MINGGU ADVEN 1
STOLA HIJAU
Bacaan 1 : Yesaya 2 : 1-5
Bacaan 2 : Roma 13 : 11-14
Bacaan 3 : Matius 24 :37-44
Tema Liturgis : Mempererat Persekutuan Dalam Menantikan Kedatangan-Nya
Tema Khotbah : Mulanya Biasa Saja!
Keterangan Bacaan
Yesaya 2 : 1-5
Yesaya 2 adalah bagian dari Proto Yesaya yang mengisahkan nubuatan tentang Yehuda dan Yerusalem. Yerusalem adalah kota kebanggaan nasional yang menyimbolkan perasaan puas diri dan pusat keagamaan yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Rupanya, rasa bangga atau superioritas itu tidak sebanding dengan sikap yang seharusnya dilakukan. Dalam Yesaya 1 diceritakan bahwa Yerusalem banyak melakukan perbuatan-perbuatan jahat –tidak mengusahakan keadilan, pembiaran terhadap orang kejam, tidak membela hak anak-anak yatim dan perkara para janda- yang membuat Tuhan jemu, benci, dan jijik. Dalam itu semua, Tuhan berjanji di Yesaya 1 : 19-20, apabila Yerusalem mau menurut dan mendengar, maka Yerusalem akan memakan hasil baik. Namun, jika Yerusalem tetap seperti itu, maka Yerusalem akan musnah dimakan pedang. Musnahnya Yerusalem karena dimakan pedang adalah oleh bangsa Asyur dan Mesir yang bersiap-siap untuk mengepung Yerusalem. Nubuatan Nabi Yesaya di pasal 2 setidaknya menegur sekaligus menggugah Yerusalem agar tidak mengandalkan kemampuan diri sendiri. Yerusalem diajak berbondong-bondong ke gunung tempat rumah Tuhan, karena Tuhan hadir di sana untuk membaharui kehidupan melalui ajaran-ajaran-Nya. Kehadiran Allah membawa pemulihan.
Roma 13 : 11-14
Roma 13 : 11-14 adalah bagian transisi penting antara rangkaian nasihat etis Roma 14 : 1 – 15 : 13. Rasul Paulus menggambarkan bahwa keadaan sudah jauh malam. Artinya, sebentar lagi pasti segera pagi dan semakin siang. Bukankah demikian perputaran waktu? Dalam nasehatnya, Rasul Paulus mengidentikkan “malam” sebagai waktu untuk melampiaskan nafsu dan memuaskan keinginan (ay. 14). Pesta pora, kemabukan, percabulan, hawa nafsu, perselisihan dan iri hati adalah wujudnya. Maka dari itu, Rasul Paulus menasihatkan agar “bangun dari tidur”, maksudnya adalah agar tidak terlena bahkan terlelap karena melakukan perbuatan-perbuatan yang melampiaskan nafsu dan memuaskan keinginan. Rasul Paulus menghendaki agar perbuatan-perbuatan tersebut ditanggalkan dan sebagai gantinya mengenakan perlengkapan senjata terang, yaitu Tuhan Yesus Kristus yang diwujudkan dengan mengasihi sesama manusia. Orientasinya tidak lagi untuk kepentingan pribadi, tidak memuaskan keinginan dan nafsu, namun untuk mengasihi manusia.
Matius 24 : 37-44
Matius 24 : 37-44 menggunakan pemahaman apokaliptis. Penulis Injil Matius menggambarkan kedatangan Anak Manusia dengan menggunakan gambaran kehidupan orang-orang pada zaman Nuh.
(24 : 37-39) Orang-orang yang hidup pada zaman Nuh makan dan minum, kawin dan mengawinkan. Perilaku mereka dibarengi dengan hidup yang jahat (bnd. Kejadian 6). Kejahatan itulah yang membuat Allah menilik bumi dan menjumpai bahwa manusia melakukan hidup yang jahat. Hidup yang jahat itu terus berlangsung seperti biasanya (as usual). Yang as usual itu dianggap biasa. Selain dianggap biasa, disebutkan bahwa mereka tidak tahu akan sesuatu, sehingga mereka tidak waspada (ay. 39). Mereka memang tidak tahu apa-apa, karena Allah hanya memberitahu Nuh tentang air bah itu. Datanglah air bah melenyapkan mereka. Mereka tidak tahu apa-apa dan tidak mempersiapkan diri. Mereka tidak waspada dan datanglah air bah melenyapkan peradaban, kecuali Nuh dan keluarganya yang telah masuk ke dalam bahtera.
