Malam Natal
Stola Putih
Bacaan 1: Yesaya 9 : 1 – 6
Mazmur: Mazmur 96 : 1 – 13
Bacaan 2: Titus 2 : 11 – 14
Bacaan 3: Lukas 2 : 1 – 14
Tema Liturgis: Damai Sejahtera di Antara Manusia yang Berkenan kepada-Nya”
Tema Khotbah: Orang yang Sudah Berdamai Sejahtera Harus Berjuang Menghadirkan Damai Sejahtera bagi Sesamanya
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Yesaya 9 : 1 – 6
Para ahli percaya nabi Yesaya adalah seorang tokoh sejarah yang nyata dan hidup pada abad 8 SM (740-690 SM). Mereka menyimpulkan bahwa Yesaya sendirilah yang menulis bagian pasal 1-35 yang kemudian disebut sebagai Proto Yesaya. Para ahli meyakini bagian Proto Yesaya tersebut ditulis sebelum terjadinya pembuangan bangsa Israel ke Babilonia atau pada masa pemerintahan Uzia (783–742 SM), Yotam (750–735 SM), Ahas (735–715 SM), dan Hizkia (715–687 SM).
Meskipun Israel pada kala Proto Yesaya ini tidak berada dalam masa pembuangan, namun dapat dikatakan bahwa masa yang dihadapi oleh Bangsa Israel adalah masa yang tidak kalah kritis. Banyak di antara kerajaan terlibat dalam peperangan yang tidak berkesudahan. Hingga akhirnya, kerajaan Asyur yang notabene memiliki kekuatan yang lebih besar, berhasil mendominasi peperangan itu dan menjadikan kerajaan-kerajaan di dekatnya menjadi wilayah jajahannya, termasuk Israel. Israel yang jelas tidak memiliki kekuatan yang sebanding dengan bangsa Asyur memilih untuk kooperatif dengan bangsa itu dan ketika situasi berangsur-angsur sudah mulai kondusif, Israel pun kembali menegakkan kedaulatan bangsanya. Raja Hizkia yang mendapatkan dorongan Yesaya melakukan reformasi agama yang cukup besar untuk mengembalikan perjanjian dan memurnikan wujud-wujud peribadatan kepada Allah. Selama periode ini, pemberitaan Yesaya yang tadinya dipenuhi dengan ancaman dan peringatan menjadi pemberitaan yang bertemakan pengharapan dan optimistis tentang pembebasan dan berkat, sebagian besar mungkin untuk memuji usaha baik Hizkia, yang menjadi tokoh sejarah di balik citra dan harapan mesianik (pasal 9; pasal 11–12; pasal 32–33).
Sekalipun Yesaya menyadari keistimewaan yang dimiliki oleh Israel sebagai bangsa pilihan Allah, namun Yesaya pun senantiasa memperingatkan bangsa itu, bahwa mereka tidak luput dari amarah dan penghukuman Tuhan apabila mereka tidak hidup dalam kekudusan. Yesaya menghayati bahwa wujud dari penghukuman Allah itu nyata terjadi ketika Israel menjadi bangsa yang terjajah dan terkalahkan oleh bangsa lain akibat dosa dan pelanggaran yang mereka lakukan. Dengan kata lain, Israel telah hidup dalam kegelapan dan masa yang suram. Yesaya tampil menyampaikan firman Tuhan bahwa situasi itu akan berlalu. Karena terang akan menerangi kehidupan mereka. Mesias yang datang itu memancarkan terang. Yesaya bicara tentang Mesias yang akan datang, kedatangan-Nya membebaskan, bukan tindakan politis tetapi tindakan Mesianik.
Sukacita besar diberikan Tuhan. Kesukacitaan itu setara dengan sukacita pada waktu panen dan membagi-bagi banyak berkat. Kuk yang menekan, gandar yang di atas bahu, dan tongkat si penindas, sudah dipatahkan. Midian dipilih Yesaya sebagai contoh (cerita penaklukkan Midian dalam kepemimpinan hakim Gideon ada dalam Hakim-hakim 8). Tidak ada lagi penguasa di bumi yang akan menindas mereka. Segala sesuatu yang menjadi simbol kekerasan dan kematian akan dimusnahkan. Situasi kehidupan yang tidak menyenangkan dan tanpa sukacita itu akan berakhir.
Semua ini dilakukan oleh Allah melalui kehadiran seorang Anak. Anak tersebut akan dilahirkan melalui proses manusiawi sebagaimana manusia pada umumnya, yaitu melalui proses persalinan akan lahir di tengah-tengah bangsa itu. Anak yang diberi kekuasaan oleh Allah di atas bahunya, penguasa yang akan menggantikan para penguasa yang menindas sesamanya manusia. Namanya disebut oleh Yesaya sebagai Penasihat Ajaib, Allah yang perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.
