Minggu Biasa | Pembangunan GKJW
Stola Hijau
Bacaan 1: Kejadian 15 : 1 – 6
Mazmur: Mazmur 33 : 12 – 22
Bacaan 2: Ibrani 11 : 1 – 3, 8 – 16
Bacaan 3: Lukas 12 : 32 – 40
Tema Liturgis: Membangun Budaya Kritis Apresiatif
Tema Khotbah: Berjuang dalam Pengharapan
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Kejadian 15 : 1 – 6
Budaya di sekitar laut Mediterania atau laut Tengah pada zaman Abraham sangat dipengaruhi oleh budaya Mesopotamia. Dalam budaya ini relasi gender dibangun dengan corak patriarki yang sangat kental. Laki-laki dianggap sebagai gender yang lebih superior dibanding perempuan. Laki-laki dihargai lebih tinggi dibanding perempuan, berdasar anggapan bahwa laki-laki lebih siap bertarung setiap saat untuk mempertahankan kehidupan kelompoknya. Sedangkan perempuan di samping postur tubuhnya yang relatif lebih kecil dan kekuatan fisiknya yang tidak sebesar laki-laki, ia juga dianggap memiliki batasan alamiah untuk bisa bertarung setiap saat, yaitu menstruasi dan kehamilan. Ya, menstruasi dan kehamilan dianggap halangan dalam konteks perang, karena kegiatan perang atau bertarung adalah kebiasaan yang nyaris setiap hari dilakukan oleh masyarakat padang gurun zaman itu demi bertahan hidup. Kebiasaan itu memang harus dilakukan mengingat sangat terbatasnya wilayah subur dengan tanaman pangan dan sumber air yang cukup.
Sebuah kelompok sub suku yang menguasai suatu wilayah subur haruslah merupakan kelompok yang kuat, karena sehari-harinya harus melakukan dua kegiatan utama, yaitu mengolah tanah dan berperang. Mengolah tanah dilakukan untuk memproduksi hasil pangan dari tanaman pangan. Berperang dilakukan untuk mempertahankan hasil pangan dari incaran kelompok lain yang ingin merebutnya demi mempertahankan hidup juga. Jadi, berperang akhirnya menjadi kebiasaan tak habis-habisnya yang berlangsung selama ribuan tahun dan peran laki-laki menjadi sangat besar. Semakin banyak laki-laki yang menjadi anggota sebuah kelompok, maka semakin kuat kelompok itu untuk bertahan. Itulah sebabnya keluarga yang mempunyai banyak anak laki-laki dianggap keluarga yang terhormat, karena keluarga ini dianggap mampu menyumbangkan banyak kekuatan untuk mempertahankan kelompoknya. Sebaliknya, keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki dianggap sebagai keluarga yang celaka. Atau malah lebih parah lagi, mereka dianggap sebagai keluarga parasit bagi kelompoknya. Keluarga ini dianggap tidak bisa menyumbang kekuatan bagi kelompoknya, melainkan dianggap hama penghabis cadangan makanan kelompoknya.
Begitu pula yang sedang terjadi dengan Abram, ia merasa dirinya sebagai kepala keluarga yang celaka, karena tidak punya anak laki-laki. Untungnya, Abram adalah seseorang yang kaya raya, sehingga ia bisa mengupah banyak laki-laki untuk bekerja di bawah kendalinya. Tetapi meskipun demikian ia belum merasa puas, karena jika ia meninggal nanti, maka segala kekayaannya itu akan jatuh ke tangan kepala pelayannya yang bernama Eliezer (Ay. 2), bukan kepada Sang Pewaris yang adalah asli anak laki-laki kandungnya sendiri. Mengenai hak waris ini, undang-undang yang berlaku di Timur Tengah Kuno, yang ditulis pada masa yang sezaman dengan Abram, terkenal dengan nama Kodeks Lipit-Ishtar. Undang-undang itu mengatur secara tegas bahwa hak waris utama jatuh kepada anak laki-laki sulung dari istri utama, mengingat pada zaman itu perkawinan poligami atau beristri banyak masih umum terjadi di tengah masyarakat. Pewaris utama menurut kodeks atau undang-undang Lipit-Ishtar ini kelak disebut dengan istilah Putra Mahkota. Ketiadaan putra mahkota dalam rumah tangganya inilah yang menggelisahkan hati Abram (Ay. 3).
TUHAN (YHWH) menangkap kegelisahan Abram, orang pilihan yang dikasihi-Nya itu, maka TUHAN menunjukkan hal yang sudah dirancangkan-Nya kepada Abram, yaitu bahwa keturunannya akan dibuat oleh TUHAN menjadi sebanyak bintang di langit. Itu artinya TUHAN akan memberinya putra mahkota, yaitu anak laki-laki yang akan dilahirkan oleh Sarai sebagai istri utamanya. Tentu saja penyingkapan masa depan yang dilakukan oleh TUHAN ini memulihkan harapan Abram. Dan hebatnya, Abram percaya kepada TUHAN akan apa yang sudah disingkapkan-Nya itu. Proses pemulihan dari ketiadaan harapan menjadi percaya kepada TUHAN inilah yang diperhitungkan TUHAN sebagai kebenaran (Ay. 6). Jadi kebenaran dalam konteks ini bukanlah sekadar keserasian antara gagasan dengan fakta, antara teori dengan praktik atau antara konsep dengan kenyataan, tetapi kebenaran yang dimaksud dalam perikop ini adalah proses yang berawal dari ketiadaan harapan yang berpulih menjadi sikap percaya. Inilah yang dialami Abram dengan imannya.
Ibrani 11 : 1 – 3, 8 – 16
Bunyi surat Ibrani 11:1 itu sering dijadikan rujukan untuk mendefinisikan kata “iman” di kalangan Kristen. Tetapi ayat itu sendiri sebenarnya tidak serta merta berbicara tentang definisi, melainkan merupakan pengantar dari serangkaian kesaksian tentang kehidupan orang-orang beriman pada masa Perjanjian Lama oleh penulis Ibrani, yang hidup pada masa Perjanjian Baru. Semua nama yang disebut dari ayat 1 – 40 itu adalah nama nama para kakek moyang umat Israel yang tertulis di dalam Kitab Tanakh (Torah/Taurat, Nevi’im/Nabi-nabi dan Ketuvim/Kitab-kitab). Tanakh adalah kitab suci yang paling dihormati di kalangan Yahudi. Sedangkan pengikut Kristus pada mulanya terdiri dari orang-orang Yahudi yang masih mengakui wibawa Tanakh sebagai tulisan suci penuntun kehidupan iman mereka. Kepada orang-orang Kristen Yahudi inilah surat Ibrani itu ditujukan. Dengan demikian penulis Ibrani mau menandaskan bahwa kesaksian iman yang ia beberkan, bukanlah memakai pendekatan teoritis, melainkan melalui pendekatan keteladanan. Keteladanan itu diambil dari nenek moyang umat beriman yang masih direkam oleh Tanakh. Jadi ia bicara tentang apa yang sudah pernah terjadi, bukan tentang gagasan-gagasan iman yang abstrak dan teoritis. Artinya, iman yang dihidupi itu adalah iman yang nyata, yang pernah dilakukan oleh para pendahulu dan terbukti telah membuat mereka mampu mempertahankan visi yang kuat, yaitu penggenapan janji Allah (Ay. 16).
