Minggu Biasa | Bulan Oikumene
Stola Hijau
Bacaan 1: Amos 5 : 6 – 7, 10 – 15
Mazmur: Mazmur 90 : 12 – 17
Bacaan 2: Ibrani 4 : 12 – 16
Bacaan 3: Markus 10 : 17 – 31
Tema Liturgis: GKJW Berekumene untuk Mewujudkan Keadilan Sosial bagi Kelompok Marginal
Tema Khotbah: Mencari Hidup Kekal: Hidup Bersama Tuhan, Sesama, dan Peduli kepada Yang Tersingkir
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Amos 5 : 6 – 7, 10 – 15
Amos adalah seorang petani dari Desa Tekoa yang dipanggil menjadi nabi di Israel Utara pada zaman Raja Yerobeam II (786-746 SM). Pada masa itu tidak ada ancaman dari luar, sehingga perdagangan dengan luar negeri maupun di dalam negeri berkembang pesat. Israel Utara mengalami kemakmuran ekonomi. Namun kemakmuran ekonomi itu membawa perkembangan sosial yang mengkhawatirkan, yaitu hedonism (mabuk kemewahan), ketimpangan, penindasan yang kuat atas yang lemah, dan ketidakadilan sosial. Amos muncul memperingatkan Israel Utara akan semua bahaya dalam kehidupan masyarakat itu. Bahkan ia juga mengkritik kehidupan keagamaan mereka yang ritualistis, formalistis, eksklusif, selfish yang mengabaikan keadilan sosial, sehingga tidak menjadi berkat, melainkan malah menimbulkan kejahatan (Ams. 4:1-5). Di tengah keadaan tersebut Amos memanggil mereka untuk bertobat dan mencari Tuhan dan kehendak-Nya supaya mereka hidup.
Ibrani 4 : 12 – 16
Surat Ibrani ini ditujukan kepada orang-orang Kristen yang tersebar di Italia (psl. 13:24) yang membutuhkan bimbingan, nasihat, dan penghiburan. Nama Ibrani nampaknya karena penulisnya mengenal baik tentang tradisi Yahudi dan menulis tentang Kristus dalam konteks tradisi Yahudi ini. Bacaan kita merupakan bagian yang sangat penting karena membicarakan tentang pengorbanan Kristus sebagai pengorbanan yang sempurna. Pengorbanan untuk menghapus dosa-dosa manusia, sekali untuk selama-lamanya. Penulis Ibrani membandingkan pengorbanan Yesus di kayu salib dengan korban dan peran imam besar dalam tradisi Yahudi. Yesus Kristus adalah imam besar sekaligus Anak Domba Allah yang telah mengorbankan diri-Nya, sehingga tidak ada lagi “medium korban” untuk menghubungkan Allah dan manusia. Inilah keselamatan sejati yang tidak dapat diberikan oleh upacara-upacara persembahan kurban di dalam agama Yahudi. Berdasarkan pengorbanan yang sempurna dan kepastian keselamatan ini, penulis Ibrani mengajak supaya umat dengan penuh keberanian menghampiri tahta kasih karunia Allah.
Markus 10 : 17 – 31
Perikop kita ini adalah kelanjutan dari perikop sebelumnya (Ay. 13-16), dimana Tuhan Yesus menyatakan bahwa orang-orang yang mempunyai hati seperti anak-anak kecil itulah yang memiliki Kerajaan Allah. Yaitu hati yang penuh percaya, kerendahan hati, tulus, dan ketergantungan kepada Allah saja untuk melakukan prinsip-prinsip Kerajaan Allah : kasih, kebenaran, keadilan, dan damai sejahtera.
Kemudian muncul perikop kita yang menceritakan seorang pemuda kaya, mungkin penguasa (lihat Luk. 18:18) yang menyebut Yesus Guru yang Baik dan bertanya kepada-Nya tentang apa yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal. Tuhan Yesus mengujinya dengan pertanyaan “Mengapa kau katakan Aku baik? Yang baik adalah hanya Allah saja, apakah engkau menganggap-Ku Allah?” Kemudian Tuhan Yesus menyebut Dasa Titah bagian kedua atau sikap terhadap sesama, dan orang itu menyatakan bahwa ia telah memenuhi semua. Kehidupan kekal bukanlah hanya berarti hidup selama-lamanya atau hidup nanti di akherat saja, melainkan hidup bermutu, hidup berkualitas dan bermakna, yang sudah dimulai dari hidup di dunia ini. Akhirnya ketika Tuhan Yesus menunjukkan hanya satu kekurangannya, yaitu hartanya, supaya dibagikan kepada para orang miskin, seketika pemuda itu sedih dan meningalkan-Nya. Harta menjadi batu sandungan, karena cintanya kepada harta melebihi segalanya, termasuk Allah dan kehendak-Nya.
