Memuliakan Allah, Mengasihi Sesama Khotbah Minggu 20 Februari 2022

7 February 2022

Minggu Biasa
Stola Hijau

Bacaan 1: Kejadian 45: 3 – 11, 15
Bacaan
2:
1 Korintus 15: 35 – 38, 42 – 50
Bacaan 3: Lukas 6: 27 – 38

Tema Liturgis: Menghayati Panggilan Tuhan dengan Hidup Memuliakan Allah
Tema
Khotbah:
Memuliakan Allah, Mengasihi Sesama

Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

Kejadian 45 : 3 – 11, 15
Yusuf adalah anak Yakub yang paling dikasihi. Hal tersebut tampak dari setiap tindakan dan perlakukan yang diberikan Yakub kepada Yusuf. Dan hal itulah yang mendasari para saudaranya sangat membenci Yusuf (Kej. 37:3-4). Puncak kebencian tersebut diluapkan dengan cara menjual Yusuf kepada saudagar Midian yang sedang melakukan perjalan ke Mesir seharga 20 syikal perak. Di Mesir, Yusuf kemudian dijual lagi kepada Potifar, seorang pegawai istana Firaun (Kej. 37:28,36).

Setalah melalui berbagai macam hal yang membuat kehidupan Yusuf susah dan menderita, pada akhirnya Allah memberikan pertolongan kepada Yusuf. Allah memperhatikannya dan mengangkatnya sebagai seorang penguasa di tanah Mesir melalui peristiwa “tujuh lembu buruk memakan tujuh lembu indah” dan “tujuh bulir gandum yang kurus dan layu menelan tujuh bulir gandum yang bernas dan baik” (Kej. 41:1-7; 39-41).

Sekalipun pernah disakiti oleh para saudaranya, Yusuf ternyata tidak memiliki rasa dendam kepada mereka (Kej. 45:5,15). Bahkan sebaliknya, ia berkenan menerima dan menyelamatkan mereka dari bencana kelaparan di tanah Kanaan (Kej. 42:5). Bagi Yusuf, semua yang telah terjadi dalam hidupnya adalah rencana Allah yang indah. Allah menghadirkan keselamatan bagi keluarga dan bangsanya melalui jalan penderitaannya (Kej. 45:7). Cinta yang besar, yang dimiliki oleh Yusuf kepada saudara-saudaranya, mengalahkan rasa sakit dan derita yang pernah dialaminya (Kej. 45:15).

1 Korintus 15 : 35 – 38, 42 – 50
Di Korintus, banyak sekali berkembang ajaran yang tidak percaya akan konsep kebangkitan setelah kematian. Salah satunya ialah ajaran gnostik. Hal ini membuat orang-orang percaya di sana mengalami keragu-raguan serta kebimbangan dalam menghayati iman kepercayaan mereka (iman Kristen). Dalam konteks demikian, Rasul Paulus menuliskan surat pengajaran dan penguatan kepada orang-orang percaya di Korintus.

Rasul Paulus mengawali pengajarannya dengan mengatakan bahwa dasar dari ajaran kebangkitan ialah peristiwa Paskah (kematian dan kebangkitan Yesus Kristus). Menurutnya, kebangkitan Kristus yang diceritakan dalam Injil adalah sebuah fakta historis, yang dibuktikan melalui setiap penampakan Yesus kepada para muridNya (1 Kor. 15:1-11). Dan melalui dasar kebangkitan Kristus inilah, Rasul Paulus hendak menjawab pertanyaan tentang kemungkinan orang mati dapat dibangkitkan. Baginya, sangat mungkin orang mati dapat dibangkitkan kembali, sebab Yesus Kristus adalah buktinya. Selain itu, peristiwa kebangkitan orang mati adalah tanda kemahakuasaan Allah yang tidak terjangkau akal pikiran manusia (1 Kor. 15:12-13, 15-16).

Tidak cukup sampai di situ, natur/ tubuh mana yang akan dibangkitkan pun menjadi persoalan yang coba dijelaskan Rasul Paulus dalam suratnya ini. “Bagaimanakah orang mati dibangkitkan? Dan dengan tubuh apakah mereka akan datang (bangkit) kembali?” (1 Kor. 15:35). Dalam jurnal berjudul “Tinjauan Kritis Teologis Terhadap Pemahaman GKI Salatiga Tentang Kebangkitan Orang Mati Dalam Pengakuan Iman Rasuli”, Waluyo mengatakan bahwa Rasul Paulus memang tidak menjelaskan secara eksplisit jawaban dari pertanyaan tersebut. Akan tetapi, berdasarkan ayat 37-38, Waluyo menyampaikan bahwa menurut Rasul Paulus tubuh yang akan dibangkitkan bukanlah tubuh jasmaniah (berbeda dengan kebangkitan tubuh Yesus – yaitu tubuh jasmaniah/ jenazahnya), melainkan tubuh rohaniah, yaitu tubuh yang tidak dapat binasa (1 Kor. 15: 52).1 Namun lebih dari pada itu, Rasul Paulus pun ingin mangatakan bahwa adanya kebangkitan orang mati ialah tanda akan adanya “kelanjutan” (kehidupan) setelah kematian. Artinya, kematian bukanlah akhir dari kehidupan manusia di dunia. Dibalik kematian masih ada sebuah pengharapan. Bebas dari maut, hidup kekal bersama Bapa di sorga.

