Bacaan : Matius 18 : 1 – 14 | Pujian : KJ. 457
Nats: “….barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga” (ay.4)
Menjadi orang nomer satu tampak menyenangkan. Setidak-tidaknya akan dikenal banyak orang dan mendapatkan fasilitas yang berbeda dari orang lainnya. Tak heran bila banyak orang yang berlomba-lomba menjadi orang nomer satu. Karena itu kemudian segala sesuatu diranking: siapa paling pintar, paling kuat, paling kaya, paling cantik dst. Makin hari, makin banyak orang yang berlomba-lomba membuat dirinya mendapatkan banyak ‘like’ atau mendapatkan rangking satu, dari meningkatkan mutu hidupnya sampai menjadikan dirinya nyleneh supaya berhasil menarik kekaguman banyak orang. Kenyataan itu bukan baru saja terjadi akhir-akhir ini. Pola pikir yang melihat bahwa ‘yang paling’ itu yang hebat sudah ada pada jaman Yesus. Bahkan dalam kehidupan iman spiritualitas, para murid memikirkan tentang siapa yang terbesar dalam kerajaan Sorga.
Yesus tidak menjawab siapa yang terbesar melainkan justru menunjukkan bagaimana seharusnya menjalani hidup yang benar. Bukan tentang siapa tetapi apa yang seharusnya dilakukan. Menjadi besar dalam pandangan Yesus bukanlah tentang menjadi orang nomer satu, yang paling kuat atau paling pintar tetapi justru sebaliknya yaitu orang yang mau menjadi paling kecil. Hidupnya bukan tentang dilayani dan mendapat aneka fasilitas tetapi melayani, bukan tentang yang paling kuat dan paling benar tetapi tentang kesadaran diri dan mau mengakui ketidakberdayaan serta mau bertobat. Ini tentang merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil: dipandang kecil, lemah tidak berdaya dan dianggap belum tahu yang benar alias sering salah. Namun dalam ‘ke-kecil-annya’ itu ia tetap ceria, jujur dan terus belajar, disitulah sesungguhnya ia merasakan suasana sorgawi.
Lalu muncul pertanyaan : apa untungnya menjadi seperti anak kecil? Atau okelah bila itu (lagi-lagi) bisa membuatku menjadi yang terbesar! Bayangkan bila hidup hanya mengejar jadi ‘orang paling-ranking satu’, betapa melelahkannya tanpa bisa menghayati keceriaan, kejujuran dan kesediaan diri belajar. Tanpa merasakan suasana kehidupan sorgawi di tengah perlombaan dunia. [fani]
“Hidup bukanlah hanya tentang menjadi nomer satu tetapi tentang bagaimana menjadi bermakna bagi sesama”