Minggu Biasa | Bulan Pembangunan GKJW
Stola Hijau
Bacaan 1: Yeremia 23 : 23 – 29
Bacaan 2: Ibrani 11 : 29 – 12 : 2
Bacaan 3: Lukas 12 : 49 – 56
Tema Liturgis: Iman menjadi Dasar Tanggung Jawab Umat dalam Pembangunan Gereja
Tema Khotbah: Pengharapan adalah Wujud Iman yang Tak Lekang oleh Penderitaan
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Yeremia 23 : 23 – 29
Nabi Yeremia hidup pada masa yang sulit. Di dalam negeri, bangsa Israel sedang dilanda perpecahan yang hebat. Bagian Selatan yang dikuasai keturunan Daud tetap mempertahankan Yerusalem sebagai ibukotanya. Bagian Selatan ini kemudian dikenal sebagai kerajaan Yehuda. Sementara di wilayah Utara para penentang keluarga Daud mulai menjadikan Samaria sebagai ibukota baru bagi golongan mereka. Wilayah Utara ini kemudian dikenal sebagai Kerajaan Israel.
Sedangkan di sekitar negeri mereka itu bangsa-bangsa besar saling berebut pengaruh. Sisa-sisa kerajaan Asyur yang sempat menguasai kawasan Israel Raya masih berusaha untuk bertahan di sisi Utara yang berbatasan dengan Asia Kecil, maupun di sisi Barat Daya yang menjorok ke arah Mesir. Sedangkan kerajaan Babel dengan cepat melebarkan sayap kekuasaannya dari sisi Timur Laut wilayah Palestina sampai bagian tengah jasirah Arab. Bahkan pada zaman Yeremia itu kekuatan Babel sudah berhasil menguasai kerajaan Yehuda yang sedang seru-serunya bertengkar dengan saudara sebangsanya itu. Sementara dari wilayah Timur kawasan Mesopotamia juga sedang tumbuh kerajaan baru yang tidak kalah ganasnya dan terus membesar yaitu Persia.
Jadi baik di luar maupun dalam negeri situasinya sedang sangat buruk. Siapapun yang memiliki niat jahat dan mempunyai kekuatan, mudah merasa mendapat kesempatan luas untuk mencurangi sesama demi keuntungan diri sendiri. Bahkan nabi-nabi palsu juga bermunculan untuk turut mengail di air keruh. Pada suasana masyarakat yang kacau balau seperti itulah Yeremia berseru-seru mengingatkan dan memberi pengharapan besar kepada penduduk Yehuda supaya mereka tidak jatuh ke dalam keputus-asaan yang mendalam terus-menerus, lalu mencari jalan selamat sendiri-sendiri.
Ia mengingatkan bahwa umat Yahudi harus waspada dan peka supaya tidak mudah diperdaya oleh orang yang berpura-pura mau menolong tetapi malah menjerumuskan, terutama oleh nabi-nabi palsu yang sibuk berkeliaran mencari mangsa. Yeremia mengingatkan bahwa penderitaan yang mereka alami itu bukan berarti Tuhan sedang jauh dari mereka. Tak habis-habisnya ia menyadarkan umat Yahudi bahwa Tuhan sebenarnya tidak berjarak dengan mereka, karena kehadiran Tuhan memenuhi setiap ruang dan celah di manapun mereka berada. Umat Yahudi diminta untuk tetap bersandar kepada Tuhan yang akan menjadi Penyelamat Sejati bagi mereka, karena Tuhanlah yang akan menolong menyelesaikan perkara yang sedang menghimpit mereka.
