Minggu Biasa | Penutupan Bulan Budaya
Stola Hijau
Bacaan 1: Daniel 12 : 1 – 3
Mazmur: Mazmur 16 : 1 – 11
Bacaan 2: Ibrani 10 : 11 – 14, 19 – 25
Bacaan 3: Markus 13 : 1 – 8
Tema Liturgis: GKJW Membudayakan Perdamaian dan Keadilan Sosial
Tema Khotbah: Iman kepada Kristus Membangun Budaya Guyup Rukun
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Daniel 12 : 1 – 3
Daniel 12:1-3 merupakan bagian dari perikop 12:1-13 yang berkisah seputar nubuatan tentang peristiwa-peristiwa akhir zaman. Nubuatan ini ditujukan kepada Daniel (12:4), bahwa pada akhir zaman akan muncul kesesakan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya, meskipun demikian Tuhan pencipta langit dan bumi bertindak adil dan setia. Ia mewartakan bahwa bangsa pilihan akan terluput dari bencana tersebut (Ay. 1). Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang namanya terdaftar dalam buku kehidupan.
Bahwa dalam situasi yang demikian akan terjadi dua pengelompokan: ada yang mengalami kehinaan dan kengerian, dan di sisi lain akan terjadi pemulihan dan penyelamatan (Ay. 2). Ungkapan “orang-orang yang telah tidur di dalam debu tanah, akan bangun” menyiratkan adanya pengharapan akan kebangkitan yang tidak didasarkan pada peristiwa alamiah, melainkan bergantung sepenuhnya pada kuasa Tuhan, yang melampaui inderawi manusia. Meskipun umat pilihan Allah dan orang-orang jahat akan direduksi menjadi tanah dan debu, hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi Tuhan untuk membangkitkan mereka kembali.
Ayat 3 memberikan penegasan, bahwa hanya orang-orang yang diam dalam kebenaran Tuhan yang akan menerima buah pembenaran oleh tangan Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang tetap bertahan dalam pencobaan, tidak hanyut oleh godaan si jahat, kapanpun mengalami kesulitan dan penderitaan tetap berpegang pada janji keselamatan Tuhan. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang yang bijaksana dan hidupnya terus memancarkan terang kebenaran laksana bintang yang terus bersinar. (Calvin, n.d., p. 372; Theodoret of Cyrus: Commentary on Daniel, 2006, p. 319 diterjemahkan oleh Robert C. Hill).
Ibrani 10 : 11 – 14, 19 – 25
Kepada siapa Kitab Ibrani ini dikirimkan? Berdasar pasal 2:3, jelas menunjukan bahwa tulisan ini ditujukan kepada komunitas Kristen yang sudah lama mengenal Kristus. Bahkan disebutkan dari sisi waktu, mereka sudah matang dan “seharusnya menjadi pengajar” (5:12). Sejarah hidup mereka sebagai orang yang percaya kepada Yesus Kristus cukup panjang. Penulis mengajak warga jemaat untuk berefleksi, mengingat masa lalu: setelah menerima Kristus mengalami penderitaan, perjuangan iman yang berat, cercaan, hinaan, baik sebagi pribadi maupun sebagai komunitas Kristen (10:32-33). Meskipun penerima surat belum mengalami penganiayaan “sampai mencucurkan darah” (12:4). Jemaat diajak untuk mengingat teladan iman para pendahulu (13:7), berpegang pada pengharapan, saling memperhatikan, dan terus bertekun dalam persekutuan.
Kitab Ibrani ini ditulis untuk memberikan kekuatan kepada jemaat yang mulai mengalami keraguan terhadap imannya kepada Yesus. Dengan menerima Kristus, mereka merasa kecewa dan kehilangan cara hidupnya, seperti tradisi korban dan persembahan (10:1-18). Banyak orang ingin kembali kepada hidup lama sebagai orang Yahudi. Untuk itulah surat Ibrani ini ditulis, untuk membuktikan bahwa kepercayaan dalam Yesus Kristus jauh lebih agung daripada segala adat dan upacara Yahudi.
Penulis mengingatkan persembahan korban yang dilayankan oleh imam “tiap-tiap hari pelayanannya dan berulang-ulang mempersembahkan korban yang sama, tidak dapat menghapuskan dosa” manusia (Ay. 11). Justru puncak korban persembahan yang dilakukan oleh orang Yahudi berpusat pada diri Yesus, seperti yang tertulis pada ayat 19, “Jadi saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus.” Istilah “darah” merangkum semua yang tersirat dalam kurban Kristus. Ini membuka suatu jalan baru dan hidup sebagai umat Allah. Kini kita memiliki suatu mezbah yang berbeda dari mezbah Yahudi yang lama (13:10), dan yang terletak “di luar pintu gerbang” agama Yahudi.