Betapa sulitnya orang kaya, bahkan manusia dengan kekuatannya sendiri masuk ke dalam Kerajaan Allah atau hidup kekal. Namun yang mustahil bagi manusia, tidak mustahil bagi Allah. Sebab Tuhan adalah sumber berkat. Keselamatan adalah semata-mata karunia Allah. Karena itu dengan berserah dan bersama Allah dan karunia-Nya saja, orang akan mampu mengatasi kendala itu, sehingga orang kaya tidak dihambat oleh kekayaannya. Dengan meninggalkan segala sesuatu akan mendapatkan segala sesuatu, kehidupan di dunia dan hidup kekal.
Benang Merah Tiga Bacaan
Hidup adalah pencarian, tetapi tidak banyak orang yang tahu apa sebenarnya yang paling penting untuk dicari demi keselamatannya secara utuh. Itulah yang dilihat oleh Amos pada zamannya, orang berlomba mencari hidup sejahtera dengan menekan dan menyingkirkan sesamanya, terutama sesama yang lemah dan termarginal. Amos mengajak mereka untuk mencari hidup bersama Tuhan dan sesama. Pemuda yang bertanya kepada Tuhan Yesus sebenarnya mengetahui apa yang harus dicari, namun dia tidak mampu melakukannya karena hatinya sudah dipenuhi dasar dan tujuan hidup yang lain, yaitu hartanya, sehingga tidak ada tempat untuk Tuhan dan sesamanya.
Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)
Pendahuluan
Pada tahun 1969, ada sebuah film yang terkenal, judulnya: “Apakah yang kaucari Palupi?” Film tersebut disutradarai Asrul Sani, berkisah tentang seorang wanita cantik bernama Palupi yang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Pertama ia mempunyai suami yang tulus, jujur, dan mencintainya, tetapi ia tinggalkan karena ia terpikat dengan seorang sutradara. Ia merebut sutradara itu dari pacar sang sutradara. Ketika ia sudah mendapatkannya, kemudian ia tertarik dan memburu seorang pengusaha muda yang kaya raya. Ternyata hatinya tetap gelisah, terus ingin mencari dan memburu yang lain.
Banyak orang mengatakan bahwa hidup adalah pencarian. Ada yang mencari uang, hingga ada nyanyian: “Apa yang dicari orang, uang… uang… uang…” ada yang mencari jabatan, kekuasaan, karier. Ada yang mencari ilmu, pendidikan, pengetahuan, sekolahan, perguruan tinggi terbaik, jenjang pendidikan dan gelar tertinggi, tidak cukup satu, bisa dua tiga atau lebih. Ada yang mencari pacar, pasangan hidup, isteri, jodoh, cinta sejati, dan masih banyak lagi pencarian-pencarian yang lainnya.
Namun, tidak sedikit yang setelah perjalanan panjang dalam kehidupannya, badan telah renta, tersisa kekuatan yang tertatih, terduduk merenungi perjalanan yang hampir usai: “Apakah yang telah kucari di sepanjang perjalanan ini?” Tersadar, banyak pencarian tetapi tidak banyak yang didapat, kecuali kelelahan, kehampaan, kesusahan, malahan malapetaka. Dalam kehidupan ini, adakah yang lebih penting dari mencari hidup itu sendiri? Berdasarkan tema kita, berekumene berarti membangun hidup bersama dalam satu rumah. Bisa berarti rumah tangga, rumah Gereja, rumah bangsa, bahkan rumah dunia yang terdiri dari berbagai orang. Betapa tidak mudahnya!
Isi
Ajakan Amos untuk Mencari Hidup Bersama Tuhan dan Sesama di Tengah Ketidakadilan Sosial
Amos hidup di tengah Kerajaan Israel Utara di bawah pemerintahan Raja Yerobeam II (786-746 SM) yang kelihatan makmur. Pada masa itu relatif tidak ada ancaman musuh dari luar. Perdagangan dalam negeri maupun dengan luar negeri lancar. Ekonomi berkembang, pendapatan bertambah, keuntungan berlimpah. Sehingga memunculkan orang-orang kaya baru yang suka pamer kekayaan, kemewahan, dan pesta pora yang tidak ada habis-habisnya. Bahkan di bidang keagamaan juga menjadi ajang pamer, ibadah-ibadah umat kelihatan marak, upacara-upacara keagamaan nampak meriah, persembahan-persembahan umat melimpah.