Ibrani 11 : 29 – 12 : 2
Meskipun terpaut jarak waktu ratusan tahun dari masa hidup Yeremia, penulisan surat Ibrani rupanya di latar belakangi oleh kekacauan masyarakat yang tak kalah hebatnya. Komunitas-komunitas Kristen yang baru lahir di kawasan Timur Tengah pada waktu itu diburu dan dikejar-kejar untuk dibantai laksana binatang buruan (Ibr. 11:35-38) sampai mereka harus mengembara untuk bersembunyi di tempat-tempat terpencil. Kekaisaran Romawi yang sedang berkuasa tidak memberikan perlindungan kepada mereka, bahkan pada banyak kasus mereka dimanfaatkan sebagai korban penyiksaan pada arena-arena pertunjukan demi menghibur masyarakat luas. Penguasa jelas melakukan pembiaran atas terjadinya penganiayaan luas terhadap umat Kristiani zaman itu.
Tidak bisa dihindari kalau kemudian situasi ini semakin melemahkan iman sebagian besar para pengikut Kristus. Hati mereka menjadi dingin, apatis, dan kehilangan harapan, karena merasa tidak ada lagi yang bisa diharapkan untuk menolong atau sekedar mengurangi kesengsaraan mereka sehari-hari. Nyali mereka semakin merosot sehingga jumlah merekapun semakin berkurang, karena berusaha mencari selamat di tempat lain atau di keyakinan lain. Rasa percaya diri mereka benar-benar habis. Itulah sebabnya penulis Ibrani terus berusaha mengobarkan iman mereka yang mulai padam dengan cara mengingatkan kembali akan iman para nenek moyang dan leluhur mereka di masa lampau yang juga mengalami masa-masa sengsara seperti mereka.
Tak henti-hentinya penulis surat Ibrani ini mengingatkan para pengikut Kristus akan riwayat para pendahulu yang tak kalah susahnya, tetapi tidak sampai kehilangan pengharapan akan pertolongan Tuhan. Pengharapan yang tiada habisnya inilah yang kemudian menghidupi iman para leluhur itu, sehingga berani menyongsong kematian dalam keyakinan yang teguh akan datangnya pertolongan Tuhan bagi anak cucu dan keturunan mereka. Iman yang dihidupi oleh para leluhur dari masa lampau itu telah menembus ruang dan waktu. Inilah yang telah membawa mereka ke dalam keselamatan, walaupun mereka belum melihat Sang Penyelamat itu sendiri tiba. Besarnya pengharapan dan iman itu telah mengarahkan mereka untuk melakukan perkara-perkara besar di masa lampau, yaitu berjalan terus menuju keselamatan kekal. Inilah yang seharusnya diwarisi oleh Para Pengikut Kristus sebagai bekal menghadapi penderitaan yang sedang mereka alami di tengah runtuhnya tatanan moral masyarakat zaman Romawi saat itu.
Lukas 12 : 49 – 56
Injil Lukas ini ditulis sezaman dengan penulisan surat Ibrani, yaitu sekitar generasi kedua masa awal umat Kristen. Artinya situasi konteksnya sama. Hanya saja surat Ibrani ini mencakup sebaran umat Kristen di kawasan yang cukup luas, misalnya dengan menyebut “saudara-saudara di Italia” (Ibr. 13:24), sedangkan Injil Lukas ini secara tegas ditujukan kepada Teofilus (Luk. 1:1-3). Muatan kisah Injil Lukas adalah peristiwa pelayanan Tuhan Yesus yang berjarak beberapa puluh tahun sebelum penulisannya. Kalau menurut tradisi gereja yang didasarkan pada catatan Hippolitus (170-235 Masehi) yang berjudul “Mengenai Tujuh Puluh Rasul Kristus” (On The Seventy Apostles of Christ), maka Lukas si penulis Injil ini adalah salah satu dari antara ketujuh puluh murid Yesus (Luk. 10:1). Hippolitus ini murid Ireneus. Ireneus adalah murid Polikarpus. Polikarpus adalah murid dari Yohanes salah seorang dari kedua-belas murid Tuhan Yesus.
