan menerima kebebasan dalam ketidaksempurnaan kita. Di sekitar palungan Natal, di antara orang-orang yang memiliki masalah dan kesulitan, kita dapat menemukan penerimaan yang mengejutkan. Inilah kebebasan Natal yang sejati, di mana kita diterima apa adanya oleh Tuhan yang mencintai kita tanpa syarat. Kedamaian dan sukacita selalu hadir ketika kita memiliki keberanian untuk mengatasi ketakutan dan kekhawatiran kita, serta mempercayai bahwa kabar sukacita itu nyata. Keberanian para gembala untuk mempercayai dan mengikuti kabar baik tersebut membawa mereka kepada pengalaman yang luar biasa. Demikian pula, ketika kita memiliki keberanian untuk menghadapi kehidupan dengan iman, kita dapat merasakan damai sejahtera yang diberikan Tuhan Allah melalui kelahiran Yesus Kristus. Tuhan memberkati kita semua. Amin. [M@ul].
Pujian: KJ. 120 Hai Siarkan Di Gunung
Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)
Pambuka
Ingkang dipun angen-angen dening kathah tiyang saben taun inggih punika ngraosaken Natal ingkang sampurna. Ingkang kinten-kinten mekaten wujud angen-angenipun: Ing sawijining papan utawi griya ingkang ayem, ing dusun kanthi swasana grimis lan hawa ingkang asrep seger ing wulan Desember. Sedaya brayat ageng sami nglempak kanthi sukabingah ing riyadin Natal. Para tiyang sepuh saged pepanggihan kaliyan para putra lan wayah, ugi sedherek lan rencang. Yoga lan wayah ingkang sekolah sami pinter, ingkang nyambut damel sami sukses karieripun, tiyang sepuh ngraosaken ayem ing mangsa pensiun. Mboten wonten anggota brayat ingkang nandhang karibedan, pengangguran utawi nandhang sakit. Sedaya brayat sami guyub rukun, mboten wonten singgetan kaliyan sedherek, mboten wonten tembung-tembung kasar ingkang medal. Ing riyadin Natal kebak jajan lan dedhaharan, sedaya brayat sami nglempak ngraosaken dedhaharan kanthi sukabingah. Nanging kasunyatanipun asring benten kaliyan angen-angen kalawau. Ing riyadin Natal mboten sedaya brayat kagungan gesang ingkang sampurna, mbok menawi ing riyadin Natal sak mangke taksih wonten karibedan ingkang dipun sanggi, masalah ekonomi, usaha ingkang seret, tiyang ingkang kita tresnani sampun mboten wonten malih ing satengah-tengah brayat awit sampun kapundhut dening Gusti, wonten singgetan kaliyan tiyang sepuh dan para sederek, para sedherek utawi yoga sami mboten akur, mboten sedaya brayat saged wangsul, bingung awit mboten sumerap jajan Natal lan warsa enggal dipun tumbas ngangge arta punapa? Angen-angen Natal ingkang sampurna kadosipun ewet sanget dipun gayuh, malah dadosaken kita rumaos gela lan kecalan daya. Nanging menawi kita mirsani malih cariyos Natal, kita saged manggihaken kasaenan sinaosa gesang mboten sampurna.
