Pendahuluan
- Istilah nyanyian gerejawi dalam tulisan ini terkhusus dimaksudkan sebagai nyanyian yang digunakan dalam ibadat gereja pada hari Minggu. Jadi tulisan ini tidak menyinggung macam-macam nyanyian di luar ibadat Minggu.
- Ibadat Minggu pada hakekatnya adalah berhimpunnya orang-orang percaya menghadap dan mewujudkan persekutuannya dengan Tuhan. Wujud persekutuan itu didramatisasikan secara dialogis dalam bentuk liturgi (Wahyu 4: 1- 11).
- Di GKJW ibadat itu “Pisowanan” [menghadap] Tuhan.
Nyanyian didalam Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama ada tradisi yang menetapkan suku lewi sebagai petugas di rumah TUHAN (Bait suci). Kedudukan ini meyebabkan orang-orang Lewi mengatur pembagian tugas, supaya ibadat-ibadat dapat berjalan lancar dan menyentuh. Salah satu kelompok yang harus terlibat dalam ibadat itu adalah kelompok musik (baca I Tawarikh 6:31- 32; I Tawarikh 23: 5; 25: 1- 8). Agaknya kelompok nyanyian ini bukan kelompok ala kadarnya, tetapi kelompok yang memang amat serius dalam menjalankan tugasnya (I Tawarikh 25: 7 “…mereka sekalian adalah ahli seni”)[1]
Puji-pujian yang disampaikan oleh kelompok nyanyian ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ibadat, bahkan menempati kedudukan khusus dalam ibadat [I Tawarikh 6: 31; II Tawarikh 5: 11- 13]. Sekalipun tidak secara eksplisit menyebut nyanyian, tetapi tersirat pemahaman bahwa puji-pujian dalam ibadat harus dipersiapkan dengan baik, bukan hanya masalah tekhnik vokal maupun penampilannya, tetapi juga suasana hati para pemujinya. Sehingga puji-pujian yang disampaikan itu benar-benar adalah ekspresi iman, bukan sekedar keindahan suara (baca Amos 5: 23 “….Jauhkanlah daripadaKu keramaian nyanyian-nyanyianmu…”)
Nyanyian didalam Perjanjian Baru
Sulit sekali menemukan bagian dari Perjanjian Baru yang secara eksplisit menyebut nyanyian. Hal ini bisa dimaklumi karena memang fokus Perjanjian Baru adalah kisah kehidupan Yesus dan ajaran-ajaranNya (Injil), sedangkan bagian lain adalah surat-surat yang berisi teguran, nasehat, dan pengajaran. Oleh karena itu yang dapat disampaikan di sini hanya bagian-bagian yang tersirat yang mengungkapkan tentang adanya musik atau nyanyian didalam ibadat. Misalnya didalam Injil terdapat: Nyanyian Maria (Magnificat); Nyanyian Zakharia (Benedictus); Nyanyian Simeon (Nunc Dimitti). Sedangkan pada surat-surat bisa disebutkan, misalnya: I Korintus 14: 15- 17; Efesus 5: 19; Kolose 3: 16.
Dari keterangan di atas terungkap bahwa agaknya di awal kehidupan Jemaat [gereja perdana] sudah dikenal setidaknya 3 macam nyanyian, yaitu mazmur, kidung pujian, dan nyanyian rohani.
Mazmur berisi lagu-lagu yang diambil dari kitab Mazmur yang biasa dinyanyikan dalam ibadat Yahudi.
Kidung Pujian berisi syair-lagu- lagu yang mengungkapkan tentang ajaran dan pengakuan iman (misalnya Kolose 3: 16; 2 Timotius 2: 11- 13)
Nyanyian Rohani berisi syair lagu pendek yang merupakan ungkapan hati yang khas (misalnya, haleluya, amen, glori)
Catatan:
- Pada jaman Perjanjian Baru, kegiatan jemaat yang bernyanyi di Sinagoge dianggap meresahkan keadaan politik dan keagamaan Roma, sehingga jemaat dilarang bernyanyi. Pasca Edik Milano (313) Kaisar Konstantinus memberi ijin kebebasan beribadah kepada jemaat. Pada kesempatan inilah jemaat mulai berinovasi untuk mengembangkan pola ibadah, liturgi dan nyanyian. Yang kemudian kita mengenal dua tokoh besar yang mengembangkan liturgi dan hymn yaitu Ambrosius (333-397) dan Gregorius Agung (590-604). Hymn adalah nyanyian berbait dengan syair baru (bukan dari kitab suci). Nyanyian yang diciptakan oleh kedua tokoh ini sangat mempengaruhi perkembangan nyanyian barat pada jaman-jaman selanjutnya (The New Grove-Dictionary of Music and Musicians-Volume VII, p.696).[2]
- Yesus pun bernyanyi [Matius 26: 30 “Sesudah menyanyikan nyanyian pujian, pergilah Yesus dan murid-murid-Nya ke Bukit Zaitun”.]