Penasihat Ajaib adalah penuntun dan pembimbing yang sesuai dengan kehendak Allah. Ia menjadi penasihat karena hikmat-Nya melebihi hikmat dunia. Dia sendiri adalah Allah yang Perkasa, yang adalah pejuang yang melindungi kita dari kuasa-kuasa penindas yang membawa kematian. Dia juga akan disebut Raja Damai, karena Dia akan menjadi pemimpin yang mendatangkan damai dan kesejahteraan. Penasihat Ajaib berperan membimbing, Allah yang perkasa sebagai pelindung, Bapa yang Kekal sebagai penyedia kebutuhan, Raja Damai sebagai yang membawa kedamaian dalam kepemimpinan-Nya. Nubuat akan kedatangan Mesias ditegaskan asal usulnya, yakni dari keturunan Daud. Sang Anak akan dikenal karena Ia akan menjadi pemimpin yang menghadirkan damai, keutuhan, kesejahteraan yang tidak berkesudahan. Keadilan dan kebenaran adalah bukti bahwa kepemimpinan yang Dia bawa adalah kepemimpinan yang benar-benar berdaulat.
Titus 2 : 11 – 14
Surat yang dikategorikan sebagai surat pastoral ini ditujukan kepada Titus yang merupakan teman sekerja Paulus. Titus diyakini sebagai seorang yang bukan Yahudi, yang menjadi pengikut Kristus dan kemudian mengikuti rombongan Paulus. Paulus juga mengutusnya untuk membantu pelayanannya di Korintus. Dalam surat ini, Titus digambarkan sebagai orang yang sangat setia. Oleh karena kesetiaannya, Paulus menaruh kepercayaan yang besar kepada Titus. Dalam perjalanan, Paulus meninggalkan Titus di Kreta dan diberi tugas untuk membina jemaat-jemaat baru di sana. Selain ditujukan kepada Titus, surat ini juga ditujukan kepada semua anggota jemaat.
Apabila fokus pada perikop yang menjadi bacaan kita hari ini (pasal 2:11-14), ini merupakan nasihat yang ditujukan kepada orang-orang percaya untuk senantiasa memahami anugerah karya penyelamatan Allah dan bagaimana seharusnya mereka meresponnya. Maka kita dapat menjumpainya pokok-pokok yang disampaikan meliputi: Pertama, yaitu pernyataan bahwa oleh karena kasih-Nya, Allah menyelamatkan semua manusia (Ay. 11). Hal ini terbukti dari karya Allah yang melepaskan Israel dari Mesir, membebaskan mereka dari gangguan bangsa-bangsa di sekitarnya, memulangkan mereka dari pembuangan. Melalui Tuhan Yesus Kristus, Allah juga telah mentahirkan mereka yang menderita penyakit kusta, mencelikkan mata yang buta, membebaskan perempuan berzinah dari hukuman rajam. Pembebasan dan keselamatan itu tidak hanya kepada orang Yahudi saja, tetapi dinyatakan kepada semua orang. Anugerah keselamatan itu dialami oleh banyak orang.
Kedua, kasih karunia Allah itu mendidik kita supaya meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi (Ay. 12). Anugerah keselamatan tidak membiarkan kita hidup sembrono. Oleh karena anugerah keselamatan yang telah diterima oleh manusia, seharusnya itu dapat menggerakkan mereka untuk tetap menjalani pola hidup kudus. Allah mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil, dan beribadah di dalam dunia sekarang ini. “Mendidik” – mengajar, melatih, mendisiplin, mengoreksi, dan membimbing bertujuan agar seseorang memahami sesuatu dan melakukannya. Dampak dari anugerah keselamatan adalah kemenangan atas kuasa dosa. Kita memperoleh kuasa untuk mengalahkan kuasa yang menyeret kita kepada kejahatan. Kita semakin “bijaksana” – pikiran yang sehat, kesadaran yang baik, kepala dingin, tenang, sabar, hati-hati dalam bertindak, menunjukkan penguasaan diri. Kita juga bisa “adil” – jujur, tulus, bertindak dengan tepat dan baik serta kita bisa “beribadah” – penuh iman, kehidupan yang saleh, pengabdian diri.
Ketiga, kasih karunia Allah itu dinyatakan dengan menyerahkan diri Anak-Nya yang tunggal bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik (Ay. 14). Yesus Kristus mengurbankan diri-Nya di kayu salib untuk membebaskan kita dari ikatan dosa serta tidak akan membiarkan kita kembali pada keadaan itu. Kematian Yesus membebaskan kita dari perbudakan Iblis, dipisahkan dari dunia, dan dikhususkan untuk melayani Tuhan dalam kekudusan dan kebenaran.