Isi
Para tiyang ing sakiwatengen palungan punika ugi para tiyang ingkang kagungan karibedan. Yusuf ingkang dumadakan kedah tindak tebih kangge sensus kanthi mbekta Maryam pacanganipun ingkang ngandhut ageng. Maryam ingkang ngandhut ageng sak sampunipun kedah tindakan tebih lan awrat kapeksa babaran wonten ing kandang lan jabang bayi kedah dipun salap wonten ing pamakanan ingkang tebih saking tembung sampurna. Lajeng cariyos bab wiyosipun Gusti Yesus wonten ing kandang ugi nyariosaken rawuhipun para pangon ingkang kagungan gesang ingkang awrat lan ewet. Punika sedaya ngetingalaken bilih Natal sejatosipun mboten sampurna, nanging kebak katresnan lan panampi. Wonten ing waosan Injil dinten punika kita pepanggihan kaliyan para panggon ingkang kaget lan ajrih nalika dumadakan wonten malaekating Allah jumeneng lan nyorot cahya kamulyanipun Allah. Para pangon rumaos gumun lan ajrih awit sami mboten nyana bilih pawartos ageng bab wiyosipun Sang Juruwilujeng badhe dipun wartosaken dhateng para pangon. Wonten ing pamanggihipun bilih para pangon sami rumaos mboten layak nampi pawartos ageng punika. Awit nalika semanten pandamelan dados pangon punika kagolong pandamelan ingkang asor ing masyarakat, dados buruh njagi menda ingkang sanes kagunganipun. Punapa malih wonten ing kalangan tiyang Farisi lan ahli Torah, para pangon punika kagolong umat ingkang dosa awit mboten saged netepi angger-angger Torah kanthi setya. Ananging wonten ing cariyos bab wiyosipun Sang Juru Wilujeng, Gusti Allah malah miji para pangon kangge nampi pawartos ageng ingkang bingahaken punika. Pawartos kabinggahan punika dipun tampi dening tiyang ingkang kaangep asor kaliyan donya nanging kaanggep aji dening Gusti. Bab punika memulang bilih Gusti Yesus rawuh kangge sedaya tiyang, pawarta kabinggahan punika ganjaran kangge saben tiyang ingkang purun nampi Sang Kristus.
Natal mboten badhe wonten tegesipun punapa-punapa menawi para pangon taksih ajrih lan mboten purun nampi pawarta kabingahan punika. Nanging sak pengkeripun malaekatipun Allah wangsul dhateng swarga, para pangon sami wawan rembug, “Ayo, padha menyang ing Betlehem, ndeleng apa sing wis kalakon ing kana, kaya sing wis dipangandikakake dening Pangeran marang kita.” Kanthi raos manah ingkang mboten mangu-mangu, para pangon lajeng purun lumampah bidal manggihi Maria, Yusuf, lan bayi Yesus ingkang dipun salap ing pamakanan. Menawi Natal punika wujud katresnanipun Gusti Allah paring kawilujengan dhumateng manungsa lumantar Sang Kristus Yesus, punika pawarta ingkang bingahaken sanget. Nanging, sampun ngantos kita kesupen tanggel jawab kita ing pakaryanipun Gusti punika, sami kados para pangon ingkang nampi katresnanipun Gusti kanthi tumindhak nyata, mekaten ugi kita kaajak purun kanthi manah ingkang mboten mangu-mangu lumampah maju nglajengaken gesang lan pungkasanipun saged ngraosaken katrenanipun Gusti Allah ing salebeting Sang Kristus.
Semangat kangge terus lumampah maju ugi dipun kersakaken Gusti Allah lumantar nabi Yesaya. Nalika semanten para tiyang ingkang sak derengipun wonten ing tanah pangawulan Babilonia sami wangsul dhateng Yerusalem lan dipun prentah kangge mbangun malih kutha Yerusalem. Tanggel jawab tiyang Israel mboten namung mbangun kutha kemawon, ananging ugi kedah mbangun margi kangge lumebet dhateng kutha. Punika tegesipun bilih tiyang Israel mboten namung nyawisaken papan kangge dhirinipun piyambak, nanging ugi kedah nyawisaken margi kangge bangsa sanesipun. Mbangun margi lan ngedekaken gendera punika nggadhahi teges supados sisa-sisa tiyang Israel ingkang tasih dereng wangsul saking Babilonia saged langkung gampil wangsul dhateng kutha Yerusalem. Gendera ingkang kapasang saged dados tenger kangge tiyang Israel ingkang badhe wangsul. Langkung saking niku, gendera ingkang ngadeg kapasang saged dados sumbering kakiyatan lan semangat tiyang Israel kangge mbangun malih kutha Yerusalem. Gendera ingkang kapasang tansah ngemutaken bilih Gusti tansah rawuh ing satengah-tengah umat lan kasetyan-Ipun sampun ngluwari umat Israel saking pangawulan ing Babilonia. Punika ugi gandheng kaliyan prastawanipun Gusti Allah bab kutha ingkang mboten namung dipun pulihaken malih ananging ugi kutha ingkang badhe kasuwur. Nanging kangge ningali prastawanipun Gusti saged kawujud, bangsa Israel kedah purun tandhang nyawisaken margi, mbangun, lan ngresiki kutha, ugi ngedhekaken gendera. Sinaosa Gusti Allah badhe ngetingalaken katresnan-Ipun, nanging bangsa Israel kedah purun nindakaken punapa ingkang dados ayahanipun. Sinaosa sampun dipun slametaken dening Gusti, bangsa Israel mboten saged namung mendel kemawon, piyambakipun prelu tumindak lan nyambut damel miturut punapa ingkang dipun kersakaken Gusti kangge mapag prastawanipun Gusti.