Sosok Teofilus yang disebut pada permulaan Injil Lukas itu sendiri juga samar, apakah ia ini adalah seseorang ataukah sebutan samaran untuk kumpulan orang-orang yang mengasihi Allah, sebab arti kata Teofilus itu sendiri adalah mengasihi Allah. Akan tetapi siapapun atau apapun Teofilus itu, ia adalah orang yang mengenal dan mengasihi Allah. Sangat besar kemungkinannya bahwa Teofilus itu adalah seorang pengikut Kristus yang berada di tengah konteks penganiayaan atas umat Kristen pada zaman Kekaisaran Romawi. Bedanya dengan surat Ibrani di atas adalah Lukas menggunakan kisah hidup Tuhan Yesus Kristus untuk menghibur dan menguatkan hati para pengikut Kristus zaman itu, supaya mereka tidak kehilangan harapan di tengah situasi yang sangat tidak nyaman itu.
Dalam perikop kita kali ini malah dipertajam bahwa penderitaan yang saat itu dialami merupakan konsekuensi sementara akibat pilihan mereka untuk tetap mengikut Sang Kristus. Itu adalah proses yang harus mereka lewati sebagai pengikut Kristus yang akan menerima baptisan, yaitu pengakuan dari Tuhan Allah sendiri atas keterpilihan mereka sebagai pengikut-pengikut sejati-Nya (Luk. 12:49). Sebelum “baptisan” itu mereka terima, mereka juga lebih dulu akan menerima kesusahan, seperti yang telah dialami oleh Kristus sendiri. Oleh karena itu, mereka harus benar-benar waspada sebab yang akan memusuhi mereka justru orang-orang yang dekat dengan mereka, akibat dari pilihan mengikut Kristus tersebut. Mereka diharapkan tidak kendor semangat, melainkan tetap mengusahakan perdamaian dengan siapapun (Luk. 12:59) agar bisa bertahan dan akhirnya keluar dari segala kesusahan itu.
Benang Merah Tiga Bacaan:
Ketiga perikop bacaan kita diberitakan dalam konteks ketidak-pastian di tengah penderitaan. Situasi ini seringkali menjadi kendala utama umat Tuhan di dalam menerapkan imannya. Bahkan lebih dari itu, yaitu memerosotkan kualitas iman mereka dan tak jarang bermuara pada keputusan untuk meninggalkan iman kepada Tuhan. Umat yang terperangkap dalam situasi zaman yang demikian itu tentu membutuhkan dukungan untuk menguatkan hati dan meneguhkan iman mereka agar tidak turut tenggelam ke dalam jurang penderitaan tersebut. Terlebih dukungan itu merupakan dorongan bantuan untuk menghidupkan kembali harapan yang hampir padam. Harapan dan iman adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan satu sama lain. Iman tidak mungkin bisa bertahan ketika tidak ada harapan. Harapan sendiri akan menjadi pupus apabila iman akan adanya keselamatan setelah penderitaan itu tidak terpelihara dengan baik. Dan pada akhirnya, harapan dan iman akan menguat apabila dinyatakan dalam perbuatan kasih.
Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silahkan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)
Pendahuluan
Jika kita kembali ke zaman nenek moyang GKJW pada saat penjajahan Jepang tahun 1941 – 1945 bisa dibayangkan bagaimana rasa ketidak-pastian melanda mereka di tengah tekanan kekuatan asing. Rasa was-was, kuatir, dan ketakutan menghantui mereka nyaris setiap hari, terlebih ketika tentara-tentara Jepang menyita Alkitab milik warga jemaat yang dianggap sebagai dokumen peninggalan penjajah Belanda yang sudah diusir oleh Jepang dari bumi pertiwi. Banyak leluhur kita yang terpaksa menyembunyikan Alkitab dengan cara membungkusnya dengan kain, memasukkannya ke dalam kaleng atau peti, lalu menguburnya di kebun-kebun belakang rumah. Hasil pertanian mereka dirampas. Apabila terjadi kelangkaan beras maka penduduk terpaksa makan gaplek, yaitu hasil pengawetan berbahan dasar singkong. Sedangkan harga kain yang mahal memaksa mereka membuat pakaian dari bahan karung goni yang bisa menimbulkan gatal-gatal pada kulit, terlebih yang kulitnya sensitif. Belum lagi timbulnya berbagai penyakit yang disebabkan cara hidup yang tidak sehat, karena kebutuhan sehari-hari serba berharga sangat mahal.
