Minggu Biasa | Hut Ke–80 RI
Stola Putih
Bacaan 1: Yeremia 23 : 23 – 29
Mazmur: Mazmur 82
Bacaan 2: Ibrani 11: 29 – 12: 2
Bacaan 3: Lukas 12 : 49 – 56
Tema Liturgis: Membangun Budaya Kritis Apresiatif
Tema Khotbah: Keutamaan Kristus dalam Hidup Membawa Kemerdekaan Sejati
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Yeremia 23 : 23 – 29
Kitab Yeremia ditulis pada masa bangsa Israel sudah mapan di tanah Perjanjian Kanaan. Sebagaimana kita tahu bahwa negeri Israel dalam konteks sejarah penyelamatan Allah era PL dilukiskan bagaikan “Istri” yang diikat janji oleh “Mempelai Allah”. Semestinya sebagai rekan sekerja Allah, Israel setia kepada Allah (Ul. 6:4) dan meninggikan Allah di atas segalanya. Tetapi yang terjadi para pemimpin (gembala) Israel lebih banyak “berselingkuh” dengan meng-ilah-kan ilah- ilah lain. Akibatnya Israel terpecah menjadi dua, yaitu: Israel Utara dan Israel Selatan (Yehuda). Nabi-nabi berteriak menyerukan monotheism Yahweh dalam kehidupan etik sosial-politis tetapi keberadaan mereka tidak banyak digubris oleh para pemimpin Israel waktu itu. Akibatnya pada tahun 722 SM, Israel Utara hancur lebih dahulu, tinggal tersisa Israel Selatan (Yehuda), yang pada akhirnya juga dihancurkan Babil (Nebukadnezar) di tahun 586 SM. Disinilah Nabi Yeremia berseru menyampaikan nubuat, baik yang bersifat hukuman maupun pengharapan masa depan bagi ”sisa-sisa Israel” yang ditawan oleh Babel.
Diperkirakan nabi Yeremia hidup selama masa pemerintahan Yosia (640-609 SM), Yoahaz, Yoakhim (609-598 SM); Yoyakhin dan Zedekia (598-587 SM). Di masa pemerintahan Yosia, ”peringatan Yahweh“ yang disampaikan Nabi Yeremia ditanggapi positif. Yosia melakukan reformasi radikal. Bangsa Israel kembali memuja Yahwe, karena itu Yeremia tidak bernubuat lagi. Tapi, kembali Nabi Yeremia menyerukan pertobatan massal pada masa Yehuda berikutnya.
Khusus bagian bacaan kita Yeremia 23:23-29, ini adalah pesan Yeremia yang ditujukan kepada “Para Gembala” Israel (Imam, Raja, juga nabi- nabi palsu). Kepada mereka yang mengaku ”Nabi”, tetapi pada praktiknya mereka “bernubuat” menurut kemauan mereka sendiri. Oleh karena itu, mereka akan mendapatkan perlawanan dari Allah sendiri (Ay. 30-32). Dan hal ”perlawanan” ini salah satunya hukuman diungkapkan pada pasal 24, hal kiasan keranjang buah ara, istimewa namun busuk.
Ibrani 11 : 29 – 12 : 2
Kitab Ibrani ditulis untuk Jemaat yang sedang dalam penganiayaan, terancam, dan terpenjara sebagai akibat mengimani Yesus sebagai Sang Mesias. Penulis Ibrani berupaya memberikan kekuatan kepada Jemaat dalam kondisi demikian. Sekalipun tentang siapa penulis kitab ini belum bisa dipastikan, namun tidak diragukan penulis Ibrani sangat mengenal mereka dan penulis di bawah otoritas pengajaran para rasul.
Sesuai dengan judul Kitab ini, Ibrani, agaknya Jemaat Kristen ini berlatar belakang keturunan Israel (Ibrani) diaspora. Setidaknya mereka paham betul Kitab Perjanjian Lama yang berpusat pada Kitab Taurat beserta tradisi dan penjabarannya dalam budaya Yudaisme. Kitab ini memang tidak secara khusus mengungkap penyebab penganiayaan. Yang pasti bahaya pemurtadan terhadap keimanan Kristen sangat nyata. Karena itu, penulis Ibrani berupaya meyakinkan mereka atas kebenaran iman yang mereka miliki, yaitu Yesus Kristus memang telah memenuhi segalanya.
