Minggu Kristus Raja
Stola Putih
Bacaan 1 : Yehezkiel 34 : 11 – 16, 20 – 24
Bacaan2 : Efesus 1 : 15 – 23
Bacaan 3 : Matius 25 : 31 – 46
Tema Liturgis : Among Rasa, Tepa Slira
Tema Khotbah : Budaya Tepa Slira menjadi Wujud Nyata Kasih Manusia kepada Allah
Penjelasan Teks Bacaan :
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Yehezkiel 34 : 11 – 16, 20 – 24
Kitab Yehezkiel secara khusus dihubungkan dengan orang-orang buangan (dalam bahasa Ibrani golah) Babel yang dideportasi pada tahun 597 SM. Dalam keadaannya sebagai orang buangan kondisi semakin buruk dengan perilaku para pemimpin Israel yaitu para raja, imam dan nabi yang serakah, mementingkan diri sendiri dan memeras umat Israel (Yeh. 34:3-4). Situasi inilah yang melatarbelakangi nubuatan Yehezkiel tentang Gembala yang baik dan domba gembalaan yang akan digembalakan dengan baik sehingga mendapatkan kehidupan lebih baik (ayat 11-16). Nama Daud kemudian disebut sebagai gembala yang diangkat untuk menggembalakan bangsa Israel (ayat 23). Alegori tentang penggembala ini memang sangat cocok untuk menjelaskan situasi bangsa Israel saat itu dimana ibarat domba kehilangan gembala karena para pemimpinnya yang tidak lagi mampu menjalankan tugas penggembalaan dengan baik.
Perwujudan gembala ini hendaknya dipandang sebagai karya keselamatan di dalam sejarah bukannya sebagai pandangan mengenai seorang Mesias. Dalam konteks bacaan kita gembala merujuk pada pemimpin bangsa Israel yang sudah gagal dan akan digantikan oleh Allah dengan mengangkat seorang gembala yang baik sebagai raja atas bangsa Israel (ayat 24). Istilah gembala dalam perikop ini memang tidak merujuk pada Mesias namun kemudian dipakai untuk merujuk tentang Mesias khususnya dalam Perjanjian Baru. Perikop ini agaknya hanya menyoroti tentang perilaku para pemimpin yang tidak sesuai sehingga perlu adanya pemimpin yang baru apalagi dalam konteks mereka adalah orang buangan dari Babel yang tentu masih membangun kembali kehidupan sosial pasca pembuangan. Sosok pemimpin yang baik dan bertanggungjawab serta bersedia melayani kepentingan orang banyak menjadi yang ideal dalam konteks mereka saat itu.
Efesus 1 : 15 – 23
Efesus 1:15-23 merupakan doa ucapan syukur dan syafaat Paulus bagi para penerima suratnya yaitu gereja-gereja di Asia Kecil. Dalam surat ini dipaparkan tentang keunggulan Kristus atas semua kuasa kosmik (ayat 21). Pemaparan tentang keunggulan Kristus ini dikarenakan konteks jemaat Efesus yang masih dekat dengan pemujaan kepada dewa-dewa Yunani. Sebagai kota yang maju banyak juga tantangan yang dihadapi oleh pengikut Kristus khusus terkait pemahaman monoteis yang bertentangan dengan dunia Yunani yang mengena dewa-dewa. Maka memang surat ini menjadi penting bukan hanya sebagai wujud syukur atas kuatnya iman jemaat namun juga harapan dan permohonan kepada Allah untuk terus memberikan hikmat kepada jemaat Efesus agar mengerti akan panggilan iman mereka.
Ada beberapa hal penting yang dituliskan dalam doa ini, yaitu:
- Ucapan syukur atas iman yang dimiliki oleh Jemaat (ayat 15-16).
- Permohonan kepada Tuhan untuk memberikan Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Allah dengan benar (ayat 17).
- Permohonan agar menjadikan mata hati Jemaat menjadi terang agar mengerti akan panggilan Tuhan (ayat 18-21).
- Segala kepenuhan hanya di dalam Kristus (ayat 22-23).
