Paskah 5
Stola Putih
Bacaan 1: Kisah Para rasul 8: 26-40
Bacaan 2: 1 Yohanes 4: 7-21
Bacaan 3: Yohanes 15:1-8
Tema Liturgis: Kristus Bangkit, Percaya dan Bersaksilah
Tema Khotbah: Menjadi „Ranting“ Kristus
KETERANGAN BACAAN
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Kisah Para Rasul 8: 26-40
Dalam bacaan yang pertama ini, menunjukkan kepada kita ketika Filipus berjumpa dengan pejabat pemerintahan Etiopia yang disebut seorang sida-sida. Etiopia adalah nama wilayah yang terletak di selatan sungai Nil. Diawali dengan mandat yang diterima oleh Filipus untuk mendatangi kereta yang didalamnya adalah seorang sida-sida yang sedang menggumulkan kitab Yesaya. Dia sadar akan ketidak-mengertiannya, sehingga berharap ada orang yang menjelaskannya, dan Filipus adalah orang yang dipakai Tuhan untuk mendekati dan menjelaskannya. Atas bimbingan Filipus, maka seorang sida-sida tersebut mengerti akan nats kitab yang dibacanya dan Filipus juga memanfaatkan kesempatan untuk memperdengarkan berita tentang Kristus. Tidak berhenti sampai dengan pemahaman saja tentang Kristus, tetapi juga ada keinginan untuk dibaptis dan pada akhirnya percaya kepada Kristus. Satu dari makna akan kisah ini adalah bahwa tidak ada halangan yang berupa apapun, termasuk fisik, ras atau kondisi suasana dan tempat yang dapat membuat manusia mengenal kisah Kristus. Setiap orang memliki hak yang sama untuk menerima panggilan Tuhan.
1 Yohanes 4: 7-21
Bacaan yang diambil dari 1 Yohanes 4: 7-21 mengungkapkan bahwa Allah adalah sumber kasih dan kasih itu sendiri. Dalam Perjanjian Lama, kata “kasih” memiliki banyak arti. Yang paling sering dipahami adalah, kata ini dapat berarti ketertarikan atau perasaan yang sangat kuat antara laki-laki dan perempuan. Sejumlah teks PL melukiskan kasih yang terjalin diantara anggota keluarga, antara sahabat, juga antara tuan dan budak-budaknya. Diatas segalanya, PL menandaskan bahwa umat Israel harus mengasihi Allah, sesamanya, juga orang asing yang ada di negeri mereka. Dalam PB, kata Yunani yang sering dipakai untuk kasih adalah agape, kasih yang rela memberikan diri kepada orang lain. Pada akhirnya baik dalam PL dan PB, kasih yang dikehendaki Allah dari umat-Nya adalah kasih yang nyata dan terbuka menjangkau sesama, bahkan juga musuh mereka. Kasih seperti itulah yang telah Allah kerjakan dalam diri Yesus Kristus dan harus dilakukan oleh umat-Nya di dunia ini. Menghadirkan kasih Allah dalam hidup keseharian memang membutuhkan proses yang panjang. Kasih itu pula yang membentuk karakter dan kepribadian kita, tidak lagi memikirkan diri sendiri tetapi bagaimana menyatakan kasih Allah kepada banyak orang.
Yohanes 15:1-8
Banyak kebun anggur terdapat di negeri Israel pada waktu itu dan pokok anggur adalah lambang negeri itu. Tetapi menurut Yesus, orang-orang Israel tidak patut menjadi pokok anggur Allah. Yesus mengatakan bahwa Dia adalah pokok anggur yang menghasilkan banyak ranting. Agar anggur berbuah lebat, ranting-ranting yang sudah tua dan yang tidak memberikan buah perlu dipangkas. Hanya ranting-ranting yang melekat pada pokok anggur yang akan berbuah. Buah yang Yesus kehendaki dari murid-murid-Nya didasarkan pada kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Umat Allah, bangsa Israel kadang kala dalam kitab Ibrani digambarkan sebagai kebun anggur yang tidak menghasilkan anggur yang diharapkan pemiliknya. Sehingga ranting-ranting tersebut dipangkas dan dibakar setelah menjadi kering. Peran kita yang diharapkan dalam bacaan ini adalah untuk menghasilkan buah, dan untuk tinggal di dalam Kristus supaya bisa menghasilkan buah anggur yang baik, yaitu kehidupan dan perilaku kristiani.
BENANG MERAH TIGA BACAAN
Sebagai “ranting-ranting Kristus” mestinya menghasilkan buah yang banyak, asalkan tetap berada dalam pokok anggurnya. Keterikatan dengan pohonnya dikarenakan harus tetap berada dalam kasih dan sumber kasih itu sendiri. Kasih yang dimaksudkan adalah yang berguna dan sangat dibutuhkan oleh banyak orang, dan tidak terbatas oleh apapun juga. Artinya semua orang memiliki hak untuk mendapatkannya. Peran utama yang harus dilakukan oleh anak-anak Tuhan adalah senantiasa menghadirkan kasih Allah di setiap kesempatan dalam situasi apapun.
