MINGGU BIASA
STOLA PUTIH
Bacaan 1 : Ulangan 30 : 9 – 14.
Bacaan 2 : Kolose 1 : 1 – 14.
Bacaan 3 : Lukas 10 : 25 – 37.
Tema Liturgis : Keluarga Kristen Yang Melayani.
Tema Khotbah: Melayani Dengan Belas Kasih.
Keterangan Bacaan.
Ulangan 30 : 9 – 14.
Pemulihan bagi umat yang telah bertobat diserukan dalam ayat 9. Pemulihan itu berupa kelimpahan dan berkat. Berikutnya, orang yang telah bertobat tetap ada tuntutan untuk memegang teguh dan memberlakukan hukum-hukum Tuhan (ayat 10). Hal ini tentunya dimaksudkan sebagai wujud nyata pertobatannya.
Ayat 11 – 13 menyatakan bahwa pertobatan dan memberlakukan hukum Tuhan sesungguhnya bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan manusia. Manusia diberi kemampuan untuk melakukannya. Pertobatan dan memberlakukan hukum Tuhan hanya sedekat mulut dan hati bagi manusia. Artinya, manusia bisa mengucapkan pertobatannya dengan mulutnya, lalu dengan ketetapan hatinya dia juga dimampukan untuk melakukan hukum-hukum Tuhan sebagai wujud nyata pertobatannya. Hukum-hukum Tuhan itu dekat dengan tangan (tertulis dalam Alkitab), dan kita juga bisa mempelajarinya melaui ciptaanNya di sekeliling kita. Melakukan hukum-hukum Tuhan harus dimulai dari hati, dan bukan karena seruan pihak lain. Hukum-hukum Tuhan sebaik apapun tidak akan ada artinya jika tidak dilakukan. Mengucapkan saja tidak cukup, tetapi harus melakukan dan itu juga dengan ketulusan hati.
Kolose 1 : 1 – 14.
Kehidupan jemaat Kolose secara umum menjadikan Paulus gembira. Di ayat 2 Paulus menyatakan bahwa dirinya dan kawan-kawan selalu mengucap syukur setiap kali mendoakan mereka. Jemaat Kolose tidaklah lepas dari peran serta Epafras yang dengan setia merintis dan memelihara jemaat Kolose (ayat 7). Epafras pula yang menceritakan kepada Paulus dan kawan-kawan tentang berbagai perkembangan jemaat di Kolose serta pergumulan iman yang sedang mereka alami.
Di ayat 9, secara implisit, Rasul Paulus juga mengungkapkan adanya pergumulan yang dialami jemaat Kolose. Dan untuk itulah Paulus dan kawan-kawan selalu mendoakan mereka. Paulus memohonkan hikmat Allah, pengertian yang benar, supaya bisa mengetahui kehendak Allah atas hidup mereka. Rupanya Paulus paham bahwa jemaat Kolose harus menentukan sikap berkaitan dengan aliran Gnostik yang saat itu sedang berkembang. Aliran Gnostik ini menempatkan pengetahuan di atas segalanya. Pengetahuan yang rahasia inilah yang menurut mereka akan menjadikan mereka memahami Allah.
Paulus jelas menentang paham Gnostik itu. Di ayat 13, 14, diungkapkan oleh Paulus bahwa kita yang telah ditebus oleh Kristus menjadi orang-orang kudus tentunya juga dimampukan untuk mengatasi berbagai perbuatan dosa. Jemaat di Kolose adalah orang-orang yang sudah diselamatkan, sudah diampuni dosanya, sehingga tidak lagi dibelenggu kuasa gelap, melainkan sudah dipindah menjadi warga Kerajaan Allah. Artinya, setiap orang itu juga dimampukan untuk memahami kehendak Allah. Manusia tidak perlu mencari pengetahuan rahasia (seperti ajaran Gnostik) untuk tahu kehendak Allah. Manusia hanya membutuhkan percaya kepada Yesus Kristus yang telah menyelamatkan hidupnya.