Selanjutnya, penulis mengajak jemaat Kristen untuk tetap menjalani kehidupan imannya dengan “tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh” (Ay. 22), tetap berpegang pada pengakuan tentang pengharapan (Ay. 23), dan tetap mewujudkan gaya hidup persekutuan sebagai pengikut Yesus, yaitu gaya hidup untuk selalu menghidupi komunalisme gereja sebagai tubuh Kristus (Ay. 25).
Markus 13 : 1 – 8
Markus 13:1-8 merupakan bagian dari keseluruhan “nasihat dan nubuat tentang kebinasaan Yerusalem dan kedatangan Yesus yang kedua kali” sebagaimana tertulis pada pasal 13:1-37. Ini adalah khotbah Yesus yang paling panjang yang terdapat dalam Injil Sinoptik (band. Mat. 24; Luk. 21).Secara khusus pada bacaan Markus 13:1-8 terdiri dari dua setting tempat dan konteks yang berbeda. Pertama, ayat 1-2, mengisahkan pertentangan antara Yesus dan tua-tua Israel di Bait Allah. Perikop ini merupakan rangkaian dari perselisihan Yesus dengan para tua-tua Israel. Hal ini nampak dari respons Yesus terhadap penilaian murid-murid-Nya perihal bangunan Bait Allah yang nampak kokoh. Seorang di antara murid-murid-Nya (Mat. 24:1 menyebut, “murid-muridNya”; sedang Lukas 21:5, “beberapa”) terkesan dengan kemegahan bangunan Bait Allah. Yosephus, seorang sejarawan pada masa itu menyebutkan bahwa Bait Allah dibangun dengan batu-batu yang putih dan kokoh. Masing-masing berukuran panjang dua puluh lima hasta, tinggi delapan hasta dan lebar kira-kira dua belas hasta. Disebutkan bahwa tempat mahakudus, tingginya lebih dari 100 kaki. Sudahlah pasti, karena Bait Allah dibangun Herodes Agung dengan material bangunan yang mahal, seperti batu pualam, marmer, dan emas. Jawaban Yesus atas kekaguman para murid, sangat bertolak belakang. Yesus tidak melihat apa yang nampak, melainkan sesuatu yang ada di belakang penampilan hebat tersebut. Bait Allah hanyalah lambang dan pusat orde lama yang sudah usang. Lambang itu masih berdiri, tetapi pada saat yang ditentukan harus roboh juga. Dari bangunan yang megah itu “tidak satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain, semuanya akan diruntuhkan” (Ay. 2). Telah berulang kali Yesus mengingatkan Yerusalem mengenai penghukuman (baca Luk. 13:1-dst; 13:35; 19:44). Apa yang Yesus ramalkan di sini adalah jatuhnya Bait Allah sebagai penghakiman atas Israel. Suatu zaman baru akan tiba, yang tidak lagi memberlakukan ibadah dalam Bait Allah.
Kedua, ayat 3-8, perihal percakapan Yesus dengan para murid di bukit Zaitun. Digambarkan dengan jelas dalam ayat 3, bahwa Yesus bersama para murid sedang berada di bukit Zaitun yang berhadapan dengan Bait Allah. Bukit Zaitun mengingatkan pengalaman Yehezkiel yang memperoleh pengelihatan mengenai turunnya kemuliaan Allah (Yeh. 11:23) dan Zakharia yang sedang menantikan penampakan Allah untuk menghakimi musuh-musuh Israel (Zak. 14:4). Di situlah umat Yahudi menantikan penampakan Mesias. Pertanyaannya adalah apakah yang menjadi maksud penulis Injil Markus menyebutkan “bukit Zaitun berhadapan dengan Bait Allah”? Adakah maksud tertentu ataukah sekadar menyatakan tempat?