Lukas 2 : 1 – 14
Injil Lukas adalah kitab pertama dari kedua kitab yang dialamatkan kepada seorang bernama Teofilus (Luk 1:1, 3; Kis 1:1). Walaupun nama penulis tidak dicantumkan dalam dua kitab tersebut, kesaksian yang bulat dari kekristenan mula-mula dan bukti kuat dari dalam kitab-kitab itu sendiri menunjukkan bahwa Lukaslah yang menulis kedua kitab itu. Lukas menulis Injil ini kepada orang-orang bukan Yahudi guna menyediakan suatu catatan yang lengkap dan cermat “tentang segala sesuatu yang dikerjakan dan diajarkan Yesus, sampai pada hari Ia terangkat” (Kis. 1:1-2). Lukas yang menulis dengan ilham Roh Kudus, menginginkan agar Teofilus dan para petobat bukan Yahudi serta orang-orang lain yang ingin mengetahui kebenaran akan mengetahui dengan pasti kebenaran yang tepat, yang telah diajarkan kepada mereka secara lisan (Luk. 1:3-4). Kenyataan bahwa tulisan Lukas ini ditujukan kepada orang-orang bukan Yahudi tampak dengan jelas di seluruh kitab Injil ini, misalnya, ia merunut silsilah Yesus sebagai manusia sampai kepada Adam (Luk. 3:23-38) – tidak hanya sampai Abraham – seperti yang dilakukan oleh Matius (bd. Mat 1:1-17). Dalam kitab Lukas, Yesus dengan jelas terlihat sebagai Juru selamat yang ilahi-insani, yang menjadi jawaban Allah bagi kebutuhan segenap keturunan Adam akan keselamatan.
Setelah menceritakan pelayanan Yohanes Pembaptis dan memberikan silsilah Yesus, Lukas kemudian menceritakan peristiwa kelahiran Yesus. Seperti dikisahkan dalam ayat 1-3, Yusuf dan Maria mematuhi maklumat umum Kaisar Agustus yang mewajibkan orang mencatatkan diri di kampung halaman leluhur. Sekalipun tidak ada arsip sejarah yang membuktikan bahwa maklumat seperti itu pernah dikeluarkan Kaisar Agustus, dapat dikatakan bahwa hal seperti itu bukannya tidak pernah terjadi sama sekali. Di sini Lukas mempergunakannya sebagai konteks kisah kedatangan Yusuf dan Maria ke Betlehem. Ini juga cara Lukas mengatakan Tuhan bahkan memakai pihak bukan-Yahudi untuk menjelaskan bagaimana Yesus tetap lahir di Yudea, tempat asal kaum Daud, dan bukan di Nazaret. Kelembagaan Yahudi sendiri kiranya tidak cukup. Bahkan lembaga itu sudah tak banyak artinya lagi. Seperti banyak orang asli Yudea lain, Yusuf dan Maria termasuk kaum yang “terpencar-pencar” hidup dalam diaspora di daerah bukan asal. Ironisnya, yang betul-betul masih bisa memberi identitas “orang Yudea” kini bukan lagi ibadat tahunan di Yerusalem, melainkan cacah jiwa yang digariskan penguasa Romawi.
Dalam ayat 4-5 disebutkan bahwa Yusuf pergi dari Nazaret ke Yudea “agar didaftar bersama-sama dengan Maria, tunangannya yang sedang mengandung”. Dengan cara ini mereka nanti akan resmi tercatat sebagai suami-istri di Yudea. Oleh karena itu, Yesus juga secara resmi juga akan tercatat sebagai keturunan Daud, baik bagi orang Yahudi maupun bagi administrasi Romawi. Dengan demikian, Lukas sedikit menyingkap apa yang nanti akan diutarakannya dengan jelas dalam Kisah Para Rasul, yakni kedatangan Juru Selamat bukanlah melulu bagi orang Yahudi, melainkan bagi semua orang di kekaisaran Romawi, bahkan bagi semua orang di dunia.
Menurut ayat 7, Maria melahirkan anak lelaki, anaknya yang sulung. Penyebutan “anak sulung” ini terutama dimaksud untuk menggarisbawahi makna yuridis, bukan biologis. Anak sulung memiliki hak yang khas yang tak ada pada saudara-saudaranya. Dalam hal ini hak sebagai keturunan Daud dengan semua keleluasannya. Oleh karena itu, ia juga nanti dapat mengikutsertakan siapa saja untuk masuk dalam keluarga besarnya. Anak bukan sulung tidak memiliki hak seperti ini.