(24 : 40-42) Dua laki-laki yang bekerja di ladang dan dua orang perempuan yang sedang memutar batu kilangan, dipakai oleh Tuhan Yesus untuk lebih memperjelas maksud-Nya. Dalam pekerjaan yang sedang dikerjakan, yang satu diambil, yang satu ditinggalkan. Begitulah adegannya. Kesannya terjadi secara tiba-tiba dan cepat. Yang diambil masih dalam posisi bekerja, setidaknya. Fokus pada pekerjaan masing-masing, sehingga mereka tentu tidak berjaga-jaga. Maka Tuhan Yesus berpesan agar berjaga-jaga karena tidak tahu kapan Tuhan akan datang. Jadi, sekalipun dalam pekerjaan masing-masing, tetaplah ingat, berjaga-jaga dan waspada.
(24 : 43-44) Penulis Injil Matius menggambarkan kedatangan Tuhan seperti kedatangan seorang pencuri di malam hari. Unik bahwa Tuhan digambarkan sebagai seorang pencuri. Seorang pencuri berusaha mencari kesempatan dalam kesempitan dan kelengahan si pemilik rumah. Seorang pencuri tahu persis apa yang akan diambilnya. Menjadi peringatan yang sangat jelas bagi para murid agar betul-betul berjaga. Siap segala sesuatunya. Tuhan Yesus ingin mengajak agar tidak jatuh pada demam apokaliptis yang hanya meramal dan meramal saja. Meramal sesuatu yang tidak pasti. Lebih baik berjaga dari pada meramal.
Benang Merah Ketiga Bacaan
Berjaga-jaga menjadi titik tekan Tuhan Yesus agar dihidupi oleh orang Kristen. Keselamatan tidak hanya menjadi dimensi masa depan, namun juga menjadi dimensi masa kini. Mengurangi perbuatan-perbuatan yang tidak diperkenan Tuhan dan memperhatikan sesama adalah wujud dari berjaga-jaga.
RANCANGAN KHOTBAH: Bahasa Indonesia
Pendahuluan
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Siapakah yang ingat penyanyi Pance F. Pondaag? Yang pacaran di era-era jadul (jaman dulu), tentu tahu siapa Pance. Ada sebuah lagu dari Pance yang terkenal.
Mulanya biasa saja
Kita saling bercanda
Berbincang seadanya
Semua biasa saja
Tak pernah kubayangkan
Akhirnya datang juga
Gelisah dan rinduku
Menyatu dalam mimpi
Malam-malam begini
Termenung ku sendiri
Menunggu kau disini
Kehadiran dirimu
Di kamar sepi bisu
Ku cari bayang-bayangmu
Di dalam hati ini
Merindukan dirimu
Kalau menyanyikan lagu di atas, tentu segera ingat sebuah pepatah Jawa, “Witing tresna jalaran saka kulina” atau diplesetkan menjadi “Witing tresna jalaran saka ngglibed” Kulina dan ngglibed itu kalau dilihat dari sudut pandangnya Pance, bisa terwakili dengan lirik “Mulanya biasa saja”. Tumbuhnya cinta itu karena terbiasa. Karena sudah biasa maka jadilah yang luar biasa. Berbicara tentang biasa maupun luar biasa, ada sebuah istilah keren yang disebut Banalitas. Banalitas adalah sebuah istilah yang dimunculkan oleh seorang filsuf perempuan yang bernama Hannah Arrendt untuk menyebut perilaku kejahatan yang telah kehilangan ciri kejahatannya. Akibatnya ketika seseorang melakukan tindak kejahatan, maka baginya itu biasa saja. Sudah kebal, mati rasa, bahwa yang dia lakukan itu jahat.
Isi
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Kejahatan yang biasa itu juga menjadi bagian permenungan dalam bacaan Injil. Penulis Injil Matius menggambarkan kedatangan Anak Manusia seperti halnya pada zaman Nuh. Apa sih yang terjadi di zaman Nuh? Kalau kita membaca di dalam Kejadian 6, di sana diceritakan bahwa manusia melakukan perbuatan jahat dalam hidupnya sehari-hari. Bisa dikatakan bahwa Kejadian 6 adalah wujud dari banalitas. Semuanya dianggap biasa-biasa saja. Karena itulah Allah turun menilik ke bumi dan didapatinya manusia berbuat jahat. Allah menyesal dan ingin melenyapkan manusia dari muka bumi. Nah, rencana Allah itu diceritakan kepada Nuh, seorang yang saleh pada zaman itu. Allah menceritakan kepada Nuh bahwa akan ada air bah yang melenyapkan manusia. Nuh disuruh untuk membuat bahtera dari kayu gofir agar ia dan keluarganya bisa selamat dari air bah itu. Allah menceritakan rencanaNya hanya kepada Nuh. Dengan demikian wajar apabila penulis Injil Matius mengatakan di ayat 39, bahwa mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua. Manusia yang banal tadi tidak tahu bahwa akan ada air bah datang, karena mereka terlampau senang / euphoria, makan, minum, kawin, mengawinkan dan terus berbuat jahat. Semuanya dianggap biasa saja. Euphoria tersebut juga disimbolkan secara tidak langsung di ayat 40-41, tentang dua laki-laki di ladang dan dua perempuan yang sedang memutar batu kilangan. Laki-laki dan perempuan itu sedang bekerja, fokus pada pekerjaannya, namun tiba-tiba salah satu dari mereka harus diambil. Kesannya begitu cepat dan tiba-tiba. Demikian juga dengan euphoria. Orang yang terlampau senang, fokus pada kesenangannya, biasanya cenderung lupa dan lengah.