Namun justru keadaan itulah yang dikritik oleh Nabi Amos. Sebab di tengah perlombaan, bahkan perebutan mencari hidup sejahtera tersebut, banyak orang yang tertinggal: Mereka yang lemah, miskin, tanpa daya dan marginal (terpinggir). Yang lebih menyedihkan dan mengerikan justru dengan kekayaannya, mereka yang kaya memeras yang miskin. Dengan kekuasaannya mereka yang berkuasa menindas yang papa dan tanpa daya. Tidak ada perlindungan bagi mereka yang lemah. Mereka semua mengabaikan keadilan sosial. Ketimpangan dan kesenjangan terjadi dimana-mana. Mereka itu dikatakan telah mengubah keadilan menjadi ipuh, artinya sesuatu yang pahit sekali yang sungguh melukai dan menyengsarakan rakyat kecil yang tanpa daya (5:7). Akibatnya masyarakat terbelah-belah, kebencian, dan dendam terpendam seperti bara.
Disanalah Nabi Amos muncul dan menyatakan bahwa semua itu jahat, keji, dan akan berakhir dengan malapetaka, sehingga mereka tidak dapat menikmatinya (5:11). Ia mengajak mereka untuk meninggalkan yang jahat itu dan mencari yang baik, meninggalkan dosa dan mencari Tuhan dan kehendak-Nya, supaya mereka hidup (5:14). Kehendak Tuhan adalah kebenaran dan keadilan (5:15). Keadilan berarti juga mewujudkan kesetaraan untuk semua tanpa memandang suku, status sosial, dan agama.
Apa yang terjadi pada zaman Amos, yakni perebutan, keserakahan, dan terpinggirnya yang lemah juga terjadi di sekeliling kita sekarang ini. Pertumbuhan ekonomi yang relatif baik, sehingga dapat dilakukan pembangunan berbagai infrastruktur dimana-mana, menjadikan ekonomi masyarakat berkembang. Muncul orang-orang yang berhasil, orang-orang kaya baru yang mabuk harta, kekuasaan, dan popularitas. Lebih lagi dengan perkembangan teknologi informatika dan komunikasi yang hebat, menjadikan orang-orang menunjukkan eksistensi (keberadaan) dirinya lewat media sosial seperti Youtube, Instagram, Twiter dan Tiktok. Budaya pencitraan untuk menunjukkan diri kaya, pandai, penuh kuasa, hebat, murah hati, dan baik menjadi gaya hidup. Budaya ini pula yang mewarnai dunia perpolitikan demi mendapatkan pendukung dan suara sebanyak-banyaknya. Bahkan di dunia keagamaanpun juga serupa. Keagamaan menjadi ajang pamer. Orang “menjual agama” demi mendapat keuntungan politik, ekonomi, dan popularitas. Banyak orang tertipu dan menjadi korban. Pada hal di sana masih banyak orang-orang yang miskin, tanpa daya. Celakanya korban terbesar adalah justru mereka yang miskin, lemah dan termarginal, yang tidak mempunyai modal, aset, dan akses untuk ikut dalam perlombaan dan perebutan yang tidak seimbang ini. Maka ketimpangan pun terjadi, malahan banyak dari mereka ini menjadi korban penipuan, pemerasan, dan penindasan. Adanya nafsu angkara yang menggunakan harta/kekayaan, kekuatan, kekuasaan politik, ekonomi, militer untuk saling menguasai serta kebencian dan dendam dalam menanggapinya, mengakibatkan pertengkaran dan perang berlarut-larut, yang memecah belah masyarakat, suku, bangsa, dan negara. Sri Paus Fransiscus dalam pidatonya dihadapan korps diplomatik yang bekerja untuk Tahta Suci Vatikan pada tanggal 8 Januari 2024 menyatakan bahwa budaya kematian sedang merebak tak terkendali di dunia kita kini.
Mencari Hidup Kekal Adalah Hidup Dalam Pendamaian Kristus dan Peduli Terhadap yang Tersingkir
Tuhan Yesus mengatakan: “Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, dia tidak akan masuk ke dalamnya”, yaitu dengan rendah hati, tulus, dan bergantung kepada Allah. Ia lalu memeluk anak-anak yang berkerumun itu dan memberkati mereka, Yesuspun meneruskan perjalanan-Nya. Namun tiba-tiba datanglah seorang muda yang berlari-lari bertelut dan bertanya: ”Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Tuhan Yesus lalu menyebut Dasa Titah, bagian kedua yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya: jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengurangi hak orang dan hormatilah ayah ibumu. “Semua itu sudah kulakukan!” Jawab pemuda itu. Tampaknya semuanya begitu hebat. Pemuda itu cakap (smart), mempunyai status sosial tinggi (Lukas 18:18 menyebut pemimpin), kaya, dan telah melakukan Hukum Tuhan. Kurang apa lagi?