Bayi yang baru lahir itu kemudian dibungkus dengan lampin dan dibaringkan dalam palungan. Ditambahkan pada akhir ayat 7 “karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan”. Tentu bukan maksud Lukas mengatakan bahwa mereka ditolak di mana-mana, itu terjadi karena tempat-tempat yang biasa sudah penuh para pengunjung yang mau mendaftarkan diri menurut maklumat Kaisar Agustus. Mereka akhirnya menemukan tempat umum yang biasa dipakai tempat istirahat rombongan karavan bersama hewan angkutan mereka, semacam stasiun zaman dulu. Tempat-tempat seperti ini memiliki beberapa kelengkapan dasar, misalnya palungan tempat menaruh makanan bagi kuda atau hewan tunggangan. Sekali lagi ini cara Lukas mengatakan kelahiran Yesus ini terjadi di tempat yang bisa terjangkau umum. Tempat seperti itulah tempat bertemu banyak orang. Maka dari itu, nanti para gembala dapat dengan cepat menemukan di mana Bayi Yesus dibaringkan.
Kelahiran Yesus yang diceritakan sebagai kejadian sederhana seperti di atas itu nanti dalam Lukas 2:8-14 diungkapkan para malaikat kepada para gembala. Mereka amat beruntung bisa menyaksikan perkara ilahi dan perkara duniawi dalam wujud yang sama. Orang diajak melihat bahwa yang terjadi sebagai kejadian lumrah belaka itu ternyata memiliki wajah ilahi. Bala tentara surga, para malaikat menyuarakan pujian kepada Allah. Dia yang Maha Tinggi kini menyatakan diri dalam wujud yang paling biasa bagi semua orang. Apa maksudnya? Kiranya Lukas mau mengatakan bahwa orang-orang yang paling sederhana pun dapat merasakan kehadiran Yang Ilahi dalam peristiwa yang biasa tadi. Dan bahkan mereka bergegas mencari dan menemukan kenyataan duniawi dari kenyataan ilahi yang mereka alami tadi.
Benang Merah Tiga Bacaan:
Dengan demikian, kita bisa menarik sebuah benang merah dari ketiga bacaan di atas, bahwa ketiganya berbicara tentang harapan dan janji keselamatan yang diberikan Allah kepada umat-Nya melalui kedatangan Sang Mesias. Dalam bacaan 1, kita melihat Yesaya sebagai nabi yang menyampaikan pesan pengharapan dan optimisme, khususnya melalui gambaran tentang Mesias yang akan datang. Meskipun umat Israel mengalami masa sulit dan hukuman atas ketidaksetiaan mereka, ada harapan bagi suatu kebangkitan dan pemenuhan janji Allah. Lukas menggambarkan kelahiran Yesus sebagai pemenuhan janji keselamatan yang telah diumumkan melalui nabi-nabi sebelumnya. Meskipun kelahiran-Nya terjadi dalam keadaan sederhana, para malaikat memberitahu gembala-gembala tentang kehadiran Mesias yang membawa sukacita besar bagi seluruh umat manusia.
Hal itulah yang kemudian dikuatkan oleh Titus dalam bacaan 2 yang mengajarkan tentang anugerah kasih karunia Allah yang membawa keselamatan kepada semua manusia. Melalui karya penyelamatan Kristus, umat-Nya diarahkan untuk hidup kudus dan menghindari kefasikan. Kasih karunia ini juga membawa pembebasan dari dosa dan mengarahkan umat-Nya untuk hidup dalam kekudusan dan kebenaran.
Keselamatan yang dibawa oleh Sang Mesias, yaitu Yesus sendiri mengharuskan kita untuk bersyukur dan tidak hanya menjadi umat yang diam tanpa melakukan sesuatu. Ketika kita menghayati bahwa anugerah keselamatan yang diberikan oleh Tuhan Yesus itu sebagai sesuatu yang pantas untuk kita syukuri, maka sudah seharusnyalah kita melakukan pekerjaan-pekerjaan baik dan hidup dalam kekudusan sesuai kehendak-Nya. Dengan demikian, harapan keselamatan yang datang melalui kedatangan Mesias, kasih karunia Allah yang membimbing umat-Nya menuju kehidupan yang kudus, dan pemenuhan janji keselamatan melalui kelahiran Yesus Kristus terwujud.
Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)
Pendahuluan
Kita tentu pernah mendengar sebuah ungkapan yang begini: “Orang itu akan merasa bahagia ketika melihat saudaranya sedih dan akan sedih ketika melihat saudaranya bahagia”. Entah siapa orang pertama yang mencetuskan ungkapan ini, kita tentu tidak dapat menelusurinya lebih jauh. Meskipun ungkapan ini hanyalah ungkapan yang bernuansa candaan, tetapi apabila ungkapan tersebut diungkapkan oleh seseorang yang benar-benar berhadapan dengan situasi yang sama persis, maka ungkapan tersebut dapat berubah menjadi keseriusan dan menciptakan ketegangan tertentu.
