SEPTEMBER I 2016
Bacaan: Yesaya 56: 9 – 57: 21
Tema : Iman yang Bertumbuh dan Berbuah Bagi Sesama
Pengantar
Sejauh ini masih menjadi perdebatan di antara ahli tafsir Perjanjian Lama tentang kesatuan, asal dan makna dari bagian ini. Karena ini menyerupai nubuat-nubuat yang melawan penyembahan berhala. Beberapa penafsir berpendapat bahwa bahan ini berasal dari masa sebelum pembuangan. Yang lainnya membaca seluruh bagian ini sebagai suatu serangan balik melawan kepemimpinan imam sesudah pembuangan dan berpendapat bahwa penyembahan berhala merupakan lambang bagi gaya agama yang tidak disetujui oleh pengarang. Tampaknya tidak ada dari kedua pendapat ini benar. Nubuat-nubuat ini jelas ditujukan melawan para pemimpin agama, bandingkan penggunaan penjaga (seperti nabi) dalam Yehizkiel 3: 17; 33:1-9; Yeremia 6: 17, dan gembala (sebagai pemimpin) dalam Yehizkiel 34. Namun, kita dapat mengandaikan bahwa tuduhan dimaksudkan secara hurufiah. Para pemimpin telah teledor sekali dan ada ibadah kafir yang tersebar. Orang-orang yang terlibat dalam praktek ini jelas bukan kelompok yang lebih eksklusif, yang pandangannya tercermin dalam Yehizkiel 44 dan yang menjadi lawan debat sengit dengan Trito-Yesaya. Dari komunitas Yahudi sesudah pembuangan sangat longgar dalam bidang keagamaan, seperti dapat kita lihat dari ucapan-ucapan Hagai dan Maleakhi dan dari pembaharuan yang dituntut pada zaman Ezra dan Nehemia.
Gaya retoris dalam kebanyakan tempat bagian ini terlalu banyak. Nabi tidak layak memanggil para pemimpin sebagai “anjing-anjing bisu” (Yes. 56: 10) atau sebangsanya. Ini adalah bahasa untuk mempopulerkan, yang mengandaikan bahwa situasinya hampir tak terobati. Bahasa semacam ini jarang sekali dipergunakan.
Bab 57, ditutup dengan usaha yang lebih positif untuk “menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati” (ay. 57: 15) dan tampaknya untuk mengemukakan kemungkinan memaafkan. Dalam 57: 14, (“persiapkan jalan”) nabi berusaha mengangkat kembali antusiasme awal dari Deutro-Yesaya. Namun ayat terakhir ditambahkan oleh penyunting, mengekang semangat rekonsiliasi dengan menekankan bahasa tidak ada keselamatan yang jahat.
Pokok Pemberitaan
Yahweh akan datang. Inilah gagasan pengikat dari berita yang disampaikan oleh nabi Yesaya. Tanda-tanda bagi bangsa, melihat kemuliaan Allah, pengutusan mereka yang diselamatkan, terkumpulnya mereka yang tererai-berai, semua ini dikaitkan dengan keselamatan yang akan datang. Kedatangan Yahweh terutama bukan sebagai hakim dunia, melainkan sebagai penyelamat bangsa-bangsa. Pengadilan Allah bukan kata terakhir. Keselamatan bangsa-bangsa diberitakan, maka bangsa-bangsa itu akan melihat kemuliaan Allah. Mereka akan dipersatukan.
Keselamatan bagi segala bangsa itu dalam lukisan ini tidak lepas dari nasib Yerusalem. Keselamatan itu ditandai dengan kembalinya mereka yang tertawan untuk membangun Yerusalem kembali, sebagai kota Allah. Yahweh sendiri yang akan membimbing untuk sampai keselamatannya. Dalam kemuliaan suatu bangsa tercermin keagungan Allah.
Hidup menjadi semacam perziarahan menuju keselamatan. Dalam perjalanan ziarah itu seseorang atau suatu bangsa, bisa saling melayani terhadap yang lain. Perjalanan ziarah adalah perjalanan ke tempat yang penuh damai dan sejahtera.