Pada zaman seperti itu orang didesak untuk mencari jalan keluar sendiri-sendiri supaya bisa tetap bertahan hidup. Yang kaya enggan berbagi sebab belum tentu penderitaan itu cepat berlalu dan persediaan mereka belum tentu mencukupi untuk sampai kepada zaman yang lebih baik. Yang miskin didera rasa putus asa, karena tak ada lagi yang bisa diharapkan, kalaupun mereka memiliki sawah, ladang atau ternak, hasilnya akan dirampas oleh para penjajah. Belum lagi ketika mereka dijebloskan ke dalam romusha, kerja paksa dengan upah yang teramat sangat kecil. Sehingga demi bertahan hidup mereka dipaksa tega mengkhianati bangsanya, koleganya bahkan keluarganya sendiri. Orang saling mencurangi, main intrik dan menjarah satu sama lain demi sesuap nasi. Tidak ada yang bisa selamat dari penderitaan besar itu. Bahkan GKJW-pun terpaksa terbelah menjadi dua kubu, yaitu Majelis Agung (MA) yang berkedudukan di Malang versus Raad Pasamuwan Kristen (RPK) yang berkedudukan di Surabaya. Banyak berjatuhan korban akibat pertikaian itu dan beberapa pendeta GKJW terbunuh di ruang tahanan markas tentara Jepang.
Isi
Apa yang kita alami pada zaman sekarang ini mungkin tidak seburuk zaman Jepang ketika kebutuhan-kebutuhan pokok sulit didapatkan, ketika ibadah dan membaca Kitab Suci dilarang. Tetapi apakah dengan demikian lalu berarti zaman sekarang baik-baik saja? Tentu tidak semudah itu kita menjawabnya iya atau tidak. Setiap zaman mempunyai kesusahannya sendiri. Kalau pada zaman Jepang dulu kita diperhadapkan pada masalah kelangkaan kebutuhan pokok dan penyakit yang menyertainya adalah beri-beri serta busung lapar, maka zaman sekarang ini kita diperhadapkan pada masalah membludaknya kuliner dan penyakit yang menyertainya adalah diabetes serta kerusakan ginjal. Pada masa sekarang ini orang diperhadapkan pada pilihan menu kuliner yang luar biasa sampai melampaui kemampuan nalar untuk memilih, sehingga banyak orang tergelincir melakukan pemilihan atas dasar keinginannya, bukan atas dasar kebutuhannya.
Kalau pada zaman Jepang dulu GKJW sempat terpecah menjadi dua kubu antara MA GKJW dan RPK karena berbeda pandangan dalam cara mempertahankan persekutuan di bawah tekanan berat penjajahan Jepang, maka sekarang ini warga GKJW terpecah ke dalam individu-individu di bawah desakan teknologi smartphone yang membuat masing-masing orang sibuk dengan dirinya sendiri. Kalau waktu itu umat GKJW dilarang beribadah dan membaca Alkitab, maka zaman sekarang umat GKJW mengalami kebingungan yang dalam untuk memilih ibadah online mana yang akan diikuti. Keberlimpahan informasi bukan berarti memudahkan umat beriman, tetapi malah membuat umat beriman tidak tahu lagi jalan mana yang akan ditempuh serta petunjuk rohaniwan mana yang akan diikuti. Kelangkaan maupun keberlimpahan yang berlebihan sama-sama merapuhkan iman umat, bahkan memecah-belah umat percaya menjadi serpihan-serpihan.