RANCANGAN KHOTBAH : Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan… bisa dikembangkan sendiri sesuai konteks jemaat)
Pendahuluan
Memiliki kasih adalah identitas Kristen yang tidak dapat dipisahkan dalam setiap sisi kehidupan orang-orang pilihan Tuhan. Kasih yang dimaksudkan disini adalah kasih yang bersumber dari Allah. Sehingga pemberlakuan kasih dalam setiap langkah hidup manusia yang percaya adalah kasih yang berasal dari Tuhan bukan kasih menurut ukuran dunia. Artinya kasih Allah yang tidak terbatasi oleh apapun juga. Kasih yang tidak mengenal batas karena kondisi fisik, suku, situasi dan kondisi dan sebagainya, termasuk yang terbebas dari faktor pamrih individu atau kelompok.
Tuhan Yesus melambangkan diri-Nya sebagai pokok anggur dan tiap-tiap orang yang percaya kepada-Nya sebagai ranting-ranting. Hanya dengan hubungan yang baiklah yang akan menghasilkan buah yang banyak, artinya hubungan baik antara orang-orang percaya dengan Kristus adalah yang utama dan yang terutama. Namun perlu juga untuk dipahami bahwa cara yang baik untuk mendapatkan banyak buah ialah memotong ranting-ranting yang tidak berbuah dan membersihkan yang berbuah. Sebuah proses yang dialami oleh orang-orang percaya, dengan memiliki kesadaran akan sebuah konsekuensi hidup. Mereka yang tidak berbuah maka putuslah hubungan dengan Tuhan, sehingga hidupnya tidak lagi dalam penguasaan Allah. Demikian juga mereka yang berbuah tetap juga dalam proses pembersihan yang dilakukan supaya tetap terhindar dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Disinilah peran sang “Pengusaha” tampak, dimana ketika ada penghalang untuk tumbuhnya buah yang banyak dan baik, maka proses pembersihan dilakukan. Proses itu mungkin seolah-olah menyakiti, tetapi itu demi kebaikan untuk berbuah baik.
Isi
Apa yang dialami oleh Filipus adalah sebuah contoh yang utuh akan kehidupan “ranting Kristus”. Setidaknya kita memahami Filipus sebagai sosok pengikut Kristus yang telah melewati beberapa tahap kehidupan. Seorang yang memiliki “Militansi Kristen” yang berani melakukan tindakan jemput bola dengan mendatangi seseorang yang memerlukan “kasih Kristus”. Dapat dipastikan bahwa Filipus adalah orang yang sudah ditempa menjadi ranting yang diatur oleh sang “Pengusaha” supaya bisa berbuah banyak dan baik. Proses penempaan yang diterimanya, memiliki semangat untuk berbagi kasih-Nya dengan siapapun tanpa ada batasan yang mengikatnya. Kisah yang mengungkapkan bahwa Filipus tidak hanya menjaga dirinya untuk tetap berhubungan dengan sang “sumber Kasih”saja. Sebagai sosok yang ingin tetap memiliki kasih-Nya, namun juga memiliki tanggung jawab sebagai ranting yang menjadi saluran makanan dari pokoknya kepada “bakal buah anggur”. Artinya peran sebagai teman sekerja Allah tetap merupakan “tanggung jawab” atau meminjam istilah “tugas penghormatan” dari “sang Pengusaha” berbagi kasih kepada sesama, sekali lagi tanpa ada batasan yang bisa dianggap sebagai penghalang karya Allah.
Konsep diri dalam diri Filipus tentulah tidak lepas juga dengan pemahaman bahwa dirinya juga seperti ranting yang walaupun terus tersambung dengan pokoknya, namun kesediaan untuk dibersihkan tetap harus dilakukan. Konsep pemeliharaan diri untuk tetap terjaga hubungan dengan Allah senantiasa dilakukan. Terbukti bisa menjelaskan makna nats dan bercerita banyak tentang Yesus kepada seorang sida-sida yang membuatnya terkesima. Sebuah petanda penjelasan yang dilkukakannya pastinya dengan mudah dipahami. Sebuah sikap yang merasa sebagai “piranti” Allah untuk memenangkan jiwa atas pertolongan Tuhan tentunya. Ini juga merupakan hasil dari proses pembersihan diri bagi mereka yang terus dipakai oleh Tuhan dalam setiap kehidupannya. Memelihara kesetiaan hubungan dengan sang Pokok anggur adalah sebuah prioritas bagi Filipus. Tidak memberi peluang bagi penghambat untuk menghalangi proses pembersihan dan pemelihaaran diri. Sebab seringkali seseorang gagal mempertahankan peran baiknya dikarenakan lupa memelihara kebaikan dalam dirinya, sehingga terlihat rapuh. Disinilah kejahatan mudah untuk menyerangnya.
