Bacaan: Ibrani 11 : 17 – 22 | Pujian: KJ. 369a
Nats: “Karena iman tatkala dicobai, Abraham mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal.” (Ayat 17)
Apakah saudara memiliki seseorang yang dicintai? Lalu, bagaimana perasaan saudara jika mendengar bahwa orang tersebut akan pergi meninggalkan saudara? Baru mendengar saja kita sudah merasakan sedih bahkan mungkin berduka, apalagi jika itu benar-benar terjadi. Menurut teori yang dikembangkan oleh psikiater Elisabeth Kubler-Ross, untuk sampai ke tahap yang benar-benar baik-baik saja, setidaknya manusia harus melewati lima tahapan, di antaranya: Penolakan, muncul kemarahan, mempertaruhkan apa saja agar dia kembali, depresi, lalu kemudian penerimaan. Jelas proses yang tidak mudah karena kehilangan seseorang, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa berdamai dengan keadaan.
Abraham melewati peristiwa menyedihkan dalam kehidupannya ketika ia harus diuji dengan menyerahkan anaknya Ishak kepada Tuhan sebagai korban bakaran. Sebagai ayah yang sangat mencintai anaknya, pasti Abraham merasakan kepedihan yang dalam. Namun di sisi lain, imannya kepada Tuhan jauh lebih besar daripada rasa takut kehilangan anaknya. Ini dibuktikan dengan adanya pemahaman bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati (Ay. 19). Pada akhirnya, Abraham bersedia taat kepada Allah dan mempersembahkan Ishak kepada Tuhan Allah. Saat siap untuk menyembelih Ishak, malaikat Tuhan meminta untuk menghentikannya. Karena Abraham lebih takut kepada Allah, akhirnya Ishak diganti dengan seekor domba jantan yang tanduknya tersangkut dalam belukar (Kej. 22:11-13). Sungguh, Allah telah mempersiapkan yang terbaik bagi umat-Nya yang mau taat dan setia.
Ketika diperhadapkan pada beberapa pilihan, secara logika kita akan memilih sesuatu yang tidak akan membuat kita merasakan kesedihan dan kehilangan. Namun ternyata ada yang lebih besar dari sifat manusiawi itu, yaitu ketaatan iman. Tuhan akan membuat segala sesuatu indah, sekalipun maksud-Nya terkadang di luar logika kita. Saat berhadapan dengan ujian hidup, marilah kita lebih mengandalkan iman daripada logika. Belajar dari Abraham yang memiliki iman yang benar di hadapan Tuhan, maka marilah kita percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik kepada kita, karena janji-Nya tidak pernah Ia ingkari. Milikilah iman seperti Abraham dan selamat menjadi setia dalam iman kepada Tuhan. Amin. [EPCM].
“Iman melampui logika manusia.”