Mewujudnyatakan Kasih yang Inklusif dalam Kehidupan Sehari-hari Khotbah Minggu 2 November 2025

20 October 2025

Minggu Biasa | Pembukaan Bulan Budaya
Stola Hijau

Bacaan 1: Yesaya 1 : 10 – 18
Mazmur: Mazmur 32 : 1 – 7
Bacaan 2: 2 Tesalonika 1 : 1 – 4, 11 – 12
Bacaan 3: Lukas 19 : 1 – 10

Tema Liturgis: Memperjuangkan Budaya Pro Eksistensi
Tema Khotbah: Mewujudnyatakan Kasih yang Inklusif dalam Kehidupan Sehari-hari

Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

Yesaya 1 : 10 – 18
Yesaya adalah nabi di Kerajaan Yehuda (Israel Selatan). Ia melayani Yehuda semasa pemerintahan Uzia, Yotam, Ahas, dan Hizkia (Yes. 1:1). Frances Blankenbaker menjelaskan bahwa dalam kitab Proto Yesaya/ pra pembuangan (pasal 1 – 39), keempat raja tersebut dikisahkan dalam tiga kelompok, yaitu: pertama, pasal 1 – 6 mengisahkan raja Uzia dan raja Yotam; kedua, pasal 7 – 14 mengisahkan raja Ahaz; dan ketiga, pasal 15 – 39 mengisahkan raja Hizkia (Blankenbaker 1989:147). Karena itu, secara politik kondisi Yehuda dalam keadaan stabil. Yehuda aman, kaya, dan makmur. Tidak ada bangsa lain yang berusaha menguasai Yehuda. Hal yang berbeda dialami oleh Kerajaan Israel (Israel Utara), yang sedang menghadapi kehancuran akibat serangan dan tekanan dari bangsa Asyur.

Sekalipun secara politik, bahkan sosial dan ekonomi kerajaan stabil, Yehuda digambarkan sebagai “bangsa yang tidak setia” (Yes. 1:2-9). Dengan sangat keras, Yesaya menyebut para pemimpin Yehuda sebagai manusia Sodom dan rakyatnya sebagai manusia Gomora (Yes. 1:10). Penggambaran yang amat negatif, karena Sodom dan Gomora identik dengan “kota berdosa”. Kota yang dihukum Allah (lih. Kej. 19:1-29). Herria Tekdi Nainggolan menyebutkan bahwa di Yehuda terjadi ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan “golongan atas” (pemimpin dan pengusaha) kepada “golongan bawah”(rakyat). Akibatnya, secara ekonomi, terjadi ketimpangan yang sangat besar. “Golongan atas” sangat kaya, “golongan bawah” sangat miskin. Bahkan, tidak sedikit rakyat yang menjadi budak karena hutang mereka kepada para “golongan atas” (Nainggolan 2020:64–65).

Kondisi semacam inilah yang membuat Allah tidak menerima kurban dan persembahan yang diberikan kepada-Nya, khususnya dari “golongan atas”. Allah sudah jemu dengan praktik peribadatan yang dilakukan (Yes. 1:11), yaitu praktik peribadatan yang kehilangan prinsip-prinsip iman (kasih, keadilan, dan kemanusiaan). Yesaya melihat bahwa Yehuda telah melakukan “dosa kemunafikan”, yaitu orkestrasi iman yang ditunjukan melalui kurban dan persembahan yang luar biasa. Persembahan hasil rampasan terhadap “golongan bawah”. Karena itu, Allah membenci pertemuan-pertemuan yang mereka adakan (Yes. 1:12-14). Selain itu, Allah juga menolak semua doa yang mereka panjatkan, karena mereka menyampaikan dengan “tangan yang penuh darah” (Yes. 1:15). Tangan yang penuh dengan kejahatan.

Oleh sebab itu, melalui Yesaya, Allah menyampaikan agar ketidakadilan dan penindasan yang terjadi segera dihapuskan. Berhenti berbuat jahat, belajar berbuat baik, mengusahakan keadilan, membela anak-anak yatim, dan memperjuangkan kehidupan para janda. Yehuda diperintahkan agar mau membasuh dan membersihkan diri (Yes. 1:16-17). Sebab, hanya dengan itu, anugerah pengampunan akan diberikan kepada Yehuda. Keselamatan akan diterima Yehuda (Yes. 1:18). Jadi, melalui Yesaya 1:10 – 18, tampak bahwa Allah sangat membenci ketidakadilan, segala bentuk penindasan, dan “dosa kemunafikan”. Karena itu, pertobatan (membasuh dan membersihkan diri) menjadi perintah yang harus dilakukan supaya Yehuda tidak mendapatkan kematian (hukuman), melainkan kehidupan (keselamatan). Pro-eksistensi adalah memperjuangkan keadilan dan kehidupan.

