MINGGU BIASA 21
STOLA PUTIH
Bacaan 1 : Yesaya 58: 9b-14
Bacaan 2 : Ibrani 12: 18-29
Bacaan 3 : Lukas 13: 10-17
Tema Bulanan : Membangun Persekutuan dengan Hikmat Allah
Tema Khotbah : Sikap Belarasa Melampuai Aturan
Keterangan Bacaan (sumber: http://alkitab.sabda.org/commentary)
Yesaya 58: 9b-14
Kesalahan fatal manusia di hadapan Allah adalah merasa diri benar, lalu mengukur benar-tidaknya orang lain dengan standarnya sendiri. Kesalahan yang lain adalah mengira bahwa dengan melakukan ritual agamanya di hadapan Allah, maka ia boleh tidak perduli dengan sesama. Padahal mengasihi Allah harus mewujud nyata pada tindakan mengasihi sesama manusia.
Bangsa Israel terjebak dalam kondisi seperti itu. Mereka menyangka bahwa ritual yang mereka lakukan adalah sesuatu yang berkenan di hadapan Allah. Sepertinya mereka hidup saleh (ayat 2). Puasa mereka pun bukan main seriusnya (ayat 3, 5). Bagi kebanyakan orang beragama, perilaku itu dianggap agung dan terpuji, dan sepatutnya mendapat pujian serta pahala. Tidak heran mereka protes kepada Allah yang seolah-olah tidak memedulikan mereka (ayat 3). Maka dengan tegas, Tuhan menyatakan mereka bersalah dan berdosa! Mengapa demikian? Karena mereka munafik dan tidak memahami kehendak Tuhan. Segala tindakan mereka hanya untuk kepentingan diri sendiri, bukan untuk orang lain (ayat 6-7). Bangsa Israel lupa, Allah memanggil mereka sebagai umat-Nya untuk menjadi berkat bagi banyak orang. Bukti lain bahwa mereka tidak mengerti kehendak Allah adalah mereka melanggar hukum Sabat (ayat 13). Sabat diberikan Tuhan kepada umat agar mereka menghormati Tuhan dengan beristirahat dan beribadah, serta me-ngasihi sesama dengan memberi kesempatan beristirahat.
Jangan menjadi orang Kristen yang munafik. Jangan me-nyangka bahwa rajin ke gereja, memberi persepuluhan dan persembahan, ikut satu dua bidang pelayanan merupakan tanda kesalehan yang diperkenan Tuhan. Kalau perbuatan pelayanan dan ibadah yang kita lakukan hanya dibuat-buat dan bukan keluar dari hati yang tulus mengasihi Tuhan, serta tidak diimbangi dengan kepedulian kepada sesama yang membutuhkan, maka itulah ibadah palsu yang Tuhan benci. Hindarilah semua itu! Jadilah Kristen sejati, pengikut Kristus yang setia.
Ibrani 12: 18-29
12:18-24 Sebab kamu tidak datang kepada gunung yang dapat disentuh… tetapi kamu sudah datang ke Bukit Sion, ke kota Allah yang hidup… Peringatan ini diawali dengan suatu perbandingan yang mirip perbandingan yang lain dalam surat ini. Perbandingan ini memang aneh, karena kalau dibaca secara sepintas, kesan kita adalah bahwa Gunung Sinai (12:18-21), yang melambangkan Perjanjian Lama, seolah-olah lebih dahsyat dari pada “Bukit Sion” (12:22-24), yang melambangkan keadaan rohani kita dalam Perjanjian Baru.
