Pemahaman Alkitab November 2020

5 October 2020

Pemahaman Alkitab (PA) Bulan November 2020 (I)
Bulan Budaya

Bacaan :  Yesaya  40 : 1 – 11
Tema Liturgis :
Among Rasa, Tepa Slira
Tema PA : 
Membiasakan Diri Mencintai Rumah Tuhan

Penjelasan Teks :
Peristiwa pembuangan bangsa Israel ke Babel bukan hanya persoalan kekalahan secara politik, tetapi juga menyangkut persoalan spiritualitas. Keterpisahan dari Bait Allah di Yerusalem adalah simbol keterpisahan umat dari Allahnya. Hal ini bisa jadi pemicu hilangnya pengharapan dan keyakinan umat kepada Allah, karena kekalahan umat dipahami juga sebagai lemahnya kuasa Allah. Maka di saat itu para nabi berusaha menunjukkan bahwa pembuangan yang mereka alami buka karena Allah yang mereka sembah itu lemah yang menyebabkan mereka mengalami kekalahan, melainkan pembuangan itu oleh karena dosa dan pelanggaran yang mereka lakukan.

Perikop bacaan kita (Yesaya 40:1-11) adalah bagian dari hasil tulisan penerus Nabi Yesaya bin Amos, pada masa umat Allah dalam pembuangan. Tulisan ini dikenal dengan sebutan Deutro Yesaya. Pendeta Wismoadi Wahono (2016), dalam bukunya Disini Kutemukan mengatakan bahwa Yesaya 40 adalah bagian pendahuluan dari kitab Deutro Yesaya atau yang kita kenal sebagai penerus dari Nabi Yesaya bin Amos. Di dalamnya tersirat maksud dan tujuan pewartaan kitab Deutro Yesaya, yakni berakhirnya masa penghukuman dan datangnya masa pembebasan yang akan dilakukan oleh Allah, melalui sarana raja Persia, Koresy.

Bagian awal perikop ini (ay. 1-2) merupakan legitimasi dari warta profetik Deutro Yesaya yang berbicara tentang berakhirnya masa pembuangan dan datangnya pembebasan, yang mereka terima oleh karena kemurahan Allah yang berkenan mengampuni dosa-dosa mereka. Deutro Yesaya tetap konsisten mempertahankan konsep bahwa pembuangan adalah hukuman Allah kepada umat Israel yang tidak setia kepada Tuhan dan kehendak-Nya. Namun, pada sisi lain Allah menunjukkan kesetiaan akan janji-Nya kepada bangsa Israel, dengan cara memulihkan keadaan mereka, sebagai suatu bangsa.

Pada bagian selanjutnya, ayat 3-11 menonjolkan bagaimana warta profetik tentang datangnya kemuliaan Allah yang akan membebaskan umat Allah dalam pembuangan. Inilah yang terus didengungkan dan diwartakan kepada umat. Hal ini memerlukan respon umat. Dimana mereka diajak untuk mempersiapkan diri menyambut kedatangan Allah melalui karya pembebasan yang dilakukan, serta pengutusan untuk mewartakan akan datangnya masa pembebasan ini. Namun upaya mempropagandakan datangnya masa pembebasan dan pemulihan umat Allah, memerlukan upaya yang lebih keras lagi bagi nabi pada masa itu.

Harusnya ini menjadi berita yang menggembirakan bagi umat Allah dalam pembuangan, sebab sebentar lagi mereka akan kembali merasakan kebesasan dan kemerdekaan sebagai suatu bangsa. Tetapi nampaknya, kabar ini tidak selalu diterima baik oleh umat Allah dalam pembuangan. Kemakmuran dan kesejahteraan yang dirasakan ditempat pembuangan, membuai mereka sehingga mereka lebih nyaman berada di Babel. Pada sisi spiritual, mereka semakin yakin bahwa Allah mereka yang dulu perkasa dan berkuasa, sudah kalah dengan ilah-ilah bangsa Babel.