Fungsi Nyanyian didalam Ibadat
Setelah memperhatikan berita tentang nyanyian- nyanyian baik di PL maupun PB kita dapat menyimpulkan bahwa sejak zaman dahulu [PL] musik memainkan peranan yang amat penting bagi pembangunan iman jemaat. Musik dalam ibadat dikelola secara serius [memerlukan para ahli seni, lihat di kitab I dan II Tawarikh]. Musik dipandang amat penting, karena:
- Musik menjadi salah satu mata rantai liturgi. Artinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan rangkaian ibadat. Ibadat akan terganggu [rusak] apabila musik/ nyanyian berjalan tidak sebagaimana mestinya.
- Memberi bobot/ mempertajam pengungkapan makna iman dan perasaan yang tak cukup bila hanya diungkapkan dengan kata-kata. Sehingga kegiatan ibadat tidak jatuh pada ruang akal-perasaan semata, tetapi memasuki kedalaman (depth) spiritual. Melalui puji-pujian ruang spiritual penghayatan dan kesadaran tentang kebesaran, kuasa dan kasih Tuhan orang-orang percaya menjadi diperkaya.
- Dalam penghayatan tertentu nyanyian dapat memancarkan daya kuasa yang dapat menyegarkan, memperbaharui dan bahkan mengubah sikap hidup seseorang (I Samuel 16: 16, 23)
- Memberi kesempurnaan penghayatan ibadat melalui keutuhan, kekhidmatan dan kesucian ibadat. Nyanyian- nyanyian bisa membantu tersentuhnya batin jemaat.
Dengan demikian nyanyian- nyanyian dalam ibadat menyatu bukan hanya dengan bagian-bagian lain liturgi, melainkan juga dengan hati/ batin jemaat yang beribadat. Dalam ibadat tidak ada pihak yang menjadi penonton, dan lainnya sebagai tontonan. Sebab pada hakekatnya musik dalam ibadat berfungsi melayani! Ibadat Minggu adalah dramatisasi kehidupan orang percaya dengan Tuhan Allah. Pengiring musik dan warga jemaat lainnya sama-sama tunduk dan bersimpuh di depan Tuhan. Kesatuan hati antara pengiring musik dan warga jemaat lainnya amat penting, karena sama-sama “sowan” Tuhan. Pengiring musik/ pemandu pujian bukan tontonan dan warga jemaat bukan penonton! Mereka semua adalah “audiens” yang rindu berjumpa dengan Tuhan. Suasana ibadat bisa rusak kalau pengiring/ pemandu memerankan diri sebagai “artis pertunjukkan” yang merasa akan ditonton oleh orang lain, sehingga menonjolkan kemerduan suaranya atau ketrampilan bermain musiknya. Oleh karena itu musik/ nyanyian tidak hanya berurusan dengan penguasaan teknik alat musik/ vokal dan penampilan, tetapi juga berurusan dengan soal integritas moral, kebersihan hati pelaku (bandingkan dengan Amos 5: 23)
Beberapa Pergumulan/ Kesulitan
- Musik dipandang sebagai sekedar asesori/ tempelan liturgi, dalam arti belum mendapat perhatian yang besar. Tanda-tanda hal itu, a.l.: tak ada persiapan khusus yang ajeg untuk organis/ pemandu pujian, tak ada perencanaan yang tertib tentang penggunaan lagu-lagu yang akan dipakai dalam ibadat minggu [bahkan adakalanya daftar lagu-lagu baaru diberikan kepada organis/ pemandu pujian hanya beberapa menit sebelum ibadat dimulai], di lingkup Majelis Daerah pun amat sepi program untuk musik gereja. [saya akan sangat senang kalau yang saya tulis ini ternyata salah)
- Ibadat Minggu dihadiri oleh warga jemaat yang majemuk [usia, selera musik, pendidikan, dll]. Warga jemaat yang amat mengerti musik [misalnya mengerti dengan baik sejarah lagu-lagu gereja dan menggemari nyanyian klasik] dan mereka yang sama sekali tidak senang menyanyi atau penggemar berat lagu-lagu dangdut, masing-masing tentulah amat berbeda penghayatannya ketika ikut serta terlibat dalam pujian jemaat. Bahkan dalam ibadat khusus pun (misalnya Ibadat Pemuda) tidak berarti bahwa mereka homogen! Mereka memang sebaya dalam hal usia, tetapi mereka berbeda dalam hal selera musik atau pendidikan!Namun ketika mereka memasuki ruang ibadat memiliki maksud dan tujuan yang sama, yakni mengalami indah dan bermaknanya persekutuan [termasuk bisa menikmati kesatuan antara nyanyian, doa, firman dan perjumpaan pribadinya dengan Tuhan]. Tujuan dan maksud mereka seharusnya yang bisa dipahami oleh organis/ prokantor. Warga jemaat datang ke Ibadat Minggu bukan untuk menyaksikan pertunjukan nyanyian, tetapi a.l. ingin mengalami keindahan dan kesegaran ibadat. Oleh karena itu kekhasan nyanyian gerejawi akan menolong warga jemaat memenuhi maksud dan tujuan mereka beribadat.