Namun Tuhan Yesus mengatakan: masih ada kurang satu lagi, “Juallah apa yang kau miliki dan berikanlah kepada orang-orang miskin, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.” Pemuda itupun sedih, sebab banyak hartanya. Hidup kekal bukan hanya berarti hidup di akherat nanti atau hidup selama-lamanya saja, melainkan juga hidup bermutu, berkualitas, dan bermakna, yang sudah dimulai dari dunia ini. Hidup kekal bukanlah hidup egoistis, selfish (cinta diri), dan eksklusif (menutup diri). Dengan demikian hidup kekal bukanlah dengan mengambil, merampas, atau merayu dan mengorbankan orang lain demi diri sendiri, melainkan hidup memberi dan berbagi dengan orang lain, terutama kepada mereka yang lemah, miskin, papa dan termarginal (tersingkir). Sungguh sulit bagi orang kaya menjadikan kekayaannya sebagai dasar dan tujuan hidup untuk masuk ke dalam hidup kekal atau Kerajaan Allah tersebut. Bahkan sungguh sulit bagi manusia masuk ke Kerajaan Allah dengan kekuatan-Nya sendiri, bagaimanapun kuatnya dia. Karena dosa memang telah menjadikan manusia tidak pernah sempurna, selalu penuh kekurangan. Setiap orang mempunyai hambatan atau batu sandungannya sendiri yang mengikat dan cintanya melebihi ikatan dan cintanya kepada Tuhan. Pemuda itu begitu lekat dengan hartanya, mungkin orang yang lain karena begitu lekat dengan kekuasaan, jabatannya, popularitasnya, kegemarannya dstnya. Segala jalan baik atau jahat ditempuh untuk memperolehnya. Lalu siapakah yang selamat?
Tuhan Yesus melanjutkan: “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.” Tidak ada yang mustahil bagi Allah, sebab Allah adalah sumber segala karunia dan berkat. Bersama Allah, dengan penyerahan diri kepada-Nya, serta menjadikan-Nya sebagai dasar dan tujuan kehidupan, dengan karunia-Nya saja akan mampu mengatasi kendala dan batu sandungan itu. Sehingga orang kaya tidak dihambat oleh kekayaannya, penguasa tidak dihambat oleh kekuasaannya, orang cerdik cendekiawan tidak dihambat oleh kecendekiaannya, orang bertalenta tidak dihambat oleh talentanya. Bahkan bersama Allah kekayaan atau kekuasaan atau talenta itu menjadi jalan berkat bagi semuanya, terutama yang tertinggal, lemah, miskin, dan tersingkir.
Di tengah budaya kematian ini, Nabi Amos menyatakan bahwa mencari Tuhan dan kehendak-Nya adalah mencintai hidup, menghormati kehidupan dan keadilan, serta kesetaraan bagi semua. “Biarlah keadilan bergulung-gulung mengalir seperti air.” (Amos 5:24). Dari sanalah mengalir damai sejahtera. Karena yang hina dimuliakan, yang gelisah ditentramkan, yang lapar dikenyangkan, yang telanjang mendapat pakaian, yang terbelenggu dibebaskan tanpa pandang bulu. Yang direjam dendam berbagi pengampunan, yang bermusuhan berbagi kasih persaudaraan, yang diamuk perang berbagi perdamaian. Orang berbagi kehidupan, bukan kematian. Menyedihkan sekali, peringatan Nabi Amos ini tidak didengarkan oleh bangsa Israel Utara, sehingga 20-an tahun kemudian, setelah kematian Yerobeam II, Israel Utara terus merosot dan akhirnya pada tahun 722 SM dihancurkan Asyur dan menjadi bangsa buangan Asyur.