Kristus di atas segala-galanya jelas sekali. Sejak awal kitab Ibrani ditulis, tradisi Yahudi mulai dari “tradisi angelologi“ (Tradisi pernyataan melalui makhluk sorgawi) yang menyampaikan Taurat di Sinai kepada Musa. Tradisi Musa sebagai nabi besar penerima Taurat, menyebutkan tentang tradisi keimaman pendamaian manusia dan Allah (Yesus Sang Raja Imam) serta korban domba sembelihan. Semua pemenuhan nubuat kitab PL mengarah dalam diri Yesus Kristus. Karena memang Kristuslah puncak keselamatan Ilahi atas jagad raya ini dalam sejarah keselamatan. Untuk itu, di bagian kitab Ibrani 11:29 – 12:2 diungkapkan para saksi kebenaran itu beserta “reward“ bagi mereka yang setia hingga akhir hayat.
Di bagian Ibrani 10:38 diungkapkan, “… Tetapi orang-Ku yang benar akan hidup oleh Iman, dan apabila mereka mengundurkan diri, maka Aku tidak akan berkenan kepadanya.“ (Cf. Hab. 2:4: Orang benar hidup karena percayanya; be-emunatow; dari kata “Emunah“; אֶמוּ). Teks asli berbunyi di ayat 38, “..ό δε δικαιος μου έκπιστεως ζήσεται“ (Ho de dikakios mu ekpisteus….Terjemahan letterlijk = (orang) tetapi yang mempunyai hubungan benar (dengan)Ku karena iman akan hidup. (Hasan Susanto DTh.; 2010; p. 1189). Kata Ekpisteos memang dari kata dasar Pistis; πιστις yang artinya setia (Bhs. Ibrani = Emunah ; אֶמוּנׇה). Jadi kesetiaan hidup adalah relasi akrab dengan Tuhan, tetapi juga hidup setia pada sabda dan janji Allah dalam Yesus. Maka merekalah terhitung manusia yang dibenarkan Tuhan dan menang! Ibrani 11 seluruhnya memberikan contoh nyata di Alkitab seperti : Habel (Ay. 4); Henokh (Ay. 5), Nuh (Ay. 7), Abraham (Ay. 8 dst); Musa dst. Akhirnya, teladan Tuhan Yesus yang menjadi manusia, adalah wujud kesetiaan dan ketaatan-Nya. Ia kembali ke sorga memerintah semesta ini. Dialah yang menjadi jaminan keselamatan kita yang setia (Ibr. 12:1-2).
Lukas 12 : 49 – 56
Injil Lukas adalah Injil yang menyaksikan peristiwa Yesus atas kesadaran kuat bahwa Allah berkarya dalam sejarah kehidupan umat manusia. Nampak dari dua “bagian pendahuluan“ kitab yang dikarangnya: Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, ada kesinambungan nyata bahwa peristiwa di Injil Lukas berlanjut hingga eksistensi Gereja (The New Israelite; Israel baru) dalam Kisah Para Rasul. Pelanjut misi penyelamatan Allah yang dimulai sejak semesta tercipta dan rusak akibat dosa. Misi Kerajaan Allah, yaitu Allah yang sudah, sedang, dan terus memerintah atas ciptaan-Nya, tetap terus berlanjut hingga zaman sekarang.
Kautamaan Kristus dalam Lukas, nyata dari bagian pendahuluan kitab ini, yang menyebutkan dua tokoh: Yohanes Pembaptis dan Yesus Kristus yang saling melengkapi. Yesus adalah kegenapan sejarah keselamatan yang berlangsung sejak Perjanjian Lama. Peristiwa Yesus mati dan bangkit berimplikasi nyata terhadap sistem kehidupan sosial (Budaya/ civilization). Yesus adalah tokoh sentral yang dilukiskan sebagai Anak Allah, yang melebihi siapapun di dunia ini, yang kelak menjadi Hakim yang adil di akhir zaman.