- Serba tergesa-gesa adalah salah satu sumber malapetaka dalam ibadat. Lima menit sebelum ibadat atau bahkan kadangkala bersamaan dengan dimulainya ibadat organis/ pemandu pujian datang! Belum lagi lagu yang akan dimainkan baru diketahui sesaat sebelum ibadat berlangsung. Kalau begini, kapan pengiring/ pemandu pujian sempat mempelajari penjiwaan lagu? [pendeta baru memberi lagu beberapa saat sebelum ibadat?]. Maksud adanya organis/ prokantor adalah supaya lagu pujian dinyanyikan secara benar dan “berjiwa” [dengan sungguh-sungguh memperhatikan tempo, kaitan kata-kata dan saat penarikan nafasnya]. Perhatikan kutipan di bawah ini[3]“Sejak zaman Perjanjian Lama lalu dilanjutkan oleh Gereja Perdana dan terus sepanjang sejarah gereja, fungsi Prokantor dan Kantorei merupakan jabatan gerejawi yang penting karena nyanyian gereja memang penting. Jangan keliru, fungsi Prokantor dan Kantorei bukanlah mempertontonkan kebolehan bernyanyi atau mempertunjukkan kemerduan suara dan bukan pula meng-hibur umat, melainkan mengajar dan memandu umat bernyanyi dengan baik dan benar.Nyanyian jemaat dan paduan suara mempunyai fungsi mendidik dan menggembalakan, karena setiap nyanyian berfungsi menyentuh, membangun dan menguatkan. Oleh karena itu kebiasaan buruk untuk memasukkan terlalu banyak nyanyian jemaat dalam tata ibadah perlu ditinjau kembali. Pada Ibadat Minggu lebih baik menyanyikan 4- 5 lagu yang lengkap dari pada delapan lagu yang dipenggal-penggal.Ibadat diteror oleh alat nyanyian. Sebenarnya alat nyanyian apa pun bisa dipakai untuk mengiringi nyanyian ibadah. Namun prinsipnya alat musik dalam ibadah berperan mengiringi nyanyian, bukan menguasai nyanyian. Tolok ukur ibadah adalah khidmat dan tenang. Ketika bernyanyi umat melantunkan kata-kata, bukan meneriakkannya. Sebab itu alat nyanyian yang bising tidak patut untuk ibadah. Peralatan band cocok untuk pertunjukkan atau pesta, namun tidak untuk ibadah. Hermanus Arie van Dop [Pandopo] mengingatkan bahwa kibor (keyboard, synthesizers) sebenarnya bukan alat nyanyian melainkan funmachine. Pandopo, “Salah satu unsur dari funmachine yang tabu untuk nyanyian jemaat ialah rhythm box.[4] Mesin itu tidak mungkin ikut bernafas bersama jemaat, tidak mengenal tanda-tanda penjiwaan nyanyian. Nyanyian jemaat menjadi diperbudak oleh mesin itu.”Bernyanyi kelihatannya gampang, tetapi sebetulnya tidak. Oleh sebab itu kita perlu belajar. Apalagi dengan nyanyian gereja. Jika kita bernyanyi dengan baik dan benar, liriknya mendidik dan menggembalakan kita. Tertulis, ” … dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani …” (Ef. 5:19). Menurut ayat itu ketika bernyanyi kita “berkata-kata” (Yun. lalountes, laleo = mengucapkan kata-kata secara jelas dan dimengerti; juga berarti: mengajar atau menuntun). Nyanyian gereja berfungsi untuk mengajar dan menuntun kita.
