Bersikap Jujur, Rendah Hati dan Cermat Memahami Tanda-tanda Jaman Khotbah Minggu 30 Agustus 2020

17 August 2020

Minggu Biasa – Penutupan Bulan Pembangunan GKJW
Stola Hijau

Bacaan 1 : Keluaran 3 : 1 – 15
Bacaan 2 :
Roma  12 : 9 – 21
Bacaan 3 :
Matius  16 : 21 – 28

Tema Liturgis:  Hidup Menurut Jalan yang Ditunjukkan Tuhan
Tema Khotbah:
Bersikap Jujur, Rendah Hati dan Cermat Memahami Tanda- tanda Jaman

Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

Keluaran 3 : 1 – 15
Teophani (Penyataan) Yahweh kepada Musa dalam wujud yang melebihi batas-batas natural; bahwa IA sanggup menampakkan diri dalam wujud semak berduri terbakar namun tidak menjadi arang (Bhs. Jawa “Gosong”) menunjukkan ke-Mahakuasaan Illahi. Namun sekaligus menunjukkan hakikat Sang Tuhan yang selalu dinamis berkarya dalam sejarah kehidupan ini nyata. Ia proaktif merancang, mencipta, memperbaharui dan menyelamatkan ciptaan-Nya yang telah rusak karena keberdosaan manusia.

Bahwa kisah ini tentu sangat terkait dengan “Master plan”(Rencana Utama dan besar) Tuhan sejak awal Ia mengikat perjanjian dengan umat ciptaan-Nya mulai era Adam; pemilihan dinasti Abraham dan sekarang era Musa (Kej. 12:3; 18:18; 22:18; 26:24; 28:14). Di dalam era Musa ini secara nominal, bangsa Israel telah menjadi sebuah entitas besar namun terjajah di Mesir (diluar tanah Perjanjian); Sekitar tahun 1633- 1491 SM atau sekitar 142 tahun, sejak kematian Yusuf. Musa memang menjadi tokoh utama dalam kitab Keluaran (ada nubuat tentang seorang Nabi yang akan datang dalam Ul. 18: 15. Musa menjadi ‘protipe’nya Nabi ini kelak), namun sekaligus Musa hanyalah bagian kecil dari rancangan Illahi dalam penyelamatan ciptaan-Nya secara keseluruhan. Hal ini nampak dalam garis besar kitab Keluaran yang lebih penekanan pada tindakan Allah saja :

  1. Kel. 1:1 – 15:21 berisi pembebasan Israel dari perbudakan di Mesir.
  2. Kel. 15:22 – 40:38 berisi kisah pernyataan Allah di Gunung Sinai (Membingkai pemberian 10 hukum kepada Israel). Bahkan secara naratif, kisah Musa adalah sebagian episode saja dari seluruh rangkaian Sejarah Penyelamatan Ilahi sejak dikisahkan dalam kitab Kejadian (Penciptaan) hingga Kitab Ulangan (Pentateuch atau “lima Kitab Musa”).

Hal menarik dalam kisah ini setidaknya ada 3 (tiga) hal :

  1. Bahwa Penyataan Allah tentang Nama-Nya: “Ehyeh asher Ehyeh”; AKU ADALAH AKU (Kel. 3:14). Menunjukkan tentang hakikat ke-MAHA-KUASAAN TUHAN. Kelak tradisi umat Israel menyingkat “Nama Tuhan” dalam Bahasa Ibrani hanya huruf mati/konsonan saja (YHWH; Tetragrammaton) tanpa vocal. Sengaja agar tidak diucapkan (berhenti pada Bahasa tulisan saja); menunjukkan sikap Israel dalam hal takut dan hormat menyebut nama Tuhan (Band. Kel. 20:7). Untuk keperluan pujian bagi Sang TUHAN, maka tradisi penulisan Perjanjian Lama, dicarilah padanan kata lain yaitu: El, Elohim dan Adonai (Kurios; dalam versi terjemahan Alkitab Yunani LXX; Septuaginta). Pernyataan Allah ini kelak mewarnai Kristologi Injil Yohanes nampak dalam figure Mesias atau Domba Allah yang perkasa/ pahlawan (Ungkapan “Akulah” yang dalam konstruksi kalimat berbahasa Yunani: ‘EGO EIMI’. Hal yang sering muncul dalam pernyataan Yesus: ”Akulah terang dunia”; Ego Eimi tou phos tou Kosmou, Yoh.8:12, 9:5; “Akulah Roti Kehidupan”, Ego Eimi ho artos tis zois; ” Akulah…dst”). Agak beda gambaran Kristologi dalam Injil Matius: Yesus adalah Mesias yang betul-betul menderita sengsara. Atau Domba korban yang taat; tanpa mengembik dan lemah (menderita). Yesus dicambuk, diludahi, diolok- olok tanpa membalas sama sekali.
  2. Penyataan Allah (Yahweh) kepada Musa ini menunjukkan kedaulatan Tuhan atas sejarah penyelamatan ciptaan-Nya. Sehingga berhadapan dengan Sang Tuhan, Musa mengalami perasaan takjub, hormat, takut namun penuh kecintaan (Mysterium tremendum et fascinan). Karena wibawa Illahi itu, saat Musa diutusNya, mau tidak mau hati Musa tidak sanggup menolak panggilan tersebut. Tokoh Musa sebagai keturunan Ibrani (Israel) sejak awal kelahirannya, Tuhan telah mempersiapkannya sebagai seorang ‘leader pembebas umat’. Tampak dalam sejarah, melalui lika-liku kisah Firaun yang menindas dan berusaha menjadikan Israel tak berdaya dibawah kekuasaannya. Tapi Yahweh sanggup (berdaulat) menggerakkan hati bidan Sifra dan Pua yang diperalat Firaun untuk membunuhi para bayi pria Ibrani, justru malah memakai para bidan ini menjadikan salah satu bayi pria selamat (Kel. 1:15-17). Yaitu Musa yang kemudian diadopsi istri Firaun yang “gabug” alias mandul tak punya anak. Dengan demikian Musa di dalam lingkungan istana pastilah sudah dibekali “Ilmu sastrawi, politik, budaya” hingga “ilmu kanuragan”(strategi perang) sebagai “pangeran yunior Firaun”. Kesadaran diri anak seorang penguasa-pun kelihatan dalam arogansi Musa ketika membela pertikaian antara tentara Mesir dengan pekerja atau “budak ibrani” saudara Musa sesuku. Dengan cara membunuh (menentukan sendiri atas nasib hidup dan mati seseorang) tentara Mesir yang notabene adalah serdadu bapak angkatnya (Firaun) sendiri. Sekaligus dari peristiwa itu sebenarnya, menunjukkan pertentangan batin kenyataan akan kesadaran diri Musa, bahwa ia sebetulnya adalah bagian dari Israel, umat terjajah tapi disisi lain Musa mempunyai kedudukan pangeran muda Mesir juga.
  3. Di dalam pelarian Musa di tanah Midian akibat kecerobohanya membunuh serdadu Firaun “ayahnya” , Musa menjadi menantu Imam Yitro (Kel. 2:21- 22). Di masa ini pastilah juga ada bagian proses penggemblengan diri Musa yang secara rohani sangat maju pesat. Hal ini nampak ketika terjadi perjumpaan dengan Sang Yahweh . Kesadaran diri Musa berbanding terbalik dengan ketika ia masih menjadi Pangeran di Mesir. Kerendahan hati, kejujuran diri secara etis terlihat dalam tanggapan Musa ketika merasa “ditimbali Gusti” (dipanggil Tuhan) untuk menjadi Duta-Nya. Musa harus bersedia rendah hati mengakui kedaulatan Allah terhadap pemanggilan dirinya disamping sebagai pemimpin umat, sekaligus dia hanyalah Hamba Allah. Sehingga ‘kekurangan’ (keterbatasan ketidak- fasihan berbicara) diri yang diakui Musa kepada Tuhan, dilengkapi Tuhan dengan penunjukkan Harun oleh Tuhan; yang kelak membantu kepemimpinan Musa. (Kel. 4:14,16).