Berdasarkan beberapa poin yang terdapat dalam doa syafaat ini jelas bahwa ada harapan besar kepada Jemaat untuk menjadi pengikut Kristus yang setia. Permohonan yang disampaikan merupakan kelengkapan bagi orang percaya untuk menjalani kehidupan sesuai dengan kehendak Allah. Pada akhirnya doa ini berharap agar jemaat bisa memahami kemuliaan Kristus diatas segalanya. Jemaat diharapkan tidak tergoda dengan berbagai pengajaran yang bisa saja menyesatkan.
Matius 25 : 31 – 46
Teks ini berbicara tentang penghakiman terakhir dan dijelaskan dalam teks ini terjadi percakapan antara Raja dan orang-orang benar. Sang Raja menyampaikan bahwa yang menerima bagian dari Kerajaan adalah yang memberi makan, memberi minum, memberi tumpangan, memberi pakaian, merawat dan mengunjungi Raja (ayat 36-37). Percakapan ini pun berlanjut tentang pertanyaan orang-orang benar itu kepada sang Raja tentang bagaimana mereka bisa melihat ketika Raja dalam keadaan lapar, haus, sebagai orang asing, telanjang, sakit dan di penjara? (ayat 37-39). Dan semua dijawab dengan satu kalimat : “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (ayat 40).
Percakapan ini nampaknya menjadi cara penulis Injil menanamkan etika kehidupan sosial di kalangan para pembacanya. Perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus ini memang cocok dengan kehidupan para pembaca Injil Matius yang kebanyakan adalah orang Kristen Yahudi. Mereka mengalami tekanan dari pemerintah Romawi sehingga perlu dikuatkan melalui pengajaran-pengajaran yang diberikan. Mengingat status mereka sebagai orang Yahudi, tentu konsep Mesias sudah melekat dalam diri mereka namun ternyata konsep Mesias yang berbeda dengan pemahaman orang Yahudi yang ingin dikenalkan oleh Yesus. Yesus tidak ingin melawan keadaan penindasan dengan kekuatan dan peperangan namun justru melalui kepedulian dan kepekaan kepada sesama yang menderita.
Konteks pembaca ini yang nampaknya mempengaruhi penggambaran bahwa Yesus adalah penggenapan dari janji tentang Mesias dalam Perjanjian Lama. Etika sosial yang ditekankan dalam bacaan ini adalah rasa peduli terhadap penderitaan dan kebutuhan orang lain (ayat 45). Dengan demikian, tentunya kebahagiaan dan damai sejahtera itu tidak berhenti hanya pada orang percaya saja melainkan kepada semua orang termasuk orang-orang yang menderita, bahkan melalui kepedulian terhadap penderitaan orang lain bisa menjadi tolok ukur kepedulian terhadap Allah.
Benang Merah Tiga Bacaan :
Penekanan tentang bagaimana manusia menjalani kehidupan secara komunal menjadi berita pokok dalam ketiga bacaan ini. Bacaan 1 dan 2 menjelaskan bagaimana manusia bertahan dalam suatu komunitas dengan segala tantangannya yang terus membutuhkan pertolongan dari Tuhan. Kemudian pada bacaan ke-3 semakin diperjelas bahwa relasi baik dengan Tuhan itu juga dapat diwujudkan dengan relasi yang baik dengan sesama. Relasi yang baik ini nampak melalui kepedulian manusia terhadap manusia yang lain ditengah segala kondisi yang dialami.
Rancangan Khotbah : Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan, silahkan dikembangkan sesuai konteks Jemaat)
Pendahuluan
Kemajuan teknologi saat ini secara tidak sadar memberikan budaya baru dalam kehidupan masyarakat. Dengan kemajuan itu manusia terbiasa dengan sistem cepat, instan dan mudah. Segala sesuatu dipercepat dan dipermudah melalui keberadaan teknologi. Namun demikian perlu disadari bahwa kecepatan dan kemudahan membuat manusia terus ingin mengejar tujuan dan harapannya hingga mungkin menyebabkan lunturnya kepekaan terhadap sesamanya. Kecepatan dan kemudahan itu akhirnya membuat manusia terlena dan hanya fokus pada kepentingan dirinya sendiri. Oleh karena itu banyak yang mengatakan waktu berlalu begitu cepat, tapi mari kita hayati lebih dalam, apakah waktu yang berlalu begitu cepat atau kepekaan kita terhadap situasi yang berkurang? Jelas rasanya bahwa satuan waktu tidak pernah berubah jadi mungkin kepekaan kita kepada situasi sekitar yang berkurang sehingga waktu serasa berlalu begitu cepat. Dalam bulan budaya ini kita diingatkan bahwa ada budaya baru yang berkembang saat ini yaitu budaya individualistis yang terus menggerus kepekaan terhadap sesama.