- Pendeta atau pelayan lainnya adakalanya menjadi sumber ketidakberesan dalam pujian jemaat. Terutama kalau pendeta/ pelayan merasa mengerti nyanyian dan merasa suaranya merdu, sehingga ketika lagu dinyanyikan oleh jemaat- sekalipun sudah ada pemandu pujian, pendeta menyanyi dengan menonjolkan suaranya. Suara pendeta menjadi dominan, sekalipun -kadangkala [sering?]- suaranya tidak senada dengan suara pemandu, padahal keduanya sama-sama memakai pengeras suara!
- Organis dan pemandu hanya mempelajari not, bukan syair. Kekuatan/ makna sebuah lagu tak hanya pada not, tetapi juga syairnya. Bahkan syair membantu memudahkan pemandu/ organis menafsirkan lagu yang hendak dimainkan.
- Ada ketegangan antara tuntutan keaslian dan tuntutan kontekstual. Sebagian orang menganggap bahwa sebuah lagu adalah produk sejarah [karakter penulis, jaman digubah, makna asli yang dikehendaki penggubah], oleh karena itu sedapat mungkin sebuah lagu dimainkan sesuai dengan maksud penciptanya. Sebagian orang lainnya memahami sebuah lagu dari segi hakekat/ inti pesan yang hendak disampaikan. Kidung Jemaat misalnya, KJ tercatat 264 lagu berasal dari barat – 114 dari Indonesia. Dengan inti pesan itu lagu bisa dimainkan sesuai dengan situasi yang baru. Perhatikan kutipan ini:
“Penghakiman dalam gereja tak kalah menarik ketika jemaat atau pemandu pujian atau pengiring ibadah dianggap salah membaca notasi. Pementingan segi kognitif yang mencakup teori nyanyian menjadi peng-agungan terhadap KJ. Hymn tidaklah seperti Alkitab yang perlu kanonisasi dan ditetapkan seperti itulah adanya kitab itu, tidak boleh diubah, dikurangi atau ditambah. Nyanyian dalam jemaat haruslah terus bergerak seiring perkembangan jaman dalam konteksnya, sehingga terjadi kontekstualisasi liturgi dan nyanyian. Bayangkan saja… dalam menapaki jaman, teologi pun diharapkan mampu menjawab permasalahan jemaat dalam konteksnya, sehingga perlu adanya Teologi Kontekstual. Apa yang akan terjadi jika nyanyian jemaat tidak bergerak dan hanya mengkultuskan budaya barat abad pertengahan (XIII-XVI) hingga abad XIX. Sebuah karya selalu diciptakan dalam konteks. Perkembangan jaman (filsafat, sosial, teknologi, dsb.) akan mempengaruhi Teologi dan Dogma, demikian pula dengan nyanyian. Nyanyian (hymn) yang tercipta biasanya hendak menghadirkan nuansa teologi yang sangat terkait dengan konteks -‘dimana pencipta itu berada’ (Teologi Pujian). Sehingga nyanyian pun kental dengan nuansa budaya ‘dimana dia berada’. Ketika nyanyian tersebut dinyanyikan oleh orang sebudaya, tentu cara menyanyikan dan kemengertian isi lagu pun tak jauh beda. Namun jika lagu itu dinyanyikan oleh orang dengan latar belakang budaya yang jauh berbeda, tentu cara menyanyikan dan pemahaman mengenai isi lagu pun akan berbeda.”
Dari kutipan di atas menjadi lebis jelas betapa majemuknya warga jemaat, termasuk dalam menyikapi warna musik di dalam Ibadat. Hal yang perlu dilakukan gereja bukanlah menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi meramu keberagaman itu supaya setiap warga jemaat yang masuk kedalam ibadat bisa dipenuhi harapannya, tertolong mengalami kedalam hubungannya dengan Tuhan.
Sekedar Saran
Dengan menyadari kemajemukan warga jemaat barangkali bisa dilakukan hal-hal berikut.
- Mengadakan survey kecil tentang sikap/pendapat warga jemaat tentang pengalaman mereka tentang pelaksanaan nyanyian dalam Ibadat Minggu.
- Membentuk tim kecil untuk a) mengevaluasi hasil survey, dan b) membuat pedoman bagi organis/ pemandu pujian tentang inti jiwa lagu [kapan teduh, khidmad, agung dan kapan penuh warna, ceria, dst].