Lukas 10 : 25 – 37.
Ayat 25 menyatakan pertanyaan seorang ahli Taurat kepada Yesus tentang bagaimana cara memperoleh hidup yang kekal. Pertanyaan ini sangat tendensius. Sebab seorang ahli Taurat tidak mungkin tidak tahu hal ini. Sebab bagi mereka isi hukum Taurat sudah sangat mereka hafal. Itulah sebabnya Injil Lukas menyebutkan bahwa pertanyaan itu untuk mencobai Yesus. Tuhan Yesus tahu hal ini, dan Dia kembali bertanya tentang isi hukum Taurat. Jika seseorang mengerti hukum Taurat, seharusnya tidak perlu ada pertanyaan seperti itu. Dia tidak menjawab pertanyaan itu dengan hukum Taurat, tetapi justru dengan perumpamaan.
Ayat 31 : seorang imam yang tidak mau menolong korban perampokan bisa memiliki 2 alasan. Pertama, jika korban itu sudah meninggal, dan sang imam menyentuh mayat, maka dia menjadi najis. Menjadi najis berarti dia tidak boleh melakukan tugas ke-imaman sampai dia menyucikan diri. Kedua, jika korban belum meninggal, maka berarti dia harus bertanggung jawab atas korban itu. Kedua alasan itu bisa dijadikan alasan sehingga tidak mau menolong korban perampokan. Demikian juga halnya dengan orang Lewi, mengingat para orang Lewi juga yang melakukan tugas-tugas di Bait Allah. Ketaatan mereka terhadap hukum-hukum, telah menjadikan mereka mengabaikan nilai kemanusiaan.
Ayat 33 : orang Samaria selalu dimusuhi oleh orang Yahudi. Mereka dianggap bukan orang Yahudi asli, karena dulu nenek moyang mereka tidak ikut ke tanah pembuangan di Babel, melainkan malah kawin dengan para penjajah dan orang-orang yang menhancurkan Yerusalem. Itulah sebabnya orang Yahudi menganggap orang Samaria itu hina, dan penuh dosa.
Tuhan Yesus menunjukkan pada ahli Taurat yang bertanya, bahwa ternyata orang Samaria yang dianggap tidak tahu hukum Taurat, dianggap orang berdosa, tetapi kenyataannya justru lebih memiliki sisi kemanusiaan dari pada orang Yahudi sendiri, termasuk kalangan imam dan orang Lewi sekalipun. Dalam menolong, orang Samaria itu tidak mempermasalahkan kebangsaan atau latar belakang dari orang yang ditolongnya. Dia hanya tahu ada orang yang membutuhkan pertolongan, dan dia bisa melakukannya. Untuk itu dia berkorban tenaga, waktu dan uangnya (ayat 34, 35) demi kemanusiaan. Dia hanya tahu bahwa itu adalah sesamanya yang membutuhkan pertolongan.
Ayat 37 menunjukkan bahwa sesama manusia bukanlah orang-orang yang sebangsa, senasib atau yang memiliki kesamaan lainnya. Tetapi sesama adalah siapapun yang telah menunjukkan belas kasihan kepada seseorang yang membutuhkannya. Dan ini merupakan pemahaman baru yang Tuhan Yesus berikan kepada orang Yahudi, khususnya ahli Taurat yang bertanya. Sebab pada saat itu orang Yahudi hanya menganggap orang-orang sebangsa saja yang menjadi sesamanya. Termasuk dalam memahami siapa saja yang akan memperoleh hidup kekal (band. Ayat 25).
Benang merah 3 bacaan
Hukum-hukum Tuhan bukan hanya untuk diucapkan dan dihafalkan. Semua itu akan berguna bila dilakukan, berdasarkan ketulusan dan kesadaran. Setinggi apapun pengetahuan yang dimiliki manusia, haruslah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam mengasihi sesama.