Proklamasi Injil Lukas dimulai setelah Ia memenuhi “persyaratan” penggenapan PL, yaitu sunat dan baptisan pertobatan Israel. Ia datang membawa Zaman Baru dengan memenuhi nubuat dalam Yesaya 61:1-2 (Luk. 4:18-19). Tahun pemerdekaan telah tiba bagi mereka yang cacat, terpenjara, termarjinalkan/ miskin, terbuang. Merekalah yang diundang ke meja Perjamuan, Perjamuan baru keselamatan. Misi Penyelamatan itu nampak dalam struktur atau garis besar Injil Lukas:
- Bagian pendahuluan : Psl. 1 – 3
- Misi penyelamatan di awal karya-Nya di Galilea : Psl. 4 – 9
- Misi penyelamatan di Yerusalem, pasca Galilea : Psl. 10 – 24
Yerusalem menjadi tempat puncak karya-Nya menuju kemuliaan sorgawi, melalui peristiwa kematian, kebangkitan, dan berlanjut pada peristiwa kenaikan-Nya ke sorga. Berlajut dengan Ia mengutus para rasul untuk melanjutkan karya keselamatan Allah ini melalui gereja-Nya (Nantinya dilanjutkan di Kitab Kisah Para Rasul, yaitu kelanjutannya dalam karya Roh Kudus).
Secara khusus bacaan kita, Injil Lukas 12:49-56 adalah bagian rangkaian panjang pengajaran Yesus dalam bentuk perumpamaan. Misi penyelamatan Kristus membawa pembebasan Umat Baru menuju langit dan bumi yang baru (kekal), yang diawali dua pengutusan murid-murid-Nya. Pertama, Yesus mengutus dua belas murid-Nya (Israel Baru) dilanjutkan yang kedua, Yesus mengutus 70 orang murid-Nya (berdua-dua), sejak Ia berangkat dari Galilea ke Yerusalem. Bahwa misi Kerajaan Allah dari Yesus hendaknya menjadi bagian dari keputusan setiap pribadi pengikut-Nya! Lukisan bahwa Yesus datang “Tidak membawa damai” (seolah kontra produktif berita Malaikat saat kelahiran-Nya; Luk. 2:14); melainkan “Kebakaran di bumi dan api sudah menyala” (Luk. 12:49). Metafora “Api yang menyala” adalah manifestasi karya kuasa (Roh) Allah dalam Yesus yang melalui pengajaran, derita, kematian, dan kebangkitan-Nya atas maut akan membawa konsekuensi bagi siapapun. Disinilah seseorang ditantang untuk memutuskan “ikut misi Yesus” atau tidak. Suatu hal yang bisa “ngorat-arit” tatanan kehidupan seseorang seperti yang dijelaskan pada ayat 51-53.
Jelaslah hidup ideal menuju “Damai dan Sejahtera“ yang diharapkan setiap orang, justru akan dialami ketika mereka berani memegang prinsip- prinsip penyangkalan diri secara radikal dengan mengutamakan Yesus dalam kehidupannya (Luk. 2:14). Tanda mukjizat yang dilakukan Yesus dalam kematian dan kebangkitan-Nya seharusnya menjadi isyarat bahwa Yesus adalah orang benar, Raja, Imam, Anak Manusia (gelar sorgawi di Daniel) sekaligus Tuhan (Kurios) yang berkuasa menghakimi bangsa- bangsa kelak. Bahasa kiasan “menilai musim“ di Lukas 12:54- 56, dipakai Yesus untuk menantang siapa pun, termasuk angkatan ulama-ulama Yerusalem yang memusuhi-Nya. Mereka yang sebelumnya selalu “minta tanda“ dijawab singkat oleh Yesus melalui tanda Yunus yang ditelan ikan selama tiga hari, yaitu kebangkitan-Nya! (Luk. 11:29-32).
Benang Merah Tiga Bacaan
- Kedaulatan Allah mutlak atas ciptaan-Nya tampak dalam sejarah kehidupan manusia.
- Umat milik-Nya mutlak mengutamakan Dia dalam segala rancang bangun sistem kehidupan, baik individu maupun komunal.