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Pepatah Jawa mengatakan, urip iku mung mampir ngombe. Hanya mampir. Mampir itu sebentar. Kalau lama jadinya jagongan. Maka karena sebentar, manfaatkan waktu yang ada dengan baik. Mampir ngombe, ya minum, tidak untuk hal yang lain. Rasul Paulus menasehatkan agar jangan melakukan perbuatan yang melampiaskan nafsu dan keinginan saja. Apalagi sampai banal, merasa bahwa melampiaskan nafsu dan keinginan itu biasa saja. Biasa jadi ember tur bocor atau Nyai Gambreng, hati-hati lho! Rasanya asyik dan biasa, mengumbar keburukan orang lain. Rasanya asyik dan biasa, mengumbar rahasia pribadi seseorang menjadi rahasia umum yang diketahui banyak orang. Rasanya asyik dan biasa, bisa mempermalukan orang lain di hadapan orang banyak. Senaaaaang…. Euphoriaaaaa…. Hati-hati, jangan jadi seperti kuburan! Nampaknya indah, namun di balik itu busuk. Rasanya asyik dan biasa, bicara A di depan orang X, namun ketika ketemu orang Y, bicaranya jadi B. Bertengkarlah orang X dan orang Y. Waaah…. senaaaang…. Eitz, jangan-jangan yang merasa senang, sebenarnya kelainan jiwa?
Penutup
Berjaga-jagalah karena tidak tahu kapan Anak Manusia akan datang. Datangnya seperti pencuri. Kalau pencuri datang, mak laaap…. habis segalanya. Menyesal. Hari ini, kita memasuki Minggu Adven yang pertama. Dalam tradisi gereja, Minggu Adven menyerupai Minggu Prapaskah, yaitu masa penantian kedatangan Tuhan yang diisi dengan pertobatan yang disertai pengharapan. Kitab Suci mengajarkan agar kita mempersiapkan diri dalam menyambut kedatangan Tuhan. Persiapan diri yang dimaksud adalah “berjaga-jaga”, yaitu menanggalkan perbuatan-perbuatan daging kita, menumpas gunung dan bukit kesombongan hati kita, bahkan menimbun lembah kekecewaan dan luka-luka batin kita, agar semua yang berliku diluruskan dan yang berlekuk diratakan. Semoga tidak sampai, belum sampai dan jangan sampai banal! Amin (dix)
Nyanyian : KJ 271 , KJ 277
—
RANCANGAN KHOTBAH: Basa Jawi
Bebuka
Sinten ingkang enget penyanyi Pance F. Pondaag? Ingkang sir-siran ing jamanipun penyanyi menika, tamtu enget sinten ta Pance menika. Wonten satunggaling lagu anggitanipun Pance ingkang kondhang:
Mulanya biasa saja
Kita saling bercanda
Berbincang seadanya
Semua biasa saja
Tak pernah kubayangkan
Akhirnya datang juga
Gelisah dan rinduku
Menyatu dalam mimpi
Malam-malam begini
Termenung ku sendiri
Menunggu kau disini
Kehadiran dirimu
Di kamar sepi bisu
Ku cari bayang-bayangmu
Di dalam hati ini
Merindukan dirimu
Menawi nyanyi lagu menika, tamtu enggal enget bebasan Jawi: “Witing tresna jalaran saka kulina” utawi dipun plesetaken dados “Witing tresna jalaran saka ngglibed.” Kulina lan ngglibed menika menawi dipun mangertosi miturut pamanggihipun Pance, saged ketawis saking tembung “Mulanya biasa saja.” Tuwuhipun raos tresna menika saking kulina. Karana sampun kulina (biasa), pramila lajeng dumados ingkang elok (luar biasa). Rembagan bab kulina lan elok, wonten satunggaling istilah Banalitas. Banalitas nggih menika istilah ingkang dipun agem dening satunggaling wanita wasis (filsuf), Hannah Arrendt, kangge nyebat pratingkah awon ingkang ketingalipun sampun boten dados piawon. Temahanipun, menawi tetiyang kulina nindakaken piawon, menika dados limrah (biasa), sanes prekawis ingkang awon malih.