Tugas pengutusan: kalau keselamatan itu bagi segala bangsa, maka mereka yang terutus memberitakan keselamatan itu juga harus mencerminkan sukacita tersebut. Mereka yang diselamatkan hendaknya menjadi saksi keselamatan yang memang menggembirakan, juga dalam ibadah.
Pertanyaan untuk digumuli
- Kedatangan Allah: Bisa menimbulkan ketegangan, kalau kedatangan-Nya dilihat sebagai hakim; Bisa memberikan ketenangan bila kedatangan-Nya dilihat sebagai hakim yang mampu bertindak adil dan membawa keselamatan; Kedatangannya tidak hanya ditunggu di akhir zaman, tetapi juga pada saat ini.
Sekarang, bagaimana caranya menyambut kedatangan Allah itu agar hati kita merasa senang dan penuh sukacita?
- Kedatangan-Nya disambut dengan berziarah. Perziarahan menjadi tanda kemuliaan Allah bagi orang lain. Keselamatan Allah bukan hanya monopoli satu golongan bangsa saja.
Apakah yang diperlukan untuk berziarah menuju keselamatan abadi?
Pdt. Em. Didik Prasetyoadi Mestaka.
—-
SEPTEMBER II 2016
Bacaan: 1 Timotius 1: 1-17
Tema: Iman yang Bertumbuh dan Berbuah Bagi Sesama
Pengantar
Ay. 3-7, pembela iman. Ayat 3 menyinggung tentang perintah supaya Timotius menggantikan tempatnya di Efesus dan menjadi seorang “pengawas” jemaat itu. Efesus adalah sebuah jemaat yang sangat penting bagi Paulus. Ia tinggal di sana selama dua tahun (Kisah 19: 1-10). Di situ ia mengalami keberhasilan besar dan juga permusuhan. Seorang pengkhotbah besar dari Aleksandria, yang bernama Apolos menjadi orang yang bertobat di situ. Paulus mengucapkan pidato perpisahan kepada para penatua di Efesus. Jelas, jemaat ini mempunyai pengaruh yang besar, karena kita memiliki sebuah surat yang panjang dan pendek (Why 2: 1-7), yang ditujukan kepada jemaat itu (Efesus).
Pengutusan Timotius untuk menjaga iman jemaat di Efesus merupakan usaha agar para pengajar lain berhenti menyebarkan ajaran-ajaran yang sesat. Tidak mungkin mengetahui apa arti dongeng dan silsilah dalam surat ini, tetapi kita tahu apa yang salah mengenai hal tersebut; dongeng dan silsilah tidak memajukan integritas antara iman dan kehidupan. Di sini, kita menyentuh inti perhatian pengarang bagi jemaat-jemaat itu. Ia melihat bahwa ajaran yang benar terintegrasikan dalam hidup moral dan religius yang baik. Para pengajar sesat hanya memajukan spekulasi tetapi bukan “tindakan” dalam iman, yaitu mengatur kehidupan dan keseluruhan iman. Kontrasnya, tugas Timotius adalah iman yang aktif, kasih yang praktis yang hanya muncul dari apa yang murni, baik, dan jujur. Dalam perhatian tentang intisari hubungan antara iman dan kehidupan, pengarang menggemakan tuntutan Injil bahwa dari buahnya kamu akan mengenal mereka (Mat 7: 16). Inti pribadi manusia, yang tercakup dalam Injil, akan terungkapkan secara kaya dalam kehidupan yang baik secara moral. Karenanya, hatinya sendiri harus dibentuk dalam kebenaran. Dalam hal inilah Timotius berlawanan dengan para pengajar agama lain, tidak hanya dalam kesimpulan mereka mengenai keabsahan hukum, tetapi terutama dalam kekosongan pemahaman mereka mengenai hubungan antara iman dan kehidupan.