Gambaran kehidupan umat Allah dalam pembuangan disinggung oleh Robert Coote (2009) dalam bukunya Kuasa Politik dan Proses Pembuatan Alkitab. Mereka yang dibuang adalah orang-orang yang terpelajar dan yang berpengaruh di istana Yoyakhin. Kebijakan bangsa Babel untuk memberi ruang kepada orang-orang buangan bekerja dan mejalankan aktivitasnya di tempat pembuangan, menjadikan kehidupan mereka makmur dan sejahtera. Orang-orang buangan berasimilasi dengan budaya yang dominan, seperti bahasa dan melakukan kawin campur dengan orang dari bangsa Babel. Sebaliknya jauh berbeda dengan keadaan orang-orang di Yerusalem yang sangat mengenaskan. Mereka hidup dalam kemiskinan dan keterpurukan. Itulah mengapa, perlu usaha yang sangat keras bagi penulis Deutero Yesaya untuk mewartakan dan memberikan pengertian kepada umat Allah dipembuangan tentang berita pembebasan itu.

Keterpisahan dari kultur Bait Allah dan tanah kelahirannya bagi umat Allah saat itu bukan lagi menjadi persoalan. Bahkan kerinduan untuk kembali membangun Yerusalem pada masa itu, sudah mulai luntur. Mereka terbuai dengan kemakmuran dan kesejahteraan yang mereka terima. Apa yang dialami umat Allah dipembuangan sebenarnya sama dengan kehidupan umat Allah saat ini. Tanpa sadar umat Allah terbuai dengan kenyamanan dan berbagai kesenangan dunia hingga mengabaikan tugas panggilannya sebagai umat Allah. Bahkan tidak sedikit pula umat yang merasa tidak lagi membutuhkan Tuhan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bagi sebagian umat dipandang dan diyakini dapat menggantikan keberadaan Tuhan.

Bahan Diskusi :

  1. Umat Allah dalam pembuangan hidup makmur dan sejahtera dengan cara berasimilasi dengan budaya dan kehidupan di tempat pembuangan. Dampaknya mereka kehilangan semangat untuk kembali dan membangun tanah airnya. Hal ini menyiratkan keengganan umat Allah di pembuangan untuk membangun kembali hubungan dengan Tuhan Allahnya.
    Menurut pandangan Anda, apakah dapat dibenarkan sikap yang diambil oleh orang-orang buangan pada masa itu? Sikap seperti apa yang harus diambil? Bertahan di tanah pembuangan dengan kemakmuran dan kesejahteraannya atau mengikuti kehendak Tuhan dengan bayang-bayang kehidupan yang memprihatinkan di tanah airnya?
  2. Perkembangan teknologi dan komunikasi di era milenial saat ini begitu mengagumkan. Bahkan apa yang dahulu mustahil dapat dilakukan oleh manusia, saat ini dengan mudah tersedia. Berdasarkan survey dari Bimas Kristen 2018, sekitar 50% generasi milenial Kristen di Indonesia meninggalkan gereja. Menarik untuk digumuli bersama, apakah konteks dunia milenial saat ini begitu memikat generasi milenial untuk meninggalkan gereja atau adakah faktor-faktor lain yang mempengaruhinya? Akan lebih baik dalam diskusi ini disertakan rekomendasi apa yang bisa dilakukan gereja menyikapi persoalan ini. (SKR)

 

Pemahaman Alkitab (PA) Bulan November 2020 (II)
Bulan Budaya

 

Bacaan :  Roma 2 : 5 – 11
Tema Liturgis :  Among Rasa, Tepa Slira
Tema PA :  Hidup dengan Saling Menghargai dan Menghomati Perbedaan yang Ada di Tengah Jemaat

Pengantar :
Umumnya seseorang lebih mudah melihat kesalahan orang lain daripada kesalahannya sendiri. Itulah mengapa kemudian muncul peribahasa, “Kuman diseberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tidak tampak” yang artinya kesalahan orang lain yang kecil dapat diketahui, sedangkan kesalahan diri sendiri yang besar tidak diketahui. Sepadan dengan hal itu, Alkitab Perjanjian Baru pun memberi kesaksian yang sama akan hal itu. “Mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di matamu tidak engkau ketahui?” (Matius 7:3).