Tingkat ketidak-pedulian satu terhadap yang lain meningkat tajam. Ini adalah celah peluang yang semakin terbuka dan mudah dimanfaatkan para pelaku kejahatan. Kasus perampokan atau kecelakaan ngeri di suatu tempat menjadi bahan hiburan bagi banyak penikmat Youtube di berbagai tempat. Keinginan menjadi kaya secara cepat dan mudah merasuki banyak kalangan, karena godaan iklan maupun propaganda kacangan telah membuai orang per orang. Kepalsuan merajalela untuk menyamarkan kekurangan. Nyaris semua orang ingin selalu tampak sempurna, maka kesibukannya bergeser menjadi tukang poles penampilan, menggelorakan pencitraan diri, tapi sambil menyembunyikan keminderan, menyembunyikan hutang yang bertumpuk, menyembunyikan kegagalan dan segala yang buruk. Orang mengidamkan jabatan tinggi walaupun kemampuan rendah. Transaksi jabatan, transaksi ijazah, transaksi surat-surat lisensi, marak terjadi di depo-depo yang seharusnya menjunjung tinggi martabat kemanusiaan ciptaan Tuhan.
Sementara di radius wilayah yang masih berdekatan, banyak orang tersiksa tanpa kepedulian dari siapapun. Orang-orang kere mempertaruhkan hidupnya mengais-ngais rejeki di antara sampah yang terus menggunung. Gadis-gadis dan perempuan-perempuan muda diperjual-belikan layaknya binatang yang ngilu dibawa ke rumah penjagalan dengan tanpa harapan. Banyak anak yang kehilangan masa kanak-kanaknya karena diteror rasa ketakutan akibat dari tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri ataupun oleh pembantu rumah tangga yang stress akibat tekanan pekerjaan dan tuntutan keinginan yang berlebihan. Siapa yang mempedulikan mereka? Siapa yang mau membantu membangun asa di dalam hati mereka? Apakah yang sudah gereja lakukan untuk melegakan dan membebaskan mereka?
Inilah saatnya Yeremia-yeremia modern dan Lukas-lukas milenial mewartakan pengharapan nyata kepada mereka. Bukan hanya melalui khotbah di mimbar-mimbar, tetapi juga melalui tindakan-tindakan nyata di latar-latar gereja yang dibuka lebar bagi kehadiran mereka yang lapar, bagi mereka para sundal yang rindu menjadi halal, bagi mereka kaum lemah yang berharap menjadi kuat. Sekaranglah saatnya GKJW berkiprah membenahi motivasi-motivasi kehidupan yang hilang orientasi. GKJW berkolaborasi dengan berbagai instansi untuk menepis berbagai tragedi negeri. Harapan dan iman itu membutuhkan realisasi, bukan sekedar menjadi materi khotbah yang hanya bagian dari pertunjukan liturgi. Kita tidak sedang pamer pertunjukan penuh atraksi, melainkan aksi-aksi suci yang bernas dan berisi dimana kita menjumpakan warga jemaat dan masyarakat dengan Sang Kristus sendiri di dalam keterlibatannya yang penuh misteri. Disinilah harapan dan iman itu berkelindan memperbarui motivasi, memberikan inspirasi, dan mendorong aksi suci.
Penutup
GKJW tidak perlu lagi berhadapan dengan penjajah dari seberang negeri, namun kini GKJW berhadapan dengan cermin yang menampilkan tampang kita sendiri. Mari kita menimbang-nimbang lagi sejauh mana perjalanan hidup ini telah kita tanggung-jawabi? Jangan-jangan selama ini kita telah dilenakan oleh kenyamanan diri dan sibuk mengupayakan keamanan diri, sehingga melupakan kenyataan sekitar yang tengah terjadi. Cukup ini sajakah pengharapan dan iman yang sudah kita hidupi? Atau masih banyak tanggung-jawab yang sedang kita hindari dengan cara merawat berbagai mimpi yang tiada pernah akan terjadi? Mari iman dan pengharapan itu terus kita bagi supaya menjadi realisasi karena di sana itulah Sang Kristus sedang menanti.