Penulis surat Ibrani termotivasi untuk menuliskan pasal 11 dengan cara demikian, karena pada waktu itu orang Kristen Yahudi sedang menghadapi penganiayaan dari berbagai pihak. Kekaisaran Romawi sering memandang orang Kristen sebagai ancaman terhadap ketertiban sosial. Mayoritas orang Yahudi menolak Yesus Kristus sebagai Mesias dan menganggap para pengikut-Nya sebagai anggota bidat yang harus disingkirkan. Penganiayaan ini menyebabkan banyak orang Kristen Yahudi tertekan dan ragu dengan iman mereka sendiri. Beratnya penderitaan yang mereka alami itu digambarkan dengan jelas oleh penulis Ibrani pada ayat 36-38. ”Ada pula yang diejek dan didera, bahkan yang dibelenggu dan dipenjarakan. Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang; mereka mengembara dengan berpakaian kulit domba dan kulit kambing sambil menderita kekurangan, kesesakan dan siksaan. Dunia ini tidak layak bagi mereka. Mereka mengembara di padang gurun dan di pegunungan, dalam gua-gua dan celah-celah gunung.” Dengan cara mengungkap kembali keteladanan iman yang dilakukan para nenek moyang itu diharapkan keragu-raguan iman yang mulai memborok dalam diri orang-orang Kristen pada masa itu bisa diobati dan kembali pulih.
Secara khusus penulis Ibrani memberi porsi perhatian yang besar kepada Abraham pada ayat 8-12 mengingat sosok Abraham menempati posisi sentral dalam teologi Yahudi, terutama dalam hubungannya dengan janji Tuhan kepada Abraham. Ulangan 26:5 adalah rujukan pengakuan bahwa Abraham adalah bapa orang beriman dalam konteks agama Yahudi. Bahkan catatan rabinik Yahudi yang baru selesai ditulis pada abad ke-5 Masehi, yaitu Talmud Bava Batra no. 15a masih menuliskan dengan sangat tegas: “Abraham adalah bapa kita” (אברהם אבינו). Maka bisa dimaklumi jika Rasul Paulus yang mantan seorang guru Yahudi tetapi kemudian menjadi pengikut Yesus mencatat bahwa Abraham adalah Bapa Orang Beriman (Rom. 4:16 dan Gal. 3:7). Walaupun dalam situasi jiwa yang tak kalah tertekannya dibanding warga jemaat yang lain, tetapi dengan cerdiknya penulis Ibrani melambungkan riwayat keluarga Abraham sebagai teladan sentral dalam melewati masa-masa sulit yang bisa menggoyahkan iman itu. Abraham adalah bukti iman akan pemulihan yang dilakukan Allah melalui janji-Nya terhadap masa depan keturunannya.
Lukas 12 : 32 – 40
Dalam catatan Hipolitus yang berjudul “Perihal Ketujuh Puluh Murid Kristus” yang mengacu kepada kisah pengutusan ketujuh puluh murid (Luk. 10:1-20), Lukas adalah salah satu dari ketujuh puluh murid yang diutus oleh Yesus. Dalam daftar nama ketujuh puluh murid yang dicatat oleh Hipolitus, Lukas berada di nomor urut 15, sedangkan Markus (penulis Injil yang lain) berada di nomor urut 14. Artinya, Lukas itu adalah salah satu murid yang pernah bertemu secara intens dengan Tuhan Yesus Kristus. Walaupun dia bukan bagian dari kedua belas murid Yesus, tetapi informasi yang disampaikan Lukas adalah informasi A-1 dalam kategori sumber primer, karena ia hidup sezaman dengan Tuhan Yesus Kristus sendiri. Informasi Hipolitus tentang Lukas juga akurat, karena Hipolitus adalah seorang teolog, imam, dan penulis yang sangat terpelajar serta murid dari Ireneus seorang uskup Lyon, Perancis, pada abad kedua. Ireneus itu murid dari Polikarpus, seorang uskup Smirna, Turki, pada transisi abad pertama ke abad kedua Masehi. Polikarpus adalah murid Rasul Yohanes. Dan seperti yang kita ketahui Rasul Yohanes adalah murid dari Tuhan Yesus Kristus.
Dari jalur ke-sanad-an yang merupakan disiplin sumber-sumber penulisan dalam tradisi Timur Tengah yang diwarisi dari tradisi Mesopotamia, maupun Sumeria, maka akurasi informasi Hipolitus itu tidak terbantahkan. Ini berdampak positif pada tulisan Lukas yang kemudian dikenal dengan sebutan Injil Lukas tersebut. Akurasi tulisan Hipolitus itu menjadi bukti penguat bahwa Injil Lukas memang sangat bisa dipercaya. Apalagi Lukas sendiri adalah intelektualis di bidang medis (tabib, Kol. 4:14). Eusebius dalam bukunya berjudul “Historia Ecclesiastica” dan Jerome dalam bukunya “De Viris Illustribus” (Tentang Orang-Orang Terkenal) juga mengkonfirmasi bahwa Lukas adalah seorang dokter dari Antiokhia. Dengan demikian maka tak perlu diragukan lagi catatan Lukas yang kali ini secara detail mengungkapkan kekuatiran para murid akan nasib mereka sendiri selama mengikut Yesus.
Mengikut Yesus adalah jalan perjuangan yang senantiasa membutuhkan pengorbanan. Hal yang sebenarnya tidak disangkakan oleh para murid bahwa mengikut Yesus ternyata membawa risiko yang cukup berat. Sejak ayat 11 – 59 ditunjukkan-Nya bahwa jalan hidup yang akan mereka alami tidaklah mudah. Minimal mereka dituntut untuk selalu waspada seperti seorang hamba yang sedang menyongsong Tuan Rumah yang kedatangannya tidak bisa diprediksi. Artinya, masa depan mereka itu sebenarnya tidak jelas, karena Sang Tuan Rumah tidak pernah memberitahukan kapan Ia akan datang. Untuk itu, mereka harus selalu berjaga-jaga, itu artinya mereka akan selalu berada dalam situasi tegang akibat kewaspadaan secara terus menerus. Ini adalah situasi yang tentu saja tidak nyaman. Tetapi memang itulah realitasnya. Dan bagi mereka yang berusaha bertahan sampai kedatangan Sang Tuan Rumah, maka sukacita besar akan menjadi bagian mereka (Ay. 38 & 43).