2 Tesalonika 1 : 1 – 4, 11 – 12
Tesalonika adalah ibu kota provinsi Makedonia yang terletak di bagian utara Yunani, yaitu salah satu provinsi yang berada di bawah kekuasaan bangsa Romawi (Oet 2014:55). Tesalonika merupakan kota pelabuhan yang sangat berkembang dalam bidang industri dan perdagangan. Menurut Teresia Endang Sulistyawati, nama Tesalonika diambil dari nama istri seorang jendral dari Alexander Agung, yaitu jendral Kassandros (Sulistyawati 2020:100).

Surat rasul Paulus kedua kepada Jemaat di Tesalonika ini dilatarbelakangi beberapa faktor, di antaranya: pertama, berkembangnya ajaran (bidah) yang menyebutkan bahwa “Hari Tuhan” sudah datang (lih. 2 Tes. 2:2). Karena itu, Jemaat di Tesalonika mengalami kebingungan, sehingga terjadi kekacauan di tubuh Jemaat. Kedua, berkembangnya pemahaman bahwa roh lebih penting dari pada tubuh (daging). Roh lebih tinggi daripada daging, karena roh yang menghidupkan tubuh. Dalam kondisi demikian, Paulus mengirimkan surat kedua agar Jemaat di Tesalonika tetap setia dengan ajaran yang sudah diberikannya dan tidak dibingungkan dengan ajaran-ajaran sesat yang berkembang. Mereka diminta tetap menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa dan tetap setia pada kewajiban sebagai pengikut Kristus.

Pada bagian awal suratnya, ayat 3 – 4, rasul Paulus mengucapkan syukur karena Jemaat di Tesalonika, di tengah tantangan yang ada, memiliki ketabahan dan iman yang besar. Penganiayaan dan penindasan yang dialami tidak membuat mereka berpaling dari Kristus. Kesetiaan itu nyata dalam sikap menolak menyembah kaisar sebagai Tuhan. Kesetiaan yang mengandung konsekuensi besar. Sebab, tidak menyembah kaisar sebagai Tuhan adalah tindakan melawan penguasa. Kaisar bukan hanya dipandang sebagai sekedar wakil Tuhan, melainkan Tuhan itu sendiri. Maka dari itu, penyembahan terhadap kaisar adalah kewajiban bagi semua rakyat yang hidup di bawah kekuasaan bangsa Romawi.

Berdasarkan kondisi tersebut, melalui ketabahan dan keteguhan iman yang dimiliki Jemaat di Tesalonika, rasul Paulus berdoa agar Allah melindungi kehidupan Jemaat di sana. Dengan demikian, mereka dilayakkan menjalankan panggilan Kristus dalam hidup mereka, yaitu memperjuangkan kebaikan dalam keseharian. Sebab, kehidupan “daging” tidak lebih rendah daripada kehidupan “roh”. Karena itu, memberlakukan cinta kasih menjadi panggilan hidup orang percaya. Dalam segala keadaan, termasuk di tengah penderitaan, kasih sebagai ajaran Kristus menjadi nilai yang harus terus diperjuangkan supaya nama Yesus selalu dipermuliakan (2 Tes. 1:12). Pro-eksistensi adalah menghadirkan kasih dalam keseharian.

