Tanggal 6 Juni 2024, Rumah Sakit Kristen Mojowarno (RSKM) genap berusia 130 tahun. Sebagai orang yang dilahirkan di bumi Mojowarno saya ingin mengungkapkan rasa syukur dan bangga bahwa karya kasih Allah berupa Rumah Rakit itu tetap hadir sampai hari ini. Tentu setelah 130 tahun Pengurus Yayasan dan Pimpinan Rumah Sakit akan bergumul dan
bergelut dengan tantangan dunia medis dan regulasi pemerintah supaya RS tetap ada dan menjadi berkat bagi orang banyak.
Saya mendengar kisah-kisah menarik tentang RS Zending Mojowarno kemudian menjadi RSKM dari warga dewasa di Mojowarno ketika saya sudah sekolah di Yayasan Badan Pendidikan Kristen Daerah Mojowarno kelas 3 SD sampai kelas 3 SMP. Sebelumnya saya berada di luar Mojowarno. Baru pada tahun 1980, ketika menulis Skripsi untuk memenuhi syarat memperoleh Sarjana Muda di STT Duta Wacana saya membaca buku 80 TAHUN PELAYANAN MEDIS RUMAH SAKIT KRISTEN MOJOWARNO 1894-1974 karya R Soedibyo Meriso. Saya tertarik dengan BAB II ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG dan PERANG KEMERDEKAAN, karena kisah-kisah yang banyak saya dengar saat kelas 3 SD sampai kelas 3 SMP tentang RSKM sampai menjadi puing-puing yang masih dapat saya lihat sehari-hari.
Saya mengutip secara bebas sebagian BAB II karya tulis R. Soedibjo Merisa itu. Bahwa pada tahun 1946 Rumah Sakit Umum (C.B.Z) Simpang Surabaya mundur ke Mojowarno dan menduduki Rumah Sakit Zending, kemudian nama RS berubah menjadi RUMAH SAKIT PERTAHANAN DAERAH-SURABAYA (RSPDS) di MOJOWARNO. Hal itu berlangsung sampai menjelang agresi ke II militer Belanda, tanggal 19 Desember 1948. RSPDS memboyong semua inventarisnya termasuk milik RS Zending Mojowarno ke Jombang, Kediri, Tulungagung dan Madiun. Ketika keadaan semakin gawat, dengan alasan karena RS Zending telah dipergunakan sebagai RSPDS, maka gedung RS Zending itu diledakkan dengan senjata bom, namun ketika pemicunya ditarik bom tidak meledak. RS Zending tidak mengalami kerusakan. Namun ketika bom dialihkan ke tempat lain, pemicu ditarik bom meledak. Maka dilakukanlah usaha bumiangus RS Zending. RS Zending itu dibakar. Ketika api dinyalakan, memang membakar bahan-bahan yang dipergunakan untuk memperbesar nyala api, tetapi kemudian api padam. RS Zending tidak terbakar. Maka usaha berikutnya adalah bumiangkut. Warga masyarakat Mojowarno mengusung pintu, jendela, wastafel, closet, bathtub, tegel lantai maupun dinding didongkel, demikian juga genting dan kayu-kayunya dibongkar dan diusung pulang oleh warga. RS Zending tersisa dinding-dinding tanpa pintu, jendela dan atap.
Berbeda sedikit dengan tulisan R. Soedibjo Meriso, bapak Poerbadarsono suatu hari, saya lupa tanggal, hari dan jamnya, bertempat di salah satu ruang kantor Majelis Agung bercerita kepada saya tentang Soetomo pada saat penghancuran RS Zending pada agresi ke II militer Belanda itu. Beliau bercerita sebagai berikut: “ayahmu itu hebat dik. Ketika warga masyarakat Mojowarno melakukan bumi angkut yang melekat di gedung RS Zending Mojowarno, ayahmu menyelamatkan inventaris RS Zending dan dibawa ke Tulungagung dengan Kereta Api, menggunakan lebih dari satu gerbong. Itu sekitar akhir tahun 1947 atau awal 1948.” Namun saya tidak bertanya KA dari Mojowarno lewat Pare atau Mojowarno lewat Sumobito-Jombang-Kertosono untuk menuju Tulungagung? Di kesempatan yang berbeda, saya bertanya ke kakak saya nomer dua, ‘Mas, waktu itu mas usia berapa?” Kakak saya menjawab ‘sekitar 7 atau 8 tahun.’ Kepada kakak nomer 6 saya tanya, ‘Mbak, waktu itu usia berapa?’ mbak menjawab ‘aku belum lahir, aku lahir di Tulungagung Februari 1948.’
Kemudian bpk Poerbo Darsono melanjutkan ceritanya, “Demikian juga setelah pengakuan kedaulatan RI pada 27 Desember 1949. Ayahmu kembali membawa inventaris RS Zending
dari Tulungagung ke Mojowarno liwat Kertosono. Bahkan di Kertosono, ada kawanan penjahat yang akan mengambil inventaris RS itu, tetapi ditantang oleh ayahmu, ternyata kawanan penjahatnya tidak berani dan kemudian meninggalkan wilayah stasiun Kertosono. Inventaris RS Zending sampai di Mojowarno dan dipergunakan untuk membangun kembali RS itu bersama oleh Marijon, Jusuf Sekar, Dawud Andreas, bidan Riyatin dan Soetomo sebagai pembantu umum.
Suatu hari saya bertanya ke ayahku, “Pak kisah bapak sebagai penanggungjawab menyelamatkan inventaris RS Zending ke Tulungagung kok tidak pernah diceritakan atau ditulis di buku Sejarah Rumah Sakit? Kalau bpk Poerbo Darsono tidak bercerita, aku tidak tahu hal itu.” Bapakku menjawab, ‘kala namaku ditulis di buku sejarah saat bapakmu masih segar bugar begini, nanti dikira cari penghormatan, cari penghargaan, cari sanjungan. Bapak melakukan hal itu ke Tulungagung dan membawa kembali ke Mojowarno, karena RS Zending adalah RS Gereja, RS milik Tuhan. Semua yang dilakukan di RS Zending Mojowarno adalah dilakukan untuk Tuhan.’
Selamat ulang tahun ke 130 Rumah Sakit Kristen Mojowarno, sekalipun namamu belum pernah dikisahkan dalam buku-buku sejarah gereja berbahasa Indonesia, pasien-pasien yang datang kepadamu adalah juga citra Allah.
Bambang Margono Katjung
Mojowarno 6 Juni 2024