Dikatakan bahwa ungkapan tersebut bisa menciptakan suasana ketegangan antar hidup sesama bukanlah tanpa alasan. Bisa jadi orang lain yang mendengarkannya menjadi tersinggung terhadap seseorang yang mengungkapkannya. Orang lain dapat beranggapan bahwa keberadaannya tidak lebih daripada sosok yang selalu memiliki iri hati atas pencapaian yang dialami oleh orang lain, dipenuhi kedengkian atas sukacita yang dirasakannya, atau bahkan tertuduh memiliki rencana-rencana jahat terhadap seseorang yang mengungkapkan kalimat tersebut.
Terlepas dari ada atau tidaknya keseriusan dalam diri seseorang yang mengungkapkan kalimat tersebut, pada kenyataannya kita seringkali terjatuh pada pemaknaan bahwa perasaan “bahagia” atau “damai sejahtera” adalah perasaan yang sifatnya sangat pribadi atau personal. Memang tidak ada yang salah dengan pemaknaan itu, karena pada kenyataannya kita tidak bisa memaksakan perasaan bahagia atau damai sejahtera yang kita alami dapat menjadi perasaan bahagia dan damai sejahtera yang juga harus dialami oleh orang lain. Sebagai contoh: bagi sebagian orang, kegiatan memancing adalah kegiatan yang dapat menghadirkan kebahagiaan atau bahkan mampu menghadirkan kedamaian dalam hidupnya, sedangkan bagi orang lain belum tentu. Bagi sebagian orang pergi rekreasi ke pantai dan berjemur di sana adalah suatu kegiatan yang dapat menghadirkan kebahagiaan bahkan mampu menghadirkan kedamaian dalam hidupnya, sedangkan bagi orang lain belum tentu. Tentu masih ada begitu banyak kegiatan-kegiatan yang dianggap dapat menciptakan kebahagiaan atau damai sejahtera pribadi namun belum tentu dapat dirasakan oleh orang lain.
Sekali lagi tidak ada yang salah dengan pemaknaan bahwa bahagia atau kedamaian itu sifatnya personal. Namun akan menjadi masalah ketika dengan pemahaman tersebut kita jatuh pada ekstrim pemaknaan yang lain sehingga kita enggan atau ragu untuk mengupayakan dan menghadirkan kesenangan, kebahagiaan, dan damai sejahtera bagi orang lain dan orang-orang di sekitar kita: “saya kan tidak tahu apa yang menjadi sumber kebahagiaan atau damai sejahtera orang lain, sehingga saya tidak perlu susah-susah menghadirkannya.” Atau bahkan bisa jauh lebih ektrim lagi bila kemudian kita jatuh pada egosentrisme dengan hanya berfokus pada upaya membahagiakan atau mencari damai sejahtera diri sendiri.
Isi
Karya keselamatan yang dikerjakan Allah melalui Yesus Kristus tidak serta merta berbicara tentang anugerah keselamatan itu sendiri. Karena apabila karya keselamatan itu hanya berbicara tentang anugerah keselamatan itu sendiri, para Rasul dan nabi-nabi terdahulu tentu tidak akan repot-repot menceritakan detail-detail bagaimana cara Allah memberikan anugerah kesalamatan itu kepada manusia. Melalui detail-detail yang diceritakan dalam Alkitab tentang bagaimana cara Allah menyelamatkan manusia, kita diajak untuk berefleksi dan turut bekerja bersama Allah dalam menjalankan karya keselamatan tersebut.
Kisah kelahiran Tuhan Yesus yang diceritakan oleh Lukas diawali dengan dijalankannya kebijakan Kaisar Agustus untuk mendata jumlah segenap warganya. Kebijakan tersebut mendorong Yusuf dan Maria untuk berjalan dari kota Nazaret menuju ke Betlehem supaya keberadaan mereka turut terdaftar di dalamnya. Setelah proses pendataan keluarga Yusuf dan Maria itu selesai dilangsungkan, tibalah waktunya bagi Maria untuk melahirkan bayi Yesus yang ada dalam kandungannya. Dikarenakan tidak ada satupun penginapan yang tersedia bagi mereka, maka proses persalinan itupun dilakukan dengan fasilitas yang sangat sederhana, bahkan tidak layak. Bayi Yesus itupun dilahirkan di kandang domba, dibungkus dengan kain lampin, dan dibaringkan di palungan.
Sampai di sini, kita dapat berefleksi bahwa karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus dihadirkan melalui cara yang sederhana bagi manusia. Bahkan tidaklah salah apabila kita mengatakan bahwa kesederhanaan itupun juga dibalut dengan berbagai macam tantangan. Meskipun Lukas tidak menjelaskan tantangan-tantangan itu secara lebih mendetail (berbeda dengan Matius), namun kita pun tahu bahwa berbagai situasi yang dihadapi oleh Yusuf dan Maria pada detik-detik menjelang bayi Yesus dilahirkan adalah situasi yang tidak mudah. Singkatnya, karya keselamatan yang mendatangkan damai sejahtera itu dikerjakan oleh Allah melalui cara yang sederhana dan bahkan diliputi dengan berbagai macam tantangan.