Sami kados bangsa Israel ingkang dipun suwun mbangun malih kutha Yerusalem kangge paring margi dhateng bangsa sanesipun, mekaten ugi para pangon ingkang sampun mirsani bayi Yesus, wangsul kanthi sukabingah lan martosaken punapa ingkang sampun dipun pirsani lan dipun raosaken dhumateng tiyang kathah. “Para pangon tumuli padha bali kalawan memuji lan ngluhurake Allah, marga sabarang kang wis dirungu lan wis dideleng, cocog karo kang wis dipangandikakake marang wong-wong mau.” Kajaba para malaekat, para pangon punika ingkang wiwitan martosaken kabar kabigahan bab wiyosipun Gusti Yesus. Dados sinaosa gesang kita mboten sampurna, sampun ngantos damel kita mboten saged ngraosaken kabingahan ing riyadin Natal punika, sampun ngantos kesupen bab timbalan kita dados saksi katresnanipun Gusti kangge alam donya. Sampun ngantos momotaning gesang dadosaken kita kesupen kaliyan katresnanipun Gusti lan gesang ing salebeting dosa. Kita kedah emut bilih kita punika umat ingkang sampun kaleresaken awit sih rahmatipun Gusti (Titus 3:7), temahan kita dipun suwun tansah tumindak becik (Titus 3:8). Menawi kita sampun nampi sih rahmat saking Gusti, kita ugi tetep setya tuhu dhumateng Gusti kanthi gesang miturut punapa ingkang dipun kersakaken dening Gusti.
Panutup
Minangka manungsa, kita saged sinau ngeculaken momotan kangge nggayuh kasampurnaning gesang lan nampi kanthi mardika bilih gesang kita pancen mboten sampurna. Ing sakiwa tengen pemakanan papan bayi Yesus dipun salap wonten tiyang-tiyang ingkang kagungan karibedan ing gesangipun lan kita saged manggihaken panampi ingkang ageng. Punika kamardikan Natal ingkang sejati, ing pundi kita dipun tampi punapa ananipun kaliyan Gusti ingkang nresnani kita. Katentreman lan sukabingah tansah nunggil nalika kita wantun ngadepi punapa kemawon ingkang kita ajrihi lan dadosaken kita sumelang, lajeng pitados bilih pawartos kabingahan Natal punika saestu nyata. Awit para pangon wantun pitados lan nindakaken punapa ingkang sampun dipun pirengaken, bekta para pangon ing pengalaman gesang ingkang ngedap-edapi. Mekaten ugi nalika kita wantun ngadepi gesang kanthi pitados dhumateng Gusti, kita ugi saged ngraosaken katentereman lan karaharjan ingkang sampun dipun parigaken ing riyadin Natal punika. Gusti mberkahi kita sami. Amin. [M@ul].
Pamuji: KPJ. 229 Kabingahan Kang Sejati