Ayat 35 yang berbunyi “Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala” mempertegas apa yang harus dilakukan oleh para murid Yesus selama masa penantian itu berlangsung. Soal ikat pinggang itu diulangi lagi pada ayat 37. Dalam budaya Mesir kuno, ikat pinggang atau sabuk sering digunakan sebagai simbol status atau persiapan untuk tugas-tugas penting. Para prajurit, pekerja, dan pelayan sering digambarkan dengan pinggang terikat dalam relief dan lukisan kuno. Dalam budaya Yunani dan Romawi, mengikat pinggang adalah praktik umum bagi para budak atau pelayan yang bergerak cepat dan efisien. Ini juga melambangkan kesiapan untuk melayani. Dalam tradisi Yahudi, mengikat pinggang memiliki makna spiritual. Misalnya, dalam Yesaya 11:5, ikat pinggang merupakan simbol kebenaran dan kesetiaan. Selama Paskah, orang Yahudi makan dengan pinggang terikat sebagai tanda kesiapan untuk perjalanan (Kel. 12:11). Secara umum dalam budaya Timur Tengah kuno, pakaian longgar (seperti jubah) adalah pakaian harian. Ketika seseorang bekerja, bepergian, atau berlari, mereka akan mengikat pinggangnya dengan ikat pinggang atau sabuk untuk memperketat jubah mereka di bagian pinggang, agar tidak menghalangi gerak. Contohnya dalam 1 Raja-raja 18:46, Elia mengikat pinggangnya dan berlari mendahului kereta Ahab. Ini menunjukkan bahwa seseorang yang memakai jubah dengan diikat pada bagian pinggang akan menjadikannya lebih tangkas dan sigap dalam bergerak.
Sehubungan dengan itu, maka dalam perikop ini kita melihat betapa Yesus tetap meminta para murid-Nya tetap responsif menjalankan berbagai hal terkait dengan pelayanan, meskipun apa yang dinanti-nantikan itu tidak jelas saat kedatangannya atau waktu terjadinya. Artinya penantian itu tidak dilakukan dengan sikap menunggu yang pasif apalagi apatis, melainkan dengan penuh keyakinan dan karya yang tak ada hentinya, sehingga ketika Sang Tuan Rumah itu datang dalam waktu yang tak disangkakan, mereka tetap siaga, sigap, dan tangkas mengerjakan apa saja yang diperintahkan kepadanya. Itulah yang akan dihargai sangat tinggi oleh Tuannya, sehingga Tuan itu sendiri yang akan merendahkan hati mengikat pinggang hambanya untuk duduk makan dan dilayani oleh tuannya itu. Tak ada penghargaan yang lebih tinggi pada masa itu bagi seorang hamba (baca: budak) selain ketika ia dilayani oleh tuannya. Bertahan dalam pengharapan dan tetap rajin mengerjakan pengharapan itu melalui tindak pelayanan adalah nilai yang luar biasa tinggi bagi sang hamba di hadapan Tuannya, yaitu Tuhan Yesus Kristus sendiri.
Benang Merah Tiga Bacaan
Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan di dunia ini. Dalam masa penantian yang tidak jelas, kapan yang dinantikan itu akan tiba, sering membuat orang kemudian tergoda untuk jengkel, marah, mengerjakan hal lain yang tidak ada hubungannya dengan tujuan penantiannya itu. Dengan kata lain, orang berusaha untuk mengurangi atau bahkan melupakan harapannya, agar tidak terlalu merasakan kekecewaan yang menyakitkan. Ketiga perikop kita bicara tentang berjuang dalam pengharapan. Ini bukan berarti “berharap sambil berjuang”, tetapi bagaimana harapan itu sendiri diperjuangkan supaya tetap ada. Apabila yang dimaksud itu adalah “berharap sambil berjuang”, maka bisa saja dalam proses berharap itu si harapan itu kemudian menipis dan akhirnya sirna, karena yang diperjuangkan adalah hal lain. Bisa jadi perjuangan akan hal lain itu pada akhirnya hanya menjadi pengalih perhatian (Jawa : nyelimur) dari rasa tidak menentu yang diakibatkan oleh ketidak-jelasan selama masa penantian itu. Pada dasarnya, pengharapan harus diperjuangkan dalam tindakan nyata, bahkan dengan bertaruh nyawa, bukan dengan mengalihkan perhatian. Fokus.
Catatan Pinggir
Istilah “Hari Kebangunan GKJW” dicanangkan pada Sidang ke-20 MA GKJW di Mojowarno, tanggal 6-9 Agustus 1946.
Istilah “Hari Pembangunan GKJW” dicanangkan pada Sidang ke-64 MA GKJW di Purworejo, Kediri, tanggal 1-5 Juni 1981.
Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)
Pendahuluan
Waktu tidak mungkin diputar kembali ke masa lampau. Setidaknya, untuk hari ini, itulah yang terjadi. Masa lalu bisa kita pantau hanya berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan saja. Jika tidak ada jejak yang ditinggalkan, maka yang bisa kita lakukan hanyalah mengira-ngira saja. Bahkan untuk jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau itu pun kita masih harus melakukan tafsir. Tafsir adalah cara untuk mendekati realitas, bukan realitas itu sendiri. Semakin lengkap jejak yang bisa kita kumpulkan, maka akan semakin meyakinkan tafsir kita atas masa lalu itu. Jejak yang ditinggalkan itu banyak ragamnya, salah satu bentuk jejak masa lalu itu misalnya Akta Kelahiran. Akta kelahiran ini bisa meyakinkan, karena di situ ada tanda tangan pejabat publik yang berkompeten dan ada stempel lembaga resmi yang mencatatnya. Tentu saja akta kelahiran itu bukan realitas kelahiran, ia hanya catatan tentang adanya peristiwa kelahiran. Oleh karena catatan itu bukan realitas kelahiran itu sendiri, maka juga belum tentu merupakan kebenaran tentang kelahiran yang dimaksud. Catatan itu bisa didasarkan pada berbagai hal, salah satunya adalah tempat dan tanggal kelahiran berdasar kesaksian orang tua. Petugas pencatat belum tentu menyaksikan sendiri peristiwa kelahiran tersebut. Kesaksian orang tua didapat berdasar ingatan yang ada pada mereka. Ada orang tua yang tidak ingat tanggal kelahiran anaknya, maka ia juga hanya bisa mengira-ngira saja tanggal kelahiran anaknya. Itu juga baru salah satu cara mendekati kebenaran.