Kita pun juga dapat mencoba menempatkan diri berada pada posisi Yusuf dan Maria yang pada kisah kelahiran Yesus ini menjadi perantara. Sejak awal mula Maria ditunjuk untuk mengandung bayi Yesus, posisi Maria pun diliputi dengan tantangan. Dalam tradisi Yahudi, hanya hukuman rajam yang pantas diberlakukan bagi seorang perempuan yang mengandung tanpa melalui proses pernikahan. Tentu Maria yang hidup dalam tradisi Yahudi sangat mengetahui tradisi tersebut, menerima tawaran dari Allah untuk menjadi sarana karya keselamatan Allah merupakan pergumulan yang tidak ringan bagi dirinya. Namun Maria pada akhirnya menyerahkan hidupnya untuk dapat menjadi perantara karya keselamatan Allah tersebut.
Demikian pula apabila kita menempatkan diri dalam posisi Yusuf yang pada saat itu mengetahui bahwa Maria mengandung bayi yang bukan berasal dari darah dagingnya secara langsung, tentu hal tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi seorang Yusuf. Yusuf benar-benar ditantang untuk dapat menerima kondisi itu, menempatkan suasana batin dan psikologis seturut dengan kehendak Allah. Jika Yusuf terbawa dalam egonya sebagai seorang laki-laki, jangankan mau tetap setia, menemani Maria berjuang dengan bayi Yesus yang dikandung sampai dengan proses kelahirannya, mungkin Yusuf sudah membatalkan pertunangan itu sejak semula.
Penutup
Menghayati anugerah keselamatan hanya pada batas relasi antara diri sendiri dengan Allah adalah sikap yang tidak tepat, karena cerita-cerita yang mendahului bagaimana karya keselamatan itu bisa terjadi menegaskan kepada kita bahwa di antara tokoh-tokoh yang menjadi perantara karya keselamatan itu “diharuskan” menanggalkan ego diri mereka masing-masing, secara tidak langsung dituntut untuk tidak hanya memikirkan kebahagiaan dan damai sejahtera bagi diri mereka sendiri.
Nabi Yesaya yang menyampaikan nubuatan keselamatan bagi Israel, hidup dalam posisi yang tidak mudah. Dia bisa saja membiarkan bangsa itu tetap hidup dalam keputusasaan karena peperangan dan penindasan yang mereka alami. Yesaya yang tadinya merasakan kenyamanan seorang diri di tempat persembunyiannya (bnd. Yes 8:11-22), diharuskan keluar dari zona nyamannya untuk dapat menghadirkan damai sejahtera itu bagi segenap bangsa Israel, mewartakan janji keselamatan Tuhan Allah dengan segala tantangannya.
Bersyukur secara pribadi atas anugerah keselamatan yang diberikan Allah kepada kita adalah baik. Namun apabila hanya berhenti pada titik tersebut, bisa dikatakan bahwa kita hanya memikirkan damai sejahtera itu untuk diri sendiri. Sebagaimana surat Paulus kepada Titus dalam bacaan kedua kita, rasa syukur atas anugerah keselamatan Tuhan Allah itu harus diwujud-nyatakan dalam perubahan perilaku menuju ke arah yang lebih baik, dan kita berupaya dengan sekuat tenaga agar kebahagiaan dan damai sejahtera yang kita rasakan juga dapat dirasakan oleh sesama kita. Sesederhana apapun wujud kebahagiaan dan damai sejahtera itu, serta seberat apapun tantangan dalam kita mewartakannya, marilah kita bagikan kepada sesama kita. Kiranya Tuhan senantiasa memampukan kita. Amin. [YEP].
Pujian: KJ. 83 : 1, 2, 3 Terbitlah Bintang Timur
Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)
Pambuka
Tamtunipun kita nate mireng salah satunggaling pitembungan ingkang mekaten suraosipun: “Saben tiyang punika badhe ngraosaken bingah nalika ningali sedherekipun sedhih lan badhe sedhih nalika ningali sedherekipun bingah”. Kita mboten mangertosi sinten tiyang ingkang ngrumiyini pitembungan punika, kita mboten saged madosi langkung tebih prekawis punika. Sanadyan pitembungan punika anamung pitembungan ingkang nggadhahi raos gegojekan, ananging bilih pitembungan punika dipun lairaken dening tiyang ingkang dipun aben ajengaken kaliyan swasana ingkang sami kawontenanipun, saged-saged pitembungan kalawau saged dados pitembungan ingkang estu-estu serius lan malah-malah mbeta swasana ndedeg.