- Tuhan tidak pernah mentolelir apapun yang menghalangi rencana penyelamatan-Nya atas ciptaan-Nya. Penghukuman atas dosa tak hanya dialami umat terpilih tetapi bangsa-bangsa (Goyim) manapun tidak luput dari hal ini.
- Manusia akan hidup dan selamat selama ia setia dan hidup konsisten dengan aturan pemerintahan-Nya yang berdimensi kekekalan. Tantangan dan resiko derita akibat setia melakukan sabda-Nya itu adalah bagian kehormatan atas izin Tuhan menuju keselamatan kekal.
Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)
Pendahuluan
Gegap gempita merayakan hari kemerdekaan ke-80 RI, pasti tidak pernah absen dimeriahkan dengan pekik: ”Merdeka”. Satu kata yang semacam mantra yang tidak pernah dilupakan dalam setiap HUT RI, entah di forum upacara resmi maupun di “Tasyakuran Masyarakat” di kampung- kampung, di seluruh wilayah Indonesia.
Ungkapan pekik “Merdeka”, memang pekik historis yang mengingatkan kita akan semangat para pahlawan yang berjuang langsung di era 1945, hingga zaman agressi militer Belanda II yang berupaya mencengkeram kembali Indonesia ini. Pada dasarnya merdeka menjadi kebutuhan dasar manusia. Bahwa pada hakikatnya manusia tidak akan mau ada pihak lain manapun yang menghalangi kebebasannya (kemerdekaannya). Ketika manusia lahir, ia menyadari diri bahwa ia “bergantung” pada pertolongan orang lain (bidan, dukun bayi, perawat, dokter atau siapapun yang membesarkan dia). Namun sekaligus ada “insting” untuk bertahan hidup, nyatanya manusia ada kecenderungan ”menguasai” yang lain (Homo homini lupus; manusia adalah serigala bagi sesamanya). Sehingga dalam teori hidup sosial, manusia cenderungan berkelompok untuk bertahan hidup dengan tetap menghargai kebebasan orang lain. Ia berupaya meminimalisir kecenderungan dominasi dengan menciptakan sistem hukum, sistem adat sosial untuk kebersamaan. Dalam “Teori La contract social” Montesque muncullah negara modern seperti Indonesia dimana kita hidup sekarang, dengan Trias-politikanya!
Isi
Alkitab menyaksikan bahwa sesungguhnya manusia adalah mahkluk sempurna; gambar Allah sendiri (Kej. 2:27). Namun Alkitab juga menyaksikan bagaimana manusia yang semula sempurna, kini terpuruk dan mati akibat dosa-dosanya sendiri. Manusia bisa kembali “hidup” sebagaimana diidealkan Tuhan, jika mereka hidup setia dengan mengutamakan Tuhan Allah di atas segala-galanya (Ul. 6:4). Damai sejahtera sejati akan terjadi jika mereka ikut dalam misi puncak pemerintahan Tuhan. Dimulai di bumi, yang hadir dalam diri Tuhan Yesus hingga menuju langit dan bumi yang baru. Untuk menuju “Damai Sejahtera” dan hidup abadi itu harus memegang prinsip-prinsip hidup, yaitu prinsip iman Kristen dan prinsip Kerajaan Allah.
Murid Yesus bisa saja berseberangan dalam hal pilihan hidup, pilihan politik, pilihan gaya hidup ketika berupaya melakukan kehendak Tuhan. Injil Lukas menyaksikan resiko melakukan pilihan hidup seturut dengan kehendak-Nya. Yesus memerdekakan umat-Nya dari belenggu dosa, yaitu komunitas para termarjinalkan di masyarakat Yahudi saat itu, tanpa sebab Ia dimusuhi oleh golongan ulama Yahudi, khususnya orang-orang Farisi. Namun orang- orang yang setia pada prinsip hidup penyangkalan diri demi kebenaran jalan Tuhan itulah yang mengalami kemerdekaan sejati, dan mengalami damai abadi di bumi dan di sorga kelak. Karena hanya Dialah yang sanggup memerdekakan seseorang dari “ambisi sesaat atas kekuasaan”. Yesuslah yang memerdekakan kita dari dosa-dosa kita (Yoh. 8:36).