Lukas 19 : 1 – 10
Kisah Zakheus adalah khas Lukas. Tidak ditemukan dalam 3 Injil lainnya. Zakheus adalah kepala pemungut cukai dan seorang yang kaya (Luk. 19:1). Pada saat itu, pemungut cukai adalah pihak swasta (orang Yahudi) yang diberi tugas pemerintah untuk menarik pajak berdasarkan jumlah yang telah ditentukan. Sayangnya, jumlah pajak yang diminta melebihi dari yang sudah ditetapkan pemerintah Romawi. Demikianlah Zakheus melakukan pekerjaannya. Karena itu, para pemungut cukai dibenci banyak orang. Mereka dianggap sebagai penghianat bangsanya sendiri. Maka, tidak heran apabila Zakheus dipandang sebagai orang yang berdosa (Luk. 19:7). Bahkan, ia dianggap sebagai kepala para pendosa (Suwantie 2020:91) dan koruptor (Sidabutar and Hutapea 2020:11). Selain itu, Zakheus adalah satu-satunya wakil pemerintah Romawi yang secara resmi berhak memungut cukai di wilayah Yerikho terhadap para pendatang dari Parea yang memasuki wilayah Yudea (Suwantie 2020:95).

Akibatnya, secara sosial, Zakheus “ditolak” oleh masyarakat. Kehadirannya dianggap sebagai sumber penderitaan dan masalah. Hal itu tampak dari sikap banyak orang yang tidak memberikan “jalan” bagi Zakheus ketika dirinya ingin melihat Yesus. Sri Suwantie memandang bahwa hal tersebut sebagai tindakan “pengucilan” yang dilakukan masyarakat kepada Zakheus (Suwantie 2020:96). Akan tetapi, ia memiliki motivasi intrinsik yang besar, yaitu motivasi untuk sungguh-sungguh melihat dan berjumpa dengan Yesus. Ia tidak menyerah. Karena itu, ia mendahului orang banyak dan memanjat pohon ara (Luk. 19:4). Gayung bersambut, Yesus melihat kedalaman dan kesungguhan hati Zakheus.  Yesus tidak memandang “dosa” sebagai penghalang kasih-Nya. Akhirnya, Zakheus diperintahkan untuk turun karena Yesus harus menumpang di rumahnya (Luk. 19:5).

Tindakan Yesus tersebut mendapatkan kecaman dari banyak orang. Sebab, sebagai kepala pendosa, tidak semestinya Yesus menerima keberadaan Zakheus. Apalagi hingga singgah di rumahnya. Seharusnya sikap Yesus adalah mengutuki Zakheus karena kejahatan yang telah dilakukan atas bangsanya sendiri. Yaitu sebagai “pegawai” pemungut cukai dari bangsa Romawi, bangsa penjajah. Akan tetapi, melalui penerimaan Yesus, terjadi perubahan besar atas kehidupan Zakheus. Ia mengalami pembaharuan dalam hidupnya. Hal itu nyata melalui tindakannya membagikan setengah dari harta milikinya untuk orang miskin. Bahkan, akan mengembalikan empat kali lipat kepada orang-orang yang pernah diperasnya (Luk. 19:8).

Melihat tindakan Zakheus tersebut, Yesus lantas mengatakan bahwa keselamatan terjadi di dalam rumah Zakheus. Bukan hanya bagi Zakheus, tetapi juga seluruh isi rumahnya. Sebab, kedatangan Yesus adalah untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (Luk. 19: 9 – 10). Ia datang bukan untuk orang sehat, melainkan orang sakit. Ia datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa (band. Mat. 9:12 – 13). Sebab, tidak ada orang berdosa yang dapat menyelamatkan dirinya sendiri dari dosa. Karena itu, keselamatan adalah anugerah semata (Sidabutar and Hutapea 2020:5). Jadi, tindakan Yesus menumpang di rumah Zakheus adalah simbol bahwa keselamatan bersifat universal. Tidak terkecuali bagi siapa pun bahkan (terutama) bagi orang yang berdosa. Pro-eksistensi adalah menerima yang dipinggirkan dan dikucilkan.

Benang Merah Tiga Bacaan:
Misi Allah di dunia adalah misi kehidupan, pro-eksistensi. Karena itu, segala bentuk ketidakadilan, penderitaan, kejahatan, diskriminasi, peminggiran, dan pengucilan adalah “musuh” bersama yang harus dilawan. Sebaliknya, misi kehidupan, pro-eksistensi adalah panggilan yang harus terus diperjuangkan. Sebuah perjuangan memberlakukan kasih dalam kehidupan sehari-hari. Kasih yang menghadirkan keadilan, kedamaian, penerimaan, dan sukacita bersama.