Lukas 6 : 27 – 38
Ajaran Yesus Kristus bagi para pengikutNya sangatlah jelas, yaitu kasih. Namun, bukan sembarang kasih, melainkan sebuah kasih yang tidak mementingkan diri sendiri, tidak egois, tanpa batas dan tanpa syarat (Yunani: agapeunconditional love); dan ajaran tersebut bukanlah sebuah pilihan/ tawaran (bisa dilakukan atau bisa tidak dilakukan), melainkan sebuah tugas/ perintah (Agapate, ayat 27).

Tidak cukup sampai di situ, perintah melakukan kasih agape ternyata juga harus diberikan bagi para musuh kita. Kepada mereka (yang membenci, mengutuk dan mencaci kita), Yesus Kristus memerintahkan kita agar berbuat baik, memintakan berkat dan berdoa (Ay. 27b-28). Sebab, memberlakukan kasih hanya kepada orang yang juga mengasihi kita adalah hal yang biasa, dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk orang-orang berdosa (Ay. 32-33).

Oleh sebab itu, Yesus melarang hidup orang-orang percaya dipenuhi dengan penghakiman. Sebab, alat ukur setiap tindakan kita ialah kasih yang telah diberikan Allah terlebih dahulu kepada kita. Artinya, dengan alat ukur yang sama (kasih agape), kita diperintahkan untuk mengasihi sesama kita, termasuk musuh kita.

Benang Merah Tiga Bacaan:
Tanpa kasih (agape), manusia akan sulit melawan penderitaan yang diakibatkan dari rasa dendam, sakit hati, iri, dengki, curiga, marah, dll. [bacaan 1], sehingga ajaran Kristus untuk mengasihi bukan lagi sebuah tawaran, melainkan perintah (agapate) [bacaan 3]. Sebab di dalam kasih, penderitaan berubah menjadi sukacita, kematian berubah menjadi kehidupan [bacaan 2]; dan di dalam kasih terhadap sesama, terkandung sikap memuliakan Allah.

 

Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silahkan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)

Pendahuluan
Tidak sedikit orang yang memahami bahwa memuliakan Allah ialah dilakukan dengan cara rajin mengikuti ibadah-ibadah, baik Ibadah Minggu, Ibadah Keluarga, Ibadah Ketegorial, dan Ibadah-ibadah lainnya. Hal tersebut memang tidak sepenuhnya keliru, namun memuliakan Allah tidak cukup hanya dengan melakukan hal-hal yang bersifat ritualistik.

Isi
Refleksi pengalaman hidup yang dialami Yusuf merupakan hal yang penting untuk dilihat sebagai dasar seseorang memuliakan Allah. Penderitaan dan kesusahan yang diakibatkan oleh para saudaranya, sebenarnya dapat dijadikan alasan yang kuat bagi Yusuf untuk membenci dan marah kepada mereka. Namun semuanya itu tidak dilakukannya. Bahkan, ketika para saudaranya datang ke Mesir guna mencari persediaan makanan – karena di Kanaan terjadi bencana kelaparan yang amat sangat – Yusuf menerima mereka dengan penuh kehangatan. Hal tersebut ia lakukan dengan cara memperkenalkan dirinya kepada para saudaranya, yang sebenarnya sudah tidak mengenali dirinya, yaitu orang yang pernah mereka jual kepada saudagar dari Midian yang sedang melakukan perjalanan ke Mesir (Kej. 45:3-4). Mengapa Yusuf melakukannya? Sebab Yusuf percaya bahwa penderitaan yang dialaminya – sebelum menjadi seorang penguasa di Mesir – ialah cara Allah mencintai dan menyelamatkan keluarga serta bangsanya, sehingga ia tidak marah ataupun membenci saudaranya. Sebaliknya, ia menyambut mereka dengan cinta dan kerinduan yang mendalam (Kej. 45:15).