Menurut Agustinus, Luther, Kalvin maupun Barth, kita ini memiliki dua kewargaan, yaitu warga Surga dan warga Bumi. Di satu sisi, kita masih hidup di bumi, artinya kita harus hidup berjuang dalam konteks sistem-sistem ekonomi, politik, budaya yang ada di bumi. Namun pada detik yang sama kita juga berkewargaan Sorgawi, dimana prinsip-prinsip Kerajaan Allah, keutamaan Kristus melandasi keputusan etis kita setiap saat, dimanapun kita tinggal. Orang Kristen berjuang di dua “front” sekaligus. Tak mudah, tetapi itulah tugas panggilan kita!
Hidup dalam konstruksi budaya dengan paradigma perubahan yang serba cepat sekarang ini, kita dituntut beradaptasi dengan cepat. Dalam mengikuti sistem-sistem kehidupan, budaya manusia, tidak bisa orang Kristen asal ”membebek“ keadaan (taken for granted). Tidak “membebek” kepada siapapun dan apapun ketika memang hal itu menyesatkan. Semisal: Gereja dalam merancang-bangun kesaksian dan pelayanannya, Gereja mesti pandai-pandai “membaca tanda zaman”. Semisal “kebijakan masyarakat dalam hal tatanan ekonomi hanya mengenakkan si kaya, semestinya Gereja berani bersikap berpihak pada mereka yang miskin, lemah, terpenjara, dll. Apalagi jika sistem budaya dimana kita hidup tidak menghidupi dan memerdekakan tetapi malah mematikan, bagaimana sikap kita? Kita mesti berpikir kritis kreatif.
Di era disrupsi (serba berubah cepat), Gereja mesti bersikap tenang (2 Tim.1:7), tidak mudah terpancing emosional sesaat namun terprogram dan terukur. Jujur mengkritisi diri dan bersedia membangun diri. Mereformasi ke dalam untuk membuat strategi yang cerdas, memanfaatkan kebijakan-kebijakan nasional yang betul- betul memerdekakan rakyatnya secara konstitusional (Liquid Church, Injil Sosial), sambil tetap mewaspadai “strategi budaya“ yang bertentangan dengan Injil. Misal berkenanan pendidikan humaniora yang berlandaskan Filsafat Nietze dengan konsep “manusia super“ (Ubermensch) ataupun “Homo Deus“ -nya prof. Harari yang belum tentu Alkitabiah. Namun gereja juga tetap hormat, apresiatif atas kebijakan pemerintah yang memang diamanatkan konstitusi sejak era “founding fathers RI“, yaitu menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Penutup
Mari kita belajar setia dari pengalaman konkrit umat Israel di era Yeremia (Era Raja Yosia) yang mewaspadai praktik hidup para gembala Israel yang “melawan“ Allah sesudah era Yosia! Mari kita belajar rendah hati, seperti jemaat Ibrani di zaman para Rasul, yang akibat “meyakini Kristus“ mereka terancam terpenjara, namun mereka tetap setia, sekalipun toh sebagian mungkin ada yang murtad juga (Mat. 20:16; Luk. 13:30). Janganlah kita berkecil hati, sebab Injil Lukas menyerukan, “Orang yang setia dalam Iman dan hidup konsisten dengan prinsip pemerintahan Allah di bumi, mereka akan selamat.“ Yesus menghibur kita, “Tak perlu khawatir“ (God’s providencia), sebab kemerdekaan, damai sejahtera yang abadi melebihi damai di bumi ini, tersedia bagi mereka yang setia hingga akhir hayat! Amin. [sis].
Pujian: KJ. 336 Indonesia Negaraku
Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)
Pambuka
Swasana meriah salebeting mahargya kabingahan HUT Kaping 80 RI tansah kawarnen ing “Pekik“ sora: “Merdeka!“ Tembung punika yen dereng kaucapaken kadosipun panghargyan HUT RI dados sepa. Tembung punika kadya “mantra“ kemawon. Prekawis punika kacihna ing salebeting forum HUT resmi (upacara) punapa malih ing acara “tasyakuran rame-rame tiyang kampung lan dusun“ wonten ing saindenging Nuswantara – Indonesia. Pekik Merdeka punika panci sampun dados tembung penyemangat kanggenipun para pejuang salebeting taun 1945, sae rikala ngrebat kamardikan wah malih ugi ngupadi jejeging kamardikan saking agressi militer kolonial jilid kalih, rikala semanten.