RANCANGAN KHOTBAH : Bahasa Indonesia
BELAS KASIHAN
(Nats : Luk. 10 : 33)
Pendahuluan
Belas kasihan kepada orang lain mampu menggerakkan seseorang untuk melakukan banyak hal yang bermanfaat bagi sesamanya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi keempat, belas kasihan adalah perasaan iba atau sedih melihat orang lain menderita dan kasihan. Setiap orang memiliki kepekaan yang berbeda dalam berbelas kasih. Tetapi, pada umumnya, jika belas kasihan itu muncul, maka seseorang akan mengesampingkan kepentingannya, demi menolong orang yang layak mendapat belas kasihnya itu. Bahkan, tidak jarang orang tidak berpikir ulang, yang penting orang tersebut ditolong terlebih dahulu.
Belas kasihan tidak selalu hanya dimiliki oleh orang-orang yang mengaku dirinya beragama. Belas kasihan menyangkut masalah hati, kepekaan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang dipahami oleh seseorang. Yang jelas, orang yang berbelas kasih itu adalah orang yang memiliki kepekaan sosial yang relatif tinggi dan juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Isi
Belas kasihan yang dimiliki oleh orang Samaria itu menjadikannya bertindak dengan spontan untuk menolong orang yang terluka parah kerena habis dirampok. Orang Samaria ini tidak memperhitungkan bahwa orang yang hendak ditolong itu dari bangsa apa, latar belakangnya bagaimana, dia bisa membalas pertolongannya atau tidak, apa keyakinannya, dsb. Yang dia tahu saat itu ada seseorang yang menderita, membutuhkan pertolongan, dan dia bisa menolongnya. Sisi kemanusiaannya terusik melihat penderitaan sesamanya. Dia juga tidak berpikir, kalau dia menolong orang tersebut, apakah dia memenuhi atau melanggar hukum Tuhan ataukah tidak. Yang terpikir hanya karena belas kasihanlah maka dia harus memberikan pertolongan.
Hal ini tentunya sangat berbeda dengan pemikiran seorang Imam dan seorang Lewi yang lewat tetapi tidak menolong korban perampokan itu. Mereka mungkin sangat memperhitungkan hukum-hukum yang tertulis, sehingga masih mempertimbangkan untung-rugi sebelum menolong orang lain. Bagi seorang Imam, kalau dia menolong orang yang tergeletak itu, tampaknya banyak merugikan dirinya secara jasmani. Kalau korban tersebut sudah meninggal dan Imam ini tersentuh mayat, maka menjadikannya najis dan tidak bisa melakukan tugas-tugas keimamannya sampai dia selesai menyucikan diri. Tetapi kalau korban itu masih hidup, dia harus bertanggung jawab untuk mengobati dan merawatnya. Tampaknya kedua resiko ini cukup “membebani / merugikan” dirinya. Maka, sang Imam itu memutuskan untuk melewatinya dari sebrang jalan (ayat 31). Demikian juga halnya dengan orang Lewi yang juga bertugas melayani di Bait Allah.
Rupanya, perhitungan untung – rugi itulah yang menjadikan seseorang “tumpul” dalam berbelas kasih. Meskipun mereka sangat hafal dengan hukum-hukum Tuhan, ternyata juga tidak melakukan apa yang dihafalnya itu. Hafal dengan hukum-hukum Tuhan ternyata juga tidak menjamin bahwa seseorang memiliki rasa belas kasih kepada sesama. Hukum-hukum Tuhan menjadi tidak berarti jika tidak dilakukan (band.bacaan 1). Hal mengasihi Allah dan mengasihi sesama tentunya menjadi hukum yang sangat dihafal dan dekat dengan kehidupan seorang Imam maupun orang Lewi. Tetapi, kenyataannya hal itu juga tidak menjamin mereka untuk melakukannya. Mengapa? Karena mereka hanya menghafal hukum-hukum itu, tanpa menghayati makna yang terdalam. Itulah sebabnya mereka tidak memiliki belas kasihan kepada sesamanya, meskipun mereka hafal dengan hukum kasih. Mereka memang hafal dengan hukum kasih, tetapi dalam kehidupan nyata ternyata mereka jauh dari belas kasih. Ini sangat ironis.