Dalam Ibrani 4:12-16, penulis memberikan dasar dan modal yang kokoh untuk hidup kekal, yaitu pengorbanan Kristus Sang Imam Agung, sekaligus Anak Domba Allah yang merupakan pengorbanan sempurna untuk menghapus dosa manusia dan mendamaikan manusia dengan Allah untuk selama-lamanya. Tujuan pengorbanan-Nya itu supaya kita manusia berdamai dengan diri dan sesama manusia, bahkan sesama ciptaan. Inilah keselamatan sejati yang tidak dapat diberikan oleh upacara-upacara persembahan kurban di dalam Agama Yahudi. Berdasarkan pengorbanan yang sempurna dan kepastian keselamatan ini, penulis Ibrani mengajak supaya kita dengan penuh keberanian dan kemantapan menghampiri tahta kasih karunia Allah. Kita merayakan pendamaian Allah itu melalui kehidupan yang mewujudkan damai sejahtera, dimulai dari diri sendiri, bersama dengan keluarga dan gereja, terus mengalir dalam rumah bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang (ras, bangsa, status sosial, agama/kepercayaan), yang sama-sama merindukan keadilan dan damai sejahtera.
Penutup
Sebagaimana simbolnya, berekumene adalah hidup bersama di dalam satu perahu yang sedang berlayar mengarungi samudera. Ketika sebagian penumpangnya tergencet, keadilan lenyap, dan berkobar kekacauan, maka perahu itu akan oleng, bahkan dapat tenggelam. Berapa banyaknya biduk keluarga, perahu suku, kapal bangsa atau negara goncang bahkan tenggelam karena ketidakadilan sosial, ketimpangan yang meletus menjadi pertikaian dan revolusi sosial?
Tuhan Yesus telah memberikan dasar, modal, dan teladan nyata bagi kita. Dan Rasul Paulus menandaskan dalam 1 Kor. 12:22-25 bahwa justru bagian atau anggota tubuh yang paling lemah, kurang terhormat dan tidak elok itu yang harus mendapatkan perhatian dan penghormatan khusus. Demi memperhatikan, mendampingi, dan membantu yang lemah dan tersingkir (marginal) tsb, di Yogyakarta, Alm. Romo Mangunwijaya membuat pondoknya dan tinggal di Bantaran Sungai Code. Maka hendaknya pendamaian Kristus yang telah kita alami itu juga terus mengalir ke sekeliling kita, terutama kepada mereka yang lemah dan tersingkir. Tuhan dimuliakan dan damai sejahtera di atas bumi diwujudkan, ketika kita mau berbagi kehidupan, bukan kematian. Amin. [BRU].
Pujian: KJ. 432 : 1, 2 Jika Padaku Ditanyakan
Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)
Pambuka
Ing taun 1969 wonten film ingkang kondang ingkang dipun sutradarai Asrul Sani, judulipun: “Apakah yang kau cari Palupi?” Film punika nyariosaken satunggaling wanita sulistya, naminipun Palupi ingkang mboten nate marem kaliyan punapa ingkang dipun gadhahi. Wiwitanipun piyambakipun gadhah semah ingkang tulus, jujur, lan nresnani piyambakipun. Ananging lajeng katilar, karana kapencut kaliyan sutradara, ngantos dipun rencangi ngroyok saking pacaripun. Sasampunipun angsal si sutradara, piyambakipun kapilut lan mburu satunggaling pengusaha nem ingkang sugih. Sareng kadumugen pranyata manahipun taksih ngangah-angah, mboten wonten maremipun.
Kathah tiyang ingkang nyatakaken bilih gesang punika ngupadi. Wonten ingkang ngupadi arta, raja-brana, kasugihan. Wonten ingkang ngupadi panguwaos, drajat, pangkat. Wonten ingkang ngupadi ngelmu, kasekten, kawruh, gelar pawiyatan luhur ingkang paling inggil. Wonten ingkang ngupadi pacar sulistya utawi bagus ing rupa, sigaraning nyawa, jodho ingkang setya. Sedaya margi katempuh kanthi tindak sae utawi awon.
Mboten sakedhik tiyang, sasampunipun nglampahi lelampahaning gesang ingkang panjang, badan sangsaya lungkrah, semangat pepes, lan lampahipun sempoyongan tanpa daya lajeng rumaos dhirinipun sepuh, sepa, sepah, sepi, samun. Piyambakan ngudaraos: “Punapa estunipun ingkang dipun padosi lan dipun buru ing gesang ingkang sampun dipun pengkeraken, ngantos kesupen semah, anak, lan brayat rinten dalu nyambut damel punika?” Kathah sanget ingkang dipun buru, nanging mboten kathah ingkang katampi, kejawi namung sayah, lungkrah, lan sisah. Ing pagesangan punika saestunipun punapa wonten malih ingkang langkung penting katimbang ngupadi gesang punika piyambak? Tema kita: “Berekumene” artosipun ngupadi gesang sesarengan ing satunggal griya utawi omah, saged ateges griyaning brayat kita, saged griyaning pasamuwan, saged ugi griyaning bangsa, malahan satunggal griya jagad agung ingkang gumelar ingkang kedadosan saking marupi-rupining tiyang punika. Saestu mboten gampil !