Ada konsekuensi eksternal yang terjadi jika kita tidak melakukan seperti yang dilakukan oleh Filipus. Diawali dengan pemahaman bahwa dunia atau lingkungan dimana kita tinggal dan bekerja, tidak bisa dihindari dengan sikap yang keras dan jahat. Kondisi itu dengan mudah kita menilai karena memang sudah jamannya yang berubah, tanpa kita memikirkan penyebannya. Atau seakan-akan bahwa lingkungan dengan orang-orang yang jahat di sekitarnya memang sudah “takdir”. Sikap introspektif sepertinya harus diambil dengan pemahaman bahwa, jika di sekitar kita masih banyak orang-orang yang jahat, kemungkinan karena mereka itu jarang bahkan sama sekali tidak menerima kasih dari sumbernya yaitu “Allah”. Sebuah pertanyaan besar bagi kita sebagai “piranti” Allah yang seharusnya menyampaikan kasih Allah itu kepada mereka yang berperilaku tidak baik itu. Mereka itu “haus” dengan kasih Allah, terganjal juga dengan kita yang agak sulit berbagi kasih Allah itu kepada mereka. Dengan beragam alasan yang tanpa kita sadari itu termasuk kategori ranting yang tidak berbuah atau setidaknya ranting yang tidak bersedia menjadi saluran makanan bagi buahnya. Sudah saatnya peran “ranting” kita dikembalikan ke posisi yang benar, dan jika sudah benar, untuk senantiasa bersedia dibersihkan sebagai bagian sikap memelihara karya Allah dalam kehidupan kita.
Penutup
Allah itu baik kepada semua orang, maka semua orang berhak untuk mendapatkan kasih-Nya. Kesadaran diri sebagai “piranti” Allah, maka kita harus menjadi “ranting” yang baik. Jika saja ranting itu berperan dengan baik, maka kesejahteraan dan kedamaian dunia terwujud sebab kasih dari “sang Sumber” itu dimilikinya. Sebagai tanda-tanda kerajaan Allah nyata hadir di dunia. Lepaskan sikap egois, keakuan diri yang berlebihan serta lenyapkan kehidupan eksklusif dalam kehidupan bermasyarakat, sebab kita semua ini adalah sasaran kasih Allah. Amin
Nyanyian: KJ. 434, KJ. 370
—
RANCANGAN KHOTBAH: Basa Jawi
Pambuka
Kagungan katresnan punika pratanda Kristen ingkang boten saged kapisahaken kaliyan lampah gesange manungsa pinilih kagungane Gusti. Katresnan ing ngriki katresnan ingkang medal saking sumber utami, inggih punika Allah piyambak. Temahan pangetrapan katresnan wonten ing lampah gesang tiyang pitados punika katresnan ingkang saking Allah sanes katresnan miturut ukuran donya. Katresnane Allah ingkang boten winates kaliyan samubarang perkawis, kadosdene krana kahanan, raga, suku lan sanes-sanesipun, kalebet tinebihaken saking pamrih pribadi utawi kelompok.
Gusti Yesus paring pratanda bilih Piyambakipun punika kadosdene wit anggur lan tiyang pitados punika dados pang-pangipun. Namung krana sesambetan ingkang sae kemawon ingkang badhe medalaken woh ingkang kathak, artosipun sesambetan sae antawisipun tiyang pitados kaliyan Gusti Yesus punika ingkang utami. Nanging kedah dipun mengertosi bilih cara ingkang sae kangge medalaken woh ingkang kathak, kedah negor pang-pang ingkang boten saged medalaken woh lan ngresiki pang ingkang wonten wohipun. Lampah gesang ingkang dipun tampi tiyang pitados, kanthi sadar saged nampi ugi “konsekuensi”nipun. Tiyang pitados ingkang boten medalaken wohipun ateges pedot sesambetanipun kaliyan Allah, satemah gesangipun boten malih wonten ing wewengkone Allah. Mekaten ugi tumrap tiyang pitados ingkang medalaken woh, ugi kedah dipun resiki, lelampahan ingkang dipun tampeni supados tansah kalis saking panggodha. Kita saged mirsani lelampahing panguwaosipun Allah. Sumadya dipun reseki punika saged ugi rumaos awrat, nanging punika kangge kasaenan supados saged medalaken “woh”.