Roma 12 : 9 – 21
Dalam surat Roma yang adalah kesaksian Rasul Paulus ini, ia memberikan penekanan pada teologi keselamatan manusia. Ia menyatakan bahwa kehidupan manusia yang telah rusak akibat dosa hanya bisa ‘disembuhkan’ jikalau manusia mau berdamai dengan Allah. Caranya adalah mengakui serta berlaku setia hidup dalam kasih karunia penebusan Allah di dalam Kristus sebagai bentuk rekonsiliasi/pendamaian dengan Tuhan. Bermodalkan pembebasan Kristus yang hanya karena anugerah semata (Soli  gratia; Psl. 1:5), maka manusia bisa hidup benar (atau pembenaran karena kasih karunia Tuhan, bukan benar menurut parameter pikirannya sendiri). “Pembenaran” oleh Tuhan yang sedemikian rupa, dalam terminologi bahasa Yunani diistilahkan oleh Paulus dengan kata “Dikaiousune” (Roma 3:24). Kebenaran (Adil dan benar; Inggris : Justice)  ini berbeda dengan “Aletheia”= Kebenaran Allah yang mutlak (band. Yoh. 14:6); (Bhs. Jawa : Yekti atau dalam bahasa Inggris : Truth). Untuk selalu hidup benar (pembenaran oleh Tuhan), dibutuhkan Iman (Roma 3: 22). (Bahasa Yunani Iman = Pistis. Didalamnya terkandung sikap setia, bergantung pada Allah dan hidup konsisten, istiqomah  dengan apa yang diyakininya).

Dalam bagian Surat Roma ini (Psl. 12), Paulus menggambarkan bahwa manusia Kristen sedang hidup ditengah kultur, budaya keberdosaan yang sia- sia (Masyarakat Kota Roma merupakan warga kosmopilitan. Terkadang budaya tinggi (penonjolan Intelektualitas) yang sedemikian rupa, seringkali tidak selalu berbanding lurus dengan pola hidup kesusilaan/etikanya). Agar duniapun menjadi selamat, orang beriman harus menunjukkan jati diri hidup kudus dalam segala hal. (Bahasa Jawa “Sinengker”; hidup khusus; istimewa bagi Allah saja. “Qadosh”; dalam Bahasa Ibrani). Adapun ciri khas kehidupan yang mencerminkan komunitas atau bangsa milik Kristus adalah dengan menerapkan perbuatan hidup yang hanya dilandasi Kasih kudus atau Kasih sejati (Yunani= Agape) kepada semua orang. Oleh karena manusia Kristen telah ditebus hidupnya dengan darah pengorbanan Kristus di kayu salib. Demikianlah juga sikap Kristiani terhadap sesama, bukan ke-aku-annya yang ditonjolkan namun kesediaan hidup terbuka terhadap sesama penuh cinta-kasih serta pengampunan atas kesalahan orang lain.

Matius 16 : 21 – 28
Kesaksian versi Injil Matius, menyatakan bahwa sosok Tuhan Yesus adalah figur Mesias yang telah dijanjikan Allah ratusan tahun sebelumnya melalui nubuat para Nabi dalam Kitab Perjanjian Lama. Sosok Mesias dalam diri Yesus di kitab Injil Matius dilukiskan pertama sebagai Guru Agung yang mengajar jalan-jalan Tuhan sekaligus Juru Selamat yang datang, menggenapi nubuatan yang ada dalam kitab para Nabi dalam Kitab Pejanjian Lama (PL). Seorang tokoh eskatologis (akhir jaman) yang sekaligus pemberi keadilan dengan kekuasaan, otoritas Bapa di Sorga, pada akhir jaman (Parousia) kelak. (Guru sekaligus “Tokoh Suci dari Sorga bergelar ANAK MANUSIA”; Mat. 25:31-32). Guru Agung ini mirip Musa (Ul. 18:15), yang dahulu melaluinya, Tuhan memberikan 10 Hukum Taurat. Tetapi Guru Agung Yesus justru meringkaskan Hukum Taurat itu hanya dua saja : Kasih kepada Allah dan Kasih kepada sesama, sebagai inti dari seluruh Kitab para Nabi (Mat. 22:37-40). Dalam Injil Matius  5:1–12, 10 Hukum itu diganti dengan 10 Sabda Bahagia (Bahasa Yunani : ”Makarioi”).

Kedua, melalui diri Tuhan Yesus, Allah sendiri sedang menghadirkan pemerintahan-Nya di bumi (Mat. 4:23; 6:33; 12:28; 18:20). IA bertindak sebagai Raja. Namun dalam bacaan perikop kali ini ada kesenjangan konsep Mesias di benak Petrus (sebagai simbol murid pemberani) dengan konsep ke-Mesiasan (Juru Selamat) sebagaimana dikehendaki Tuhan Yesus sendiri. Perbedaan seperti pemahaman Petrus yang keliru bisa menjadi “potensi” mengacaukan misi ke-Mesiasan” Tuhan Yesus. Karena itu di satu sisi keberanian Petrus menyebut Yesus Mesias dipuji oleh Tuhan Yesus. Karena Yesus memang Mesias. Namun di sisi lain ketika Petrus melarang Yesus menderita, maka Petrus justru dihardik Yesus dengan mengata-katai Petrus sebagai “setan”. Karena di benak Petrus, tokoh Mesias tidak mungkin ‘lembek’ (kalahan) apalagi menderita sengsara. Gambaran Petrus ini sebetulnya mewakili imaginasi mesias Yahudi pada umumnya di saat itu. Karena sebagai bangsa terjajah (oleh Romawi) mesias yang ideal,digambarkan sosok yang sakti dan pemberontak terhadap kekuasaan penjajah, sehingga secara politis Israel Berjaya. Sementara nubuat Yesaya tentang Mesias adalah figur seorang Hamba Yahweh yang menderita (Band. Yesaya psl. 42, 49, 50, 52, 53) konsepnya justru “jumbuh”(terpenuhi) dengan Mesianisme yang disabdakan Yesus ini. Bukan seperti yang ada dalam angan-angan Petrus.

Bahwa penderitaan sebagai sebuah resiko dari hamba Allah yang taat, memang harus demikian tergenapi nubuatan Kitab PL. Figur hamba Allah yang setia pada kebenaran (kayekten bukan kasekten). Bagi hamba yang berbuat benar, dia tidak usah mencari-cari penderitaan (karena memang bukan ‘masokhis’ ; yakni orang yang senang menyiksa diri sendiri. Sementara Yesus yang dalam doa-Nya di Getsemani justru menunjukkan sisi kemanusiaan Yesus, ‘sebetulnya’ menolak cawan derita (Mat. 26:39), namun Yesus berhasil taat (Mat. 26:42). Tapi jika atas seijin Allah derita itu menjadi bagian misi hamba yang setia, maka dengan ‘legowo’ akan diterima oleh Hamba Allah yang sejati. Penderitaan orang suci ini tidak berhenti pada derita itu sendiri (an sich), tetapi derita yang menuju kemuliaan Sorgawi (Mat. 25:21).

Benang Merah Tiga Bacaan :

  1. Bahwa upaya penyelamatan ciptaan Tuhan yang telah ‘terkapar’ akibat dosa itu, hanya datang dari pihak Tuhan. Sekalipun sejak semula manusia yang jatuh karena dosa itu diikat oleh Tuhan dengan Perjanjian. Manusia dianggap sebagai “partner” Tuhan dalam upaya memelihara serta membebaskan ciptaan-Nya dari keberdosaannya, bahkan memberkatinya. Pengutusan yang diberikan Allah kepada siapapun yang meng’hamba’ kepada-Nya, itu kedaulatan Tuhan sendiri.
  2. Peran manusia sebagai partner-Nya dalam upaya penyelamatan terhadap dunia, dihargai Tuhan sebagai subyek, bukan obyek semena-mena. Artinya memahami kehendak Tuhan juga dibutuhkan kesadaran manusia sesadar- sadarnya merespon, menjawab ‘uluran jabat-tangan’ Tuhan kepada manusia secara demokratis yang Teokratis itu. Bahwa penyelamatan itu datang dari pihak Tuhan, manusia tidak perlu merasa berjasa kepada Tuhan. Semuanya hanyalah karena Kasih Karunia, kesetiaan dan keadilan (Bahasa Ibrani : “Khesed wa Emeth”) Tuhan semata. Perbuatan kasih sejati dan pengampunan  dalam tindakan nyata dalam hidup sehari- hari sebagai ‘tanda’ hidup benar (pembenaran) di mata Tuhan akan juga menjadi ciri khas orang yang beriman kepada-Nya. Sekalipun dengan resiko menderita sebagai akibat pilihan hidup beriman kepada-Nya. Derita salib bukan akhir segalanya, namun awal menuju kemuliaan seorang hamba yang juga diperkenan Tuannya.
  3. Tuhan berkehendak manusia memahami rancangan-rancangan-Nya yang agung. Dari pihak manusia yang merespon dengan benar kehendak illahi, dibutuhkan kepekaan rohani dengan cara hidup jujur, rendah hati serta cermat memahami tanda-tanda perubahan jaman. Untuk tidak gegabah melakukan tindakan etis, dibutuhkan terus menerus proses spiral iman : Aksi – evaluasi diri – kontemplasi – Aksi … dst. sehingga seseorang mencapai kedewasaan penuh memahami jalan-jalan Tuhan.