Mengenai Gunung Sinai, di mana mereka menerima hukum Taurat, ada diceritakan “api, kekelaman, kegelapan, angin badai, bunyi sangkakala, bunyi suara” yang menakutkan, sehingga Musa sendiri “sangat ketakutan dan sangat gemetar.” Keluaran 19:12-13 menceritakan tegasnya peraturan saat itu, di mana gunung itu tidak boleh diraba dengan tangan, dan tidak boleh didaki. Kalau manusia atau binatang melanggar peraturan itu, binatang atau manusia yang melanggar harus dilempari batu atau dipanah. Tegas sekali, peraturan pada saat hukum Taurat diberikan kepada umat Israel. Dahsyat sekali, Gunung Sinai. Manusia hampir tidak mungkin membayangkan sesuatu yang lebih dahsyat dari pada itu. (Ini mengingatkan kita pada pasal 2:2.) Ternyata ada sesuatu yang lebih dahsyat dari pada itu. Bukan Gunung Sinai yang kita datangi tetapi “Bukit Sion.” Apa yang diceritakan di sini (12:22-24), mengenai keadaan rohani kita, lebih mengesankan karena bersifat sorgawi, dan tidak berkaitan dengan bumi ini, seperti pasal 12:18-21. “Jemaat anak-anak sulung,” dalam pasal 12:23, mungkin menunjukkan kepada kumpulan orang di sorga yang sudah memperoleh warisan/upah mereka, karena di dalam Perjanjian Lama anak sulung lebih banyak punya hak waris dari pada anak-anak lain.
Seolah-olah penulis surat ini tidak berusaha lagi untuk meyakinkan para pembaca bahwa “Bukit Sion” ini lebih dahsyat lagi. Seolah-olah dia merasa, “Ya, sudah, kalau kamu tidak menganggap keadaan kita di ‘kota Allah yang hidup,’ di ‘Yerusalem sorgawi,’ lebih dahsyat dan lebih mengerikan, aku tidak bisa menjelaskan apa-apa kepadamu.” Kalau para pembaca dapat merenungkan hal-hal ini, dan menangkap kepentingannya bagi dirinya, maka para pembaca akan lebih didorong untuk bertekun dan memperoleh suatu bagian di dalamnya.
Lukas 13: 10-17
Kerajaan Allah vs kemunafikan.
Tanda-tanda kehadiran Allah tidak selalu terwujud dalam hal yang besar dan menakjubkan. Seperti misalnya, dua orang yang sehati berdoa memohon urapan Tuhan atas pelayanan pemberitaan Injil mereka. Setelah bertahun-tahun berdoa dan ber-PI, kini mereka telah menghimpun lebih dari seribu orang petobat dan murid Kristus yang dengan doa dan semangat yang sama mengabarkan Injil.
Di sisi lainnya kita melihat orang yang berpengetahuan banyak akan firman Tuhan, sehingga merasa berkompeten untuk bisa menegur orang yang tidak mematuhinya, tetapi ia sendiri melanggarnya. Kemunafikan seperti itu jelas tidak bermanfaat, sebaliknya menghambat orang lain maupun dirinya untuk bertumbuh. Sikap munafik ditunjukkan oleh kepala rumah ibadat pada hari Sabat ketika ia memarahi orang-orang yang datang untuk disembuhkan Yesus (ayat 14). Ia melarang Yesus ‘bekerja’ pada hari Sabat, padahal ia sendiri ‘bekerja’ dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan rutin di rumahnya (ayat 15).
Namun, dalam hal ini, persoalan yang lebih utama adalah sikap ketidakpeduliannya terhadap kebutuhan orang lain (ayat 16) sementara ia sibuk untuk mengurus kepentingan diri sendiri. Tindakan Yesus melakukan mukjizat penyembuhan pada hari Sabat merupakan suatu demonstrasi kehadiran Kerajaan Allah di dunia. Memang kehadiran Kerajaan Allah tidak selalu terlihat besar dan megah. Ia mulai dari kecil seperti biji sesawi, namun, kemudian bertumbuh menjadi pohon yang besar. Atau, seperti sedikit ragi yang mengkhamirkan adonan roti. Kerajaan Allah hadir secara diam-diam, tetapi pengaruh yang dihasilkannya memberkati banyak orang.
RACANGAN KHOTBAH: Bahasa Indonesia
Pendahuluan
- Bu Mawar sangat disiplin dalam mendidik anak semata wayangnya, karena ia memiliki harapan agar anaknya dapat meraih masa depan yang baik tanpa bergantung pada orang lain. Dinar -nama anak Bu Mawar- sejak kelas 1 (satu) SD sudah melakukan banyak pekerjaan tanpa bantuan orang tuanya: mandi, mencuci piring, merapikan kamar tidur, melipat selimut. Selain itu Bu Mawar juga membatasi dengan amat ketat jadual kegiatan Dina: nonton TV, belajar, dan bermain dengan teman. Dinar tumbuh dalam disiplin yang amat ketat sampai ia menjadi mahasiswi.