Dipun sebat bilih pitembungan kalawau saged mbeta swasana dados ndedeg ing antawising gesang kaliyan sesami, karena tiyang sanes ingkang mirengaken nalika tembung punika dipun lairaken saged-saged muntab. Tiyang sanes kalawau saged nggadhahi pemanggih bilih kawontenanipun mboten sanes namung dados tiyang ingkang kebak raos meri tumrap berkah ingkang dipun tampi tiyang sanes, kebaking drengki tumrap kabingahan ingkang dipun raosaken dening tiyang sanes, malah-malah ngraosaken kadakwa nindakaken tumindhak awon dhateng tiyang ingkang nglairaken tembung kalawau.
Kajawi wonten punapa mboten wontenipun ketemenan ing tiyang ingkang nglairaken pitembungan punika, ing kasunyatanipun kita asring nggadhahi pemanggih bilih raos “sukabingah” utawi “ayem tentrem” punika sejatosipun raos ingkang asipat pribadi utawi personal. Pancen mboten wonten ingkang lepat saking pemanggih kados mekaten, karana ing kasunyatanipun kita mboten saged meksa raos kabingahan utawi ayem tentrem ingkang kita raosaken piyambak saged ugi dados raos kabingahan lan ayem tentrem ingkang dipun raosaken dening tiyang sanes. Contonipun: kangge tiyang tertamtu, mancing punika kalebet tumindak ingkang mbeta kabingahan ugi dados tuking ayem tentrem wonten ing pigesanganipun, nanging dereng tamtu kangge tiyang sanes. Kangge tiyang tertamtu, rekreasi dhateng pinggir ing segara lan panas-panasan wonten ing ngrika kalebet tumindak ingkang mbeta kabingahan ugi dados tuking ayem tentrem wonten ing pigesanganipun, nanging dereng tamtu kangge tiyang sanes. Tamtunipun taksih kathah tumindak-tumindak lintunipun ingkang kaanggep saged mbeta kabingahan utawi ayem tentrem sacara pribadi ananging dereng tamtu saged dipun raosaken dening tiyang lintunipun.
Sepindah malih, mboten wonten ingkang lepat saking pemanggih bilih kabingahan utawi ayem tentreming manah punika asipat pribadi. Ananging saged dados masalah bilih kanthi pemanggih punika kita dhawah wonten ing pemanggih ekstrim lintunipun, ing pundi kita dados tiyang ingkang mangu-mangu anggenipun badhe andum kasenengan, kabingahan, lan katentreman dhumateng tiyang ing sakiwa tengen kita: “aku kan ora ngerti apa kang dadi sumbering kabungahan utawa ayem tentreming wong liya, dadi aku ora prelu susah-susah ngupaya bab iku”. Utawi malah-malah kita dados tiyang ingkang nggadhahi egosentrisme kanthi mbudidaya kabingahan lan katentreman tumrap gesang kita piyambak.
Isi
Pakaryan kawilujengan ingkang dipun tindakaken Gusti Allah lumantar Gusti Yesus mboten anamung mandeg wicanten bab kawilujengan punika piyambak. Karana bilih pakaryaning kawilujengan punika namung mandeg wicanten bab kawilujengan punika piyambak, para Rasul lan para nabi-nabi tamtunipun mboten prelu nyariosaken prekawis-prekawis kanthi njlimet kados pundi caranipun Gusti Allah paring ganjaran kawilujengan punika dhateng manungsa. Lumantar cariyos-cariyos ingkang njlimet ingkang dipun serat wonten ing Kitab Suci punika, kita sami kaajak sinau lan ngraos-ngraosaken lajeng purun dados rencang damelipun Gusti Allah anggenipun ngupadi nindakaken pakaryan kawilujengan punika.
Cariyos wiyosipun Gusti Yesus ingkang dipun serat dening Lukas kawiwitan kaliyan cariyos Sang Nata Agung Agustus ingkang ngupadi ngetang pinten cacahipun warga wonten ing negari ingkang dipun kuwaosi. Tumindaking Sang Nata Agung Agustus punika dados panuntun kangge Yusuf lan Maryam ngupadi mlampah saking kutha Nazaret tumuju Betlehem supados saged kaetang wonten ing cacah jiwa punika. Sakmantunipun Yusuf lan Maryam kalawau kacacahaken, dumugi wancinipun kangge Maryam mbabaraken Gusti Yesus ingkang dipun kandhut. Karana mboten wonten panginepan ingkang saged dipun agem kangge babaran, babaran punika dipun tindakaken kanthi fasilitas ingkang punapa wontenipun kemawon, malah-malah saged kasebat mboten pantes. Gusti Yesus wiyos wonten ing kandanging mendha, dipun gedhong lan dipun salap wonten ing pemakanan.