Yesus Kristus pun mengajarkan hal yang senada. Bagi Yesus menjalani hidup di dalam kasih kepada sesama ialah mutlak. Tidak dapat ditawar, apalagi tidak dilakukan. Bahkan, Yesus mengajarkan jikalau kasih yang diberikan kepada sesama harus didasari dengan ketulusan, tidak egois, tidak mementingkan diri sendiri, tanpa batas dan tidak bersyarat (agape – unconditional love). Semakin tidak masuk akal ialah tatkala apa yang diajarkan Yesus itu harus diwujudnyatakan juga kepada musuh kita (Agapate – Luk. 6:27). Mengapa Yesus mengajarkan sesuatu yang tidak wajar tersebut? Jawabannya jelas, sebab Allah pun telah terlebih dahulu mengasihi kita, manusia yang berdosa tanpa syarat dan tanpa batas; dan dengan alat ukur tersebut (cinta Allah yang tidak bersyarat dan tidak terbatas), maka kita diperintahkan untuk mengasihi sesama kita, tanpa terkecuali (Luk. 6:37).

Refleksi
Berdasarkan kedua kisah di atas, kita belajar bahwa memuliakan Allah ialah dilakukan dengan cara mengasihi (agape) sesama kita, tanpa terkecuali, tanpa syarat dan tanpa batas. Artinya, tujuan utama setiap orang percaya memuliakan Allah ialah memelihara dan menjaga sebuah persekutuan (
band. tindakan Yusuf untuk tetap menjaga persekutuan dengan keluarga dan saudara-saudaranya). Dengan kata lain, memuliakan Allah berarti juga harus menghadirkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaan Allah.

Oleh karena itu, saat ini kita pun diajak untuk merefleksikan kembali apa motivasi dan tujuan kita beribadah. Sungguhkah dalam sebuah ibadah kita memuliakan Allah? Ataukah sebenarnya kita ingin memuliakan diri sendiri yang dibalut dengan kesalehan ritualistik? Dan dapatkah dikatakan bahwa ibadah yang kita lakukan ialah cara kita memuliakan Allah, jikalau dalam hati kita muncul sakit hati, kebencian, bahkan amarah ketika melihat/ berjumpa dengan orang yang pernah menyakiti perasaan kita saat dalam sebuah ibadah? Bukankah dengan demikian, ibadah yang kita lakukan akan menjadi hampa, kosong dan tidak bermakna karena kasih telah hilang? (band. ajaran Rasul Paulus tentang kebangkitan orang mati. Tanpa adanya kebangkitan, maka sia-sialah kehidupan kita. Tidak ada yang bermakna dan tidak ada pengharapan lagi).

Penutup
Memuliakan Allah sebagai Pribadi (Subjek) yang tidak kelihatan memang bukanlah hal mudah dilakukan, karena setiap orang bisa saja mengatakan telah memuliakan Allah, padahal sesungguhnya hanya berusaha memuliakan dirinya sendiri. Akan tetapi, saat ini kita diingatkan kembali bahwa memuliakan Allah tidak dapat dilepaskan dari laku hidup kasih kepada sesama, tanpa terkecuali. Yaitu kasih yang tidak mementingkan diri sendiri, tidak egois, tidak bersyarat dan yang selalu berusaha memelihara dan menjaga sebuah persekutuan. Amin. [7us].

 

Pujian: KJ. 249 : 1, 2 Serikat Persaudaraan

Rancangan Khotbah: Basa Jawi

Pambuka
Boten sekedik tiyang ingkang kagungan pemanggih bilih ngluhuraken asmanipun Gusti punika dipun tindakaken mawi cara sregep ndherek pangibadah-pangibadah ingkang dipun wontenaken ing pasamuwan, sae pangibadah Minggu, pangibadah patuwen brayat, pangibadah kategorial lan pangibadah-pangibadah sanesipun. Pemanggih ingkang kados mekaten panci boten lepat, ananging ngluhuraken asmanipun Gusti boten cekap menawi namung dipun upadi kanthi nindakaken bab-bab ingkang asipat ritualistik.

Isi
Ngramesi gesang lan lelampahanipun Yusuf punika dados prekawis ingkang wigati kagem ningali telesing manungsa anggenipun ngluhuraken asmanipun Gusti. Kasangsaran lan kesusahan ingkang dipun asilaken saking tumindhakipun para sederek, sejatosipun saged dipun dadosaken dasar kuat kagem Yusuf sengit lan nampik para sederekipun. Ananging, Yusuf boten nindakaken prekawis punika. Langkung saking punika, nalika para sederekipun tindhak dhateng Mesir pados gandum – awit ing Kanaan saweg paceklik – Yusuf karsa nampi kanthi kebak ing katresnan. Bab punika pranyata nalika Yusuf matur dhumateng para sederekipun bab jati dirinya. Nggih punika tiyang ingkang sampun dipun sia-sia lan dipun sade dhumateng para saudagar Midian ingkang saweg dhateng Mesir (Pur. 45:3-4). Punapa sebabipun Yusuf nindakaken prekawis punika? Awit Yusuf pitados bilih kasangsaran ingkang dipun alami – nalika taksih dereng dados pangarsa ing Mesir – punika cara ingkang dipun agem Gusti Allah kangge paring pitulung dhumateng brayat lan bangsanipun, satemah para sederekipun boten katampik dening Yusuf. Kosok wangsulipun, Yusuf nampi para sederekipun kanthi tresna ingkang tulus (Pur. 45:15).