Tak perlu ragu-ragu lagi, karena kita pasti bisa menangani oleh tuntunan Kristus sendiri, entah lewat UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah), lewat kelompok Nelayan, lewat kelompok Tani, lewat perkebunan kopi, lewat tanggul bencana yang kita tekuni, lewat kelompok PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), lewat pembentukan dan operasional lembaga anti pemaksaan kerja anak usia dini, lewat semua celah yang bisa kita garap dengan penuh bakti untuk membangkitkan harapan dan mengokohkan iman umat milik Yang Mahatinggi. Amin. [CBPA].
Pujian: KJ. 445 : 1 – 3 Harap Akan Tuhan
—
Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)
Pambuka
Menawi kita wangsul malih dhateng jaman leluhuripun GKJW nalika katindhes bangsa Jepang ing taun 1941 – 1945, saged dipun bayangaken kados pundi pangraos ingkang boten pasti njalari para sesepuh kalawau ing satengahing panidhesing panguwaos manca. Raos mamang, kuwatos, lan ajrih meh saben dinten dipun alami, punapa malih nalika tentara Jepang ngrampas Kitab Suci kagungane warganing pasamuwan. Ing pundi Kitab Suci punika dipun anggep dokumen tilaranipun penjajah Walanda ingkang sampun katundhung dening Jepang saking tanah air ngriki. Kathah leluhur kita ingkang kepeksa ndhelikaken Kitab Suci kanthi dibungkus kain, dilebetaken ing kaleng utawi pethi alit, lajeng dipendhem ing kebon wingking griya. Hasil tetanen sami karampas. Nalika paceklik wos, para sepuh kepeksa dhahar gaplek, ingkang dipun damel saking kaspe aking. Sawetawis punika, reginipun kain kang awis meksa para swargi sami ngagem sandhangan kang kadamel saking karung goni, tamtu kemawon punika ndumugekaken raos gatel kados bidhuren ngaten, punapa malih menawi kulitipun sensitif. Dereng malih wontenipun pageblug ingkang dipun jalari dening tata gesang ingkang boten sehat, amargi kabetahan padintenan boten saged katumbas awit saking awisipun regi.
Ing wekdal punika, kathah tiyang ingkang kepeksa pados gesang lan kawilujengan piyambak-piyambak. Tiyang sugih sansaya medhit awit boten saged nyumerepi kasangsaran punika taksih badhe kalampahan ngantos kapan. Tiyang mlarat mpun kadhung kebacut ngalup manahipun, amargi sampun boten wonten malih ingkang dipun ajeng-ajeng, amargi sok sintena kemawon sanajan gadhah sabin, pekawisan utawi raja kaya, asile mesthi karebut dening penjajah. Dereng malih menawi kakintun dhateng romusha, pengruda peksa mawi upah ingkang sekedhik sanget. Amrih slamet’e mila lajeng kepeksa sawetawis tiyang laku khianat tumrap bangsanipun piyambak, mitranipun lan malah brayatipun piyambak. Sansaya kathah ugi ingkang sami jahat dalah rerayahan tumrap sesaminipun namung supados saged nedha. Boten wonten penduduk ingkang saged endha saking kasangsaran ageng punika. Malah GKJW piyambak ngantos crah dados kalih perangan, inggih punika Majelis Agung (MA) ingkang mapanipun wonten Malang lawan Raad Pasamuwan Kristen (RPK) ingkang wonten ing Surabaya. Kathah tiyang ingkang kepeksa pejah dados tumbaling konflik punika lan malah sawetawis pandhita GKJW kepeksa ngalami seda ing ruang tahanan markas-markas tentara Jepang.