Dengan tegas teks bacaan menunjukkan perihal “kokohnya batu-batu” Bait Allah (Ay. 1) dalam perspektif manusia, dipandang sebaliknya oleh Yesus merupakan “kerapuhan” (Ay. 2). Nyatanya Yesus mengatakan bahwa batu-batu yang kokoh tersebut akan diruntuhkan. Bagi penulis, ayat 2 dan 3 memberikan perspektif baru dalam melihat bangunan Bait Allah. Para murid melihat Bait Allah sebagai bangunan yang kokoh (Ay. 1), dan untuk membantu menjelaskan perihal pemahaman para murid yang salah, Yesus mengajak memandang Bait Allah dalam perspektif “bukit Zaitun”. Jikalau dipandang dari bukit Zaitun, nyatanya yang blegernya kokoh tadi itu nampak rapuh dan lemah. Melihat kenyataan bahwa para murid hanya menilai sesuatu dari bleger-nya, wujud fisiknya saja, Yesus menasihati supaya mereka waspada terhadap sesuatu yang nampak oleh penglihatan. Waspadalah terhadap banyak orang yang menyesatkan. Waspada terhadap orang-orang yang bermulut manis, dan sering mengaku sebagai “orang benar”. Waspada (Ay. 5-6) dan tetaplah tenang (Ay. 7), hadapilah semua itu dengan tetap bertekun dan percaya bahwa Roh Kudus akan menopang umat-Nya (Ay. 11).
Benang Merah Tiga Bacaan:
Tantangan kehidupan di zaman digital saat ini adalah kehidupan yang semakin mengedepankan ciri kompetitif, yang mendewakan rivalitas satu terhadap yang lain. Tingginya tuntutan kehidupan membawa pribadi terlalu asyik dengan pekerjaannya, kepentingannya, dan tujuannya secara personal, sehingga tanpa sadar mengeliminasi atau mengasingkan dirinya dari lingkungan dan masyarakat. Parahnya setiap orang berupaya untuk membangun citra diri, personal branding sebagai yang nampak hebat, kuat, cerdas, baik hati, dan hal-hal positif lainnya, padahal sejatinya tidaklah demikian. Sehingga mereka abai terhadap panggilan sosialnya sebagai gereja, yaitu membangun kehidupan yang guyup rukun, saling mendukung sebagai sebuah persekutuan, dan hidup dalam kebenaran firman Tuhan.
Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)
Pendahuluan
Basilius dari Kaisarea atau yang dipanggil dengan sebutan Basilius Agung adalah seorang teolog dan bapa gereja pada abad ke-4 M. Ia memberikan perhatian yang mendalam terhadap pelayanan gereja sebagai persekutuan. Baginya, sejak semula manusia diciptakan tidak untuk menyendiri atau meniadakan yang lain, melainkan untuk hidup bersama, saling menghargai dalam cinta. “Human man persons are created not to be solitary, but to live and to grow together in love”. Dalam homilinya terkait Kejadian 1:26 dan Mazmur 1, ia mengatakan bahwa manusia diciptakan sebagai komunitas pertama yang anggotanya setara dalam kehormatan. Laki-laki dan perempuan diciptakan dalam martabat yang sama dan masing-masing dari mereka adalah bagian dari keseluruhan. Manusia bukan hanya satu orang tertentu, tetapi juga wakil dari keluarga atau komunitas yang benar di hadapan Allah. Allah menciptakan manusia bukan seorang pribadi yang menyendiri, melainkan komunitas di mana orang-orang itu setara satu sama lain.
Isi
Sejak semula manusia diciptakan Allah dalam ikatan persekutuan satu terhadap yang lain. Adam dan Hawa diciptakan dalam relasi Adam-Hawa, satu terhadap yang lain. Demikian juga relasi Adam Hawa dan Tuhan Pencipta. Artinya sejak semula sampai hari ini, natur manusia, demikian juga natur gereja ada dalam relasi dengan dirinya, sesama, dan Tuhan. Tetapi sayang, dewasa ini manusia terlalu sering bicara tentang “AKU”, “ENGKAU” dan meninggalkan percakapan-percakapan persekutuan tentang “KITA”. Tentu terlalu sering bicara “AKU” akan menjerumuskan manusia pada kepongahan dan kesombongan. Ini yang diagungkan oleh para murid Yesus soal “kokohnya bangunan Bait Allah”. Terlalu sering bicara “AKU”, “ENGKAU” menempatkan gereja pada perselisihan dan pengelompokan yang tidak sehat. Dan melupakan perbincangan tentang “KITA” sama halnya dengan mengubur harapan persekutuan gereja Kristen. Dengan demikian bangunan budaya berkeadilan akan jauh dari kehidupan kita. Bagaimana memulihkan atau membangun kembali budaya guyub rukun yang menjadi warisan leluhur kita dan sekaligus ciri khas gereja Kristen? Bagaimana memulihkan kembali relasi “KITA” dan meninggalkan “AKU” atau “ENGKAU”?