Isi
Untuk memahami masa lalu diri kita sendiri secara tepat saja kita sudah mengalami kesulitan yang cukup besar. Apalagi untuk memahami sebuah peristiwa dengan proses yang rumit, melibatkan sangat banyak pihak, terjadi di wilayah yang sangat luas, catatan-catatan atasnya sangat terbatas dan ingatan yang tentu serba terbatas pula. Betapa susahnya merekonstruksi peristiwa tersebut ke dalam sebuah seminar atau khotbah yang hanya akan berlangsung beberapa menit saja. Mau tidak mau, setuju tidak setuju tentu kita terpaksa harus melakukan proses reduksi atau penyederhanaan. Dimana proses penyederhanaan itu sendiri pasti bukan sesuatu yang sederhana juga. Namun toh bagaimanapun juga tetap harus kita upayakan langkah penyederhanaan itu supaya orang tidak kehilangan nilai dari peristiwa penting di masa lalu itu. Karena nilai inilah yang kita warisi dari nenek moyang dan kita wariskan kepada anak cucu keturunan kita kelak. Nilai inilah yang akan kita jadikan pegangan untuk mengusahakan kualitas hidup menjadi semakin baik dari waktu ke waktu. Bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa “Pengalaman adalah Guru Yang Terbaik”? Sari pati apa yang bisa kita timba dari pengalaman hidup kita, baik individu maupun kolektif ini? Sari pati itu namanya nilai kehidupan.
Nilai ini memang sederhana formulasinya dan ringan pula untuk membagikannya, tetapi langkah atau proses untuk memformulasikannya menjadi sesederhana itu sungguh tidak sederhana. Contoh paling berkaitan dengan Bulan Pembangunan GKJW ini adalah peristiwa masuknya militer Jepang ke tanah Jawa sejak tahun 1942. Jadi ceritanya, setelah Jepang melakukan penyerangan ke Pearl Harbor pada 7 Desember 1941, Jepang dengan cepat bergerak ke Asia Tenggara. Nah, pada Januari 1942, Jepang mendarat di Tarakan (Kalimantan Timur) dan Minahasa (Sulawesi Utara). Lalu pada Februari 1942, Jepang menguasai Palembang (Sumatera Selatan). Kemudian pada Maret 1942, Jepang berhasil menguasai Jawa, yang menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda di kawasan Indonesia. Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Penyerahan ini menandai berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia dan dimulailah pendudukan Jepang. Pada mulanya Jepang berusaha mengelabui penduduk Jawa ini dengan mengaku sebagai “Saudara Tua” yang akan membebaskan seluruh penduduk bekas jajahan Belanda, supaya kehadiran mereka diterima dan meminimalisir adanya perlawanan rakyat.
Tetapi pada akhirnya orang Jawa tahu dari pengalaman bahwa mereka ini ternyata dibohongi mentah-mentah oleh Jepang. Bagaimanapun juga penjajah tetaplah penjajah, apapun topeng yang dipakai pada wajahnya. Perangai Jepang sungguh kejam dan sewenang-wenang terhadap para bumiputera. Pelaksanaan romusha jelas menelan ribuan korban jiwa. Andai bisa bercerita, maka jalanan dan bangunan-bangunan tua di Kawasan Kembang Jepun – Surabaya tentu akan mengungkapkan betapa mengerikannya derita ribuan perempuan bumiputera yang diperkosa dan dipaksa meladeni nafsu syahwat para tentara Jepang. Tentu saja tidak akan mampu khotbah ini menyederhanakan kepedihan yang luar biasa dari warga negara Indonesia kala itu. Tidak ketinggalan warga GKJW, yang baru satu dekade menikmati kehidupan berorganisasi gereja, mereka tentu saja terdampak langsung oleh kekejian penjajah Jepang seperti halnya penduduk yang ada di sekelilingnya. Ada beberapa warisan cerita yang mengungkapkan bahwa beberapa warga GKJW sampai terpaksa harus menanam Alkitab mereka dengan dibungkus memakai karung goni, supaya tidak dirampas dan dimusnahkan oleh tentara Jepang. Jepang ingin mengubur ingatan umat terjajah dari nilai-nilai luhur masa lalu, untuk menggantikannya dengan doktrin-doktrin baru yang mereka bawa dari Dai Nippon (Negeri Jepang Raya).
“Pagupon Omahe Dara, Melok Nippon Tambah Sengsara” adalah sebaris parikan perjuangan melawan Jepang yang dipopulerkan oleh Cak Durasim, seorang seniman teater asal Jombang yang membangun perkumpulan Ludruk Surabaya pada tahun 1937. Kedatangan Jepang tidak membuat nyalinya jadi ciut, melainkan semangatnya semakin bergolak, sampai lahirlah parikan yang sangat terkenal sampai sekarang itu. Saya membayangkan Cak Durasim ini seperti Penulis Ibrani yang meskipun dia sendiri sedang dalam kondisi hidup tertekan, tetapi ia tetap mengobarkan semangat memperjuangkan keyakinannya yang tiada henti. Bedanya, kalau Penulis Ibrani mengobarkan semangat mempertahankan iman keyakinannya, maka Cak Durasim mengobarkan semangat perlawanan menghadapi Jepang. Parikan Cak Durasim itu juga menggambarkan betapa sengsara kehidupan rakyat Jawa Timur waktu itu. Termasuk menggambarkan kesengsaraan warga GKJW pada masa itu. Kesengsaraan yang bisa menimbulkan ekses perpecahan internal dalam tubuh masyarakat. Sangat bisa dipahami kalau dalam masa seperti itu usaha melepaskan diri dari penderitaan tentu menjadi prioritas semua pihak, baik secara individu, maupun secara kolektif.
Kalau kemudian digambarkan bahwa terjadi konflik di antara pimpinan di lingkup Majelis Agung GKJW pada masa itu, inipun bisa dipahami. Konflik ini tidak berangkat dari ruang kosong dan kita tidak bisa menafikkan peran penjajah Jepang sebagai penyulut perpecahan di antara elemen-elemen masyarakat, termasuk pada internal organisasi GKJW. Andaikata pada waktu itu memang betul-betul telah terjadi konflik seperti yang sering dipersepsikan selama ini, maka itu merupakan akibat, bukan sebab. Cukup sulit untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah pada waktu itu. Masing-masing pihak tentu punya alasan atas sikap dan tindakannya di masa-masa sulit tersebut. Peristiwanya sendiri tentu tidak sesederhana dikotomi yang biasa kita bayangkan selama ini. Semua pihak mengalami kesulitan tak terbayangkan untuk sekadar melanjutkan kehidupan, kesulitan yang sungguh mengancam nyawa, tentu saja semua pihak juga mempunyai gagasan dan cara untuk keluar dari kesulitan tersebut, sesuai dengan pola pikir masing-masing.