RANCANGAN KHOTBAH :  Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan, silahkan dikembangkan sesuai konteks Jemaat)

Pendahuluan
Dalam masa Bulan Pembangunan GKJW, kita baru saja diajak menghayati kembali makna bergereja di tengah arus perubahan jaman yang menyangkut situasi sosial, budaya, ekonomi, politik dibingkai era global yang dimotori oleh kemajuan ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang oleh Klaus Schwab diistilahkan dengan REVOLUSI  INDUSTRI  KEEMPAT (Industri 4.0). Bagi para ahli filsafat, menamai jaman kita sebagai era postmodernisme. Dimana nilai-nilai kebenaran (wisdom) dari belahan bumi manapun sangat diterima sebagai sebuah keniscayaan. Ini juga suatu kesempatan (Kairos) Gereja juga menyatakan jatidirinya di dunia ini.

Ketika Gereja hidup di jaman rejim Orde baru, isu pembangunanisme muncul dalam bentuk REPELITA  dengan harapan menggapai apa yang saat itu diistilahkan dengan “Tinggal landas”. Suatu idealisme pembangunan yang berorientasi lebih pada kemakmuran Ekonomi (Ahli Ekonomi menyebutnya dengan teori “Trickle down effect”). Pembangunanisme masa lalu belum mencakup pembangunan manusia (humaniora) seutuhnya (komprehensip): Tubuh – Jiwa dan Roh. Buktinya korupsi ada di segala lini kehidupan. Walaupun Indonesia era tersebut sempat mencapai Swasembada-pangan. Sekarang sudah semakin baik (transparan), tapi kemajuannya sangat lambat.

Tentu ada hal yang positip disamping banyak hal yang gagal juga dalam upaya  pencapaian di bidang isu pembangunanisme tadi. Salah satu hal positip, gereja disadarkan pentingnya mencapai Tri-Kemandirian Gereja (Ide Henry Venn dan Rufus Anderson sekitar tahun 1850; mencakup : Teologi, daya dan dana) sebagai wahana kesaksian Injil dimana gereja berada. Menjadikan Gereja kita juga memakai sistem berpikir programatis untuk mengiplementasikan nilai keimanan kiprah Gereja di tengah masyarakat melalui model PKP – PRKP (Pokok Kegiatan Pembangunan – Pokok Rencana Kegiatan Pembangunan) yang di”break-down” dalam bentuk PKT MA – PKT MD dan PKT MJ. Jika Negara memakai interval jangka menengah lima tahun-nan (REPELITA), maka  GKJW memakai durasi ENAM TAHUNAN untuk program jangka menengahnya. Kini diperbaharui dengan model PPJP-PPJM.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan sebuah “sistem” yang bisa secara kreatif dipakai oleh Gereja, maka agar perjalanan hidup kita selalu benar secara iman, baik Gereja sebagai suatu Organisme, kumpulan Individu- individu yang digerakkan Roh-Allah, maupun juga sebagai sebuah entitas, yakni Gereja sebagai sebuah Organisasi (Institusi)  rohani di tengah paradigma budaya kekinian masyarakat yang berubah serba cepat bahkan simultan. Mengimbangi perubahan yang demikian dibutuhkan “kepekaan rohani” dalam membaca tanda-tanda perubahan jaman.

Isi
Agar tetap fokus pada jalan yang ditunjukkan Tuhan kepada Gereja (persekutuan orang beriman). Menuju kepekaan rohani yang demikian, dibutuhkan keberanian dalam diri seseorang untuk terus  berproses tumbuh menjadi  dewasa. Bukan hanya tumbuh secara fisik saja, namun emosional dan spiritual juga. Sebagaimana tokoh Musa ketika belum menjadi seorang pemimpin umat yang besar. Musa telah dipersiapkan Tuhan melalui proses lika-liku kehidupan pribadi dan keluarganya. Saat Musa bayi, ancaman kematian dari Penindas Firaun di Mesir sudah ada buat Musa. Namun Tuhan juga punya ‘skenario’ yang justru melalui Firaun; Raja Mesir itu, Musa digembleng secara fisik dan psikologis di lingkungan istana Firaun, sebagai seorang “Pangeran Muda”.

Tapi sikon berubah drastis ketika dikisahkan selanjutnya bahwa Musa justru menjadi seorang pelarian ke Midian (antara Jazirah Arab dan Palestina). Hal ini terjadi setelah ketahuan orang, bahwa Musa membunuh seorang tentara Mesir, akibat emosional membela orang Ibrani, sebagai sesama etnik Ibrani (Israel) yang saat itu sedang bertengkar dengan tantara Mesir.  Dalam pelarian itu, Musa berganti peran. Dari posisi bangsawan, kini menjadi “arek angon” (Penggembala ternak), pasti jika dilihat dari kacamata gengsi, Musa ‘jatuh’ pamornya. Namun di tangan Tuhan justru, kerendahan hati Musa menjadi pertanda ia sudah siap menjadi seorang “leader” yang  hebat di tangan Allah. Karena kini setelah berproses sebagai menantu seorang Imam, dan bertanggung-jawab terhadap kawanan ternak gembalaannya, pastilah Musa belajar banyak dalam hal spiritualitas hidup sebagai gembala, sehingga kini Musa mampu mengalahkan “aku”-nya dihadapan Allah. Sebab ukuran ‘sukses’ atau dewasa spiritual dimata Tuhan, justru jika seseorang mampu memahami ‘jalan- jalan’ Allah dengan benar disertai kepekaan rohani: Cermat, rendah-hati dan jujur, bukan mengandalkan ke-Aku-annya yang arogan, egois. Sebaliknya berupaya taat kepada tuntunan Illahi. Perbuatan etis demikian nampak dalam kejujuran dan kerendahan hati seseorang ketika ia tidak selalu merasa mampu menyelesaikan sebuah persoalan dan ia bertanggung-jawab atas apapun yang diputuskannya terhadap diri-sendiri, sesama dan kepada Tuhan. Demikianlah pelajaran rohani dari tokoh Musa ini.

Gereja kini sedang hidup ditengah arus perubahan yang serba cepat. Perubahan jaman yang sedemikian rupa memang tidak mudah untuk segera menyadarinya. Tapi dengan keakraban seseorang hamba Allah dalam hal, hormat, takjub serja takut (Bahasa Jawa : ”Ajrih ning asih”), niscaya Tuhan akan menolong kita memahaminya. Dan yang penting adalah bagaimana kita segera meresponnya dengan positif. Cepat tanggap serta menjabarkan Iman dan kesetiaan serta kasih kita akan dunia ini dengan konkrit dalam Tritugas gerejawi kita. Entah sistem-sistem PKT Gereja maupun idealisme semisal pelayanan gereja terhadap masa depan anak- anak kita bagi sebuah keluarga Kristiani. Perlu dicari kehendak Tuhan setiap hari. Entah melalui ‘dialog’ pribadi kita dengan Tuhan melalui pembacaan Sabda-Nya secara pribadi maupun dilakukan secara kolektif. Dalam tradisi gereja sebagai institusi, GKJW membahasakan “mencari kehendak Tuhan bersama itu dalam bentuk “rapat- rapat Gerejawi”. Asalkan “rapat” tidak dijadikan alasan justru untuk tidak segera merespon perubahan jaman (pemalas; alias kalah dengan semut; Amsal 6:6). Rapat gerejawi memang perlu, menghindari bias (penyimpangan) kemauan individu Kristen yang bisa juga keliru (salah). Tapi juga gereja tak perlu tergesa- gesa bertindak, jikalau memang persoalannya sangat kompleks; tak mudah diurai. Disinilah perlunya kesabaran sambil tetap aktif, kontemplasi (berdoa dan merenungkan Sabda-Nya) memohon pimpinan Roh Kudus sendiri yang dari Sorga!