Imam dan orang Lewi itu dalam kehidupan kerohanian tampaknya begitu alim, tetapi sayangnya tidak ditindak-lanjuti dalam kehidupan sosialnya yang berbelas kasih kepada sesama. Bahkan untuk menjebak Tuhan Yesuspun seorang ahli Taurat bertanya kepada Tuhan Yesus : “Dan siapakah sesamaku manusia?” (ayat 29). Mereka hafal tentang hukum yang menyatakan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, tetapi mereka tidak paham siapa sesamanya? Ini lucu! Selama itu mereka hanya tahu bahwa sesamanya itu ya yang sama-sama bangsa Yahudi. Mereka menghafal hukum kasih, tetapi ternyata mereka tidak punya kasih, dan tidak tahu siapa yang harus mereka kasihi.
Perumpaan yang Tuhan Yesus berikan itu sungguh membongkar pemahaman ahli Taurat yang bertanya kepadaNya, juga orang-orang Yahudi pada umumnya. Dalam hal praktek kasih, berbelas kasihan, ternyata mereka kalah dengan orang Samaria yang dalam pandangan mereka adalah orang “kafir”. Orang kafir tentunya juga dianggap tidak tahu hukum-hukum Tuhan, tetapi pada prakteknya ternyata justru mereka yang melakukan hukum-hukum Tuhan itu.
Belas kasih seharusnya menjadi dasar dari setiap perilaku manusia. Sepandai apapun seseorang, sebanyak apapun pengetahuan yang dimiliki seseorang, jika tidak memiliki belas kasih juga tidak ada artinya. Oleh karena itu bukanlah memiliki pengetahuan yang penting, tetapi memiliki belas kasih adalah lebih penting (band.bacaan 2). Orang Samaria yang dianggap kafir, mungkin juga kurang berpengetahuan, tetapi kenyataannya lebih memiliki belas kasihan kepada sesamanya yang menderita. Bahkan untuk menindak-lanjuti belas kasih yang dimilikinya ternyata juga dia rela berkorban demi bisa memberikan pertolongan. Dia mengorbankan waktunya (karena menempuh perjalanan lebih lama), kenyamanannya berkendara (karena orang yang ditolong dinaikkan ke atas keledainya), hartanya (membersihkan luka dengan minyak dan anggurnya, membayar perawatan dan penginapan). Mengapa orang Samaria itu rela melakukan semuanya itu? Karena dia memiliki belas kasih kepada sesamanya. Orang yang berbelas kasih tidak mengharapkan imbalan. Yang dia tahu saat itu, ada orang menderita membutuhkan pertolongannya, dan dia bisa menolong semampunya.
Belas kasih juga menjadi dasar manusia berelasi dengan sesama mupun dengan Tuhan. Jika memiliki belas kasih, manusia tidak akan merasa terpaksa dalam melaksanakan hukum-hukum Tuhan. Demikian juga di muka bumi ini tidak akan ada orang yang menderita jika setiap orang memiliki belas kasih kepada sesamanya. Setiap orang akan berusaha menolong sesamanya yang menderita, apapun penderitaan mereka. Dan orang yang berbelas kasih itu layak disebut sebagai sesama, apapun keberadaannya.
Penutup
Dalam kehidupan sehari-hari kita sekarang, betapa langkanya manusia seperti orang Samaria itu. Sebagian besar orang justru mau menolong orang lain bukan karena belas kasihan, tetapi karena “pamrih”. Suatu ketika orang yang ditolong itu akan gantian memberikan pertolongan kepadanya. Menolong orang lain berdasarkan untung-rugi dan bukan karena belas kasihan.