 

Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)

Pendahuluan
Agaknya setiap orang setuju jika mewujudnyatakan kasih dalam kehidupan sehari-hari adalah panggilan hidup umat percaya. Sebab, kasih adalah ajaran utama yang ditekankan dalam tradisi iman Kristen. Yesus Kristus yang adalah perwujudan kasih Allah kepada dunia, pun senantiasa memberikan teladan kasih bagi para murid-Nya, yaitu kasih sebagai dasar kehidupan manusia. Pertanyaannya, jika demikian, mengapa hingga saat ini masih banyak ditemukan perselisihan dan permusuhan yang terjadi di antara kehidupan orang-orang percaya, baik intra-denominasi maupun inter-denominasi, termasuk relasi dengan umat beragama lain? Merasa kelompok, denominasi, dan kepercayaannya paling benar, sehingga menganggap dan memandang yang lain adalah pihak yang salah? Apakah itu buah dari pemberlakukan kasih dalam kehidupan sehari-hari? Jika tidak, mengapa terjadi hal-hal yang demikian?

Isi
Berdasarkan ketiga bacaan di atas, tampak bahwa mewujudnyatakan kasih dalam kehidupan sehari-hari bukanlah perkara yang mudah. Bahkan, ketika sedang dalam keadaan baik dan sejahtera sekalipun. Hal itu tampak dari tindakan para “golongan atas” yang melakukan ketidakadilan dan penindasan terhadap “golongan bawah” di dalam Kerajaan Yehuda. Kondisi Kerajaan yang stabil, khususnya bagi para pemimpin, nyatanya tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan yang dirasakan rakyat dan orang-orang miskin. Di mana hal tersebut membuat Allah murka dan hendak memberikan hukuman kepada Kerajaan Yehuda apabila mereka tidak segera bertobat, yakni “membasuh dan membersihkan diri” serta “tangan yang penuh dengan darah”. Selanjutnya, bagi yang mau memperjuangkan keberpihakan kepada kaum lemah (anak yatim dan janda) akan diberikan kehidupan (pengampunan) dan sukacita, yaitu mereka yang memperjuangkan keadilan dan kehidupan bersama (pro-eksistensi).

Hal yang senada pun tampak dalam kisah Zakheus. Kasih yang diajarkan Yesus kepada banyak orang, khususnya para murid-Nya, tidak lantas membuat mereka selalu hidup dalam kasih. Mereka tidak bisa menerima Zakheus dalam kehidupan masyarakat. Sebagai pemungut cukai, penghianat bangsa, kepala para pendosa, dan koruptor, Zakheus adalah orang yang dibenci dan mendapatkan pengucilan, termasuk diskriminasi dari masyarakat. Karena itu, ketika Yesus singgah di rumah Zakheus, banyak orang mempertanyakan sikap serta tindakan Yesus tersebut. Menurut orang banyak, Zakheus tidak layak mendapatkan penerimaan. Akan tetapi, melalui penerimaan dari Yesus, Zakheus mengalami perubahan hidup. Ia bertobat. Ia memberikan separuh hartanya kepada orang miskin dan mengambalikan empat kali lipat kepada orang-orang yang pernah diperasnya.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa sejatinya kasih yang dimiliki seseorang ada yang bersifat eksklusif, yaitu kasih yang sangat terbatas. Terbatas kepada dirinya sendiri maupun kelompok-kelompok tertentu yang dipandang sesuai dengan hati mereka. Dengan demikian, sebenarnya bukan tidak memiliki kasih. Mereka mempunyai kasih, tetapi “kasih yang pilih-pilih”. Hal inilah yang oleh Yesus coba diubah. Yesus ingin mengajarkan bahwa kasih itu tidak boleh dibatasi oleh apa pun, termasuk dosa sekalipun. Sebab, ketika ada penghalang-penghalang yang mampu membatasi kasih seseorang terhadap yang lain, maka pada saat itulah “dosa” memenangkan pertandingan.