- Mengadakan pelatihan untuk penguasaan lagu- lagu yang digunakan dalam Ibadat Minggu, supaya tidak hanya di lingkup jemaat induk, tetapi sampai di pepanthan/ kelompok. Kalau jemaat bisa mengadakan persiapan rutin untuk pelayan Ibadat Minggu atau Pelayananan Pemahaman Alkitab, mengapa tidak untuk persiapan pelayanan musik?
- Mengumpulkan warga GKJW yang sudah menciptakan lagu-lagu rohani [kerjasama dengan MA GKJW] sebagai embrio kontekstualisasi nyanyian di GKJW yang bersumber dari pergumulan teologi warga GKJW sendiri. Ini tidak berarti lalu menyingkirkan nyanyian-nyanyian yang selama ini sudah melekat di hati warga, karena bagaimana pun gereja selalu diikat oleh roh oikoumene sebagai konsekuensi penghayatan iman atas adanya “Gereja yang Esa”. Seandainya akan kita kumpulkan 400 nyanyian, barangkali sudah cukup baik kalau 50 nyanyian oikoumenis, sisanya nyanyian yang bersumber dari GKJW sendiri.
- Pada Ibadat Rumah Tangga [IRT]/ Patuwen yang biasa dilakukan di masing-masing jemaat, sebenarnya amat potensial menjadi wadah pembelajaran yang efektif atas nyanyian-nyanyian. IRT dilakukan sepanjang tahun, kalau setiap IRT dapat dikuasai satu lagu [tempo, dinamika, ekpresi], bukan tidak mungkin nyanyian dalam ibadat minggu menjadi “menggetarkan”, sehingga -tanpa khotbah pun- warga jemaat sudah mendapatkan “sesuatu”.
- Menetapkan “tradisi” setiap bulan ada lagu tertentu yang harus dinyanyikan tak hanya di Ibadat Minggu tetapi juga di IRT/ Patuwen. Pada awalnya memang setahun hanya 12 lagu yang dapat dikuasai secara baik oleh jemaat, tetapi tahun kedua dst. pastilah akan semakin mudah menguasai lagu. Sehingga dalam sebulan bisa dua atau tiga lagu yang benar-benar dikuasai.
- Terutama dalam acara IRT/ Patuwen- karena situasinya lebih leluasa- ada baiknya apabila pada saat menyanyi jemaat melakukan kesalahan [mungkin terlalu lambat, tanpa ekspresi] segera saja diperbaiki. Sebab kesediaan memperbaiki melalui acara-acara seperti itulah yang sebenarnya lebih efektif. Mengapa? Karena Ibadat Patuwen dilakukan secara ajeg. Bukankah itu berarti ada pembelajaran yang ajeg pada warga jemaat dalam hal menyanyi? Bukankah ini luar biasa??
- Ibadat Minggu selalu bersifat massal, sehingga memang amat sulit mengharapkan kesempurnaan terwujudnya mata rantai yang utuh dalam liturgi. Melatih Paduan suara (artinya orang-orang yang ikut pasti memiliki minat khusus) saja memerlukan perhatian ekstra untuk bisa menghasilkan PS yang baik, apalagi merindukan nyanyian yang sempurna dari audiens dalam Ibadat Minggu yang jumlahnya banyak, dan tak semua yang datang beribadah senang menyanyi.
- Memaksimalkan potensi yang membawa suka cita dan kedalaman dalam bernyanyi, misalnya membiasakan nyanyian dilagukan secara bervariasi, [5] latihan yang intensif bisa dimulai dari IRT.
- Pertimbangkanlah dengan sungguh-sungguh terpenuhinya harapan semua warga jemaat terhadap maksud kehadiran mereka dalam Ibadat Minggu. Beberapa kali saya memimpin ibadat minggu yang diiringi band, saya melihat dengan amat jelas sebagian besar warga jemaat mengalami “penganiayaan/ penindasan” pada saat nyanyian dilantunkan! Bagaimana tidak! Ibu-ibu dan Bapak-bapak (kakek- nenek kita) yang berusia 60- 75 tahun DIPAKSA memuji Tuhan dengan iringan band yang suara drumnya menggelegar, belum senar gitar elektriknya yang mendayu-dayu. Kalau kita berada di luar gedung gereja dipastikan tak akan terdengar suara jemaat yang menyanyi, tetapi hanya suara drum dan gitar yang terdengar!