Kamardikan punika mujudaken salah-satunggiling kabetahan dasar manungsa ing jagad. Mboten wonten satunggal kemawon manungsa ingkang purun dipun batesi utawi dipun reh dening liyan. Manungsa sadhar bilih piyambakipun minangka mahkluk utawi individu ingkang bebas, sedaya kepingin mardika. Nanging ing sisi sanesipun, manungsa ugi sadhar bilih piyambakipun punika mahkluk sosial. Wiwit lair procot, sampun mbetahaken tiyang sanes kados ta mbok dukun bayi, dokter, bidan utawi perawat ingkang mbiyantu persalinanipun. Pramila ing tembe tuwuh gesang komunal (sesarengan sesami) salebeting brayat punapa ugi negari. Ing teori “La contract Sosial” Jean Jaques Russoeu sarjana saking Perancis sampun ngandaraken bab punika. Teori Tata Kanegaraan modern ingkang ugi kaanut ing Indonesia klayan tembung “Trias-Politika“. Krana manungsa sadar ing dhirinipun wonten kecenderungan menguasai yang lain kejawi raos kamardikan supados manungsa mardika punika mboten saling mendominasi, lan tetap mardika mila tuwuh teori negari demokrasi modern kalawau.
Isi
Alkitab sampun nyekseni bilih kita manungsa, wiwitan katitahaken Sang Hyang Widhi punika sampurna. Manungsa tinitah sampurna, minangka Gambar lan pasemonipun Gusti Allah pribadya (PD. 1:27; basa latinipun “Imago Dei”). Manungsa sanes mung “Homo Labor“ utawi mahkluk pekerja kemawon nanging ugi “Homo Sapiens” utawi mahkluk wicaksana (Istilah Aristoteles: Bertubuh, Jiwa, dan Roh). Nanging emanipun manungsa sampun dhawah ing dosa. Sedaya kalawau ndadosaken “Kultur“ (Budaya) kedah dipun waspadai krana durakanipun dhumateng Gusti Allah. Sedaya sistem mboten wonten ingkang sampurna. Kalebet ing tembe wonten pitembungan latin: “Homo homini lupus“ ingkang tegesipun manungsa dados asu-ajag tumrap sesaminipun. (Band. Dhawuhipun Yesus : “Kowe dakutus ing satengahe asu ajag“… Mat. 10:16; Luk. 10:3).
Alkitab ugi nyekseni, manungsa ing Kitab Prajanjian Lami sacara metaforis kagambar minangka “Mempelai Tuhan“ (Rekan sekerja Allah) ingkang tetep gesang binerkahan saha mardika menawi tetep setya ing “ikatan prajanjian“ kaliyan Sang Yehuwah. Tegesipun gesang mardika punika, namung kaalami wonten ing lelumban gesang ingkang ngutamikaken Gusti Allah klayan tuntunan Taurat (Sabda suci era Musa). Mboten namung gesang pribadi, nanging ugi ikatan kebangsaan Israel kuno klayan sistem teokrasi, kapimpin dening eksekutif (Ratu); legislatif (pelaksana; perumus Hukum Taurat), Para Imam, lan yudikatif (Nabi-Nabah; para Nabi penyampai kehendak Illahi) (PT. 6:4). Kasunyatan mbuktekkaken bilih sedaya umat Israel saha para pamomong: imam, nabi, lan ratu gagal anggenipun setya nuhoni dhawuhipun Gusti Allah. Pramila iketan Prajanjen Enggal kaadani wonten ing Sang Mesih Yesus Kristus. Ing Injil Lukas, tokoh Kristus dados Ratu – Imam Agung, Nabining para Nabi ingkang klayan seda – wungu-Nipun kasil mrejaya pangwaosing Iblis. Klayan makaten Kraton Swarga, Pamrentahan Allah ing bumi kawiwitan dening Kristus, lan ugi nuntut penyerahan total (radikal) gaya hidup pribadi lan Pasamuwan (Grejanipun) ndherek cancut taliwanda makarya kagem kamulyaning Allah ing swarga.