Isi
Napa ingkang kalampahan dening Filipus punika carios ingkang wutuh bab gesangipun dados “pang-ipun Kristus”. Kita saged mangertosi bilih Filipus punika pandhereke Gusti ingkang sampun nglangkungi trap-trap lelampahan gesang. Pribadi ingkang kagungan “militansi Kristen” ingkang kumawantun lumampah ngrumiyini kanthi manggihi priyantun ingkang betahaken katresnanipun sang Kristus. Filipus punika pribadi ingkang sampun dipun rigenaken dening Allah supados saged medalaken woh ingkang kathah lan sae. Lelampahing panggulawentah punika saged katampi lan saged maringi katresnanipun Gusti dumateng sinten kemawon tanpa winates. Carios bab Filipus punika boten namung kangge njagi pribadi piyambak kemawon. Sanes pribadi ingkang tansah nyuwun katresnanipun Allah kemawon, nanging ugi kagungan tanggel jawab kados dene pang ingkang ugi dados miline tetedhan kangge bakalan woh saking witipun. Artosipun paraga dados rencang damele Allah punika tansah dados tanggel jawabipun utawi ngampil ukara “tugas pangurmatan” saking Allah, paring katresnanipun Allah kangge sesami. Tamtu boten wonten pepalang kangge pakaryaning Allah.
Paugeran pribadi wonten ing lebeting batosipun Filipus tamtu boten saged kapisahaken kaliyan pangertosan bilih piyambakipun inggih kadosdene pang, sanadyan sambung kaliyan witipun, nanging tansah sumadya dipun resiki kaliyan ingkang kagungan witipun. Tansah nglestantunaken sesambetan kaliyan Gusti dados perkawis kang utami. Punika ketingal saweg saged paring piwucal dumateng priyagung Etiopia kalawau, ingkang wusananipun dados pandhereke Gusti. Punapa ingkang dipun tindakaken dening Filipus punika nedahaken wujude pratanda bilih tansah ngrumaosi dados pirantinipun Allah. Punika ugi saged dipun raosaken bilih lampah sumadya dipun resiki pribadinipun minangka dados pirantine Allah. Tumrape Filipus piyambak, sesambetan kaliyan Allah punika kedah kapapanaken ingkang utami wonten ing lampahing gesang. Boten badhe maringi wekdal kangge piala dados pepalang ing lampahing pangresike pamikiranipun. Awit asring manungsa punika dawah saweg badhe tumindak ing kasaenan krana boten enget menawi kedah nglestantunaken kasaenan. Ing kahanan ingkang kados mekaten punika, si iblis nyerang kita.
Wonten “konsekuensi eksternal” menawi kita boten tumindak kadosdene ingkang dipun lampahi dening Filipus. Kawiwitan kaliyan pamanggih bilih kahanan ing panggenan kita gesang lan makarya punika boten saged nebihi saking patrap awon. Pamanggih kita piyambak asring mungel bilih punika sampun jamane, nanging boten wonten pamikiran punapa ingkang kedah dipun lampahi salajengipun kangge mrantasi sedayanipun. Saged ugi kagungan pamanggih bilih punika sampun “takdir” ingkang kedah katampi. Patrap “introspektif” kedah dipun pendet kanthi pamikiran bilih, menawi taksih kathah tiyang awon ingkang celak kaliyan kita, punapa punika ateges bilih tiyang-tiyang kalawau dereng nampi katresnan ingkang sumbere saking Allah. Reraosan kangge kita minangka pirantine Allah, kita ingkang samesthinipun nyebar katresnanipun Allah kangge sesami wonten gesang saben ditenipun. Sesami punika tansah ngorong dumateng katresnanipun Allah, nanging malah kita ingkang dados pepalangipun. Mawarni-warni alesan ingkang kita boten sadar bilih punika kalebet pang ingkang boten saged medalaken woh, utawi pang ingkang boten saged dados panggenan miline tetedhan kangge wohipun. Sampun wancinipun bilih pang punika kedah wangsul malih wonten patrap ingkang leres, mapan wonten panggenan sakawit. Sumadya dipun resiki lan tansah nglestantunaken sedaya titah kang kayasa dening Allah.
Panutup
Allah punika tansah sae dumateng sedaya titah utaminipun manungsa, sedayanipun kagungan “hak” nampi katresnane Allah. Sadar dados pirantine Allah, mila kita kedah dados pang ingkang migunani. Menawi kemawon pang kalawau tuwuh lan migunani kanthi sampurna, wusananipun tentrem rahayu ing alam donya punika saged kawujudaken. Punika pratanda menawi kratone Allah sampun kawujudaken ing alam donya. Sumangga bucal sedaya sikap “egois” lan nebihaken gesang ingkang kalebet “eksklusif” wonten ing tengah-tengahe masyarakat, awit kita punika kang pinesthi nampeni katresnanipun Allah. Amin.
Pamuji: KPK. 153, 1+3, KPK. 294:1