Ada beberapa tanda jaman dalam hal perubahan kehidupan di masyarakat dimana gereja  berkiprah :

  1. Atmosphere kehidupan masyarakat modern yang cenderung memuja “duniawi” (Sekularisme). Dunia dalam bahasa Latin: Saeculum. Proses Sekularisasi itu sendiri sebetulnya  positif, yakni  jika proses pemilahan antara yang takhayul dan rasional, membebaskan seseorang dari dominasi takhayul/dongeng. Namun hal ini juga menjadi berbahaya, ketika nilai-nilai keimanan terhadap Tuhan ternyata sekedar lewat; dianggap takhayul juga. Akibatnya orientasi (tujuan) sesaat seperti pemujaan hawa nafsu seksual demi kenikmatan seksual tanpa etika kekudusan. Aspek seks dilepaskan dari makna kehidupan manusia secara utuh di hadapan Hyang Suci. Muncul hilangnya sikap hormat atas Sang Penciptanya beserta rasa cinta pada Illahi. Semangat hidup yang demikian menjadi berubah, berganti dengan gaya hidup hedonisme tadi (pemuja kenikmatan demi kenikmatan). Ini menjadi salah satu contoh bias pikiran sesat manusia. Hal demikian disebut dengan istilah SEKULARISME.
  2. Dengan ditemukannya serat optic dalam dunia tehnologi informasi, muncullah  era baru : WWW= World, Wide, Web; yang menjadikan komunikasi manusia menjadi sangat cepat. Kini kita tiba dalam era Internet Of Thing (pemakaian teknologi digital di semua bidang), kehidupan di planet bumi kita yang dihuni nyaris 8 milyar manusia sekarang ini, serasa hidup dalam SATU DESA saja (Globalisasi). Batas-batas negara dan bangsa sulit dipahami, termasuk memudarnya (rentan)rasa nasionalisme. Perubahan yang tak lagi gradual (pelan-pelan dan bertahap), tapi simultan dan cenderung tak terkontrol (disruption). Ini bisa menjadi berkat tapi bisa juga menjadi laknat jika kita keliru menerapkan teknologi tadi.
  3. Perkembangan di atas menjadikan batas budaya “timur” dan “barat” sangat tipis sekali atau tak lagi jelas bedanya. Budaya (Culture, Zicilization) yang ada  cenderung saling mempengaruhi atau campur aduk (Mix Culture). Hal yang demikian juga membawa efek domino yaitu munculnya kelompok tertentu yang ingin diakui ‘jatidirinya’ dengan cara menarik diri dari pergaulan umum. Menjadi kelompok eksklusif (cenderung anti sosial), barangkali ini yang disebut oleh pemikir sarjana Amerika : Samuel Hutington dengan istilah benturan budaya (The Clash of Civilization). Akibatnya ada kecenderungan era modern, agama hanya sekedar dipakai identitas kebanggaan bahkan kesombongan kelompok tertentu saja. Penghayatan agama nampak hanya kulit luarnya saja. Yang muncul bukan Roh-keimanan dari agama itu sendiri, dimana nilai religiositas sejatinya, justru mengangkat harkat manusia sebagai mahkluk yang bermartabat (Humanisme). Tapi kini ‘religi-religi’ yang nampak justru saling mengkotak-kotakkan (saling mengkafirkan “liyan”) Suku, Ras, Bahasa dll. Demi kepentingan sesaat malah mudah dibentur-benturkan oleh orang yang pintar namun tidak bertanggungjawab khususnya dalam dunia politik dan bisnis. Ini menjadi tantangan gereja dalam berekumene. Misalnya dirasa perlu re-interpretasi ulang antara teks Suci dengan konteks kekinian (now). Pergumulannya adalah : Apakah ekumene akan menjadi bentuk ekslusivisme (ketertutupan) gereja atau justru merupakan kerjasama di antara religi-religi untuk memecahkan kompleksitas persoalan hidup bersama yang ada di bumi, sehingga manusia menjadi lebih beradab dengan “saling menghidupi”?. (Istilah almarhum Prof.Wismo : antara CO-EKSISTENSI  atau  PRO-EKSISTENSI?
  4. Ada hal positif era modern yang adalah buah dari sekularisasi tadi. Karena menurut Friedrick Gogarten, proses ini justru dimotori iman dalam Alkitab (Harvey Cox: ”The Secular City” 1966, hal. 15). Misal, bahwa ada nilai kesetaraan yang diupayakan bersama Negara dan bangsa. Bukan hanya kesetaraan jender: Laki-Perempuan. Dominasi budaya Pria (Patriakhi) lawan dominasi Perempuan (Matriakhi; bahkan pendewaan perempuan; Motherthokos); LGBT atau bukan. Tapi juga semua etnik di planet bumi  ingin diakui sederajat (egaliter) sebagai sesama Ciptaan Tuhan (gambar Illahi). Suatu gerakan masif untuk memerdekakan suasana kehidupan tradisional yang cenderung berupa masyarakat Patron-klien, yang mensuasanai era lama, ke arah kesetaraan (Egalitarian). Tantangan bagi gereja adalah : Apakah gereja berani berdialog tentang hal ini secara terbuka ataukah gereja menutup diri menjadi KUPER (Kurang  Pergaulan)?. Gereja harus tampil mempertanggung- jawabkan “imannya” kepada dunia ini. Terlepas dari adanya kemungkinan isu narasi besar seperti emansipasi, LGBT, liberalisasi, dll. Bisa justru punya agenda tersembunyi: Dominasi minoritas terhadap mayoritas atau sebaliknya. Gereja tetap terbuka berdialog sebagai saksi kebenaran (dan Pembenaran Allah). Yang pasti gereja Tuhan mengimani bahwa Yesus adalah Sang Pembebas dari keberdosaan. Dosa yang penetrasinya menjadi virus yang merusak kehidupan, diganti pengampunan yang membawa virus kebaikan, damai- sejahtera.

Dari paradigma di atas, kita dapat mewujudkan persekutuan Imani (gereja dengan Triloginya : Koinonia – Marturia – Diakonia) :

  1. Mengimani, bahwa dibalik semua perubahan itu, Allah ikut ber- “skenario”, berdaulat menyelamatkan ciptaan-Nya. Kita subyek beriman diminta setia, hidup dalam kebenaran-Nya dengan tetap mengedepankan hidup kudus dengan selalu mencari kehendak Tuhan. Tetapi juga menampakkan ciri khas sebagai orang milik tebusan Yesus Kristus yang dalam bertindak secara etis, kasih sejati saja yang menggerakkannya.
  2. Manakala kita sebagai orang beriman kepada Kristus, dipercaya sebagai seseorang yang ikut ‘menentukan nasib’ orang lain (punya legitimasi kekuasaan), hendaknya kita mengedepankan cinta kasih dalam kejujuran dan kerendahan hati kepada Sang Pencipta. Kejujuran nampak ketika orang percaya tidak menjadi arogan, tidak meng-“kultuskan” manusia sebagai yang “Superman” (Wonderwoman). Tidak bertindak menggantikan posisi TUHAN dalam memutuskan segala sesuatu. Untuk ini, diperlukan proses terus-menerus dari seseorang yang bersedia ‘bertumbuh’, membangun diri secara emosional, spiritual sebagaimana Musa, murid- murid Yesus sebagaimana Petrus dkk. Paulus bersama Sang Tuhan, berproses juga menjadi hamba-Nya. (Gal. 1:11–24).
  3. Gereja sebagaI SEBUAH ORGANISASI sekaligus selalu diingatkan sebagai SEBUAH ORGANISME yaitu manusia yang diperkaya Tuhan dengan pelbagai talenta yang digerakkan oleh Roh Kudus. Sehingga dalam bergereja, kita mesti berpikiran terbuka terhadap kritik, saran dan masukkan dari siapapun utamanya warga gereja. Tradisi positif gereja kita nampak dalam acara “rembug warga” sebagai salah satu upaya “mencari kehendak Tuhan”. Hal yang demikian, perlu terus dikembangkan dalam bentuk- bentuk kemasan lain yang kreatif dalam era yang serba cepat ini. Sebagai persekutuan gerejawi tentu menekankan PEMERINTAHAN TUHAN (Demokratis yang Teokratis), bukan menang-menangan (saling mem-bully), melainkan saling memotivasi setiap peran warga dengan dilandasi kasih kudus dalam suasana persahabatan (egaliter). Ketika ada kegagalan, hal demikian bisa dipakai sebagai ajang refleksi bersama : ”Adakah sesuatu yang memang Tuhan kurang/tidak berkenan?”. Musa sendiri-pun sempat jatuh kedalam ke-aku-annya, ketika menghadapi bangsa Israel yang tegar tengkuk, namun kehausan di padang gurun. Musa kemudian ‘memukul batu’ di padang- gurun, namun tanpa minta ‘petunjuk” Tuhan. Dalam hal ini Tuhan juga tidak berkenan akan hal tersebut (Bil. 20:11–12). Gereja harus menghindari hal yang demikian.
  4. Perubahan perilaku kehidupan di masyarakat masa kini, dimana gereja berada ditengahnya, bersifat simultan bagaikan sebuah ledakan, disrupsi (reaksi kimia berantai) . Bisa mengagetkan kita semua. Namun ketika kita selalu jujur, rendah hati, berkontemplasi (berdialog dengan Sabda-Nya secara rutin) niscaya Tuhan selalu membimbing umat-Nya, sekalipun ditengah benturan gelombang budaya sekalipun. IA beserta kita, memampukan kita tidak menjadi “budak” teknologi akibat kecerdasan buatan manusia, melainkan juragan (tuan) atas sarana pemberian-Nya. Bahwa dalam rangka membina diri, menerima kritik, cemoohan terhadap kesetiaan Gereja pada prinsip Iman, maka keyakinan bahwa Injil adalah kekuatan Allah, ini menjadi spirit kerendahan dan ketegaran hati kita (gereja). Derita itu sudah menjadi bagian dari resiko orang beriman, ini bagian kita, dimana seseorang tidak bisa selalu memaksakan kehendak ke dalam hanya pada ‘kemapanan’ salah satu sistem saja ketika sebuah sistem gagal. Namun dibutuhkan terus-menerus dinamika aksi-refleksi untuk mengkoreksinya sesuai kehendak-Nya.