Isi
Khotbah Yesus tentang penghakiman terakhir yang terdapat dalam bacaan 3 (Matius 25:31-46) nyatanya tidak hanya menekankan tentang akhir jaman namun bagaimana manusia menjalani kehidupan sebelum datangnya penghakiman terakhir. Penekanan terkait kepekaan terhadap situasi dan keadaan yang dihadapi oleh sesama manusia menjadi yang paling menonjol dalam khotbah Yesus ini. Kepekaan terhadap keadaan sesama manusia ini bahkan dijadikan syarat untuk mendapatkan bagian dalam Kerajaan Allah.
Penghakiman terakhir ini akan memisahkan antara orang benar dan orang fasik yang menjadi salah satu dasarnya adalah perbuatan manusia terhadap sesamanya yang menderita. Kepekaan terhadap penderitaan sesama dijadikan dasar untuk menentukan iman manusia kepada Allah, seperti yang tertulis pada ayat 40 yang demikian : “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. Dengan demikian jelas sekali bahwa apa yang hendak disampaikan oleh Yesus terkait dengan statusnya sebagai Mesias yang membawa damai sejahtera bukan hanya terkait kehidupan setelah kematian namun kehidupan saat ini di tengah dunia.
Sebagai Mesias Yesus tidak ingin memberikan teladan tentang kehebatan dan kekuasaan namun teladan tentang kepedulian dan kepekaan terhadap sesama. Teladan ini diharapkan dapat dikembangkan oleh manusia dalam relasi keseharian bersama dengan orang-orang disekelilingnya. Dalam masa sebelum akhir jaman diharapkan manusia dapat mewujudkan kehidupan yang damai dengan saling membantu dan memiliki rasa tepa slira terhadap sesamanya. Semua memang ingin mendapatkan tempat yang indah pada akhir jaman tetapi untuk mencapai itu rupanya Yesus berharap agar manusia mewujudkan keindahan relasi dengan sesama yang dapat menjadi cara mendapatkan tempat terindah bersama dengan Tuhan di Kerajaan yang Mulia.
Penekanan Yesus dalam bacaan ketiga ini menyentuh bagaimana budaya Yahudi yang biasanya menganggap yang tidak sama dengan mereka bukanlah bagian dari karya keselamatan Allah. Pemahaman ini kemudian diluruskan dengan sebuah ungkapan: “… Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.” (ayat 45). Kata-kata ini menyuratkan bahwa untuk mewujudkan iman kepada Allah dapat dilakukan dengan melakukan sesuatu yang baik kepada sesama bahkan yang paling hina sekalipun. Konsep yang berbeda bukan bagian dari karya keselamatan kini telah terbantahkan melalui kedatangan Yesus sebagai Raja yang melayani.
Hari ini sesuai dengan kalender gerejawi kita memasuki Minggu Kristus Raja untuk mengingatkan kita tentang sosok Raja seperti apa yang kita nantikan sebelum masuk masa penantian (Adven). Konsep Raja yang dibawa oleh Yesus bukan sebagai pemerintah yang berkuasa tetapi sebagai sosok yang melayani dan perduli terhadap penderitaan sesama. Dan ini sangat bertolak belakang dengan gambaran pemimpin yang digambarakan dalam bacaan 1 (Yehezkiel 34:11-16; 20-24) yang hanya mencari keuntungan pribadi bahkan menyengsarakan umat Tuhan. Konsep gembala yang baik dimana dalam bacaan pertama disematkan pada diri Daud telah disempurnakan oleh Yesus dengan sikap kepedulian terhadap penderitaan orang lain bahkan orang yang dianggap paling hina. Kristus Sang Raja tidak hanya menjadi sosok pemimpin bagi umat manusia namun menjadi Raja yang sangat mengerti apa yang dialami oleh setiap manusia bahkan yang paling hina sekalipun tak akan ditinggalkan. Hal inilah yang diteladankan Yesus kepada semua manusia supaya memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap penderitaan sesamanya.