Sebaliknya, orang-orang yang berjiwa seperti ahli Taurat itu menjadi semakin banyak. Dalam kegiatan peribadatan tampaknya sangat khusuk, aktif, dan hafal dengan hukum-hukum Tuhan. Tetapi dalam kehidupan sosialnya ternyata tidak tahu siapa sesamanya, tidak tahu siapa yang membutuhkan pertolongannya (atau menghindarinya). Hukum kasih yang mereka hafal, praktek keagamaan yang mereka lakukan cenderung hanya menjadi semacam slogan dan meningkatkan status sosialnya saja. Namun praktek kasih dalam kehidupan bermasyarakat tidaklah dilakukan. Ada sesama di “pelupuk mata” yang membutuhkan pertolonganpun tidak dihiraukan. Rasa belas kasihan mereka telah tumpul oleh berbagai kepentingan pribadi. Tentunya bukan itu yang diharapkan oleh Tuhan Yesus. Dia telah memberi teladan bahwa apapun yang dilakukan untuk manusia, tidaklah lepas dari belas kasihNya. Maka, kitapun harus menjadi pribadi yang berbelas kasih kepada sesama. Amin. (YM).
Nyanyian : KJ 39 : 1, 3.
RANCANGAN KHOTBAH : Basa Jawi
WELAS ASIH
(Jejer : Luk. 10 : 33)
Pambuka
Welas asih tumrap sesami saged paring pangatag-atag dhateng manungsa nindakaken prekawis-prekawis ingkang migunani kangge sesaminipun. Miturut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, welas asih utawi belas kasihan punika ateges raos trenyuh awit ningali tiyang sanes wonten ing salebeting panandhang utawi kasisahan. Saben tiyang tamtunipun boten sami ing bab nggadhahi raos trenyuh lan welas asih. Ananging, adatipun, menawi wonten raos welas asih, tiyang punika lajeng boten maelu kabetahanipun piyambak, supados saged paring pitulungan dhateng tiyang ingkang wonten ing salebeting panandhang punika. Saged ugi tiyang punika sampun boten mikir-mikir malih, ingkang wigatos sageda enggal paring pitulungan.
Welas asih boten namung wonten ing gesangipun tiyang ingkang ngakeni gadhah agami. Welas asih punika wonten sambetipun kaliyan raosing manah, kepekaan, lan ugi bab kamanungsan ingkang dipun ayati dening manungsa. Ingkang cetha, tiyang ingkang gadhah raos welas asih punika adatipun tiyang ingkang gadhah kepekaan sosial lan ugi ngurmati ajining raos kamanungsan.
Isi
Welas asih ingkang dipun gadhahi dening tiyang Samaria ndadosaken piyambakipun lajeng tumindak spontan paring pitulungan dhateng tiyang ingkang kapilara ing begal. Tiyang Samaria punika boten menggalih ing bab bangsanipun tiyang ingkang badhe kapitulungan, asal-usulipun, saged males paring pitulungan punapa boten, kapitadosanipun punapa, lsp. Tiyang Samaria punika namung mangertos bilih wonten tiyang ingkang sangsara lan mbetahaken pitulungan, lan piyambakipun ugi saged paring pitulungan. Raos kamanungsanipun kabikak awit ningali panandhangipun sesami. Tiyang Samaria punika ugi boten menggalih, menawi piyambakipun paring pitulungan, piyambakipun kalebet tiyang ingkang netepi angger-anggeripun Gusti utawi nerak angger-angger. Ingkang dipun galih inggih namung raos welas asih, pramila lajeng piyambakipun paring pitulungan.