Refleksi penulis pribadi sebagai penilik, gembala, pemimpin jemaat (leader) berproses diri untuk tidak selalu melihat kegagalan dengan mencari “kambing hitam” orang lain. Kita memang perlu berkaca diri atas kegagalan, derita, demi pendewasaan diri sendiri bersama Tuhan. Kegagalan, penderitaan tidak selalu karena kita keliru merancangnya, namun bisa jadi Tuhan lebih memiliki rancangan yang lebih besar daripada yang kita angan-angankan. Suatu hal yang menjadikan kita semakin rendah hati dan jujur terhadap diri sendiri untuk bertumbuh diperkenan Sang Kepala Gereja.

Penutup :
Ada sebuah anekdot yang demikian : Di salah satu jemaat, ada seorang Pendeta yang usai melayani ibadah Minggu, dia lewat di depan pintu ruang khusus untuk Kebaktian Anak-Anak (KPAR/Sekolah Minggu). Kebetulan ada salah satu anak lelaki yang terburu-buru mau masuk kelas, takut terlambat. Tapi beberapa detik sebelum masuk kelas dia ditanyai Pendeta tersebut : ”Nak, saya ingin tahu. Apakah kamu mengetahui siapa tokoh yang memimpin runtuhnya tembok Yerikho?” (Maksud pendeta cuman mau nge-test saja. Apakah anak ini betul- betul rajin ke gereja dan mengerti cerita Alkitab yang diceritakan oleh “pamong”nya). Tapi jawab anak itu demikian: ”… wah saya tidak tahu Pak Pendeta!!!” Jawab Pendeta : ”Oooo…. ya sudah, silahkan masuk ruangan”.

Minggu berikut, ganti Pendeta menjumpai salah satu Pamong yang  akan mengajar atau mengisi Ibadah Minggu Anak dan Remaja. Pendeta mencoba mengetahui pengetahuan Pamong tersebut dalam hal sejarah Alkitab. Pertanyaannya sama : ”Apakah kamu tahu siapa yang memimpin penghancuran tembok Yerikho”. Jawab Pamong : ” Waduh … saya sama sekali tidak tahu-menahu  pak  Pendeta, dan saya tidak ikut campur masalah tersebut!”.

Terakhir kali, dalam kesempatan rapat PHMJ. Pendeta tersebut  menceritakan kepada kawan-kawan anggota majelis yang ikut rapat,  tentang peristiwa yang sudah dialami terkait dengan anak dan pamongnya. Tiba- tiba Bendahara Jemaat nyelutuk : ”…. Sudahlah pak Pendeta. Tak usah dibikin ribut. Tolong dihitung  saja  berapa  sih  harga  material tembok yang sudah dirobohkan itu. Nanti kita ganti !!! ….”. Pendeta : ”Haa … ???”

Kisah fiktif di atas mungkin bisa kita pakai sebagai perenungan diri. Akar persoalan di Gereja kita sebagai sebuah komunitas yang seharusnya bisa berkiprah maksimal karena karunia Roh Kudus dalam talenta warga jemaat sedemikian kaya. Hal demikian seharusnya dimaksimalkan dalam kiprah Gereja di masyarakat. Namun Gereja terkadang menjadi mandeg karena “leader” atau pendeta yang bertugas membekali warga, kurang  terbuka atau belum maksimal memotivasi warga. Atau mungkin juga  saking sibuknya fokus hamba Tuhan ini terhadap diri sendiri (termasuk dalam berorganisasi). Nampaknya sibuk sekali, atau jangan-jangan itu hanya sok sibuk. Bisa juga justru kemungkinan sebaliknya : dimana  warganya tidak pernah mau terbuka terhadap leadernya. Sehingga jemaat lambat untuk menjadi dewasa dalam menyikapi perubahan jaman. Semoga gereja kita di GKJW tidak demikian. Selamat berkarya!. (Sis).

Nyanyian :

  • KJ. 159 : 3 – 4     Yesus, Mesias Israel 
  • 250A : 1 – 4 AllahMu Benteng yang Teguh

RANCANGAN KHOTBAH :  Basa Jawi
(Bahan punika, namung adhapur tuntunan utawi Rancangan Kotbah kemawon. Boten supados kawaos ing mimbar. Cekap kamangertosan, lajeng karacik malih miturut kabetahan (konteks) Pasamuwanipun piyambak- piyambak).

Pambuka
Salebeting sasi utawi “Bulan Pembangunan GKJW”, kita nembe kemawon saweg kaajak ngayati kadospundi nggen kita mangun pigesangan masamuwan ing samadyaning ewah-ewahan jaman; laminipun setunggal sasi. Ewah-ewahan ingkang kamaksud inggih punika, jagading sosial, politik, kabudayan saha ekonomi. Ing pundi sadaya kalawau dipun rangkani dening kamajengan Ilmu Pengetahuan lan Teknologi, utaminipun Teknologi Informasi. Kamajengan ingkang makaten dening Sarjana – sujana asma Klaus Schwab mawi istilah : REVOLUSI  INDUSTRI  KEEMPAT (Industri 4.0).

Kagem para ahli filsafat, jaman kita ingkang makaten kawastanan era Postmodernisme. Swasana jaman ing pundi sedaya kearifan utawi wisdom saking pundia kemawon asalipun saged katampi minangka “keniscayaan”. Lah punika ugi mujudaken kesempatan lan wekdalipun Grejo saged ngetingalaken jatidirinipun wonteng satengahing jagad.

Rikala Greja kita GKJW, gesang ing jaman paprentahan “Orde Baru”; greja gesang wonten ing satengahipun “wacana” utawi isu negari saweg mbangun (Pembangunanisme). Kanthi sebutan REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Klayan pangajab : Sageda negari Indonesia makmur sejahtera ing babagan Ekonomi (Pakar ekonomi mastani mawi tembung teori ekonomi : ”Trickle down effect”. Proses pembangunan kacandra kadya  pesawat terbang. Mbangun negari wiwit tahapan I REPELITA,  ngantos dumugi tahapan “Tinggal Landas” kemakmuran melimpah. Wekdal semanten rupinipun tekanannipun mung ing babagan ekonomi kemawon. Dene sasaran kamajengan manungsa wetah (Humaniora) : Badan-Nyawa lan Roh (TUBUH-JIWA dan ROH) rupinipun dereng kasil kagayuh. Buktinipun, ngantos samangke, “penyakit koruptif” taksih kemawon kita tingali ing sedaya model pigesangan. Sinaosa Indonesia sempat nggayuh “swasembada pangan”. Ing jaman kita samangke saya sae (transparan), ning prosesipun rendhet sanget.

Tamtu kemawon, mboten sedaya negatif. Sinaosa kathah tujuwanipun ingkang gagal; utawi mboten kasil sedaya wonten ing semangat Pembangunanisme kalawau. Ning tetep woten prekawis ingkang sae (positif) kangge Grejanipun Gusti Yesus ing Indonesia, inggih punika bab wigatosipun dados greja ingkang mandiri; TRI KEMANDIRIAN GEREJA (Teologi-Daya lan Dana). Ide awal ingkang rumiyin saking penginjil asma Henry Venn lan Rufus Anderson watawis tahun 1850-an.