Isi
Ajakanipun Nabi Amos Ngupadi Gusti lan Gesang Sesarengan Sesami ing Tengahing Icaling Kaadilan
Nabi Amos lelados ing Israel Ler kala zamanipun Sang Prabu Yerobeam II (786-746 Sakderengipun Sang Mesih). Ing wekdal punika mboten wonten ancaman mengsah saking njaban rangkah, saengga dedagangan kaliyan njaban rangkah lan ing saklebeting negari lumampah lancar. Ekonomi tuwuh ngrembaka, asiling pangupa jiwa tambah, kauntungan luber, masyarakat ketingal makmur. Muncul tiyang-tiyang sugih enggal, ingkang remen pamer kasugihanipun, jor-joran nedahaken kemewahan. Saben dinten bujana handrawina. Malahan ing babagan agami ugi dados ajang pamer, kesupen menawi taksih kathah ingkang keluwen lan kesrakat. Ibadah-ibadah umat ketingal marak, upacara-upacara lan dinten-dinten riyadin agami ketingal regeng, pisungsunging umat ugi kathah.
Ananging, inggih kawontenan ingkang kados mekaten punika ingkang dipun kritik dening Nabi Amos. Awit pranyata taksih kathah warganing negari lan bebrayan ingkang mlarat lan kesrakat. Ing gesang sesarengan ingkang kebak tetandingan lan rebutan punika kathah tiyang ingkang keponthal-ponthal kantun. Ing pundi-pundi tuwuh katimpangan. Tiyang-tiyang punika mboten dipun paelu, tanpa pengayoman, malahan dados obyek pemerasan dening para tiyang sugih, pemodal lan panguwaos lumantar kasugihanipun miwah panguwasanipun. Para penindhes punika kanyatakaken: sampun ngowahi kaadilan dados butrawali ingkang pait sanget, ingkang natoni lan nyengsarakaken rakyat (5:7).
Nabi Amos melehaken bilih sedaya punika awon, kejem, lan badhe anjog ing kacilakan, saengga tiyang-tiyang punika mboten badhe saged nikmati asiling pangupadinipun (5:11). Amos ngajak tiyang-tiyang punika nilaraken piala lan ngupadi ingkang sae, nilaraken dosa lan ngupadi Gusti Allah miwah kersanipun, supados gesang (5:14). Kersanipun Gusti inggih punika maujudaken kaleresan lan kaadilan (5:15), utaminipun tumrap ingkang kesrakat lan katindhes. Kuciwanipun, pengetipun Amos punika mboten dipun pirengaken. Sasampunipun sedanipun Yerobeam II, Israel terus mrosot, akhiripun kaancuraken lan kabandang dhateng Asyur tahun 722 SM.
Punapa ingkang kedadosan ing zamanipun Amos punika pranyata ugi saged kita prangguli ngantos ing zaman samangke, inggih punika gesang kebak rebutan, srakah miwah kesingkiripun para papa cintaka. Tuwuh lan ngrembakanipun ekonomi ingkang relatif sae ndadosaken pambangunan infrastruktur (margi, treteg, pelabuhan, lan bandara, transportasi) ing pundi-pundi. Muncul tiyang-tiyang ingkang sukses, tiyang-tiyang ingkang mendem banda, panguwaos, lan popularitas. Langkung-langkung kanthi ngrembakanipun teknologi informatika ingkang ngedab-edabi, ndadosaken kathah tiyang ingkang nedahaken dhirinipun nglangkungi media sosial (Youtube, Instagram, Facebook, Tiktok lsp ipun). Budaya pencitraan kangge nedahaken bilih dhirinipun sugih, loma, pinter, kondhang, lan hebat dados “gaya hidup”. Langkung malih ing jagading perpolitikan, pencitraan kangge milut pendhukung sak kathah-kathahipun. Malahan ing jagading agami ugi sami kemawon. Pinten kathahipun tiyang ingkang ngginakaken agami kangge nggayuh kauntungan politik, ekonomi, lan popularitas? Kathah tiyang kecelik lan kapusan. Tan mangka ing pundi-pundi taksih kathah tiyang mlarat, kesrakat. Taksih wonten ingkang ketimpangan. Malahan kathah saking antawisipun tiyang-tiyang kalawau ingkang dados korbaning apus-apus, pemerasan, perlakuan mboten adil. Mbludagipun nafsu serakah ingkang ngginakaken kasugihan/bandha, panguwaosing politik, ekonomi, militer kangge nguwaosi lan nindhes, katanggapi raos sengit miwah dendam ndadosaken memengsahan lan paprangan ingkang mboten wonten telasipun ingkang mecah belah masyarakat, bangsa, lan negari. Sri Paus Fransiscus pidato ing ngajenging korps diplomatik ingkang makarya kangge Tahta Suci kala tanggal 8 Januari 2024 nyatakaken bilih ing wekdal punika budaya pepejah saweg ngrembaka tanpa saged kabendung.