Bab punika tamtunipun benten sanget kaliyan punapa ingkang dipun galih dening satunggaling Imam lan tiyang Lewi ingkang ugi nglangkuni papan ngriku lan boten paring pitulungan dhateng tiyang ingkang nembe kabegal kalawau. Imam lan tiyang Lewi punika saged ugi sanget ngetang angger-angger ingkang kaserat, pramila taksih nenimbang bathi lan rugi saderengipun paring pitulungan dhateng tiyang sanes. Tumrap Imam, menawi paring pitulungan dhateng tiyang ingkang kabegal kalawau, rupinipun ndadosaken Imam punika rugi secara jasmani. Menawi nyatanipun tiyang kalawau sampun pejah lan Imam punika kesenggol mayit, punika ndadosaken sang Imam najis lan boten saged nindakaken ayahaning Imam ngantos ing titi wancinipun sesuci malih. Ananging, menawi tiyang ingkang kabegal kalawau taksih gesang, sang Imam kedah tanggel jawab ngobati lan paring pangrimatan. Rupinipun, kalih risiko punika dados prekawis ingkang awrat. Pramila sang Imam lajeng gadhah keputusan kangge nyimpang margi (ayat 31). Mekaten ugi tumrap tiyang Lewi ingkang ugi gadhah jejibahan lelados ing Pedaleman Suci.
Rupinipun bab etang-etangan bathi – rugi punika saged ndadosaken manungsa “kethul” ing bab raos welas asih. Senadyan manungsa punika apil ing bab angger-anggeripun Gusti, nyatanipun boten nindakaken punapa ingkang dipun apalaken. Apal angger-anggeripun Gusti, nyatanipun boten mesthi gadhah raos welas asih dhateng sesami. Angger-anggeripun Gusti estunipun badhe nglaha menawi boten katindakaken (band.waosan 1). Bab nresnani Allah lan sesami tamtunipun dados angger-angger ingkang saestu sampun dipun apal sanget dening Imam lan tiyang Lewi. Ananging, kasunyatanipun prekawis apal punika boten mesthi nglampahi angger-angger kalawau. Kenging punapa? Awit para tiyang punika namung ngapal angger-angger nanging boten ngayati pangertosanipun ingkang sejati. Pramila lajeng para tiyang punika boten gadhah raos welas asih dhumateng sesami, senadyan apal angger-anggering katresnan. Tiyang-tiyang punika pancen apal angger-angger katresnan, nanging ing pigesangan sadinten-dinten nyatanipun tebih saking raos welas asih. Punika saestu ironis.
Imam lan tiyang Lewi ing pigesangan karohanen ketawis saestu alim, khusuk/ saleh, ewasemanten boten kalajengaken ing pigesangan secara sosial ingkang gadhah raos welas asih dhateng sesami. Kangge nyobi Gusti Yesus, ahli Toret munjuk petaken dhateng Gusti Yesus : “Lajeng ingkang dados sesami kula punika sinten?” (ayat 29). Para ahli Toret saestu apil angger-angger ingkang mratelakaken “padha tresnaa ing sapepadhamu dikaya marang awakmu dhewe”, nanging para tiyang kalawau boten mangertos sinten sesaminipun? Punika aneh! Ing jaman semanten, para ahli Toret namung mangertos bilih sesaminipun manungsa inggih punika sesamining bangsa Yahudi. Para ahli Toret punika apal angger-angger katresnan, nanging nyatanipun boten gadhah katresnan, lan boten mangertos sinten ingkang kedah dipun tresnani.
Pasemon ingkang kawucalaken dening Gusti Yesus punika saestu ngewahi pangertosanipun para ahli Toret ingkang sampun munjuk pitaken dhumateng Panjenenganipun, mekaten ugi tumrap para tiyang Yahudi sanesipun. Ing bab nindakaken katresnan, welas asih, nyatanipun para tiyang Yahudi punika kawon kaliyan tiyang Samaria ingkang dipun wastani “kapir”. Tiyang kapir tamtunipun dipun anggep boten mangertos angger-anggeripun Gusti, nanging nyatanipun ing gesang padintenan malah nindakaken angger-anggeripun Gusti.