- Kekeliruan yang serius! Untuk menarik minat pemuda/i agar tetap betah di gerejanya [GKJW], maka disediakanlah fasilitas band[6] di gereja, bahkan untuk mengiringi ibadat Minggu. Maka muncullah ibadat alternatif (ibadat yang tolerans terhadap penindasan, lihat no. 10). Analoginya, ketika orang tua kesulitan mengajak anaknya ke gereja, lalu diiming-imingi “nanti saya belikan es krim”, maka rajinlah anaknya ke gereja. Bukankah itu jalan pintas? Persoalannya sebenarnya bukan es krim atau band, bukan? Tetapi kegagalan membangun relasi dari hati ke hati [kedekatan], persoalan penggembalaan jemaat!……….nah lalu….mari kita diskusikan. Terima kasih.
Nyanyikanlah bagi-Nya nyanyian baru; petiklah kecapi baik-baik …….! _Mz 33: 3_
‘Jemaat yang tidak menyanyi, bukanlah jemaat’ _Karl Barth
[1] Diduga bahwa cara menyanyi pada zaman yang disebut dalam II Tawarikh adalah nyanyian yang saling menjawab antara dua bagian paduan suara yang saling melengkapi. Cara bernyanyi itu disebut antiphonal atau responsorial [lihat Kristian Feri Arwanto mengutip dari Dictionary of Music and Musician, Vol.VII, Macmillan Publisher Limited, 1995. halaman 699 dalam makalah “Studi Singkat tentang Musik Gereja”]
[2] Kristian Feri Arwanto S.Si, Telaah terhadap Perkembangan Nyanyian Gereja, www.gkj.or.id
[3] Andar Ismail, Van Dop Alias Pandopo, www.gkisamanhudi.or.id
[4] Tentang tabunya penggunaan rhythm box tidak hanya dikemukakan oleh Pandopo, tetapi juga oleh Christina Mandang sbb.”…dalam mengiringi jemaat penggunaan rhythm box harus dihindari karena hanya membuat nyanyian menjadi mati. Rhythm box adalah mesin yang tidak memiliki nafas. Manusia selalu bernafas dan dalam menyanyi kita harus mengambil nafas. Jika menyanyi tanpa nafas, berarti kita semua seperti robot…Padahal nyanyian kit apenuh dengan ekspresi”. Lihat buku Panduan Musik dalam Ibadat, halaman 61
[5] Pada umumnya nyanyian dalam Ibadat Minggu dinyanyikan secara bersama [unisono], barangkali bisa dimulai dengan membawakannya lebih bervariasi, misalnya: antiphonal= jemaat menyanyi berbalasan antara pria – wanita atau kanan- kiri; responsorial= menyanyi berbalasan antara pelayan liturgi /pemandu pujian dengan jemaat, misal KJ 13; alternatim= jemaat menyanyi bergantian kiri- kanan atau pria- wanita dalam satu bait kemudian refrain dinyanyikan bersama, misal KJ 36; canon= jemaat menyanyi secara bersusulan. Misal KJ 299
[6] Saya sangat setuju jemaat menyediakan fasilitas band untuk pemuda, tetapi itu untuk menampung kelompok-kelompok minat, bukan untuk mengiringi Ibadat Mnggu. Atau kalau memang harus dipakai untuk mengiringi Ibadat Minggu, haruslah benar-benar dipersiapkan secara serius tentang tanda-tanda musik pada setiap lagu, supaya penjiwaan terhadap setiap lagu benar-benar tepat! Karena setiap warga jemaat yang hadir ke Ibadat Minggu perlu ditolong [bukan dicederai] untuk bisa lebih mengalami kedalaman batin dalam perjumpaannya dengan Tuhan.
Sumber bacaan:
- Andar Ismail, Van Dop alias Pandopo, www.gkisamanhudi.or.id
- Christina Mandang, Serba-serbi Mengiringi Nyanyian Jemaat, Workshop Petugas Kebaktian di GKI Pondok Tjandra Indah, Surabaya 12 Oktober 2008
- Kristian Feri Arwanto S.Si, Telaah terhadap perkembangan Nyanyian Gereja, www.gkj.or.id
- Panduan Musik dalam Ibadah, Penerbit Sinode GKI (tanpa tahun)
- Robert E. Webber, The Complete Library of Christian Worship, vol IV, Star Song Publishing, Nashville, Tennesse, 1994 (khususnya halaman 93-100 dan 188-196)
- Suko Tiyarno, Panduan Organis, Makalah lepas.
Catatan: Makalah ini disampaikan dalam Lokakarya Musik Gereja di GKJW Jemaat Malang.