Sayangnya, kebiasaan kita untuk menyederhanakan kenyataan dan kemalasan kita dalam memahami kompleksitas kenyataan membuat kita cenderung menempuh logika yang paling gampang untuk bisa dipahami, yaitu menggelorakan mode “kambing hitam”. Dalam mode ini maka harus ada pihak yang dipersalahkan atau dikambing-hitamkan. Dengan begitu beban logika kita menjadi lebih ringan, yaitu cukup berpikir dikotomis siapa benar versus siapa salah. Lebih mudah bagi kita untuk mencari kambing hitam pada masa-masa sulit seperti itu, daripada berlelah-lelah memetakan secara jernih tentang apa yang sebenarnya terjadi pada masa yang sudah lewat tsb. Jadi, ya wajar kalau kemudian kita tampilkan dalam sejarah Bulan Pembangunan GKJW, dikotomi antara Majelis Agung GKJW di satu pihak dan Raad Pasamuwan Kristen (RPK) di pihak lain. Dan seperti yang sudah biasa kita saksikan dari tahun ke tahun, seringkali pihak RPK terpaksa harus dijadikan pihak yang dikambing-hitamkan, sedangkan Majelis Agung GKJW tampil sebagai Sang Penyintas (survivor) yang mendapat kasih karunia Tuhan untuk melanjutkan garis sejarah GKJW dari tengah pusaran kesulitan besar pada zaman Penjajahan Jepang.
Andaikata Jerman memenangkan pertempuran Stalingrad di Timur dan pertempuran Normandia di Barat, lalu Jepang berjaya dalam pertempuran di Guadalcanal (Kep. Solomon), di Leyte Gulf (Philipina), di Iwo Jima dan di Okinawa, serta pakar teknologi nuklir bernama Julius Robert Oppenheimer bersama timnya belum bisa menyelesaikan pembuatan bom atom Little Boy dan Fat Man, tentu peta politik dunia akan sangat berbeda dengan yang kita jumpai sekarang. Dan tentu saja kondisi GKJW juga pasti berbeda, kemungkinan besar yang berjaya melanjutkan sejarah GKJW malahan RPK. Walaupun kenyataan sejarahnya bukan demikian, tetapi kita yang sekarang ini mendapat kasih karunia kesempatan untuk melanjutkan garis sejarah GKJW tidak boleh bersikap laksana “Lalat di Poros Roda Kereta Achilles” dalam buku kumpulan fabel Aesop yang terbit dalam bentuk tulisan pada abad pertama Sebelum Masehi itu. Dalam episode “The Fly and the Chariot” (Lalat dan Kereta Perang) itu diceritakan tentang seekor lalat yang kebetulan hinggap di poros roda kereta perang Achilles, seorang pahlawan perang dalam mitologi Yunani. Nah, ketika kereta itu melaju ke medan perang dan pulang membawa kemenangan, si lalat itu mengklaim kepada teman-temannya bahwa dialah yang sudah menggerakkan roda-roda kereta perang Achilles dan berhasil pulang dengan membawa kemenangan. Padahal kenyataannya, si lalat itu ketakutan setengah mati ketika roda yang tanpa sengaja ia hinggapi itu berputar kencang.
Dalam pusaran perdebatan soal Hari Kebangunan GKJW ini kita bukan utamanya melihat Majelis Agungnya atau RPK-nya, melainkan kita fokus pada GKJW-nya, sebab penderitaan dan perjuangan pada masa kesulitan besar zaman Jepang itu bukan hanya dialami oleh Majelis Agung saja atau RPK saja, atau bahkan keduanya itu saja, melainkan dialami dan dirasakan oleh seluruh warga GKJW di pelosok manapun mereka berada di Jawa Timur ini. Siapa yang tahu kalau ada warga jemaat yang anak perempuannya atau istri yang baru dinikahinya terpaksa harus menjadi korban perkosaan pasukan Jepang di Kembang Jepun? Kita tidak tahu akan hal itu, karena tidak ada catatan tentang itu, tapi bukan berarti tidak mungkin terjadi. Kita tidak punya data detail Sidang Darurat MA-GKJW pada Oktober 1945 di Jemaat Wiyung. Kita juga tidak punya catatan terperinci tentang Konferensi Pendeta pada bulan Desember 1945 di Jemaat Kertorejo. Notula Sidang ke-20 MA-GKJW pada tanggal 6-9 Agustus 1946 di Jemaat Mojowarno juga tidak memuat informasi komplit tentang dinamika psiko-sosial yang dialami warga jemaat GKJW setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Terlalu besar kapasitas sejarah yang harus kita bangun, jika bicara tentang penderitaan warga GKJW sejak pendudukan Jepang sampai Sidang ke-20 MA GKJW itu. Tidak cukup catatan-catatan kecil yang kita miliki secara terpisah-pisah itu. Ini laksana pasel-pasel yang sama sekali tidak lengkap. Kita hanya bisa berandai-andai soal dinamika bergereja yang dialami warga jemaat pada masa kesulitan besar itu.
Nah, bisa dibayangkan bukan, betapa sulitnya kita merekonstruksi sejarah GKJW, walaupun hanya sebatas periode tahun 1942 s/d 1946 (4 tahun) saja? Kita sama sekali tidak mendapat info apakah para pendeta GKJW pendukung RPK lebih dulu mengakui kesalahannya secara terbuka di tiga even itu (Sidang Darurat MA-GKJW, Konferensi Pendeta dan Sidang Reguler MA-GKJW), jika tindakan mereka mendukung RPK itu dianggap salah. Kita belum mempunyai aturan yang menata mekanisme pertobatan Pendeta atau Guru Injil atau Guru Kadiwasan pada Pranata tahun 1931 maupun 1933. Apakah diawali dengan pengakuan dosa atau kesalahan secara jujur oleh mereka yang didakwa bersalah, seperti prinsip restoratif yang diberlakukan bagi para pelaku politik apartheid di Afrika Selatan pada saat transisi ke sistem demokrasi? Di mana pelaku yang mengaku secara jujur telah melanggar HAM selama berkuasa, bisa memperoleh amnesti. Kita harus jujur mengakui bahwa memang tidak ada info yang transparan di tiga peristiwa seputar Hari Kebangunan GKJW tersebut. Info soal itu betul-betul gelap. Tetapi semoga menjadi semakin jelas bagi kita bahwa memang masalah yang sebenarnya pada waktu itu jauh lebih besar daripada sekadar soal MA versus RPK.
Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa kita nyaris setiap tahun hanya terpancang pada soal konflik di lingkup elit GKJW saja ketika sedang membicarakan Bulan Pembangunan GKJW? Mengapa kita tidak melihat warga jemaat dengan segala perjuangan dan pengorbanan mereka selama para elit mengabaikan mereka? Selama para elit cekcok sendiri? Kenapa kita seolah tidak menghargai warga jemaat yang sampai mengubur Alkitab keluarga dan menanam pohon pisang di atasnya sebagai kamuflase? Kenapa kita tidak mengingat mereka yang bercucuran air mata ketika anggota keluarganya tewas dalam romusha atau digiring ke Kembang Jepun untuk memuaskan nafsu bejat pasukan Jepang? Kenapa kita tidak menghormati warga jemaat yang terpaksa sembunyi-sembunyi mendaraskan doa pengharapan akan kebebasan negeri ini dari penjajahan sambil menahan gatal karena hanya mempunyai karung goni untuk menutupi auratnya? Bukankah perjuangan dan pengorbanan mereka yang luar biasa dan sering kita abaikan itu justru diperhitungkan sebagai kebenaran oleh Tuhan, seperti ketika Dia membenarkan tindakan iman Abram?
Memangnya kita yakin bahwa ketika Cak Durasim mendirikan perkumpulan ludruk di Surabaya tidak ada satupun warga jemaat yang terlibat dan kemudian turut menggemakan parikan “Pagupon Omahe Dara, melok Nippon tambah Sengsara” kepada rakyat Surabaya dan sekitarnya saat dijajah oleh Jepang? Bukankah perjuangan dan pengorbanan nenek-moyang kita yang tidak dicatat dalam notula-notula resmi itu justru menjadi bau dupa yang harum yang sampai kepada Bapa di Sorga? Bukankah para penyintas yang ditemani Tuhan Yesus Kristus sepanjang penderitaan mereka ini yang sebenarnya secara konkret memelihara harapan koinonia kita sejak berdirinya GKJW? Mereka inilah yang dengan kekokohan harapan dalam hati mereka dipakai Tuhan untuk meletakkan fondasi keimanan persekutuan di seluruh GKJW. Majelis Agung, Majelis Daerah bahkan Majelis Jemaat bisa saja ambruk dan menyerah kepada keadaan, tetapi GKJW akan tetap eksis, GKJW akan tetap berjalan memikul misi ilahi selama warga jemaat yang dengan semangat baja ini masih setia dalam pengharapan kepada janji Allah. Bukanlah karya para elit Majelis yang bisa membuat GKJW bertahan, melainkan hanya karya Allah di dalam diri warga jemaat, sehingga spirit perjuangan dan pengorbanan diri mereka bisa menjadi amunisi spiritual bagi GKJW untuk melesat ke masa depan dengan lebih baik.
Penutup
Kalau menengok dan memaknai masa lalu GKJW saja sudah sedemikian susahnya, betapa akan jauh lebih susah lagi ketika kita harus menatap masa depan GKJW yang belum jelas itu. Kalau sudah bicara soal masa depan, maka kita hanya bisa mengira-ngira, hanya bisa memprediksi tanpa kepastian, karena memang tidak ada satupun dari kita yang bisa memastikan masa depan GKJW. “Oh, saya yakin bahwa GKJW akan baik-baik saja selama kita bersama Tuhan…” Silakan anda yakin. Itu adalah hak anda. Keyakinan itu letaknya pada dimensi subyektif, kalau banyak yang merasa yakin, maka letaknya paling jauh ya pada dimensi intersubyektif. Tapi ingat bahwa GKJW itu bukanlah entitas tunggal, melainkan entitas kolektif, itulah sebabnya GKJW memiliki dimensi koinonia, baik dalam eksistensinya maupun di dalam karya pelayanannya. Koinonia itu mengasumsikan suatu kolektivitas dan keragaman, bukan ketunggalan dan keseragaman. Siapa yang bisa menjamin bahwa GKJW akan tetap bersama Tuhan? Majelis Agung? Bukankah Majelis Agung masih bisa terkungkung? Majelis Daerah? Bukankah Majelis Daerah juga masih bisa salah? Atau Majelis Jemaat? Tapi bukankah Majelis Jemaat juga masih bisa sesat? Tak ada yang bisa menjamin, kecuali Tuhan sendiri. Hanya Tuhan yang bisa menjamin bersama-sama dengan GKJW, melalui warga jemaat-Nya yang sudah secara konkret melakukan perjuangan dan pengorbanan tak kenal lelah sejak masa lampau sampai dengan masa yang akan datang. Inilah bentuk nyata kesiapan warga jemaat dalam menyongsong kedatangan Sang Tuhan Rumah sejati.
Selamat berjuang dalam membangun GKJW yang lebih berpengharapan.
Tuhan Yesus Kristus memberkati dan menyertai saudara sekalian selaku saka guru persekutuan kita. Amin. [CBPA].
Pujian: KJ. 426 Kita Harus Membawa Berita
Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)
Pambuka
Kita sedaya sampun pirsa bilih “wanci” utawi “wekdal” punika pancen mboten saged dipun puter wangsul dhateng zaman ingkang kapengker. Zaman ingkang sampun winengker punika saged kita awat-awati amargi nilaraken tracak. Menawi tracak saking zaman kepengker punika mboten wonten, pramila ingkang saged kita lampahi inggih namung “mangira-ira” kemawon. Upamia taksih kepanggih nilar tracak, punika kemawon kita taksih kedah ngupadi tafsiripun. Pangira-ngira tumrap prekawis ingkang sampun kepengker, punika ingkang kasebat mawi istilah “tafsir”. Kangge dipun wuningani bilih tafsir punika namung salah satunggaling pranata cara kangge nyelaki kasunyatan, sanes kasunyatan punika piyambak. Sansaya jangkep anggenipun tracak punika saged kita kempalaken, tamtu sansaya saged dipun andelaken. Salah satunggaling conto ingkang seged kita tingali, inggih punika awujud Akta Kelahiran. Akta Kelahiran punika saged dipun akeni lan dipun tampi wonten ing pundi-pundi awit ing salebetipun seratanipun punika wonten tapak asmanipun pejabat pemerintahan ingkang pancen kapiji ngedalaken serat punika lan ugi wonten stempelipun lembaga ingkang kajibah ngurusi prekawis kependudukan punika. Tamtu kemawon Akta Kelahiran punika inggih namung serat, sanes kasunyatanipun prekawis babaran. Awit saking Akta Kelahiran ingkang namung serat utawi catetan kemawon, pramila dereng tamtu ngemu “kayekten” ingkang wonten gegayutanipun kaliyan salah satunggaling prekawis babaran. Serat punika dipun damel adhedhasar katrangan saking tiyang sepuh utawi bidan ingkang sampun paring pambiyantu tumrap prastawa babaran. Ingkang kawogan ngedalaken serat Akta Kelahiran punika dereng tamtu mirsani piyambak prastawa babaran ingkang dipun catet punika. Katrangan saking tiyang sepuh punika ugi dipun dasaraken dhumateng pangenget-enget mawon. Wonten tiyang sepuh ingkang panci enget (kemutan) dhateng tanggal lairipun kang putra ingkang tembe lahir, ananging ugi wonten ingkang sampun kesupen, pramila tanggal lair ingkang dipun catet punika sanes tanggal lair ingkang saleresipun. Awit namung pangira-ira tiyang sepuhipun kemawon. Punika ugi namung salah satunggaling cara kangge nyelaki kasunyatan.