Isi
Punapa ingkang sami kita alami samangke saged ugi boten ngantos nemahi pakewet kados rikala jaman Jepang rumiyin, ing pundi kabetahan padintenan pancen ewet dipun angsalaken. Boten ngantos nyusahaken kados nalika dipun penging ngabekti lan anggegilut Kitab Suci. Nanging punapa punika ateges jaman samangke linangkung sae? Mesthi kemawon boten gampil mangsuli pitakenan punika mawi wangsulan inggih utawi mboten. Saben jaman anggadhahi masalahipun piyambak. Menawi ing jaman Jepang kita ngadhepi masalah kekirangan bab kebutuhan padintenan lan penyakit ingkang ngiringi inggih punika kados ta beri-beri lan busung lapar, samangke kita ngadhepi masalah lumebering kuliner lan penyakit ingkang ngiringi punika diabetes dalah karusakan ing ginjel. Ing mangsa samangke kita sami ngadhepi pilihan menu kuliner ingkang kalangkung-langkung cacahipun ngantos anglangkungi kasagedan kita anggenipun badhe milih, mila kathah tiyang ingkang miji adhedhasar kepingian sanes adhedhasar kabetahan. Punika tembe prekawis kuliner dereng kepetang bab sandangan lan sanes-sanesipun.
Ing jaman kepengker, GKJW pecah dados kalih antawisipun MA GKJW lan RPK amargi benten pemanggih bab tata ngrimat patunggilan ing satengahing penjajahan Jepang, samangke warga GKJW malah kapilah dados individu-individu amargi karuda-peksa dening kemajenganipun teknologi smartphone, ingkang ndadosaken saben tiyang rumaos repot kaliyan dirinipun piyambak. Menawi rumiyin tiyang GKJW dipun penging ngabekti lan maos Kitab Suci, samangke warga GKJW linangkung bingung nalika badhe miji ngabekti online ingkang badhe dipun dherek’i. Linubering informasi boten ateges nggampilaken para pitados, ananging malah ndadosaken para pitados punika kecalan cecepengan ngantos boten nyumerepi malih punapa ingkang kedah katindakaken lan pitutur pundi ingkang kedah dipun ugemi. Kakirangan lan kaluberan ingkang kalangkung-langkung sami-sami ngrisak iman kapitadosanipun sok sintena kemawon, malah ndadosaken crah lan bubrahing patunggilanipun para pitados.
Tiyang setunggal lan satunggalipun sansaya boten peduli. Prekawis punika ndadosaken kesempatan tumraping para panindak culika. Kedadosan rampog utawi tabrakan ingkang nggegirisi tumrap ing satunggaling papan, malah dados hiburan tumraping para penonton Youtube ing pundi-pundia panggenan. Bab kepinginan sugih mawi cara ingkang gampil, sansaya nyebar dhateng sedaya tiyang, amargi panggudhaning pariwara sampun ngiming-iming saben tiyang. Kepalsuan sumebar kangge nutup-nutupi kakirangan. Meh sedaya tiyang kepengin tansah ketawis sampurna, mila lajeng sami repot dados tukang nutup-nutupi kacacatan supados citra diri tansah ketawis elok, ananging sejatosipun ndhelikaken pangraos minder, ndhelikaken utang ingkang ngantos matumpuk-tumpuk, ndhelikaken sedaya kegagalan dalah sedaya ka’alan ingkang dipun gadhahi. Kathah tiyang ingkang sami minginaken jabatan ingkang inggil, senajan ta kasagedanipun sarwa winates. Transaksi jabatan, transaksi ijasah, transaksi surat-surat ijin marak ing pundi-pundia papan, ingkang kedahipun nginggilaken martabat kamanungsan titahipun Gusti.
Wondene ing tlatah ingkang taksih celak-celak ngriku mawon taksih kathah tiyang ingkang ngalami panyiksan tanpa angsal kawigatosan saking sok sintena kemawon.Tiyang kere kepeksa pados rejeki ing antawisipun wuwuh lan larahan ingkang sansaya numpuk. Bocah-bocah wadon lan nem-neman putri sami ka’adol kados dene sato kewan ingkang kabekta dhateng pajagalan, kanthi kecalan pangajeng-ajeng. Kathah lare ingkang kecalan kabingahan awit kaliputan pangraos ajrih awit saking tumindak KDRT dening tiyang sepuhipun piyambak utawi pembantu rumah tangga ingkang saweg stres amargi kinging tekanan batin lan pepinginan ingkang linangkung ageng. Sinten ingkang badhe peduli dhumateng para korban kalawau? Sinten ingkang ikhlas paring pambiyantu mangun pangajeng-ajeng ing salebeting manahipun? Punapa ingkang sampun katindakaken dening greja kangge nglipur lan nguwalaken tiyang-tiyang ingkang sedih kados mekaten?