Ngupadi Gesang Langgeng Ateges Gesang ing Pirukuning Gusti Miwah Migatosaken ingkang Kesingkir
Gusti Yesus paring pingandika: “Satemene sing sapa anggone nampani Kratoning Allah ora kaya bocah cilik, iku ora bakal lumebu ing kono”, inggih punika sikap andhap asor, tulus ekhlas miwah gumantung dhumateng Gusti. Panjenenganipun ngrangkuli lan mberkahi lare-lare ingkang ngempal punika, lajeng nglajengaken tindakipun. Dumadakan wonten satunggaling nem-neman ingkang nututi, sujud sarta pitaken dhumateng Gusti Yesus: “Dhuh Guru ingkang utami, punapa ingkang kedah kula lampahi supados angsal gesang langgeng?” Gusti Yesus lajeng nyebat Dasa Titah, perangan ingkang kaping kalih: ”sira aja memateni, aja laku jina, aja nyenyolong, ora ngucapake paseksi goroh, aja gawe pituna marang wong; sira ngajenana bapa-biyungira.” “Sadaya punika sampun kula tetepi wiwit alit mila”, wangsulanipun nem-neman punika. Kirang punapa malih? Nem-neman punika cakep, sugih, kinormatan (Lukas nyebat pemimpin). Nanging kanthi kebak sih-katresnan Gusti Yesus lajeng ngendika: “Mung kari saprakara kekuranganmu. Mundura, barang darbekmu dolana kabeh, pepayone wenehna wong miskin, temahan kowe bakal tampa bandha kaswargan, banjur balia mrene, melua Aku!” Sakala nem-neman punika nglemprek, gela, lan sedhih lajeng mundur, amargi kathah sanget bandhanipun. Gesang langgeng mboten namung ateges gesang mangke ing akherat utawi gesang salami-laminipun kemawon, ananging ugi gesang “berkualitas” lan gesang ingkang nggadhahi artos ageng, ingkang kawiwitan saking gesang sapunika. Gesang ing patunggilan kaliyan Yehuwah Allah lan sesami. Sanes gesang egoistis (namung mentingaken dhiri), selfish (namung nresnani dhirinipun piyambak), eksklusif (nutup dhiri dhumateng tiyang sanes) lan ngorbanaken tiyang sanes. Pancen angel sanget tiyang sugih lumebet Kratoning Allah, malahan angel sanget manungsa kanthi kakiyatanipun piyambak lumebet Kratoning Allah utawi gesang langgeng ingkang kados mekaten. Karana dosa, mboten wonten manungsa sampurna. Manungsa tansah kebak ing kekirangan. Saben tiyang nggadhahi alangan lan sandhunganipun piyambak-piyambak ingkang ngiket manahipun lan katresnanipun nglangkungi iketan lan katresnanipun dhumateng Allah. Nem-neman punika raket sanget kaiket bandhanipun. Mbok menawi tiyang sanesipun wonten ingkang kaiket dening drajat, jabatan, panguwaos, kekareman, popularitasipun, lan sakpiturutipun ingkang nglangkungi katresnanipun dhumateng Gusti Allah. Rinten dalu kaupaya, margi sae utawi awon katempuh kangge nggayuh sedaya punika. Gesang langgeng ing Kratoning Allah sanes gesang ingkang mendhet, ngrampas, utawi ngrayuk kangge dhirinipun piyambak, ananging menehi lan mbagi gesang kaliyan tiyang sanes. Lajeng sinten ingkang wilujeng lan nampi Kratoning Allah?