Realitas semacam ini mudah kita jumpai dalam kehidupan persekutuan. Bagi mereka yang kontra dengan orang-orang yang bersikap semacam itu, maka akan muncul istilah wong kok ga iso delok jithoke dewe. Kalau sudah seperti ini, tentu berdampak dalam relasi di antara orang-orang yang berada di dalam persekutuan itu. Alih-alih mendapat persekutuan yang indah, yang terjadi justru sebaliknya, yaitu perpecahan.

Penjelasan Teks :
Berdasarkan informasi dari Kisah Para Rasul 18:1-2, di ibu kota kekaisaran Romawi itu sudah ada persekutuan orang percaya/gereja yang beranggotakan para pengikut Yesus dari bangsa Yahudi dan orang-orang non Yahudi. Pada saat pemerintahan kaisar Klaudius, terjadi peristiwa pengusiran terhadap orang-orang Yahudi yang tinggal di Roma, termasuk di dalamnya para pengikut Kristus yang berasal dari bangsa Yahudi. Setelah Kaisar Klaudius meninggal, orang-orang Yahudi kembali ke kota Roma. Saat kembali ke Roma inilah para pengikut Yesus dari bangsa Yahudi menjumpai perubahan yang terjadi di dalam gereja, dimana gereja menjadi sangat non Yahudi, baik dari kebiasaan maupun prakteknya, sehingga menimbulkan banyak ketegangan antara kelompok orang percaya dari golongan Yahudi dan orang percaya dari golongan non Yahudi yang berpotensi memicu perpecahan di jemaat.

Di sisi lain, di jemaat Roma terjadi kesalahpahaman mengenai ajaran kekristenan yang mereka terima. Nampaknya jemaat masih terikat kuat dengan tradisi dan praktek keagamaan dari bangsanya masing-masing. Dalam kehidupan umat non Yahudi, meskipun mereka sudah menjadi pengikut Kristus tetapi dalam prakteknya masih menjalankan praktek-praktek penyembahan berhala (Roma 1:23), bahkan dalam sikap hidupnya tidak mencerminkan tanggungjawab sebagai pengikut Kristus. Dilain pihak, umat yang berasal dari bangsa Yahudi pun masih sangat terikat kuat dengan ajaran keagamaannya dan hukum Taurat.

Dalam konteks inilah rasul Paulus menuliskan suratnya kepada jemaat di Roma, dengan tujuan meluruskan ajaran dan memberikan penjelasan tentang karya Allah dalam diri Yesus Kristus yang menjadi dasar pembenaran manusia. Serta upaya rasul Paulus untuk meredam konflik dan ketegangan yang terjadi di dalam jemaat di Roma agar kehidupan persekutuan jemaat semakin dipersatukan.

Karena itu, di bagian awal suratnya kepada jemaat Roma, rasul Paulus menyatakan bahwa Injil diberitakan bagi orang Yahudi, orang Yunani dan juga bangsa-bangsa lain. Ini menunjukkan bahwa berita Injil sebenarnya terbuka bagi siapapun juga dan berlaku universal bagi seluruh bangsa. Rasul Paulus menegaskan bahwa Injil adalah kekuatan dan kebenaran Allah yang menyelamatkan dan yang menuntun orang pada iman. Dia tiba pada kesimpulan bahwa orang benar akan hidup oleh iman. Inilah yang mewarnai teologi rasul Paulus dalam pekerjaan pelayanannya, bahwa manusia tidak dapat dibenarkan hanya karena melakukan hukum, melainkan oleh karena iman kepada Kristus (bdk. Gal. 2:16).

Pendalaman Teks :
Ada persoalan yang sangat menonjol disoroti oleh rasul Paulus dalam perikop bacaan hari ini, yaitu tentang sikap menghakimi orang lain (ay. 1). Dalam Alkitab terjemahan BIMK kata “menghakimi” diartikan sebagai “menyalahkan”. Jadi pada bagian awal perikop ini kita menemukan adanya persoalan orang yang suka menyalahkan orang lain, padahal ia sendiri belum tentu benar.