Inggih samangke punika wancinipun Yeremia-Yeremia modern lan Lukas-Lukas milenial martosaken pangajeng-ajeng nyata tumraping para kinasihipun Gusti punika. Mboten namung lumantar piwucal saking nginggiling mimbar, ananging ugi lumantar tumindak konkrit ingkang dipun lampahi pasamuwan ingkang sampun purun mujudaken karsanipun Gusti, tumrap tetiyang ingkang saweg keluwen, tumrap para tuna susila ingkang minginaken pamratobat, tumrap tetiyang ingkang ringkih lan mbetahaken kakiyatan. Samangke wancinipun GKJW ndherek ndandosi motivasi gesang ingkang sami kesasar. Samangke wancinipun GKJW gotong-royong kaliyan mawarni-warni lembaga, supados saged nyegah prekawis-prekawis ingkang saged tuwuh dados tragedi nasional. Pangajeng-ajeng lan iman kapitadosan perlu dipun wujudaken kanthi saestu, mboten namung dados bahan khotbah minangka perangan saking pagelaran liturgi kemawon. Kita mboten pareng malih ming ndamel pertunjukan ingkang namung kebak atraksi, ananging langkung kathah nindakaken tumindak luhur ingkang saestu migunani lan saged manggihaken warganing pasamuwan saha masyarakat kaliyan Sang Kristus piyambak. Inggih punika pangajeng-ajeng lan iman kapitadosan ingkang saestu saged nganyaraken motivasi, ndumugekaken inspirasi lan nuwuhaken tumindak luhur tumraping sesami.
Panutup
Samangke sampun boten prelu malih GKJW ngadhepi penjajah kados dene rumiyin, ananging samangke GKJW saweg ngadhepi kaca pangilon ingkang ndunungaken pasuryanipun piyambak. Sumangga sami dipun galih malih sapinten tanggel jawab kita tumrap ing gesang sesarengan kaliyan para ngasanes punika? Saged ugi salaminipun punika kita sampun rumaos sekeca lan repot anggenipun nggayuh tentrem kita piyambak-piyambak, matemah kesupen dhumateng kawontenan nyata ing sakiwa tengen kita. Punapa leres tumraping manah kita, bilih punika saestu wujuding pangajeng-pangajeng lan iman kapitadosan ingkang sejati? Aja-aja taksih kathah lan rumentep jejibahan ingkang kita selaki, mawi cara ngrimat pangimpen kothong ingkang saestunipun boten nate kita lampahi? Sumangga kita sami nglajengaken kapitadosan saha pangajeng-ajeng punika supados dados pawujudan nyata, awit ing ngriku anggenipun Sang Kristus sampun angantos-antos kula lan Panjenengan sedaya.
Selajengipun kita mboten perlu mamang malih, amargi kita mesthi saged mrantasi sedaya prekawis punika kanthi tuntunan Sang Kristus piyambak, punapa punika badhe lumantar UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah), lumantar kelompok Nelayan, lumantar kelompok Tani, lumantar perkebunan kopi, lumantar kelompok kerja tanggul bencana ingkang saestu kita rimati, ugi saged lumantar kelompok PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), lumantar pamiadegipun lembaga anti-parudapeksa tumraping para lare, lumantar samudayaning kesempatan ingkang saged kita ginaaken kanthi kebak ing kaikhlasan saperlu kangge ngagengaken pangajeng-ajeng lan ngiyataken iman kapitadosanipun para titah kagunganipun Kang Mahaluhur. Amin. [CBPA].
Pamuji: KPJ. 86 : 1 – 5 Mugi Sampun Anglangkungi