Bacaan kedua kita, Ibrani 10:19-25 menegaskan bahwa pengorbanan darah Yesus Kristus di kayu salib memberikan keberanian jemaat Tuhan untuk meninggalkan “AKU” dan “ENGKAU” dan masuk dalam persekutuan “KITA” dengan Kristus. Penulis kitab Ibrani mengajak jemaat Kristen untuk tetap menjalani kehidupan imannya dengan “tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh” (Ay. 22), tetap “berpegang pada pengakuan tentang pengharapan (Ay. 23), dan tetap mewujudkan gaya hidup persekutuan sebagai pengikut Yesus, yaitu gaya hidup untuk selalu menghidupi komunalisme gereja sebagai tubuh Kristus (Ay. 25), gaya hidup “KITA”.
Yakinlah Tuhan Yesus akan pulihkan. Adakalanya untuk mengembalikan keguyuban jemaat seperti yang pernah terjadi dulu bukan persoalan yang gampang. Mengobati luka yang ada, sulit untuk dapat sembuh seperti sedia kala. Waspdalah terhadap banyak orang yang menyesatkan. Waspadalah terhadap orang-orang yang bermulut manis, dan sering mengaku sebagai “orang benar”. Waspadalah (Mrk. 13:5-6) dan tetaplah tenang (Mrk. 13:7), hadapilah semua itu dengan tetap bertekun dan percaya bahwa Roh Kudus akan menopang umat-Nya (Mrk. 13:11).
Ungkapan “orang-orang yang telah tidur di dalam debu tanah, akan bangun” dalam Kitab Daniel memberikan kekuatan dan spirit baru. Ini menyiratkan adanya pengharapan akan kebangkitan yang bergantung sepenuhnya pada kuasa Tuhan, yang melampaui inderawi manusia. Meskipun umat pilihan Allah dan orang-orang jahat akan direduksi menjadi tanah dan debu, hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi Tuhan untuk membangkitkan mereka kembali. Kalau Tuhan sudah berkehendak tidak ada kekuatan lain yang dapat menghalanginya. Bahwa orang-orang yang diam dalam kebenaran Tuhan akan menerima buah pembenaran oleh tangan Tuhan. Kapanpun umat Tuhan mengalami kesulitan dan penderitaan, janji keselamatan Tuhan akan digenapi. Karena memang demikianlah kehidupan orang-orang benar di hadapan Tuhan (Dan. 12:3).
Penutup
Kiranya oleh tuntunan dan penyertaan Roh Kudus, warga jemaat dan kemudian gereja dimampukan untuk terus melestarikan natur gereja dan budaya guyub rukun, karena hanya dengan hal ini gereja dapat menghadirkan berkat bagi sesama. Mari terus menuturkan tentang “KITA”, karena dalam “KITA”-lah Kristus nyata adanya. Tuhan Yesus memberkati. Amin. [ITH].
Pujian: PKJ. 267 : 1 Damai di Dunia
Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)
Pambuka
Basilius saking Kaisarea utawi ingkang dipun sebat Basilius Agung punika salah satunggaling teolog lan bapa greja ing abad 4 M. Piyambakipun kagungan kawigaosan ingkang inggil tumrap peladosan greja minangka patunggilan. Miturut piyambakipun, wiwitan manungsa dipun titahaken, manungsa mboten saged gesang piyambak, nanging gesang sesarengan kaliyan sesaminipun, tansah ajen-ingajenan. Ing Purwaning Dumadi 1:26 lan Jabur 1, kasebataken bilih manungsa dipun titahaken Gusti minangka komunitas kaping pisan ingkang anggotanipun kagungan kaurmatan ingkang setara. Jaler lan estri dipun titahaken wonten martabat ingkang sami. Manungsa mboten namung satunggal tiyang tartamtu, nanging ugi dados wakil saking brayat utawi patunggilan tiyang pitados wonten ngarsanipun Gusti Allah. Gusti Allah nitahaken manungsa sanes pribadi ingkang piyambakan nanging patunggilan tiyang ingkang setara.