Isi
Kangge mangertosi gesang ingkang sampun kita pengkeraken kemawon kita badhe nemahi pakewet, punapa malih mengertosi prekawis ingkang prastawanipun dipun lampahi dening tiyang kathah, ing tlatah ingkang wiyar lan ing kala ingkang sampun radi dangu. Punapa malih menawi tracak arupi catetan ingkang dipun tilaraken prastawa punika namung sakedik. Tamtu pakewetipun sansaya mboten kanten-kantenan. Punapa malih menawi badhe dipun jlentrehaken wonten ing salebetipun seminar utawi khotbah ingkang namung kabekta sekedap kemawon. Ing ngriku mesthi kathah prekawis ingkang kepeksa kedah dipun icali, sinaosa angkahipun punika kita taksih kepingin mboten purun kecalan wosipun ingkang sejati. Awit wonten ing salebetipun khotbah utawi renungan, inggih wosing prastawa ingkang sejati punika ingkang badhe kita wartosaken lan malah ugi kita warisaken dhumateng para putra wayah salajengipun. Wos ingkang sejati punika menawi saestu kita gesangi ing gesang padintenan kita tamtu saged ndadosaken gesang kita sansaya linangkung sae ing saben dintenipun.
Salah satunggaling prastawa ingkang saben tahun kita pengeti ing wulan “Pembangunan GKJW” punika inggih prastawa anggegirisi nalika Jepang miwiti nindhes tlatah Jawi rikala tahun 1942. Miturut cariyos, sasampunipun Jepang numpes markasipun Amerika ing Pearl Harbour – Hawaii rikala tanggal 7 Desember 1941, enggal-enggal Jepang nglurug dhateng Asia Tenggara. Ing wulan Januari 1942 Jepang mlebet dhateng Tarakan – Kalimantan sisih Wetan lan Minahasa – Sulawesi sisih Ler. Ing wulan Februari 1942, Jepang sampun nguwasani Palembang (Sumatera sisih Kidul). Mboten wetawis dangu ing wulan Maret 1942, Jepang sampun saged nguwasani tanah Jawi, ingkang ing rikala punika saweg dados pusat pamrentahan Hindia Belanda ing Nuswantara. Bangsa Walandi teluk bongkok’an marang pasukan Jepang ing Kalijati – Subang, tlatah Jawa sisih Kilen, tanggal 8 Maret 1942. Wiwit punika samudaya panindhesing bangsa Walandi ing Nuswantara katelah kukut, lan gantos dhateng panindhesing bangsa Jepang. Ing mangsa wiwitan punika bangsa Jepang memba-memba dados “Sadherek Sepuh” ingkang badhe ngluwari sedaya tiyang ingkang suwaunipun katindhes dening bangsa Walandi. Ananging siasat punika anggadhahi tujuan supados duginipun pasukan Jepang sageda katampi tanpa pambengan ing Nuswantara punika.
Ananging dangu-dangu sedaya sami mirsa bilih bangsa Jepang punika namung apus-apus, awit tujuan ingkang utami inggih punika nindhes tlatah Nuswantara ngriki. Kadosa pundi kemawon ingkang naminipun panindhes punika inggih tetep kemawon panindhes. Kerja paksa romusha dipun cak’aken dening panindhes Jepang kanthi wengis. Kathah sanget tiyang Jawi ingkang dados kurbanipun, dereng kepetang ing sanjawinipun tanah Jawi. Saupami saged cariyos, mila radinan dalah suyasa ing sakiwa-tengenipun margi Kembang Jepun – Surabaya tamtu mbabaraken kados pundi lalimipun panindhes Jepang punika anggenipun mbedhagal para priyantun estri tiyang Jawi, sae ingkang taksih timur, mekaten ugi ingkang sampun agegarwa. Khotbah ingkang samangke saweg kabekta punika, tamtu mboten saged nerangken kanthi jangkep kados pundi sangsaranipun bangsa kita nanggel wengisipun pangruda-peksaning bangsa Jepang nalika semanten. Kacariyos warganing pasamuwan ngantos wonten ingkang nanem Kitab Suci supados mboten konangan dening Jepang, awit menawi ngantos konangan tamtu dipun rebut lan dipun besmi. Awit Jepang piyambak saweg mucalaken piwulang bab tata krama Dai Nippon ingkang kabekta saking tlatah Jepang ngrika.
Bangsa kita piyambak ugi mboten purun kendel kemawon, mila ugi anglampahi panyuwawa sinaosa kanthi sidhem. “Pagupon Omahe Dara, Melok Nippon Tambah Sangsara” punika setunggal larik parikan ingkang dados wujuding panyuwawa bangsa kita dhateng Jepang. Limrahipun parikan punika dipun bekta ing tanggapan ludruk. Parikan punika kasuwuraken dening Cak Durasim, seniman Jombang ingkang yasa paguyuban ludruk ing Surabaya rikala tahun 1937. Penindhesing bangsa Jepang mboten andadosaken piyambakipun lajeng mundur lan mutung, kosokwangsulipun malah sansaya ageng agni panyuwawa ingkang dipun gelaraken. Ananging parikan Cak Durasim punika nggambaraken kados pundi kasangsaranipun bangsa kita nalika semanten, pramila saged dipun maklumi menawi ing pakewet ingkang kados mekaten lebetipun punika meh saben tiyang sami ngrumiyinaken kaslametanipun piyambak-piyambak, kalebet warga pasamuwaning GKJW ing pundi-pundia panggenan.