Ay. 8-11, nilai dan fungsi hukum. Tidak begitu jelas apa yang dikemukakan para pengajar hukum ini; apakah pembatalan semua hukum atau penerapan hukum esoteris (gnostik Yahudi). Penulis tidak menghendaki cara yang berlebihan yang ditunjukkan oleh keduanya. Ia malahan mengemukakan nilai hakiki hukum, seperti yang ia lakukan dalam Roma 7: 12, 16, bagaimanapun juga, Allah mewahyukan hukum dan firman-Nya adalah benar. Dalam suratnya yang asli, Paulus mengklaim bahwa hukum memiliki berbagai macam peranan: (1), untuk memperbanyak pelanggaran (Rm. 5: 20), (2), untuk bertindak sebagai penjaga atau pendidik (Gal. 3: 23-24), dan (3), untuk mengurangi kejahatan (Gal. 3: 19). Di sini, dalam ay. 9, alasan yang terakhir ditekankan jelas, tidak semua orang “memerlukan” hukum, jika mereka sungguh dibimbing oleh Roh Kudus dan sama sekali mengarahkan hatinya kepadan Allah. Karena dosa dan kesalahan, beberapa orang membutuhkan implikasi iman Kristen ditampilkan bagi mereka. Karena itu, aturan-aturan dan implikasinya didaftarkan dalam 1: 9-10. Merupakan gejala biasa bahwa dalam pengajaran mengenai moral populer, para pengajar mengingatkan para pendengar mereka mengenai keutamaan-keutamaan dan kejahatan-kejahatan yang khas dengan mengutib daftar demikian, yang biasanya dilakukan Paulus (Gal. 5: 19-21; 1 Kor. 6: 9-10). Daftar di sini bersifat khusus, karena didasarkan pada inti hukum perjanjian Sepuluh Perintah, yang terdapat dalam Perjanjian Lama, yang sangat mirip dengan daftar keutamaan yang dikutib dalam Matius 15: 19, yang berdasarkan juga pada Sepuluh Perintah Allah. Kendati orang Kristen menyatakan bahwa hukum Yahudi tidak lagi mengikat, Sepuluh Perintah masih tetap menjadi bagian sentral ajaran moral Kristen, barangkali karena perintah ini merupakan hukum perjanjian yang hakiki, yang mengungkapkan implikasi iman perjanjian. Perintah utama mengenai kasih yang dikemukakan Yesus (Mat. 22: 36-45), sebenarnya merupakan hukum perjanjian yang dikemukakan dalam Sepuluh Perintah; ini merupakan pengertian hukum kasih yang dimaksudkan dalam hukum perjanjian. Hukum dimaksudkan untuk mengendalikan apa yang berlawanan dengan ajaran sesat, ungkapan biasa dalam surat ini yang mengisyaratkan bahwa ajaran pengarang adalah sehat (teliti) dan menyehatkan. Bagaimana pun juga, teologi yang baik membimbing kepada moral yang baik. Ukuran mengenai apa yang “sehat” ditentukan oleh apa yang sesuai dengan tradisi, yaitu Injil yang dipercayakan kepada Paulus dan jemaat, yang merupakan sumber polemik tidak langsung dengan para pengajar yang mengandalkan spekulasi mereka tentang dongeng-dongeng (1: 3-7).
Pertanyaan untuk digumuli:
- Misteri kasih Allah dalam hidup memang merupakan dialog antara Allah dan para pengantara, sebetulnya merupakan gambaran saja. Dasar dan alasannya sebetulnya terdapat dalam diri Allah sendiri yang mengalami ketegangan dalam mencintai manusia. Allah tertarik ke kiri dan ke kanan, antara murka dan karunia-Nya. Akhirnya memang kasih-Nyalah yang berbicara, dan kasih-Nya itu tidak dibiarkanNya mandul dan tidak berdaya terhadap kegagalan manusia. Rahmat itu digambarkan tersalur dalam diri para pengantara. Allah tetap Allah yang bisa murka terhadap kedurhakaan, yang menganggap kegagalan dalam hubungan kasih sebagai kejahatan serius, karena kasih-Nya sendiri tulus. Tetapi Allah yang tidak pernah kehabisan fantasi untuk berkasih, juga Allah yang besar dalam melaksanakan karya penyelamatan-Nya.
Bagaimana komentar Anda atas pernyaan tersebut di atas?
- Orang zaman sekarang tidak bisa berdosa lagi. Apakah betul demikian?
Pdt. Em. Didik Prasetyoadi Mestaka.