Greja kaemutaken, bilih Gusti Allah ugi makarya kangge kawilujenganipun jagad punika mawi perencanaan. Pramila ing Greja, kita ugi ngagem cara pikir ingkang ngginakaken pola ‘terprogram, terencana’ klayan rinci, mawi prediksi; prakiraan tujuwan kang cetha, saged kaukur (kaevaluasi). Bab punika dados cak-cakkan (Implementasi) saking “Nilai-nilai keimanan” kekristenan kita ing satengahing pigesangan “bermasyarakat”. Model makaten kanamiaken PRKP-PKP (Pokok-pokok Rencana Pembangunan-Pokok Kegiatan Pembangunan). Sedaya kawujudaken mawi Program Kegiatan Tahunan (PKT). Majelis Jemaat ngantos lingkup Majelis Agung.  Dene model (sistem) PRKP-PKP, samangke kagantos PPJP lan PPJM (Program Pembangunan Jangka Panjang lan Menengah).

Uwal saking kakirangan saha kaluwihanipun satunggiling cara (sistem) ingkang kanthi kreatif saged kaagem dening Greja. Ingkang cetha kita tetep mbetahaken kepekaan rohani kangge “membaca tanda-tanda jaman”, saha kanthi kreatif ugi kabetahaken respon cepet supados mboten ketinggalan jaman, nggenipun Greja tumindak ing samadyaning perubahan (paradigma) modern. Ewah-ewahan ingkang makaten boten namung gradual (sekedhik mbaka sakedhik), ning simultan, sinarengan kadya ledakan reaksi kimia berantai, pakewed karamalaken.

Supados gesang kita tetep madhep-manteb; manther mandeng Sang Kristus. Saemper kadya Musa, kita perlu kagladhi tuwuh diwasa, mboten namung babagan fisik (tubuh) kemawon, nanging diwasa sacara emosional (Rasa-pangrasa) saha spiritual (Rohani).

Isi
Ruwet-rentenging sejarah pigesangan Musa saged dados kaca pangilon. Bilih Gusti Allah ugi kagungan rancangan endah tumraping tiyang pitados dhumateng Panjeneganipun! Sejarah Keselamatan (Paprentahan Allah ing bumi) ingkang kaalaman Musa sakulawarganipun nedhahaken bilih kejawi Sang Raja Pringon (Firaun) nedya mbasmi keturunan trah jaler bangsa Ibrani (Israel). Pringon ngagem Bidan asmanipun Sifra lan Pua.  Ning Ing Astanipun Allah; “skenario” Hyang Widhi, malah ngagem bab punika kangge milujengaken bayi jaler tiyang Israel, kalebet tokoh Musa kalawau. Gusti Allah sampun nyawisaken pemimpin, ketingal kadospundi Musa kadhidhik sacara kanuragan : ilmu perang/strategi, politik, ugi sastra/budaya. Musa kagembleng wonten salebeting Istana Raja Pringon. Musa dados “Pangeran Muda” Mesir.

Kawontenan Musa owah 180 derajat, rikala Musa sampun “keplajeng”, ngungsi dhateng Midian. Salajengipun dados mantunipun Yitro; Imam ing Midian. Prekawis punika kelampahan rikala tumindak Musa mejahi tantara Mesir kapranggulan tiyang (Israel). Karana satunggiling wekdal wonten pancakara antawising tantara Mesir kaliyan salah-satunggilipun warga “jajahan” Ibrani/Israel. Musa malah mbela sesami etnik Israel kanthi mrejaya (mejahi) tantara Mesir. Ing wasana rikala gentos tiyang sesami Israel regejegan, punika mbikak wadi Musa. Mila Musa lajeng mlajar dhumateng Tanah Midian. Kawontenan ing papan pangungsen, Musa gantos “peran”. saking posisi “Bangsawan” (Golongan Sugih) samangke dados “Lare Angen” (Pangon). Yen katilik saking “kacatingal” gengsi … tamtu Pamoripun (Wibawa) Musa dhawah sanget asoripun. Ananging sejatosipun malah ing “Astanipun Gusti Allah”; Musa saweg kabentuk saha dados pratandha samektanipun Musa minangka calon pemimpin utawi pengageng ingkang tanggon. Minangka pangen ingkang satuhu, tamtu sinaosa namung kewan, ananging punika titahipun Gusti ugi. Manungsa kapasrahan mboten namung ngolah, nanging ugi hangreksa (Kej. 1:14-15). Musa kedah tanggel-jawab kados pundi caranipun nyawisaken menda ngen-ngenanipun pikantuk suket ijo royo-royo, saha toya wening ingkang saged nyekapi kabetahan ngombe para menda ingkang cacahipun tamtu kathah sanget. Mboten namung punika, pengalamanipun Sang Parbu Dawud rikala taksih enem (yunior), sami kemawon rikala taksih dadya “lare angen”. Saupami menda punika kaancam dening dening asu ajag (serigala), ingkang pertama- tama; wiwitan mila “pasang badan” ; berkorban, tamtu pangenipun (Band. Mazmur 23; Yokanan 10:1-18). Pengalaman “karohanen” punika ing tembe katingal ugi kadospundi nggenipun Musa ngereh, mimpin bangsa Isarel, malah dipun jangkepi nasehat saking marasepuhipun (Yitro).

Kacihna raos andhap asoring manahipun Musa kachina, rikala ing swasana “perjumpaan” Musa aben-ajeng kaliyan Sang Yahweh wonten ing mujizat tetingalan kang ngedab- edabi. Ing ngarsanipun Allah ingkang mbabar-jati dhiri mawi pangandika “Ehyeh Asher Ehyeh” (AKU ADALAH AKU) ing jarwan basa Yunani “Ego Eimi” (Septuaginta; LXX). Ke- Aku-an Musa luntur. Krana ajrih lan hurmat nanging linambaran katresnan, temahan Musa tetep “wantun” aben-ajeng kaliyan Gusti Hyang Ma’Suci.

Ukuran Abdi inganggep ‘sampurna’ ing ngarsanipun Gusti, mboten ing “ambeg kumingsun” (keakuannya) manungsa, ananging malahan wonten ing raos hurmat, ajrih-ning asih saha setya utawi ‘ber-iman’ (Bhs. Yunani Iman = Pistis tegesipun: setya, sumende lan gesang konsisten (integritas) wonten ing piyandelipun dhumateng Allahipun ing Swarga). Punika  dados syarat utami nggen kita ugi ngupadosi (memahami) margi-margi kayekten ingkang badhe katedhahhaken dening Rama kita ing Swarga. Tamtu miturut “terang Sabdanipun” (Band. Yok. 8:12). Tiyang ingkang diwasa ing bab ‘pengenalan terhadap Tuhan’, ketingal rikala piyambakipun wantun tanggeljawab tumrap kelakuwan, saha keputusan-keputusan utami ing prinsip pigesanganipun. Tiyang punika tamtu jujur, andhap asor, tinarbuka dhumateng kritikan ingkang mbangun (Pangentasan 18:13-27). Yen ta mboten sengaja nglampahi kalepatan, mboten pados ‘kambing hitam’ kangge melempar tanggeljawab, yen ta punika saumpami krana piyambakkipun panci inggih lepat. Piyambakipun badhe tanggeljawab dhateng sesami utaminipun dhumateng Allah piyambak!  Punika pengajaran utami bab karohanen saking tokoh Musa kalawau.

