Marah atau Ramah? Pancaran Air Hidup 18 Juli 2023

18 July 2023

Bacaan: Efesus 4 : 17 – 5 : 2 | Pujian: KJ. 424
Nats:Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” (Ayat 32)

Di sosial media, seorang ibu muda pernah menulis demikian, “Menjadi seorang ibu sebenarnya sangat membanggakan, sekalipun lebih sering ngereog daripada menjadi ibu peri.” Istilah ngereog menggambarkan keadaan dimana seseorang tidak bisa mengontrol dhiri dan emosi (seperti Reog yang sedang ndadi). Demikian yang sering dirasakan seorang ibu yang baru melahirkan, apa lagi ia merawat anaknya sendirian. Tentu hal seperti itu tidak pernah masuk dalam daftar rencana siapapun sebagai orang tua, namun terjadi di dunia nyata.

Dalam ilmu psikologis, marah merupakan reaksi emosional yang terjadi akibat adanya perasaan yang tidak menyenangkan terhadap lingkungan dan perasaan tidak suka dalam interaksi sosial. Sebenarnya marah adalah salah satu dari sekian banyak emosi yang dimiliki manusia. Maka, lumrah jika seseorang pada suatu waktu marah, hanya saja seringkali kemarahan tidak hanya berhenti pada ungkapan perasaan saja, tetapi berlanjut pada tindak kekerasan. Maka, ada banyak nasihat terkait rasa marah, termasuk apa yang dinasihatkan Rasul Paulus dalam surat Efesus. Dalam pengantarnya, Rasul Paulus memuji hal baik yang sudah dilakukan jemaat Efesus, namun Rasul Paulus masih mendapati hal yang perlu disempurnakan, khususnya terkait persekutuan mereka. Beberapa kali Paulus menyampaikan tentang menjaga hubungan baik, menunjukkan kemungkinan adanya perselisihan atau keretakan hubungan di dalamnya. Karena itu ada nasihat tentang kemarahan dan seperti dalam nats kita hari ini. Paulus menawarkan pilihan yang lebih baik, daripada marah lebih baik memilih ramah.

Surat Efesus tentu ditujukan bagi kehidupan dan kebaikan persekutuan Jemaat Efesus, namun bukankah rumah adalah persekutuan yang paling dasar? Meminjam pernyataan penulis surat Yohanes, “barang siapa tidak mengasihi saudara yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tak dilihatnya.” (1 Yoh 4:20). Demikian halnya untuk menjaga kehangatan persekutuan dan mewujudkan jemaat yang penuh kasih, perlu kita mulai dari persekutuan paling dasar, yaitu keluarga kita sendiri, karena tidak mungkin mengasihi orang di luar rumah kita, jika yang ada di dalamnya tidak kita kasihi. Maka, di bulan keluarga ini, khususnya pada pekan wanita saat ini, marilah kita, termasuk para ibu, berjuang menjadi anggota keluarga yang ramah, bukan pemarah. Amin. [WE].

“Kemarahan itu manusiawi, namun keramahan menghangatkan hati”

Renungan Harian

Renungan Harian Anak