Dumugi ngriki kita saged ngraos-ngraosaken bilih pakaryan kawilujengan Gusti Allah lumantar Gusti Yesus dipun babaraken kanthi cara ingkang sakderma kemawon kangge manungsa. Malah-malah mboten lepat kita nyebat bilih cara ingkang sepele kalawau ngadhepi mawarni-warni tantangan. Senaosa Lukas mboten paring katrangan sacara njlimet bab tantangan kalawau (benten kaliyan Matius), nanging kita mangertosi bilih sadengah kahanan ingkang dipun adhepi dening Yusuf lan Maryam ing sak celaking wekdal Gusti Yesus badhe miyos punika sanes kahanan ingkang gampil. Sacara singkat, pakaryan kawilujengan ingkang mbeta tentrem rahayu punika dipun tindakaken Gusti Allah kanthi cara ingkang sakderma kemawon malah-malah dipun kebaki kaliyan mawarni-warni tantangan.
Kita ugi saged nyobi mapanaken dhiri kita wonten ing pigesanganipun Yusuf lan Maryam ingkang kapiji dados sarana wiyosipun Gusti Yesus. Ing wiwitan Maryam dipun piji kangge ngandhut Gusti Yesus, kawontenan Maryam tamtunipun inggih dipun kebaki kaliyan tantangan. Wonten ing adat-tata caranipun Yahudi, tiyang estri ingkang ngandhut tanpa nenikahan punika saged nampeni paukuman pati kanthi dipun rajam. Tamtunipun Maryam ingkang nglampahi gesang ing satengah-tengahing adat-tata caranipun Yahudi mengertosi bab punika, nampi timbalanipun Gusti Allah supados purun dados sarana pakaryan kawilujengan-Ipun saestu dados sesanggen ingkang mboten enteng. Ananging ing wusana, Maryam masrahaken pigesanganipun kangge dipun agem dados sarana pakaryan kawilujenganipun Sang Yehuwah.
Mekaten sacara mligi kita mapanaken dhiri wonten ing pigesanganipun Yusuf ingkang rikala semanten mangertosi bilih Maryam ngandhut sang Putra ingkang sanes turunipun, tamtunipun prekawis punika dados tantangan kangge Yusuf. Yusuf estu-estu katantang supados saged nampi kahanan punika, mapanaken manah lan pamikiranipun miturut karsanipun Gusti. Bilih Yusuf namung nengenaken egonipun piyambak minangka tiyang kakung, mesthinipun Yusuf mboten purun nglajengaken lelampahing pacangan kaliyan Maryam.
Panutup
Ngraos-ngraosken rahmating kawilujengan namung mandeg ing dhiri pribadi kaliyan Gusti punika pemanggih ingkang kirang cocog, karana cariyos-cariyos ingkang miwiti kados pundi pakaryan kawilujengan punika negesaken dhateng kita sami bilih tiyang-tiyang ingkang kapiji dados sarana pakaryan punika kawajibaken ninggal ego dhirinipun piyambak, supados mboten namung nggalih kabingahan lan tentrem rahayu kangge dhirinipun piyambak.
Nabi Yesaya ingkang medhar wangsit kawilujengan tumrap Israel nglampahi gesang ingkang mboten gampil. Piyambakipun saged kemawon nglilani bangsa punika tansah ngalami panyamah karana perang lan panindhes ingkang dipun adhepi. Yesaya ingkang sejatosipun sampun ngraosaken ayem wonten ing pandhelikipun (band. Yes 8:11-22), kawajibaken medal saking zona nyaman-ipun kangge medar tentrem rahayu punika dhateng bangsa Israel, mbabaraken janji kawilujengan sanaosa kathah tantangan ingkang dipun adhepi.
Saestu sae bilih kita saged ngucap sokur tumrap rahmat kawilujenganipun Gusti ingkang dipun paringaken dhateng kita. Ananging bilih kita namung mandel ing babagan punika, kita saged kasebat tiyang ingkang namung nggalih katentreman kangge dhiri kita piyambak. Kadosdene seratipun Rasul Paulus dhumateng Titus ing waosan kaping kalih, raos sokur tumrap rahmat kawilujengan ingkang dipun paringaken dhateng kita punika kedah dipun wujudaken kanthi estu wonten ing pigesangan kita. Kita purun ngupadi supados kabingahan lan tentrem rahayu ingkang kita raosaken ugi saged dipun raosaken dening sesami kita. Senaosa sepele wujuding kabingahan lan kantentreman ingkang saged kita dumaken, mbok menawi ugi awrat tantangan ingkang kedah kita adhepi, mangga kita tetap ngupadi supados kabingahan lan katentreman punika saged estu dipun raosaken dening sesami kita. Mugi Gusti tansah paring kesagedan dhateng kita sami. Amin. [YEP].
Pamuji: KPJ. 266 : 1, 2, 3 Nulada Mring Sang Pamarta