- Suatu saat kala Dinar sedang tekun belajar di kamarnya, ia diminta oleh ibunya untuk mengantar obat yang harus segera diminum oleh Bu Melati yang tinggal di kampung sebelah. Dinar dengan cepat merespon, “Ini saatnya belajar, nanti saja setelah selesai belajar!” Ibunya merayu agar Dinar mau meninggalkan sebentar saja waktu belajarnya untuk segera mengantar obat, tetapi Dinar bersikukuh tidak mau diganggu jam belajarnya.
Isi
- Disiplin memang baik karena akan menuntun hidup seseorang menjadi lebih teratur dan optimal dalam melakukan sesuatu. Hanya saja perlu diingat bahwa manusia bukan robot. Ada sisi-sisi kehidupan manusia yang membutuhkan ruang untuk berekspresi secara bebas, terutama yang berhubungan dengan sikap belarasa terhadap orang lain. Orang tua mestinya jeli terhadap kebutuhan ini, sebab jika kebutuhan untuk mengekspresikan kebebasan ini ditutup sejak usia dini, maka kemampuan belarasanya akan tumpul. Perhatikan dialog ini, “Sampeyan gak nyambangi ibumu tah, wis suwe lho lara parah?” Dijawab, “Gak, kan wis ana bapakku sing ngurus!” Sang anak ringan saja menjawab seperti itu, tak ada kesan prihatin terhadap penderitaan orang tua. Sikap itu karena buah latihan sejak dini yang -barangkali memang- ditanamkan oleh oleh orang tuannya, mematikan ruang ekspresi bebas belarasanya.
- Dari contoh di atas kita menjadi mudah memahami kerisauan kepala rumah ibadah ketika melihat Yesus menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat. Respon yang dierikan oleh kepala rumah ibadat itu bukan datang dari sikap belarasa, tetapi bersumber dari penghayatan mekanistisnya terhadap hukum/ aturan, “Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu itu datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat” Sebuah respon yang tanpa pergumulan!
- Berbeda sekali dari sikap/ respon Yesus. Aturan itu alat, bukan tujuan. Aturan itu untuk manusia, bukan sebaliknya. Yesus berpijak pada belarasa, sedangkan kepala rumah ibadat berpijak pada aturan. Orang yang sejak kecil tumbuh dalam lingkungan yang memberi ruang yang cukup untuk tumbuhnya sikap belarasa cenderung akan memiliki kepekaan yang baik terhadap kesulitan, apalagi penderitaan orang lain. Sebaliknya orang yang sejak kecil tumbuh dalam lingkungan yang mematikan ekspresi bebas belarasanya cenderung tumbuh menjadi pribadi yang kaku dan sekedar taat pada aturan, tetapi tumpul rasa kemanusiaannya.
Penutup
- Yesus ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh perempuan itu, sehingga sekalipun pada saat itu adalah hari Sabat Ia menyembuhkannya. Panggilan belarasa kemanusiaan tidak bisa dibendung oleh aturan. Mirip dengan ketika kita melihat ada seorang anak tetangga yang jatuh dari sepeda di halaman rumahnya, maka tanpa permisi kita masuk saja ke halaman itu untuk menolong anak itu. Apa yang dilakukan oleh Yesus ini memberi teladan bagi kita bahwa dalam situasi tertentu orang harus berani mendahulukan belas kasih daripada aturan dan hukum. Sebab tidak jarang kebenaran dan kebaikan itu melampaui segala aturan dan hukum yang berlaku. Ada saat tertentu kita harus mengutamakan keselamatan jiwa daripada tata aturan yang ada. – (smdyn)
Nyanyian: KJ 357: 1, 2, 4.