Welas asih kedah dados landhesan ing saben tindak-tandukipun manungsa. Senadyan tiyang punika lantip lan gadhah kawruh, nanging menawi boten gadhah raos welas asih ugi tanpa gina. Pramila, sanes ingkang gadhah kawruh ingkang wigatos, nanging ingkang gadhah welas asih punika ingkang langkung wigatos (band.waosan 2). Tiyang Samaria dipun wastani kapir, saged ugi kirang ing kawruh, nanging nyatanipun langkung gadhah raos welas asih dhateng sesami ingkang wonten ing salebeting panandhang. Lan kangge mujudaken welas asihipun, tiyang Samaria punika paring pangurbanan supados saged paring pitulungan. Tiyang Samaria punika ngurbanaken wekdalipun (awit lampahipun langkung dangu), titihanipun (awit kuldinipun kaginakaken kangge momot tiyang ingkang kabegal), bandhanipun (ngresiki tatu ngangge lisah lan angguripun, mekaten ugi mbayar panginepan lan pangrimatanipun). Kenging punapa tiyang Samaria purun nindakaken sedayanipun? Awit tiyang Samaria punika gadhah welas asih dhateng sesaminipun. Manungsa ingkang gadhah raos welas asih boten ngajeng-ajeng piwales. Piyambakipun namung mangertos bilih ing wekdal punika, wonten tiyang ingkang mbetahaken pitulunganipun, lan piyambakipun saged paring pitulungan.
Welas asih ugi dados landhesan anggenipun manungsa sesrawungan kaliyan sesami lan ugi kaliyan Gusti. Menawi gadhah raos welas asih, manungsa boten kepeksa anggenipun nindakaken angger-anggeripun Gusti. Mekaten ugi, ing salumahing bumi boten badhe wonten tiyang ingkang kasisahan menawi sedaya manungsa gadhah raos welas asih dhateng sesaminipun. Saben tiyang badhe mbudidaya kangge paring pitulungan dhateng sesami ingkang wonten ing salebeting panandhang, punapa kemawon ingkang dados panandhangipun. Dene tiyang ingkang gadhah raos welas asih punika saestu pantes sinebut sesami, kadosa pundi kemawon kawontenanipun.
Panutup
Ing pigesangan kita sadinten-dinten sampun langka manungsa kados dene tiyang Samaria punika. Langkung kathah tiyang ingkang paring pitulungan dhateng tiyang sanes boten awit saking welas asih, nanging amargi “pamrih”. Ing wekdal sanes, tiyang ingkang sampun kapitulungan badhe gantosan paring pitulungan dhateng piyambakipun. Paring pitulungan dhateng tiyang sanes adhedhasar bathi lan rugi, lan boten adhedhasar welas asih.
Kosok-wangsulipun, para tiyang kados dene ahli Toret kepara langkung kathah. Ing salebeting tumindak pangibadah ketawis khusuk, aktif, lan apil ing bab angger-anggeripun Gusti. Ananging ing pigesangan sosial, nyatanipun boten mangertos sinten sesaminipun, sinten tiyang ingkang mbetahaken putulunganipun (utawi kepara endha kangge paring pitulungan). Angger-anggering katresnan sampun dipun apalaken, praktek keagamaan ingkang katindakaken namung dados sesanti ingkang saged ndadosaken gesang pasrawunganipun langkung kinurmatan. Wujuding raos welas asih dhateng sesami boten katindakaken. Wonten sesami ing “sangajenging mripat” ingkang mbetahaken pitulunganipun boten dipun paelu. Raos welas asihipun sampun “kethul” awit saking kathahipun kepentingan pribadinipun. Tamtunipun sanes prekawis punika ingkang kakersakaken dening Gusti Yesus. Panjenenganipun sampun paring tuladha bilih punapa kemawon ingkang katindakaken kagem manungsa, boten uwal saking welas asihipun Gusti. Pramila, kita ugi kedah dados pribadi ingkang gadhah raos welas asih dhumateng sesami. Amin. (YM)
Pamuji : KPK 165 : 1, 4, 5.