Pramila ing swasana alam kamardikan punika, tiyang Kristen kaengetaken kalih tugasipun minangka warga negari saha warga Kratoning Swarga (Double KTP). Punika tugas ingkang mboten entheng. Ing satunggal sisi, minangka warga Kraton Swarga, tiyang Kristen wajib gesang miturut prinsip-prinsip Kraton Swarga (tresna dhumateng Gusti lan sesami). Nanging ugi kedah taat, gesang tanggel-jawab bernegara ing Indonesia. Sawetawis kita mangretos bilih kamardikan sejati mung nuhoni Sabdaning Allah lan lelumban akrab kaliyan Gusti (Yok. 8:36). Ing pundi gesang rumaket kayektenipun Gusti Allah punika malahan saged “bersebrangan“ kaliyan para sedulur ingkang kilut-kenyut gaya hidup (Life style) jagad punika. Ing Lukas. 12:49-56 ngandharaken, kados pundi resiko “bersebrangan“ punika kagambaraken dening Gusti Yesus kadya “crah“. Krana dhasaripun kita sejatosipun ngupadosi kayekten sanes menang-menangan (kasekten), mila kita mesti cerdas, cerdik, mboten perlu gampil emosional negatif, nanging nengenaken paseduluran adil lan tulus. Sinaosa resiko saged kita alami kadya Pasamuwan Ibrani jaman para Rasul nanging kagem para susetya lan sutrisna Gusti Yesus ngantos puputing yuswa. Malahan ing ngriku tuking kamardikan sejati! Manungsa badhe ngalami gesang yekti menawi manungsa setya lan gesang nyatunggil kaliyan Sang Kristus! (Hab. 2:4; Ef. 2: 8; Gal. 2: 16, 20).
Kautamen Kristus ingkang mbekta kamardikan ingkang sejati punika ingkang dhasari sikep pribadi lan pasamuwan ndherek makarya mbangun Negari Indonesia ingkang ngancik yuswa 80 taun samangke. Kita kedah ngrancang gesang lan program greja ingkang nengenaken hidup berkelanjutan. Sumber-sumber alam mboten katelasaken kangge nuruti angkara-murkaning manungsa, nanging gesang sakmadya kagem kamulyaning manungsa, titah sato-kewan, lan semesta. Mekatena ugi kita minangka warga negari ndherek nyengkuyung program negari ingkang ngutamikaken karaharjaning warga negari Indonesia. Setya klayan kritis memberdayakan warga ing babagan ekonomi kerakyatan ingkang adil lan beradab. Kita saged milih (berpihak) dhateng ingkang para tiyang papa tinimbang nyugihaken pemilik modal (kapital). Istilahipun ”Preferention option for the poor“ (Pilihan kagem ingkang miskin). Kita gesang ing kayekten klayan ngutamikaken Sang Kristus wonten ing pigesangan ugi tetap waspada dhateng sistem-sistem kabudayan ingkang kaidolakaken manungsa ing bumi. Kalebet pendidikan humaniora ingkang utuh, nanging ugi waspada tumrap konsep manungsa ideal filosofis kados “Manungsa super“ utawi “Homo Deus“ ipun saking Prof. Yuval Harari ingkang dereng tamtu Alkitabiah.
Panutup
Mangga kita isi kamardikan Indonesia punika kanthi nuwuhaken gesang ingkang prasaja, gesang sakmadya/sakcekapipun, mboten ngangsa-angsa rikala taksih gesang ing bumi. Krana tujuwan gesang Kristen punika mboten namung kalajengan gesang kemawon nanging ugi kagungan dimensi langgeng ing swarga. Kita mengertos gesang ingkang nglangkungi kabetahan sawetawis ing bumi samangke, inggih punika kautamen ing Sang Kristus. Kautamen ing Sang Kristus punika ingkang saged mujudaken gesang ingkang kamardikan ingkang sejati. Merdeka! Amin. [sis].
Pamuji: KPJ. 351 Samangkya Kita Mardika