Greja ing jaman punika (istilah popular “Jaman Now”) saweg ngadhepi ewah-ewahan jaman ingkang sarwi cepet. Kadya tiyang lumpampah rikat pakewed yen dipun susul. Pramila ewah-ewahan ingkang mekaten mboten gampil enggal kamangertosan. Ananging tumrap manungsa minangka abdinipun Allah ingkang setya, andhap-asor saha ajrih ning asih dhumateng Gusti, tamtu Gusti Allah badhe mitulungi kita kangge enggal tanggap sasmita ingkang sae lan positif bab punika. Kejawi ugi tetep waspada ing bab bebayanipun. Greja tamtu enggal tanggap saha njabaraken kautaman isi iman piyandelipun wonten salebeting karya nyata, wonten ing rancangan greja (PKT) minangka “implementasi” TRITUGAS GREJA ( Bersekutu, Bersaksi dan Melayani). Sae Greja minangka Institusi (Organisasi ing Masyarakat) ananging ugi Greja tata-Organisme; inggih punika, kempalanipun pribadi-pribadi Kristen ingkang dipun motivasi dening Sang Roh Suci piyambak. Minangka brayat alit (Bhs. Inggris: ”Nuclear Family”) ananing ugi minangka “Komunitas Kudus”; Keluarga Allah. Kangge pakempalan tiyang kathah, krana saben pribadi tamtu gadhah pamanggih piyambak-piyambak ing bab aksi utawi akarya nyata ing masyarakat, perlu saben wekdal Greja makempal ngupadosi punapa ingkang asring kawastanan “Mencari Kehendak Tuhan”(Ngupadosi Karsaning Hyang Widhi). Tradisi greja kita mastani : RAPAT GEREJAWI. Rapat punika inggih perlu, sauger rapat mboten dipun ‘salah gunakan’ minangka pelarian Greja saking tanggel jawab iman. Artosipun yen rapat malah ngrendheti respon cepet ing bab tumindak katresnan nyata, mangke gek punika nedhahaken Greja males (Sampun kawon kaliyan semut Wulang Bebasan 6:6); ales (menghindari) zona sulit, mung sluman-slumun golek slamete dhewe adat saben ingkang makaten, kita malah mboten wilujeng. Tamtu kemawon, wonten wekdalipun kita pancen inggih boten perlu grusa-grusu ing bab mundhut keputusan rapat yen ta, pancen prekawisipun pakewet. Ing ngriki tansah kabetahaken Sabar, ning klayan aktif nyuwun pitedhah saking panuntuning Sang Roh Suci saking Swarga.

Sawetawis ewah-ewahan ing masyarakat minangka pratandha jaman kang perlu kita cermati inggih punika :

  • Swasana pigesangan Masyarakat modern ingkang condong “duniawi”(sekuler). Jaman rumiyin, manungsa gesang condhong dhumateng gugon Tuhon (otoritas kekuatan gaib) tinimbang rasional. Kosokwangsulipun, bilih jaman kita samangke manungsa tumindak adhedhasar pikiran sehat (rasional). Tamtu pemikiran rasional-ilmiah punika sae (sekularisasi), karana kabudayan manungsa boten malih kaereh gugon-tuhon (takhayul). Mung ugi perlu dipun waspadani, kawontenan saged ugi blasar. Yen manungsa namung ngendelaken rasionipun piyambak kemawon, yen bab keimanan dhumateng Allah ugi dipun lebetaken manungsa minangka TAKHAYUL ugi! Alih-alih badhe ngongasaken dhiri kanthi ngendelaken utegipun piyambak, malah manungsa modern ingkang nyembah duniawi ( sekularisme) dhumawah ing kalepatan ingkang sami : “BIKIN MITOS BARU”! Kasunyatan mbuktikaken “peradaban” manungsa ngantos jaman samangke tetep dereng saged njawab : “Dhisik endi ENDHOG apa  PITIK?”. Sumbunging titah manusa saged katinggal wonten ing : nggenipun nguja hawa nepsu seks, narkoba, tindak korupsi, jibar-jibur (foya- foya). lsp.
  • Kanthi dipun panggihaken “serat optic” manungsa nyipta swasana budaya WWW.(World, Wide, Web), Internet Of Things sedaya wujud relasi, sesambetan, bisnis, politik, keamanan, lsp. Ngagem sarana teknologi digital/informasi, internet dados sarana utami ing sadaya bidang pigesangan. Planet Bumi kita samangke dipun panggeni penduduk meh 8 (wolung) milyard manungsa. Kanthi kabyantu teknologi, klayan positif dados sarana ingkang sae sanget. Sedaya tumindak kanthi cepet. Swasana Bumi karaosaken kadya : HIDUP DALAM SATU DESA. Ewah-ewahan tata- pigesangan mboten malih GRADUAL (alon lan mawi tahapan), nanging samangke SIMULTAN (bareng-bareng saha sakkala kathah lan boten terkontrol, istilahipun Klaus Schwab : ”Disrupsi”). Penerapan Ilmu & Teknologi panic gadhah “dua wajah”. Wiwitan : dados berkah yen kita saged ngginakaken kanthi sae lan leres. Nangi kaping-kalihipun : Malah dados Laknat (bencana) bilih manungsa klentu ngecakkaken!
  • Wontenipun “Percampuran budaya” (Mixing culture) antawising kabudayan corak Timur (Eastern Culture) lan corak kabudayan Barat (Western Culture). “Batas-batas budaya” condhong tipis, malah mboten jelas malih. Ing pigesangan mengglobal, wonten arus tartamtu ingkang malah kepingin nonjolakken ‘ciri wanci’ kabudayanipun piyambak ingkang “Eksklusif”. Dening Sarjana-sujana Amerika, asma Samuel Hutington, kawastanan “The Clash of Civilization” (Benturan budaya). Bab punika dados tantangan piyambak kangge greja ing bab re-interpretasi ulang ber-”Ekumene”. (istilah pitakenan alm. Prof. Wisma : Co-eksistensi punapa Pro-eksistensi?) Religi utawi agami-agami ngadhepi tantangan ingkang sami, inggih punika : Agama dados pemersatu umat, punapa malah “Mengkothak-kothakkan ras manusia”? Dados berkat punapa dados laknat? Greja katantang : “Berpacu … dalam menjadi barokah!”
  • Gerakan Internasional persamaan martabat (Egalitarianisme) Negara & Bangsa. Boten namung masalah ‘gender’ kemawon kados ta : Priya- Wanodya; LGBT punapa sanes LGBT; lss.pun. Punika gejala positif. Kantun kita wantun merespon positif punapa boten (alias KUPER Kurang Pergaulan)? Uwal saking praduga bilih punika sekedar isu bias (nggladrah; nyasar) kepentingan (negatif) : punapa saestu “menggali nilai keutuhan” manungsa minangka “Citra Illahi” (Positif) punapa wonten “agenda tersembunyi” ngginakkaken isu punika? Greja gesang ing satengahing budaya kados: ”Dominasi Pria” (Patriakhi) sakwangsulipun “Dominasi wanita” (Matriakhi), ing pendewaan perempuan (Motherthokos) dhumateng para Priya. Ing jagad punika Greja kedah wantun dados seksi nyata, bilih sadaya “gender” (jenis kelamin) punapa kemawon dados tujuwanipun/sasaran katresnan Gusti Yesus mbebasaken tiyang dosa saking sedaya karingkihan lan mboten sampurnanipun salebeting kasangsaran salibipun. Sih rahmat punika ndadosaken kita kamardikakaken saking dosa, tumunten gesang enggal (Langgeng).

Saking Paradigma (Daftar perubahan tetap di masyarakat) kalawau. Sikap Greja kanthi TRILOGI (Bersekutu- bersaksi- melayani) timbalanipun ing samadyaning masyarakat  perlu :