Penutup
Surat kepada Jemaat Efesus yang menekankan tentang kemuliaan Kristus menjadi semakin jelas tergambar bahwa kemuliaan Kristus begitu luar biasa karena ajaran-Nya tentang kepekaan dan kepedulian terhadap penderitaan orang lain yang biasa kita kenal dengan tepa slira. Dalam bulan budaya ini, marilah kita membawa kembali budaya lama yang mungkin mulai memudar yaitu tepa slira untuk mengantisipasi budaya individualistis yang semakin berkembang. Budaya tepa slira menjadi salah satu kunci kedamaian kehidupan manusia di tengah dunia dan juga mewujudnyatakan iman kepada Allah. Membudayakan tepa slira berarti mendamaikan diri di tengah dunia juga mendamaikan masa depan ketika datangnya penghakiman terakhir, karena Kerajaan Allah akan menjadi bagian dari kehidupan selamanya. Selamat ber-tepa slira, selamat berbahagia dan berdamai saat ini, esok dan selamanya bersama dengan Allah di dalam Kerajaan-Nya yang mulia. Amin. (Kuh.C)
Nyanyian : KJ. 432 : 1 – 2 Jika Padaku Ditanyakan
—
RANCANGAN KHOTBAH : Basa Jawi
Pambuka
Kemajengan teknologi sacara mboten sadar nglairaken budaya enggal wonten ing satengahing gesangipun masyarakat ing wekdal punika. Karana kamajengan teknologi manungsa biasa migunaaken sistem ingkang cepet, instan lan gampil. Sadaya kedah cepet lan gampil karana efek kamajengan teknologi punika. Nanging perlu dados kawigatosan kangge kita sadaya bilih budaya cepet lan gampil punika ndadosaken manungsa terus mburu tujuan lan pepinginanipun piyambak ingkang dadosaken lunturipun kepekaan dumateng sesami. Budaya cepet lan gampil wusananipun dadosaken namung fokus kaliyan kepentingan pribadi kemawon. Pramila, kathah ingkang ngucap wekdal punika lumampah langkung cepet, nanging monggo kita renungaken malih, punapa wekdal ingkang cepet gantos utawi kepekaan kita tumrap kahanan lan situasi ingkang luntur? Sampun jelas bilih satuan wekdal punika mboten nate ganti, dados saged ugi kepekaan kita dhateng situasi lan kahanan ingkang luntur satemah kita ngraosaken wekdal punika cepet sanget. Wonten ing wulan budaya punika kita kaajak ngrumaosi bilih ing jaman sakmangke budaya individualistis punika langkung pinunjul lan saged nglunturaken kepekaan kita dhateng sesami.
Isi
Khotbah Yesus bab pangadilan ingkang wekasan kaserat ing waosan 3 (Mateus 25:31-46) nyatanipun mboten namung negesaken bab jaman wekasan nanging ugi kados pundi kedahipun manungsa nglampahi gesang sakderengipun dumugi jaman wekasan. Bab kepekaan dhateng situasi lan kahanan ingkang dipun alami sesami manungsa dados bab ingkang wigati wonten ing khotbahipun Yesus punika. Kepekaan dhateng sesami manungsa malahan dados salah satunggaling syarat nampi bagian wonten ing Kratonipun Gusti Allah.
Pangadilan ingkang wekasan punika bakal misahaken tiyang mursid kaliyan tiyang duraka, ingkang dados dasaripun pangadilan punika saking sikapipun manungsa dhateng sesaminipun ingkang ngalami kacingkrangan lan kasisahan. Kepekaan dhateng sesami ingkang asor dados dasaring iman manungsa dhumateng Gusti Allah, kados ingkang kaserat wonten ing ayat 40 : “Sang Nata bakal paring wangsulan: Satemene pituturingSun marang sira: samubarang kabeh kan sira tindakake kanggo salah sawijining saduluringSun kang asor dhewe iki, iku iya sira tindakake kagem Ingsun”. Saking ayat punika sampun jelas punapa ingkang badhe dipun wartosaken Gusti Yesus minangka Mesias badhe mujudkaken tentrem rahayu wonten ing donya mboten namun bab gesang langgeng sak sampunipun pati.