Tentang  siapa yang “dihakimi” nampaknya ada kaitannya dengan orang-orang yang disinggung dalam perikop sebelumnya, yakni orang-orang yang mengenal Allah, tetapi yang tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya (Roma 1:21). Lalu siapa yang disapa “hai manusia” oleh rasul Paulus pada ayat pertama dalam bacaan ini? Lanjutan surat rasul Paulus dalam bacaan ini banyak menyinggung tentang hukum Taurat. Bisa jadi yang dimaksud oleh rasul Paulus adalah anggota jemaat yang berasal dari bangsa Yahudi, yang mengagung-agungkan kesalehannya, sehingga memandang rendah orang lain.

Apapun itu, yang menarik adalah kemudian persoalan ini dipakai oleh rasul Paulus menjadi pintu masuk untuk mengajar dan menjelaskan kepada jemaat di Roma, bahwa setiap orang akan mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan Allah. Allah akan membalas setiap orang menurut perbuatannya (ay.6), memberkati mereka yang tekun berbuat baik dan memurkai mereka yang berbuat jahat.

Bahan Diskusi 1  :
Di era post-modern ini kita ketahui bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak. Masing-masing orang memiliki kebenaranan menurut perspektifnya. Di dalam kehidupan bergereja contohnya : orang memiliki cara yang berbeda-beda untuk mengekspresikan imannya. Ada yang sangat ekspresif, ada yang dengan sikap sidem permanem. Ada yang dengan sangat reaktif dengan perkembangan jaman, ada yang masih mempertahankan cara-cara konvensional. Tidak jarang hal tersebut menyebabkan ketegangan, perselisihan dan tidak jarang menyebabkan relasi yang semula baik menjadi renggang oleh karena perbedaan cara mengekspresikan iman dan pendapatnya. Oleh karena itu, baik jika pada saat ini kita menggumulkan hal ini.

Pertanyaan :

  1. Bagaimana tanggapan Anda, bahwa perbedaan pendapat, cara mengekspresikan iman dan perbedaan – perbedaan lainnya berpotensi merusak relasi yang sudah baik dalam persekutuan?
  2. Sebagaimana rasul Paulus ingin membangun keutuhan persekutuan di jemaat Roma yang telah renggang. Bagaimana pandangan Bapak/Ibu/Saudara terkait dengan perbedaan-perbedaan yang ada di dalam jemaat? Sikap hidup yang seperti apa yang perlu dikembangkan dalam konteks semacam itu?

Bahan Diskusi 2 :
Tema bulan budaya tahun 2020 GKJW adalah “among rasa, tepa slira”. Secara etimologi “among” berasal dari kata “momong, ngemong” yang dapat diartikan dengan kata “menjaga, merawat, dst. Sedangkan kata “rasa” terkait dengan hati atau perasaan. Among rasa dapat dipahami sebagai sikap yang mampu ngemong –menjaga- perasaan orang lain, mampu memahami dan menghargai pendapat orang lain.[1]

Mengembangan sikap among rasa harus juga dibekali dengan sikap “tepa salira”. Kata “tepa” dapat dipahami sebagai tindakan mengukur, merefleksikan, atau merasakan. Sedangkan “salira” berarti badan, raga, atau tubuh. Kata salira dekat dengan kata sira. Dalam bahasa Jawa, kata sira digunakan sebagai kata ganti orang kedua. Dengan demikian makna kata tepa slira adalah kesediaan seseorang untuk mengukur, merefleksikan, ataupun merasakan yang dialami oleh orang lain sebagaimana kalau kita sendiri yang mengalami hal yang sama.[2]

Jadi among rasa tepa slira dapat dikataan sebagai sikap menjaga perasaan orang lain, tenggang rasa agar tidak menyinggung perasaan orang lain dan mampu menempatkan segala sesuatu sesuai ukuran diri kita. Sebagaimana catatan Injil Matius 7:12, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”.

Pertanyaan :

Menurut pendapat Anda, sejauh mana nilai-nilai ini dapat mendorong kehidupan persekutuan semakin indah? (SKR).

Referensi:

[1] http://iwanmuljono.blogspot.com/2012/06/nata-rasa-among-rasa-mijil-tresna-agawe.html?m=1 (diakses 06/01/2020, pkl 21.50 WIB)

[2] https://www.caknun.com/2018/tepa-salira/ (diakses 06/01/2020 pkl 22.01 Wib)

Renungan Harian

Renungan Harian Anak