Gusti Yesus ugi paring piwucal ingkang sami. Kagem Gusti Yesus, gesang trena-tinresnan dhumateng sesami punika prekawis ingkang mutlak. Boten saged dipun tawa, punapa malilh dipun selak. Langkung saking punika, Gusti Yesus ugi paring piwucal bilih katresnan ingkang dipun tindakaken dhumateng sesami punika kedah dipun dasari raos tulus, boten egois, tanpa wates lan tanpa syarat (agape – unconditional love). Kejawi saking punika, katresnan ingkang dipun wucalaken dening Gusti Yesus ugi kedah dipun tindakaken dhumateng para musuh kita (Agapate – Luk. 6:27). Punapa dasaripun Gusti Yesus paring piwucal ingkang kados mekaten? Awit Gusti Yesus pitados bilih Gusti Allah sampun langkung rumiyin nresnani dhumateng kita, para manungsa ingkang kebak dosa, tan winates, lan tanpa syarat; lan kanthi dasar punika, pramila kita kasuwun supados ugi saged tresna dhumateng sesami kita (Luk. 6:37).

Refleksi
Linandesan kalih carios punika, kita saged sinau bilih ngluhuraken asmanipun Gusti Allah punika katindakaken kanthi nresnani (agape) gesangipun sesami kita. Tegesipun, tanda tiyang ingkang saestu ngluhuraken asmanipun Gusti Allah punika katitik saking tumidakipun ingkang tansah ngupadi rumaketing patunggilan (band. tumindakipun Yusuf nalika ngupadi njagi patunggilanipun kaliyan para sederek). Tembung sanesipun, ngluhuraken asmanipun Gusti punika ateges ngrawuhaken tentrem rahayu tumrap sadaya titahipun Gusti.

 Pramila, ing wegdal punika swawi kita sami niti pirsa malih punapa pangibadah ingkang kita tindakaken sampun cunduk kaliyan karsaipun Gusti. Punapa estu ing salebeting pangibadah, kita ngluhuraken asmanipun Gusti? Punapa kosok wangsulipun, sejatosipun kita ingkang saweg ngluhuraken diri pribadi kanthi tutup kesalehan ritualistik? Lan punapa saged dipun wastani pangibadah kita estu ngluhuraken asmanipun Gusti, bilih kita ngraosaken sengit lan drengki nalika pirsa/ panggih tiyang ingkang demel kuciwaning manah kita ing salebeting pangibadah? Menawi mekaten, punapa boten ndadosaken pangibadah ingkang kita tindakaken punika muspra, boten gina awit boten wonten katresnan ingkang sampun dipun wucalaken dening Gusti Yesus? (band. piwucalipun Rasul Paulus bab wungunipun (kebangkitan) tiyang seda. Tanpa wonten wungunipun tiyang seda, gesang kita boten gina, boten wonten maknanipun lan boten wonten pangajeng-ajeng bab gesang langgeng).

Panutup
Ngluhuraken Gusti Allah minangka Pribadi ingkang boten ketingal panci boten prekawis ingkang gampil dipun tindakaken, awit saben tiyang saged ngandika bilih sampun ngluhuraken asmanipun Gusti ing gesangipun, mangka sejatosipun namung ngupadi luhuring diri. Ananging ing wegdal punika kita sami kaengetaken malih bilih ngluhuraken asmanipun Gusti punika boten saged dipun pisahaken kaliyan gesang tresnan-tinresnan dhumateng sesami kita. Nggih punika tresna ingkang boten egois, tanpa syarat, tan winates lan ingkang tansah ngupadi rumaketing patunggilan. Amin. [7us].             

 

Pamuji: KPJ. 357 : 1, 2 Endahing Saduluran


1  Waluyo, “Tinjauan Kritis Teologis Terhadap Pemahaman GKI Salatiga Tentang Kebangkitan Orang Mati Dalam Pengakuan Iman Rasuli”, (Salatiga: UKSW, 2013). https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12252/3/T1712009034_Full%20text.pdf diunduh 01 Agustus 2021.

Renungan Harian

Renungan Harian Anak