Dengan demikian, melalui kesaksian Lukas, ingin disampaikan bahwa kasih harus bersifat universal. Kasih harus mampu diberikan kepada siapa pun, dimana pun, dan kapan pun (inklusif), tanpa terkecuali, tanpa syarat. Sebab, kuasa kasih dapat mengubah “yang tidak mungkin menjadi mungkin”. Hal itulah yang terjadi pada hidup Zakheus. Karena itu, dalam kehidupan kita sebagai orang percaya, panggilan mewujudnyatakan kasih dalam kehidupan sehari-hari adalah tanda iman dan kepercayaan kita kepada Yesus Kristus, Sang Putra Allah, yang adalah wujud kasih Allah itu sendiri. Kasih tidak boleh dihalangi oleh apa pun, termasuk dosa yang telah dilakukan seseorang. Kasih memang membenci “dosa”, tetapi tidak membenci “orang berdosa”. Karena itulah, Rasul Paulus mendoakan kehidupan Jemaat di Tesalonika. Sebab, mereka memiliki keteguhan iman dan kesetiaan kepada ajaran Yesus, yaitu kasih dalam segala keadaan. Bahkan, ketika mereka mengalami penderitaan dan penganiayaan.

Penutup
Pada minggu ini, GKJW mengawali Pembukaan Bulan Budaya. Melalui kesaksian firman Tuhan tersebut, kita bersama diingatkan bahwa mewujudnyatakan kasih yang universal, kasih yang inklusif bukanlah perkara yang mudah. Karena itu, dalam menghayati momentum Bulan Budaya saat ini, kita dipanggil agar dapat membudayakan sikap hidup berdasarkan kasih yang universal dan inklusif itu kepada seluruh ciptaan Allah, apa pun dan siapa pun, tanpa terkecuali. Harapannya, dengan membudayakan kasih yang inklusif dalam kehidupan sehari-hari, perselisihan dan permusuhan di antara kehidupan orang-orang percaya, baik intra-denominasi, interdenominasi, antar kepercayaan, maupun di dalam relasi-relasi kehidupan yang lainnya (keluarga, pekerjaan, masyarakat, dll.), dapat dikelola dengan baik. Dengan demikian, sukacita, keadilan, kedamaian, pro-eksistensi, mampu kita rasakan bersama-sama. Amin. [JA].

 

Pujian: KJ. 432  Jika Padaku Ditanyakan

 

Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)

Pambuka
Tamtunipun saben tiyang sarujuk bilih nindakaken katresnan ing gesang padintenan punika timbalanipun para tiyang pitados. Punapa malih, ing iman Kristen, katresnan punika dados piwucal ingkang utami, ingkang sampun dipun tuladhakaken dening Gusti Yesus Kristus. Katresnan kedah dados tetalesing gesang tiyang pitados. Ananging ingkang dados pitakenan, menawi saestu mekaten, kenging punapa taksih katah dipun panggihi memengsahan lan sesengitan ing salebeting gesang para tiyang pitados, sae ing sesambetan intra-denominasi, inter-denominasi, kalebet ugi sesambetan kaliyan ingkang benten kapitadosan? Rumaos bilih kelompok, denominasi, lan kapitadosanipun langkung sae, satemah ningali lintunipun awon? Punapa punika wohipun katresnan ingkang kababar ing gesang padintenan? Menawi mboten, lajeng kengin punapa prekawis ingkang kados mekaten kelampahan?

Isi
Lumantar tigang waosan kita ing dinten punika, cetha sanget bilih nindakaken katresnan ing gesang padintenan sanes prekawis ingkang gampil. Kalebet ing gesang ingkang kebak kasantosan. Kados dene waosan ingkang kaping sepisan. Kraton Yehuda ingkang saweg ngalami kasantosan, mliginipun para pangarsa, mboten dados jaminan rakyatipun ngraosaken prekawis ingkang sami. Kosok wangsulipun, para “golongan atas” nindakaken panindes tumrap para “golongan bawah”. Ing pundi tumindak ingkang mekaten njalari Gusti Allah duka lan dasari  paukuman dhateng Yehuda. Pramila, lumantar nabi Yesaya, Yehuda dipun engetaken supados enggal mratobat, inggih punika “wisuh lan ngresiki awak” saking “tangan ingkang kebak getih”. Salajengipun, tumrap tiyang ingkang purun ngupadi kasantosaning lare lola lan prakaranipun para randha, badhe dipun paringi gesang (palimirma) lan kabingahan. Nggih punika sedaya tiyang ingkang mbudidaya kaadilan lan gesang rahayu (pro-eksistensi).