Pramila menawi dipun gambaraken ngantos wontenipun cecongkrahan antawisipun para pemimpin ing tataran Majelis Agung, punika ugi prekawis ingkang saged dipun maklumi. Saben tiyang ing kala semanten ngalami pakewet lair lan batos ingkang saestu tumemen. Punapa malih wekdal semanten wiwit Jepang mlebet ing tanah Jawi tahun 1942, Balewiyata sampun mboten pareng ngawontenaken prekawis punapa kemawon. Tlatah Balewiyata ngantos kados alas, mboten wonten tiyang ingkang pareng nglampahi punapa-punapa wonten ing ngriku, kejawi dipun unjar. Dredahing para pemimpin GKJW nalika semanten tamtu sanes prastawa ingkang ujug-ujug wonten. Sedaya punika awit saking wontenipun pangraos tanggel-jawab kados pundi anggenipun saged nglestantunaken GKJW ing satengahing kasangsaran dalah pakewetipun bangsa. Ananging setunggal baka setunggal pemimpin punika sami anggadhahi pamanggih ingkang benten, kamangka ing wekdal punika parepatan mboten saged kalaksanan awit dipun penggak dening panindhes Jepang. Mboten angsal rakyat punika kumpul-kumpul, punapa malih rapat. Mboten saged kita ing jaman punika netepaken sinten ingkang lepat lan sinten ingkang leres. Awit kawontenanipun ingkang saestu kebak ing kasangsaran lan pakewet ingkang tanpa upami. Pijer nyawa ingkang dados tohipun.
Emanipun, kita ingkang gesang ing jaman samangke punika asring wegah mengertosi bilih swasana ing jaman Jepang punika pancen sarwa ruwet. Kita ingkang gesang ing jaman samangke punika gampil ngawag-ngawagi sinten ingkang lepat lan sinten ingkang leres, kamangka nalika semanten sedaya sami anggadhahi kalepatan. Kita sami wegah repot ngemataken kanthi saestu kados pundi sejatosipun prekawis ingkang kalampahan ing wekdal semanten. Punapa malih catetan ingkang kita gadhahi punika sarwa winates. Pramila amrih gampilipun lajeng kita nglepataken ingkang setunggal, lan nganggep sanesipun ingkang leres. Asring wonten ing piwucal saben wulan Agustus kita mireng cariyos bilih ingkang lepat punika Raad Pasamuwan Kristen (RPK), lan ingkang leres punika Majelis Agung (MA). Kamangka kawontenan ing jaman semanten punika mboten gampil kangge netepaken sinten ingkang lepat lan sinten ingkang leres. Pamanggih ingkang nggampilaken prekawis punika tuwuh awit saking ningali bilih ingkang samangke taksih wonten punika MA, cobi menawi ingkang taksih wonten punika RPK? Tamtu benten malih cariyosipun.
Wonten ing pengetan Dinten Pambangunan GKJW samangke, kedahipun kita punika sampun mboten malih repot kaliyan prekawis sinten ingkang lepat lan sinten ingkang leres, ananging purun ningali bilih GKJW sampun kaluwaran saking agunging bebendu nalika semanten. Awit ing wekdal punika mboten namung MA utawi RPK ingkang dados kurbaning Jepang, ananging sedaya warganing pasamuwan sami dados kurban, sae punika ingkang sugih utawi ingkang mlarat, sae ingkang sampun sepuh utawi ingkang taksih timur, sae ingkang dados pangajenging organisasi utawi ingkang dados anggota organisasi. Sedaya sami angraosaken kasangsaran lair lan batin. Punapa malih kita mboten anggadhahi catetan ingkang jangkep bab pengalaman sulaya ageng punika. Notula Sidang Darurat MA GKJW ing Pasamuwan Wiyung rikala wulan Oktober 1945 kita mboten gadhah. Notula Konferensi Pendeta ing Pasamuwan Kertorejo rikala wulan Desember 1945 kita mboten marisi. Notula Sidang Reguler MA ingkang kaping 20 ing Pasamuwan Mojowarno rikala tanggal 6 ngantos 9 Agustus 1946 punika ugi mboten jangkep.
Kalangkung ageng kasangsaranipun warga pasamuwan ing mangsa panindhesing Jepang punika menawi badhe dipun lebetaken cathetan punapa kemawon wujudipun. Mboten pantes lan kebangeten saestu menawi kasangsaranipun warga pasamuwan rikala semanten punika, menawi namung badhe dipun wakili dening prekawis cecongkrahanipun para pangagenging MA jaman semanten. Pangurbananipun warga pasamuwan ingkang mboten kanten-kantenan punika linangkung penting tinimbang prekawis cecongkrahanipunn organisasi, awit wontenipun GKJW punika amargi Gusti Yesus Kristus sesirahing pasamuwan sampun miji satunggal baka satunggal warganing pasamuwan, ngantos saged kakempalaken dados sariranipun Gusti Yesus Kristus piyambak. Wontenipun GKJW punika sanes kawiwitan dening pandita utawi pradataning pasamuwan, ananging kawiwitan dening wontenipun warga pasamuwan. Inggih wujuding iman kapitadosanipun warga pasamuwan ingkang sampun kadadar dening marupi-rupi samukawis prekawis punika ingkang kedahipun kita ajeni minangka pakaryaning Gusti Yesus Kristus, sanes prekawis dredahing organisasi ingkang karan nami GKJW punika. Makempal lan tuwuhing warga pasamuwan minangka sariranipun Gusti Yesus Kristus punika ingkang kedah kita lestantunaken wonten ing wulan Pambangunan GKJW punika. Amin.
Panutup
Menawi mengo mawingking ningali prekawis ingkang sampun kalampahan kemawon kados mekaten ewetipun, punapa maling menawi kita badhe ngranggeh samukawis prekawis ing mangsa ngajeng ingkang dereng jelas kados pundi anggenipun badhe kalampahan. Kita punika saestu namung saged mbedhek punapa ingkang badhe kalampahan ing wanci ngajeng punika. Mboten badhe saged ngupadi prekawis sanesipun, kejawi inggih namung bedhek kemawon sagedipun. Sok sintena kemawon mboten wonten ingkang saged nyenggatani bilih mangsa ngajeng punika mesthi sae, inggih namung sesirahing pasamuwan Sang Kristus Yesus ingkang saged. Majelis Agung saged klentu, Majelis Daerah saged kesasar, Majelis Pasamuwan saged lepat, inggih namung Sang Kristus punika ingkang saged dados senggata kita. Mangga dhawuh pangandikanipun Sang Kristus punika tansah kita pirengaken, kita wigatosaken lan kita tindakaken ing gesang padintenan kita. Amin. [CBPA].
Pamuji: Kpj. 341 Kados Baita Lelayaran