Gusti Yesus nglajengaken: “Tumraping manungsa iku mokal, ananging ora mangkono tumraping Allah. Amarga tumraping Allah samubarang kabeh bisa kelakon.” Gusti Allah punika Maha kuwasa miwah dados etuking sedaya kanugrahan lan berkah. Mila namung sesarengan kaliyan Gusti Allah kemawon, kanthi sumarah pasrah sarta ndadosaken Panjenenganipun minangka dhasar lan tujuaning gesang, kanthi kanugrahanipun kemawon kita badhe saged ngatasi sedaya alangan lan sandhungan punika. Satemah tiyang sugih mboten kaalangi dening bandhanipun, tiyang ingkang nyepeng panguwaos mboten kaalangan dening panguwaosipun lan tiyang pinter limpad wicaksana mboten kaalangan dening kapinteran lan kawicaksananipun. Malahan sesarengan kaliyan Gusti Allah, kasugihan, panguwaos, kapinteran, bakat, lan kawicaksanan punika saged dados margining berkah tumrap sedaya tiyang lan sedaya titah.
Ing satengahing budayaning pepejah punika nabi Amos nyatakaken bilih ngupadi Gusti miwah kersanipun punika ngurmati gesang, kaadilan, miwah kesetaraan kangge sedaya tiyang. “… kaadilan iku gumlindhinga kaya banyu lan kabeneran kaya kali kang tansah mili.” (5:24). Saking ngriku badhe mili tentrem rahayu. Karana ingkang papa kamulyakaken, ingkang goreh katentremaken, ingkang luwe kawaregaken, ingkang kewudan nampi ageman, ingkang kabelenggu kaluwaran. Ingkang nyimpen dendam apunten-ingapunten, ingkang memengsahan rengkuh-rinengkuh ing pasadherekan. Tiyang sami bagi-binagi gesang, sanes pepejah.
Kangge mbangun gesang sesarengan ingkang kados mekaten punika penulis serat Ibrani nyatakaken bilih Sang Kristus dados dhasar miwah modal. Minangka Sang Imam Agung miwah Cempening Paskah ingkang sejatos, Sang Kristus sampun kinorbanaken minangka korban ingkang sampurna kangge ngrukunaken manungsa dosa kaliyan Gusti Allah ingkang Maha Suci (Ibr. 4:14-16), supados kita rukun kaliyan dhiri kita piyambak, rukun kaliyan sesami lan alam lingkungan kita. Gusti Yesus ngraosaken kaapesan miwah kasekengan kita. Adhedhasar pangorbananipun punika, penulis serat Ibrani ngatag supados kita kanthi kendel sowan dhateng dhamparing sih rahmatipun Allah sarta nyukuri pirukun miwah karahayon punika lumantar gesang maujudaken karukunan miwah tentrem rahayu sesarengan kaliyan para sadherek kita, tanpa mawang ras, suku, bangsa, status sosial lan agami/kapitadosan, ingkang saestunipun sami ngelak ngorong dhumateng kaadilan saha katentreman.
Panutup
Kadosdene lambangipun, gesang sesarengan ing satunggal griya punika kadya baita ingkang saweg lelayaran ing tengahing samodra. Nalika wonten saperangan penumpang ingkang kagencet, tanpa pangayoman ingkang nuwuhaken dredah miwah memengsahan, tamtu badhe ndadosaken baita punika oling, malah saged kerem. Pinten kathahipun baitaning brayat, bebrayan, lan bangsa ingkang oling, malahan kerem karana icaling kaadilan sosial, kesetaraan, miwah kawigatosan dhumateng ingkang alit lan ringkih?
Gusti Yesus sampun maringi dhasar miwah tuladha, saha Rasul Paulus nandhesaken: malah peranganing badan ingkang ringkih piyambak, ingkang ketingalipun mboten aji lan mboten pantes punika ingkang kedah kawigatosaken lan karukti kanthi langkung khusus (1 Kor. 12:22-25). Inggih kangge migatosaken para tiyang ingkang apes, sekeng, lan kesingkir (marginal) punika, ing Ngayogyakarta, Alm. Romo Mangunwijaya mbangun pondhok ing pinggiring Kali Code, saperlu ndhampingi miwah mitulungi tiyang-tiyang punika. Sumangga tentrem rahayunipun Sang Kristus ingkang sampun kita alami punika ugi kita ilekaken ing sakiwa tengen kita, utaminipun dhumateng ingkang apes, sekeng miwah kesingkir. Kanthi mekaten asmanipun Gusti kaluhuraken lan tentrem rahayun-Ipun ing bumi kawujudaken. Amin. [BRU].
Pamuji: KPJ. 384 : 1, 2 Rahayu Kang Mlarat Ing Budi