Minangka Mesias, Gusti Yesus mboten pengin maringi tuladha bab panguawos utawi kamulyanipun nanging tuladha bab preduli lan peka dhateng sesami. Tuladha punika kaparingaken supados saged dados conto utawi tuntunan anggenipun manungsa nglampahi gesang padintenan sesarengan kaliyan sesaminipun. Wonten ing wanci punika manungsa dipun kersaaken saged mujudkaken gesang ingkang tentrem lan saged tulung-tinulung ugi nggadahi raos tepa slira dhateng sesaminipun. Gesang langgeng punika mesthi dados tujuan sadaya tiyang menawi sampun dumugi wekasaning jaman. Nanging kagem nampi gesang langgeng punika Gusti Yesus nggadhahi pengajeng-ajeng supados manungsa saged mujudaken hubungan ingkang endah kaliyan sesaminipun satemah mangke ing wekasaning jaman saged ngraosaken endahipun Kratoning Allah ingkang mulya.
Wonten ing waosan ingkang kaping tiga punika Gusti Yesus badhe nglurusaken pemanggihipun tiyang Yahudi ingkang ngganggep bilih sinten ingkang mboten Yahudi ateges mboten kalebet umat kagunganipun Gusti ingkang nggadhahi hak nampi kawilujengan. Anggenipun nglurusaken pemanggih punika lumatar tetembungan: “………Satemene pituturingSun marang sira, samubarang kabeh kang ora sira tindakake kanggo salah sawijining wong kang asor dhewe iki, iku iya ora sira tindakake kagem Ingsun” (ayat 45). Tembung punika negesaken bilih anggenipun mujudkaken iman dhumateng Allah saged kalampahan kanthi nindakaken samubarang ingkang sae dhateng sesami langkung malih sesami kang asor. Pemanggih ingkang ngganggep tiyang ingkang benten (non Yahudi) mboten kalebet umat kagunganipun Gusti sampun mboten cocok lumantar rawuhipun Gusti Yesus minangka Raja yang melayani.
Dinten punika miturut kalender gerejawi lumebet ing Minggu Kristus Raja kangge tetenger bab sinten Sang Nata ingkang kita anti-anti sakderengipun lumebet ing mangsa Adven. Konsep Sang Nata ingkang dipun gambaraken Gusti Yesus mboten minangka pemerintah ingkang nggadahi kuasa nanging leladi lan preduli dhateng kabetahaning manungsa. Punika dados kosokwangsulanipun kahanan para pangonipun Israel ingkang kacariyosaken ing waosan kapisan (Yehezkiel 34:11-16; 20-24) ingkang kacariyosaken namung mikiraken kauntung sacara pribadi malahan sawenang-wenang marang umat kagunganipun Gusti. Dawud minangka raja ingkang dados pangon ing satengahing bangsa Israel sampun kasampurnakaken dening Gusti Yesus lantaran sikap preduli dhateng sesami malah sesami ingkang paling asor. Kristus minangka Raja mboten namung dados pemimpin kangge manungsa nanging dados Raja ingkang preduli lan mangertos punapa ingkang dipun alami dening manungsa sanadyan asor mboten nate dipun tilar. Tuladha punika ingkang dipun kersaaken Gusti Yesus saged dipun lampahi dening manungsa wonten gesangipun ing donya.
Panutup
Layang kagem pasamuan ing Efesus ingkang negesaken bab kamulyanipun Kristus sansaya gambling bilih kamulyan punika bab ingkang wigati sanget karana piwucalipun bab peka lan preduli dhateng sesami ingkang asring kasebat tepa slira. Wonten ing wulan budaya punika sumangga kita nggalakaken malih budaya tepa slira ingkang mbokmenawi mulai luntur karan budaya individualistis ingkang kathah nguwaosi manungsa. Budaya tepa slira dados salah satunggaling kunci tetrem rahayu ing gesang kita lan ugi mujudaken iman dumateng Gusti Allah. Membudayakan tepa slira atages ngrukunaken diri pribadi ing tengahing donya lan ugi dados jaminan masa depan menawi dumugi titi wancinipun jaman wekasan karana endahing Kratoning Allah dados bagian kita salaminipun. Sugeng mujudkakaen budaya tepa slira lan ngraosaken kabingahan ugi kantentreman dinten punika, mbenjang lan ngantos selami-laminipun sesarengan Gusti Allah ing Kratoning Allah ingkang Mulya. (Kuh.C)
Pamuji : KPJ. 352 : 1 – 2 Santosaning Tetunggilan