Isi
Piawon ingkang dados pakulinan menika dados isining reraosan ing waosan Injil. Mateus ing Injilipun menika nggambaraken rawuhipun Putraning Manungsa kados prekawis ing jamanipun nabi Nuh. Menapa ta ingkang kedadosan ing jaman nabi Nuh? Ing kitab Purwaning Dumadi 6 kacariyosaken bilih manungsa nindakaken piawon ing gesang paditenan. Ing Purwaning Dumadi 6 menika kacariyosaken wujuding banalitas. Sedaya piawon menika dipun anggep limrah, karana sampun dados pakulinan. Pramila Allah tumedhak niti priksa bumi lan nguningani manungsa nindakaken piawon. Gusti Allah getun lan arsa numpes manungsa saking lumahing bumi. Rancanganipun menika kacariyosaken dhateng Nuh, tiyang mursid ing jaman samanten. Gusti Allah criyos dhateng Nuh bilih badhe wonten banjir ageng ingkang nyirnakaken manungsa. Nuh dipun prentah damel prau ageng saking kajeng gofir supados piyambakipun sabrayat saged slamet saking bena ageng menika. Gusti Allah nyariyosaken rancanganipun menika namung dhateng nabi Nuh. Karana menika, boten wonten tiyang, sanesipun Nuh, ingkang nyumurupi bena menika saderengipun nrajang bumi. Manungsa ingkang banal menika boten mangertos bilih badhe wonten bena ageng ingkang badhe nempuh, karana sedaya kalangkung suka bingah, nedha, ngombe, rabi lan ngrabekaken lan tansah nindakaken piawon. Sedaya dipun anggep limrah kemawon. Euphoria (kabingahan ingkang linangkung) ugi kagambaraken ing ayat 40-41 bab tiyang jaler kalih lan wanita kalih ingkang saweg ngubengaken watu gilingan. Para pria lan wanita menika saweg sengkut makarya, nanging dumadakan salah satunggalipun kedah dipun pundhut. Raosipun namung sekedhap lan dumadakan. Mekaten ugi euphoria. Tiyang ingkang klangkung remen, fokus ing kasenenganipun, adatipun dados lena.
“Urip iku mung mampir ngombe.” Mekaten ungeling bebasan Jawi. Namung mampir, tegesipun namung sekedhap. Menawi dangu, naminipun jagongan. Karana namung sekedhap, pramila kita kedah migunakaken wekdal ingkang wonten menika kanthi sae. Mampir ngombe, nggih namung kangge ngombe, boten kangge nindakaken prekawis sanesipun. Rasul Paulus paring pitutur supados kita sampun nindakaken prekawis ingkang namung nguja hawa nepsu lan pepenginan kemawon. Menapa malih sampun ngantos dados banal, bilih nindakaken piawon, nguja hawa nepsu menika limrah lan dados pakulinan. Ngatos-atos supados sampun ngantos dados “ember tur bocor”! Raosipun asyik dan biasa, ngumbar awonipun tiyang sanes. Raosipun marem ngumbar wadinipun satunggaling tiyang dados rahasia umum, temah dipun sumurupi dening tiyang kathah. Raosipun sekeca, remen, kulina, “ngelek-elek” tiyang sanes ing ngajenganipun tiyang kathah. Ngatos-atos, sampun ngantos dados kados kuburan, katon endah nanging (nuwun seweu) bosok lebetipun.
Panutup
“Jumaga-jagaa” karana kita boten mangertos ing wekdal pundi Putraning Manungsa badhe rawuh. Rawuhipun kados maling. Menawi maling dugi, mak laap…telas sedayanipun. Lajeng getun. Dinten menika kita lumebet ing Minggu Adven ingkang sepisan. Miturut riwayatipun, Minggu Adven menika memper Minggu Pra-Paskah, nggih menika wekdal kangge mapag rawuhipun Gusti ingkang katindakaken srana pamratobat kanthi pangajeng-ajeng. Kitab Suci memulang supados kita nyawisaken dhiri mapag rawuhipun Gusti. Cecawis ingkang dipun karsakaken nggih menika “jumaga-jaga”, nggih menika ngrucat patraping daging, mapras redi lan gumuking kasombongan kita; ugi ngurug jurang kuciwa lan tatuning batos kita. Temah sedaya dados rata, lampahing gesang ingkang menggak-menggok dados kenceng. Mugi-mugi ing antawis kita boten wonten ingkang ngantos dados banal. Amin. [terj. st]
Pamuji: KPK 163: 1, 2, 3.