Prekawis ingkang sami ugi kelampahan ing cariyos Zakheus. Katresnan ingkang dipun wucalaken dening Gusti Yesus, mligi dhateng para pandherekipun, mboten dados jaminan para pandherekipun ugi tansah nglamapahi gesang kanthi kebak ing katresnan. Para tiyang katah mboten saged nampi Zakheus ing satengah-tengah gesangipun masyarakat. Awit, minangka juru mupu bea lan pangarsanipun para tiyang dosa, Zakheus punika dados mengsahipun tiyang katah. Zakheus katampik lan kasisihaken ing salebeting masyarakat. Pramila, nalika Gusti Yesus badhe pinarak dhateng dalemipun Zakheus, katah tiyang ingkang sami guneman mirsani tumindakipun Gusti Yesus. Miturut tiyang katah, Zakheus mboten layak nampi katresnan saking Gusti Yesus. Ananging, lumantar katresnan ingkang dipun tampi saking Gusti Yesus, gesangipun Zakheus kaenggalaken. Zakheus mratobat. Piyambakipun ngakeni bilih sampun nindakaken prekawis ingkang lepat. Kanthi mekaten, Zakheus lajeng andum setengah donyanipun dhateng para tiyang sekeng lan mangsulaken tikel sekawan dhateng sedaya tiyang ingkang nate dipun peres.

Kanthi mirsani cariyos punika, sejatosipun saged dipun tingali bilih katresnan ingkang kababar punika asipat eksklusif. Nggih punika katresnan ingkang tumuju namung dhateng dhirinipun piyambak lan ugi dhateng para tiyang ingkang dipun anggep sae dening manahipun. Dados, sejatosipun para pandherekipun Gusti Yesus sanes tiyang ingkang mboten kagungan katresnan. Para tiyang katah punika kagungan katresnan, ananging “katresnan ingkang pilih-pilih”. Gusti Yesus mboten rena kaliyan katresnan ingkang mekaten. Pramila, Gusti Yesus paring tuladha lan piwucal bilih katresnan punika mboten saged dipun alang-alangi kaliyan bab punapa kemawon, kalebet dosa.

Wusananipun, lumantar paseksipun Lukas, badhe dipun aturaken bilih katresnan punika kedah nggadahi sipat universal. Katresnan kedah saged dipun tindakaken dhateng sinten kewamon (inklusif) lan mboten mbetahaken syarat setunggal punapa. Awit, katresnan kagungan kuwaos mujudaken sedaya “prekawis kang mokal dadi ora mokal”. Cariyos Zakheus dados gegambaranipun. Pramila, ing salebeting gesang kita, timbalan nindakaken katresnan ing gesang padintenan punika minangka tanda iman lan kapitadosan kita dhumateng Gusti Yesus Kristus, Sang Putranipun Allah Rama, ingkang ugi dados wujud katresnanipun Gusti Allah piyambak. Katresnan kedah dipun tindakaken dhumateng sinten kemawon, mboten saged dipun batesi dening punapa kemawon. Katresnan mboten remen kaliyan “dosa”, sanes dhateng “tiyang dosa”. Kanthi pemanggih ingkang kados mekaten, Rasul Paulus ndedonga tumrap gesangipun pasamuwan ing Tesalonika. Awit, pasamuwan ing Tesalonika kagungan iman lan kasetyan ingkang ageng dhumateng piwucalipun Gusti Yesus. Nggih punika, tansah dasari gesang kanthi kebak katresnan ing sadengah kawontenan. Kalebet nalika saweg nampi kasisahan lan panindes.

Panutup
Ing Minggu punika, GKJW murwakani “Pembukaan Bulan Budaya”. Lumantar dhawuhipun Gusti punika, kita kaengetaken bilih mujudaken katresnan ingkang universal, ingkang inklusif punika sanes prekawis ingkang gampil dipun tindakaken. Pramila, ing salebeting Bulan Budaya punika, kita dipun timbali supados saged ndadosaken padatan (membudayakan/ membiasakan) katresnan ingkang inklusif ing salebeting gesang padintenan. Kanthi mekaten, memengsahan lan sesengitan ing antawisipun gesang para tiyang pitados, sae intra-denominasi, inter-denominasi, ingkang benten kapitadosan, lan ing sedaya sesambetan ingkang wonten (brayat, pakaryan, masyarakat, lsp.), saged dipun icalaken. Wusananipun, kabingahan, kaadilan, katentreman, pro-eksistensi, saged kita raosaken sesarengan ing salebeting gesang. Amin. [JA].

 

Pamuji: KPJ. 357  Endahing Saduluran

Renungan Harian

Renungan Harian Anak