Isi
Wiwitan mula, manungsa dipun titahaken, manungsa sami katunggilaken satunggal lan sanesipun. Adam lan Hawa dipun titahaken ing relasi Adam – Hawa, satunggal tumrap sanesipun. Mekaten ugi relasi Adam Hawa kaliyan Gusti Allah. Wiwitan mula ngantos dinten punika, kawontenanipun manungsa ugi greja wonten ing relasi antawis piyambakipun, sesami, lan Gusti. Nanging, kawontenan ing wekdal sapunika, manungsa langkung remen wicanten “AKU”, “KOWE” lan nebihi wicanten bab “KITA”. Langkung sering wicanten bab “AKU” saged dadosaken manungsa gumunggung lan sombong. Prekawis punika ingkang dipun agungaken dening para sakabat bab “kiyatipun bangunan Padamelan Suci”. Tiyang ingkang asring wicanten bab “AKU”, “KOWE” punika saged dadosaken greja crah lan wontenipun kolompok-kelompok ingkang mboten sehat. Nglalekaken wicanten bab “KITA” punika sami kemawon kaliyan ngubur pangajeng-ajengipun patunggilan Greja Kristen lan dadosaken kabudayan adil punika tebih saking gesang kita. Lajeng kados pundi anggen kita mulihaken lan mbangun malih budaya guyub rukun ingkang dados warisan leluhur kita lan dados ciri khas greja kita? Kados pundi anggen kita mulihaken malih relasi “KITA” lan nilaraken “AKU” utawi “KOWE”?
Waosan kita ingkang kaping kalih, Ibrani 10:19-25 negesaken bilih Rah pangorbananipun Sang Kristus ing kajeng salib maringi kakiyatan kangge pasamuwan wantun nilar “AKU” lan “KOWE”, lajeng mlebet ing patunggilan “KITA” kaliyan Sang Kristus. Juru serat Ibrani ngajak pasamuwan Kristen kangge nglampahi gesang imanipun kanthi tulus ikhlas lan teguh (Ay. 22), tetep ing pangajeng-ajeng (Ay. 23), tetep mujudaken gesang ing patunggilan minangka pandherekipun Gusti Yesus, sarta nindakaken gesang minangka greja, badanipun Sang Kristus (Ay. 25), gaya gesang “KITA”.
Kita kedah yakin bilih Gusti Yesus badhe mulihaken. Pancen mulihaken guyubing pasamuwan punika kados sakderengipun sanes prekawis ingkang gampang. Ngobati tatu punika ewet sarasipun kados saderengipun. Mila kita kedah waspada tumrap para tiyang ingkang nyesataken. Waspada tumrap para tiyang ingkang manis lathinipun, ingkang asring ngaku minangka “tiyang bener”. Kita kedah waspada (Mrk. 13:5-6) lan tenang (Mrk. 13:7). Kita adhepi sedaya punika kanthi tekun lan pitados bilih Sang Roh Suci badhe nuntun umat-Ipun (Mrk. 13:11).
Ukara “wong-wong kang wis turu ing lebu lemah, ate tangi” ing Kitab Daniel dados kakiyatan lan semangat enggal. Bab punika nuwuhaken pangajeng-ajeng bab patangen ingkang gumantung kaliyan kuwaosipun Gusti Allah, nglangkungi kakiyatanipun manungsa. Sanadyan umat pilihan Allah lan para tiyang jahat badhe dipun musnahaken dados lemah lan lebu, prekawis punika mboten dados alangan kagem Gusti Allah nangekaken malih tiyang-tiyang punika. Bilih Gusti Allah sampun ngersakaken, mboten wonten kakiyatan sanesipun ingkang ngalang-alangi. Para tiyang ingkang mendel ing kayektening Gusti badhe nampi wohing kayekten saking Astanipun Gusti. Nalika umatipun Gusti ngalami kahanan ingkang ewet lan sangsara, janji kaslametanipun Gusti badhe dipun genepi, awit kados mekaten gesangipun tiyang-tiyang bener ing ngarsanipun Gusti. (Dan. 12:3).
Panutup
Mugi srana tuntunan lan panganthinipun Sang Roh Suci, warga pasamuwan lan greja dipun paringi kasagedan kangge nglestarekaken natur greja lan budaya guyub rukun, awit saking bab punika, greja saged nuwuhaken berkah kangge sesami. Mangga kita terus nuturaken tembung “KITA”, karana ing tembung “KITA”, Sang Kristus tansah nyata. Gusti Yesus mberkahi kita. Amin. [Terj. AR].
Pamuji: KPJ. 400 : 1, 2 Ayem Tentrem Neng Sang Pamarta