Pendidikan Gratis di Sekolah Swasta: Tonggak Keadilan, Ujian Kesiapan

31 May 2025

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 27 Mei 2025 yang mewajibkan negara membiayai pendidikan dasar sembilan tahun, baik di sekolah negeri maupun swasta, adalah tonggak penting dalam sejarah pendidikan nasional. Ini bukan semata-mata perkara anggaran, tetapi sebuah pernyataan berani tentang keadilan sosial dan pemerataan hak dasar: pendidikan.

Putusan tersebut menegaskan bahwa kewajiban negara dalam membiayai pendidikan dasar, sebagaimana tertuang dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, tidak boleh dimaknai secara sempit. Frasa “pemerintah wajib membiayai” tidak hanya berlaku bagi sekolah negeri, tetapi juga peserta didik yang memilih bersekolah di institusi swasta. Inilah momen ketika negara diminta hadir bagi semua anak bangsa, tak peduli latar belakang ekonomi atau pilihan sekolah mereka.

Negara dan Sekolah Swasta: Dari Jarak ke Kemitraan

Selama ini, pendidikan gratis kerap dimaknai secara eksklusif untuk sekolah negeri, sementara sekolah swasta berdiri sebagai pilihan mahal dan eksklusif. Akibatnya, kelompok masyarakat secara kerangka pikir sudah berusaha untuk menghindari sekolah swasta jika tidak sangat terpaksa. Masyarakat dengan ekonomi lemah pun berpikir bahwa mereka sulit mengakses sekolah swasta karena stigma yang sudah mandarah daging. Putusan MK membalikkan paradigma ini, subsidi harus mengikuti siswa, bukan institusi.

Implikasi dari Keputusan MK sangat besar. Sekolah swasta tidak lagi sekadar pelengkap sistem, tetapi mitra konstitusional negara. Dana publik akan mengalir, tetapi bersamaan dengan itu datang tanggung jawab akuntabilitas, pelaporan, dan kepatuhan terhadap standar nasional. Tantangan pun membayang, terutama bagi sekolah-sekolah kecil yang selama ini berjalan mandiri dan fleksibel.

Peluang dan Kekhawatiran

Peluang utama dari kebijakan ini adalah pemerataan akses pendidikan bermutu. Sekolah swasta, dengan fleksibilitas dan inovasi khasnya, kini dapat sedikit bernafas lega serta membuka diri bagi siswa dari berbagai latar belakang sosial ekonomi. Dengan dana publik, sekolah bisa meningkatkan kualitas fasilitas, kesejahteraan guru, hingga program pengayaan akademik.

Namun di sisi lain, kekhawatiran juga muncul. Apakah dana pemerintah akan diikuti oleh intervensi kebijakan yang menggerus otonomi sekolah? Apakah sekolah berbasis nilai keagamaan atau filosofi tertentu masih bisa mempertahankan ciri khasnya?

Risiko lainnya adalah ketergantungan pada aliran dana pemerintah yang belum tentu stabil. Jika pembayaran tersendat, sementara pungutan reguler kepada orang tua tak lagi diperbolehkan, sekolah bisa kolaps secara operasional. Di sinilah pentingnya kejelasan status bantuan: apakah berupa hibah, subsidi, atau bantuan operasional reguler.

Apa yang Perlu Segera Dilakukan?

Untuk menyambut kebijakan besar ini, sekolah swasta, termasuk YBPK GKJW di dalamnya, tidak bisa hanya menunggu arahan pemerintah. YBPK perlu segera bergerak secara proaktif. Beberapa Langkah penting sebagai bentuk antisipasi atau kesiapan menyambut pemberlakuan keputusan ini sudah dapat dilakukan.

Pertama, YBPK harus menata ulang tata kelola keuangan dan administratifnya. Ini mencakup pembentukan unit pengelola dana publik, penyusunan RKAS yang sesuai format pemerintah, dan pelatihan staf keuangan dalam penggunaan sistem pelaporan seperti ARKAS dan Dapodik. Kesiapan administratif ini menjadi fondasi untuk kepercayaan publik dan kelancaran penyaluran dana.

Kedua, sekolah-sekolah YBPK harus menyesuaikan diri dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Aspek-aspek seperti rasio guru-siswa, jumlah jam pelajaran, serta sarana dan prasarana harus memenuhi ambang batas nasional. Bagi sekolah yang belum memenuhi SPM, dibutuhkan roadmap pengembangan yang realistis dan bertahap.

Ketiga, YBPK harus mampu menggabungkan kurikulum nasional dengan ciri khas lembaganya. Identitas sekolah swasta secara umum, entah berbasis agama, kultural, atau pedagogi tertentu, tetap bisa dijaga selama menyatu harmonis dengan standar pendidikan nasional. Di sinilah seni menjaga otonomi dalam koridor mutu.

Keempat, investasi pada kapasitas sumber daya manusia menjadi mutlak. Guru perlu dilatih untuk menghadapi siswa dengan latar belakang sosial-ekonomi yang lebih beragam. Pendekatan pedagogis yang inklusif, pendidikan karakter, hingga integrasi teknologi menjadi kunci keberhasilan transisi ini.

Kelima, komunikasi publik yang terbuka dan edukatif harus dibangun. Orang tua perlu diajak memahami bahwa pendidikan gratis di sekolah swasta bukan berarti membuat seluruh stakeholder YBPK dan unit-unit sekolahnya terlena bahkan tak lagi berjuang menjaga kualitas, melainkan ini semua justru membuka peluang perluasan akses. Komite sekolah dan forum warga bisa menjadi sarana sosialisasi sekaligus pengawasan partisipatif.

Keenam, YBPK harus semakin aktif menjalin kemitraan dengan pemerintah. Dari mendaftar sebagai mitra penerima bantuan, hingga menyusun MoU yang menjamin hak dan kewajiban, semua harus dimulai sejak awal agar tidak tertinggal dalam implementasi kebijakan ini.

Penutup: Keadilan yang Butuh Disiapkan

Putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah langkah maju menuju sistem pendidikan yang lebih adil dan inklusif. Tapi seperti halnya semua kebijakan besar, keberhasilannya akan sangat ditentukan oleh kesiapan para pelaksana di lapangan, termasuk sekolah swasta seperti YBPK.

Jika sekolah-sekolah swasta mampu menjawab tantangan ini dengan kesiapan tata kelola, keberanian berinovasi, dan komitmen terhadap pelayanan publik, maka kita akan menyaksikan lahirnya ekosistem pendidikan dasar yang benar-benar merata dan bermartabat.

Kini, bola ada di tangan kita semua: negara, sekolah, dan masyarakat. Mari kita sambut kesempatan ini bukan sebagai beban, tetapi sebagai mandat konstitusional untuk mewujudkan Indonesia yang lebih adil melalui pendidikan yang sungguh merata.

Oleh: Pdt. Abednego Adinugroho

Renungan Harian

Renungan Harian Anak