Warga Berkebutuhan Khusus

26 March 2024

Di Mojowarno, sebelum saya lahir sampai saya masuk STTh “Duta Wacana” ada seorang penyandang bisu-tuli, saya memanggil pak cilik (lik) Tronah. Lik Tronah itu mempunyai talenta menggambar wayang kulit dan sempat punya galeri di Jakarta. Setelah saya ikut kakak pertama sejak usia 3,5 tahun, saya pulang ke Mojowarno tahun 1967, masuk di SDK YBPK Mojowarno di kelas 3. Saat kelas 5, saya sering menggambar wayang. Jika Lik Tronah lewat depan rumah saya dan melihat saya menggambar wayang, beliau mampir dan memberi arahan. Misalnya posisi telapak kaki yang depan kurang terangkat atau kurang menapak, bentuk gelung, bentuk hidung dan matanya. Cara memberi warna, juga jenis warnnya. Bagaimana cara berkomunikasinya? Sekalipun bisu tuli, Lik Tronah dapat baca-tulis. Guru yang mengajar lik Tronah adalah mbah Muljo Simson. Begitulah komunikasi saya dengan lik Tronah melalui tulisan.

Ketika dipercaya oleh GKJW selaku “Tubuh Tuhan” untuk melayani Jemaat Magetan, Lawang, Rungkut dan Blitar, saya menghadapi warga jemaat ‘penyandang cacat’. Pada saat mereka masih anak-anak, mereka diikutkan di kebaktian anak. Tentu pamong yang memimpin kebaktian anak, baik menyanyi maupun menjelaskan cerita Alkitab, tidak mempunyai pengetahuan khusus untuk ‘penyandang cacat’ itu. Dalam perkembangannya ‘penyanndang cacat’ juga mencapai usia angkat sidi. Apakah langsung diikutkan angkat sidi, apa harus ada katekisasi? Jika ada warga yang berprosesi guru SLB atau mempunyai pengetahuan mengenai ‘penyandang cacat’, dialah yang dimintai tolong untuk membantu. Namun ternyata, bantuan guru SLB maupun yang mempunyai pengetahuan tentang ‘penyandang cacat’ hanyalah masalah teknis, bukan masalah mendasar sikap gereja terhadap ‘penyandang cacat’. Saya katakan masalah teknis, karena sifat tindakan yang dilakukan mempunyai kemiripan atau kesamaan dengan membuat jalur kursi roda untuk warga yang menggunakan kursi roda. Membuat railing (pegangan tangga) di kanan atau kiri tangga/trap di pintu gereja yang kebetulan menggunakan undag-undagan (trap).

Perlu diingat oleh warga dan para pejabat khusus GKJW, bahwa TATA dan PRANATA GKJW disusun untuk warga normal. Semua yang tertuang di dalamnya merupakan aturan normal. Pemahaman eklesiologi GKJW juga eklesiologi yang normal-normal saja. Semua hal yang tidak normal tidak ditata dalam TATA dan PRANATA GKJW. Itu sebabnya GKJW gagap ketika menghadapi masalah-masalah yang tidak normal, dan cenderung juga menganggap enteng dan diselesaikan secara teknis. Mungkin, Pdt. Hardiyan Triasmoro Adi perlu menghidupkan kembali “GKJW, Grejane Wong Kere??” artikel yang ditulis dalam 75 Tahun GKJW halaman 244-276.

Untuk menangani warga “penyandang cacat” harus dimulai dengan pemahaman GKJW selaku gereja mengenai “penyandang cacat” itu. Sekarang pengertian ‘penyandang cacat” sudah menjadi persoalan juga. Istilah mana akan dipergunakan disabilitas atau difabilitas? Pemilihan istilah pasti berkaitan dengan pemahaman di dalamnya. Sebagai gereja, siapa “penyandang cacat’ yang disebut dengan istilah yang dipilih oleh GKJW. Bagaimana dengan Imago Dei, dengan Kristologi, dengan penebusan? Setelah itu dituangkan dalam Tatanan atau Pranatan tentang warga, tentu ditambah warga berkebutuhan khusus.  Baru kemudian dituangkan dalam peraturan teknis maupun pelaksanaannya.

Dari pengalaman di Jemaat Lawang, saya dibantu oleh orangtua “penyandang cacat”. Ayah dan ibunya bekerja di RSJ Lawang dan bagaimana kedua orangtua mendampingi si anak yang “penyandang cacat”. Ketika di Rungkut, pemahaman saya semakin berkembang, karena kedua orangtua menerima anak yang “penyandang cacat” bahkan mereka memahami bahwa Tuhan mempercayai mereka melahirkan dan merawat anak dengan “menyandang cacat”. Bahkan Tuhan hadir dan menyatakan kehendak-Nya melalui si anak itu. Ketika di Blitar, berdasarkan pemahaman yang saya peroleh di Lawang dan Rungkut, saya lebih berani melangkah. Perlakuan kepada “penyandang cacat” secara teknis bisa berbeda, tetapi pemahaman dasar secara iman kristiani harus dirumuskan dahulu, supaya warga dan pejabat khusus GKJW akan mudah melangkah.

Mojowarno, 26 Maret 2024 setelah jeda Bangun Tradisi Prapaskah GKJW, “Berbuat Adil”.

Renungan Harian

Renungan Harian Anak