—
RANCANGAN KHOTBAH: Basa Jawi
Bebuka
Bu Mawar disiplin sanget anggenipun merdi putirinipun ontang-anting, awit kagungan pengajeng-ajeng supados anakipun sae gesang ing ngajengipun lan boten gumantung tiyang sanes. Dinar -nami putrinipun Bu Mawar- wiwit kelas 1 SD sampun kulina nindakaken kathah prekawis tanpa dipun biyantu dening ibunipun, kadosta: siram piyambak, korah-korah, nata kamar, nglempit selimut.. Kejawi saking punika Bu Mawar ugi mbatesi sanget kegiatanipun Dinar: ningali TV, sinau, lan malah ugi anggenipun srawung kaliyan kancanipun ugi dipun batesi. Lampah gesang mekaten dipun alami dening Dinar ngantos dados mahasiswi.
Salah satunggiling wekdal nalika Dinar saweg nggethu sinau ing kamaripun, ibunipun dhawuh supados piyambakipun ngeteraken obat ingkang kedah dipun ginakaken dening Bu Melati ingkang manggen ing kampung ngajeng. Dinar enggal paring wangsulan, “Saiki wayahe sinau, mengko wae yen wis rampung sinau!” Ibunipun mbudidaya supados putrinipun purun nilar sekedhap anggenipun sinau lajeng mlajar dhateng dalemipun Bu Melati, nanging Dinar mbegegek, boten purun.
Isi
Disiplin punika pancen sae awit badhe mbekta gesang ingkang langkung tumata lan optimal. Namung perlu enget bilih manungsa punika sanes robot, wonten peranganing gesang ingkang mbetahaken papan kangge nglairaken secara mardika raos belarasa tumrap sesami. Tiyang sepuh perlu sanget mangertos bab punika. Awit menawi kabetahan belarasa kalau kasumpel wiwit alit, ing mangkenipun lare punika badhe boten gadhah belarasa dhateng sesami. Cobi dipun gatosaken dialog punika, “Sampeyan gak nyambangi ibumu tah, wis suwe lho lara parah?” Dipun wangsuli, “Gak, kan wis ana bapakku sing ngurus!” Si lare entheng kemawon wangsulanipun, kados boten gadhah raos belarasa babar pisan dhateng kasisahan ingkang dipun alami dening tiyang sepuhipun. Sikap kados mekaten punika inggih minangka wohing anggenipun tiyang sepuhipun merdi wiwit lare punika alit; papan kangge nglairaken raos belarasa pancen sampun dipun pendhem.
Saking conto ing inggil kita dados langkung gampil mangertos kenging menapa kepala papan pangibadah boten remen nalika ningali Gusti Yesus nyarasaken tiyang sakit ing dinten Sabat. Respon kepala papan pangibadah punika boten mijil saking sikap belarasa, nanging mijil sikap gesangipun ingkang mekanistis tumrap tatanan/ aturan, “Dina iku ana enem sing kanggo nyambut-gawe. Mulane tekaa ing salah sijine dina iku supaya disarasake, nanging aja ing dina Sabat.” Setunggaling respon ingkang tanpa penggalih lebet!
Benten sanget kaliyan sikap/ responipun Gusti Yesus. Aturan punika alat, sanes tujuan. Aturan punika kangge manungsa, sanes kosokwangsulipun. Gusti Yesus nglambari sikapipun klayan raos belarasa, menawi kepala papan pangibadah lambaranipun aturan. Tiyang ingkang wiwit alit gesang ing lingkungan ingkang nyumpeli sikap belarasa condhong badhe kangelan ngraosaken sisahipun tiyang sanes.
Panutup
Gusti Yesus saged ngraosaken kasisahanipun tiyang estri kalawau, pramila sanadyan samangke dinten Sabat, Gusti Yesus tetep kersa nyarasaken. Timbalan belarasa tumrap kamanungsan boten saged kabendung dening aturan. Kados menawi kita sumerep lare alit putranipun tanggi kita dhawah, kita langsung kemawon paring pitulungan, tanpa nyuwun ijin langkung rumiyin dhateng tiyang sepuhipun. Punapa ingkang dipun tindakaken dening Gusti Yesus punika minangka tuladha bilih ing wekdal mirunggan kita kedah wantun nengenaken welas asih dhateng sesami katimbang aturan. – (smdyn)
Nyanyian: KPK 132: 1, 2, 3.