  1. Pitados dhumateng Allah, bilih ing suwaliking perubahan cepat punika Gusti Allah tetep “berdaulat” makarya rumeksa, tansah ndadosaken titahipun kaenggalaken seturut kaliyan Rancangan-rancanganipun mbebasaken titah saking dosa saha mberkahi. Kita minangka Subyek beriman, namung kasuwun tetep gesang suci tata-lair lan batin. Kita dados “rencang-damel” ipun Gusti ing jagad kanthi merajut sesambetan kaliyan sesami linambaran pracaya lan tresna dhumateng sesami. Yen ta ing sesambetan/relasional manungsa lajeng wonten kalepatan- kalepatanipun manungsa limrah minangka tiyang dosa. Kita kasuwun nengenaken pangapunten linambaran katresnan jati, tinimbang menang- menangan. Ing ngriki kabetahaken “penyangkalan dhiri” (salib) saha kurban pangraosing batos (legawa), sinaosa suwaunipun mendhedheg ing batos ugi.
  2. Rikala kita minangka pribadi Kristen keleresan pinitados ing kalenggahan masyarakat, ndherek namtokaken “abang- ijonipun” nasib ngasanes. Kita sampun ngendelaken posisi utawi kalenggahan kita kanthi “kumingsun” (Arogan). Ananging malah ngetingalaken nggen kita ngaosi ngasanes minangka sesami titahipun Gusti Allah klayan tulus. Gusti Yesus dhawuh sinten ingkang dados pemimpin, kedah dados PELADOS (hamba) kangge sedaya. Tamtu dados abdi mung kangge kamulyaning Gusti Yesus minangka wujud rawuhipun Gusti Allah ingkang mrentah ing satengahing gesang kita (Imanuel). Resiko kasangsaran karana lumampah minangka abdining Yehuwah, mujudaken kabingahan piyambak kagem tiyang pitados. Tumunten ing tingkatan karohanen ingkang diwasa punika- kalawau, kabetahaken raosing andhap-asoring abdi kadya para sakabatipun Gusti. Petrus boten saged “merkengkong nggugu karep lan pangertiane dhewe”. Petruspun sinau andhap-asor rikala piyambakipun nedya mbelani Gurunipun kacepeng ing Getsemane kanthi cara magas kuping utawi talingane prajurit. Gusti mboten remen, malah klayan mujizat nyarasaken, mangsulaken malih kuping pedhot kalawau.
  3. Greja sae minangka institusi punapa Greja minangka individu tiyang pitados, kedah asipat tinarbuka dhumateng ngasanes. Kritik ingkang mbangun punapa malih ingkang nyenyamah, kedah katampi klayan andhap-asor saha masrahaken sedaya kalawau dhumateng Sesirahing Pasamuwan; Sang Kristus piyambak. Kangge nanjakaken katresnanipun Allah dhumateng jagad punika, penyusunan program gerejawi tetap kedah kaudi sesarengan klayan “demokratis ning Theokratis”. Tegesipun nampung sadaya pamanggih, nanging sedaya pemikiran “kauji” dening Sabda Suci. Mung ngupadosi KARSANIPUN ALLAH ingkang kagungan kedaulatan tumrap gesang kita ing ndonya. Tradisi Greja kadya “rembug warga” nampung pemikiran sedaya warga, punika perlu dipun tata sacara kreatif minangka upaya Greja berkiprah sacara maksimal!. Majelis Pasamuwan minangka “Pemimpin Umat” tamtu  kedah “membekali” seserepan warga ugi. Tuladha saking tokoh Musa cetha sanget. Nggenipun sumadya kabentuk karakteripun dening Gusti Allah. Ugi nggenipun andhap asor, purun nampeni nasihat, saran saking Yitro, marasepuhipun ing bab peladosan kangge kapentingan umat. Mila Musa purun berbagi tugas kaliyan sesepuh Israel lintunipun ugi. Fokus peladosan namung dhumeteng Allah, sanes kangge Musa ‘an sich’.
  4. Ewah-ewahan ing jantraning pigesangan masyarakat samangke, sipatipun kadya reaksi kimia “berantai”. Kadya mercon mbledhos, ngagetaken kita sedaya. Karana perubahan cepet punika moben masil gradual (alon-alon lan mawi tahapan), namung sakkala kathah ewah-ewahan lan bebarengan, simultan (disrupsi). Ananging sauger kita tetap andhap-asor, neniteni klayan satiti lan tumindak ngati-ati alandhesan Sabda Suci Sang Hyang Widhi. Tamtu kita pinaringan sasmita saha kawaskithan “maos tandha- tandha jaman” samangke.
    Janjinipun Gusti Yesus, kita badhe dipun kanthi nganthi tumekaning kalanggengan (Mat. 28:20). Ing jaman sarwi canggih, tamtu kita ugi sinagetaken klayan wicaksana ‘mensiasati’ jaman. Kita kedah dados “juragan” tumrap teknologi peparingIpun. Sanes kosokwangsullipun! Bilih ing gesanging masamuwan tansah mesu-budi wicaksana, kita minangka Greja kedah tinarbuka tumraping kritik, cecamah (cemoohan), kangge sangu ndiwasakaken dhiri. Klayan kayakinan bilih INJIL YEKTI KASEKTEN SAKING SWARGI! Spirit ingkang kabetahaken namung ANDHAP ASOR- JUJUR dhumateng dhiri pribadi, sesami lan Gusti! Kalebet ‘sistem’- sistem Greja mboten wonten ingkang sampurna ‘an sich’, krana sanes GUSTI ALLAH. Yen ta wonten ‘kegagagalan’, mboten perlu nglokro utawi memaksakan kehendak, punapa malih ‘membully’ kancane, dulur se-iman. Kasangsaran minangka dados seksi nyata kayekten sejati, punika sanes apes, ananing berkah, kesempatatn peparingipun Gusti Allah ndherek ing seda  sangsara lan mulyanipun Gusti Yesus. Spiral spiritual : kontemplasi – aksi – evaluasi – kontemplasi  terus katindakaken klayan setya.

Perenungan pribadi minangka pandhitaning Pasamuwan, penulis, wah malih rikala wonten “kegagalan” warganing pasamuwan memahami  tugas lan tanggel jawabipun minangka perangan Sariraning Gusti (Gereja sebagai Tubuh Kristus),  kabetahaken refleksi (kesadaran) pribadi minangka pemimpin umat. Kita mboten saged gumampil ‘nglepataken’ warga, ananging ingkang utami rumiyin inggih punika ngaca benggala kangge diri pribadi.

Panutup
Wonten setunggal anekdot ingkang suraosipun mekaten : Ing salah- satunggiling pasamuwan, wonten pendhita ingkang nembe kemawon mandhap saking mimbar; ngladosi kebaktian umum warga diwasa. Rikala mlampah badhe wangsul dhateng kapandhitan, pak ndhito mrangguli salah- satunggiling lare jaler ingkang rupinipun telat badhe kebaktian minggu (Sekolah Minggu). Lare kalawau saweg/taksih anguk-anguk ing kori papan kebaktian Anak (KPAR). Pendhita kalawau lajeng ngginakkaken kesempatan punika kangge “nge-tes” sapinten lebetipun seserepan lare punika ing babagan isining Kitab Suci, kanthi cara pitaken dhumateng lare kalawau :

Pendhita : ”Nak, Aku kepingin ngreti. Miturut kowe sapa pemimpine bangsa Israel, rikala njugrugake tembok kutha Yerikho?”

Lare     : “Wadhuh kula mboten mangretos pak Ndhito!!!”, lare kalawau  ngaturi wangsulan dhateng pendhita setengah ajrih.

Pak Pendhita lajeng nglajengaken tindak, nilar lare kalawau. Mboten kepara dangu, wonten salah-satunggiling Pamong (Guru) ingkang medal saking ruangan, nembe kemawon mimpin kebaktian Anak lan Remaja.

Ningali punika, pendhita enggal-enggal ugi manggihi salah satunggiling Pamong Anak lan Remaja kanthi pitaken : ”Mas… mas, sekedhap, kula badhe pitaken.”

Pamong  : “Pitaken punapa Pak ndhito?”

Pendhita: ”Sampeyan punapa mangretos, sinten ingkang mimpin penyerangan tembok Yerikho ngantos rubuh?”

Pamong  : “…Wadhuh yen punika, kula mboten tumut- tumut Pak ndhito!!!”.

Pendhita  : “O……ya  wis!”.

Tigang- dintenipun pandhita mimpin rapat PHMJ. Ing satengahing rapat pak ndhito ngaturaken cariyos bab pengalamanipun dinten minggu sakderengipun ing bab jugrugipun tembok Yerikho. Dereng rampung nggenipun crita, salah-satunggiling Hartakaning (Bendahara) pasamuwan nyela atur : “Sampun repot pak Pendhita! … Cobi materialipun tembok ingkang jugrug punika dipun etang (kalkulasi) telas pinten ewu rupiyah. Mangke kita lintoni kemawon!!! … ngaten kemawon kok repot.”

Pendhita  : “ … hah???!!!”…

Cariyos  punika mung dongeng fiktif saking Sumatera Utara. Nanging paring sasmita. Bilih sumbering persoalan ing Pasamuwan mboten tansah asalipun saking warga. Ananging malah saking pemimpin Greja ingkang sampun dipun sekolahaken 5 (gangsal) taun, tujuwanipun supados “membekali warga pasamuwan” kangge nindakkaken “jabatan gerejawi” ingkang nyatunggil wonten ing saben pribadi warganing Pasamuwan. Menawi pemimpin sekaligus pelados grejanipun Gusti mboten proaktif ugi nyangoni warga supados makarya. Tangeh- lamun greja ugi sigrak makarya. Kita mboten saged bergereja mung sibuk “berorganisasi”. Nanging ugi peran pribadi warga pasamuwan “merasul” ugi ing samadyaning masyarakat, kita maksimalaken. Krana saben warga ugi kaparingan peparing Roh Suci mawi mawarni- warni ‘sugihing” talenta minangka timbalan makarya: “Mandiri lan dados Barkah”!. Sugeng makarya ! (Sis)

 

Pamuji : 

  • KPJ. 113 : 1 – 3   Gusti Yesus Sang Pamarta
  • KPJ. 270 : 1 – 3   Sang Kristus Sinangsara

Renungan Harian

Renungan Harian Anak