Pendampingan dan Konseling Pastoral

14 June 2016

1. PENGANTAR

Seorang teolog bernama Paul Tillich menyatakan bahwa karakteristik dasar manusia adalah nalurinya untuk mengasuh dan mendampingi. Naluri ini muncul dalam berbagai wujudnya sepanjang rentang kehidupan manusia.[1] Sebagai salah satu contoh, mari kita lihat bagaimana naluri pribadi dan juga komunitas kita di sekitar peristiwa kematian. Ketika ada salah satu anggota keluarga kita meninggal, secara naluriah kita berusaha untuk memberikan penghormatan terakhir yang sebaik-baiknya. Masyarakat kitapun mendukung keluarga yang berduka sejak peristiwa kematian, penguburan sampai kurun waktu tertentu yang menurut ukuran budaya, keluarga yang ditinggalkan bisa mengatasi kedukaannya. Sebagai contoh, dalam tradisi Jawa, kita mengenal upacara 7 hari, 40 hari, 100 hari sampai 100 hari.

Dalam sejarah kehidupan manusia, kecenderungan pengasuhan juga mengkristal dalam pelayanan gerejawi. Melalui berbagai kegiatan pengasuhannya, gereja berkehendak untuk memelihara kehidupan warga jemaatnya secara utuh yang meliputi dimensi fisik, sosial, psikologis dan spiritual. Secara teori, bentuk pelayanan pengasuhan dalam pelayanan gerejawi ini disebut dengan  PENDAMPINGAN PASTORAL (PASTORAL CARE) dan  KONSELING PASTORAL (COUNSELING PASTORAL). Apa kekhasan pendampingan dan konseling pastoral dibandingkan dengan pelayanan konseling yang dilakukan oleh seorang psikolog/psikiater?

 

2. PENJERNIHAN ARTI PENDAMPINGAN DAN KONSELING PASTORAL

Pendampingan Pastoral (Pastoral Care) ini berlaku umum dan disediakan untuk semua anggota komunitas beriman. Tujuan dari pendampingan ini adalah untuk mengaktualisasikan kasih Allah dalam kehidupan komunitas beriman. Bentuk pendampingan pastoral dalam kehidupan komunitas beriman bisa berwujud :

  • Kotbah yang memandu warga dengan tema-tema khusus sesuai pergumulan jemaat saat itu.
  • Pelayanan liturgi, misalnya apa saja yang perlu kita tata dan persiapkan agar jemaat merasakan kehadiran Allah dalam berbagai ibadah yang dilakukan di gereja kita?
  • Pelayanan diakonia : bagaimana agar upaya pemberian bantuan kita kepada sesama yang membutuhkan menjadi wahana olah batin meneruskan kemurnian pelayanan Tuhan Yesus kepada dunia?
  • Perkunjungan rumah tangga: bagaimana menjadikan kegiatan ini sebagai wahana Allah yang melawat umatNya?[2]

Namun dalam kehidupan ini, kita menyadari bahwa tak jarang kita diperhadapkan pada situasi / krisis tertentu yang tidak mungkin dipenuhi melalui pendampingan (Care). Dalam rangka menolong orang dengan kondisi yang krisis inilah kemudian berkembang bentuk pendampingan khusus yang disebut konseling pastoral (Pastoral Counseling). Contoh layanan konseling dalam komunitas beriman :

  • Konseling kedukaan
  • Konseling kepada warga jemaat yang sakit
  • Konseling keluarga, dll

Mengingat perkembangan zaman dan juga pergumulan warga jemaat, di Indonesia juga mulai dikembangkan layanan-layanan konseling pastoral yang lebih khusus, misalnya :

  • Konseling Pastoral melalui telepon dan web
  • Penyediaan rumah aman bagi anak dan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga
  • Konseling Pastoral melalui surat

Dalam pendampingan dan konseling pastoral yang ada bukanlah dialog tetapi trialog[3] seperti yang tertuang pada bagan berikut ini :

 

3. KETRAMPILAN DAN SIKAP DASAR PENDAMPING PASTORAL[4]

Relasi antara pendamping pastoral dan orang yang didampingi, bukanlah sebuah relasi biasa, tetapi relasi yang sengaja dibangun agar shalom Illahi itu nyata dialami oleh warga jemaat. Dalam bahasa akademik, relasi seperti ini disebut sebagai relasi terapeutik. Untuk membangun relasi terapeutik, seorang pendamping perlu menguasai ketrampilan dan sikap dasar, yaitu SIKAP EMPATI DAN KETRAMPILAN MENDENGARKAN.

Baca Juga:  Membangun Kemitraan Melalui Pelayanan Buruh Migran di Hongkong

Empati

Empati adalah ekspresi konselor yang merupakan ungkapan pernyataan “dapat memahami’ apa yang dirasakan konseli. Untuk berempati, konselor harus benar-benar mengikuti semua yang diekspresikan (penuturan, ekspresi wajah, sikap tubuh) oleh konseli. Oleh karena  itu, konsentrasi dan dan kemauan konselor untuk mendengarkan sangatlah diperlukan, agar dapat mengikuti pembicaraan konseli. Empati dapat diekspresikan melalui:

– Ekspresi wajah, seperti kerutan dahi, senyuman dan sebagainya.

– Bahasa tubuh seperti anggukan kepala, tepukan dipundak konseli, usapan tangan,dan sebagainya

– Ungkapan verbal seperti:

  • ‘saya dapat membayangkan betapa sakitnya jika saya ada di posisimu……”
  • ‘ saya mendukung hal itu…’
  • ‘wah, menyakitkan sekali ya…’

Ketrampilan mendengar adalah kunci utama untuk membuka gerbang relasi dan suasana batin orang yang kita layani. Agar bisa mendengarkan dengan baik, kita perlu hadir (attending) dan bisa membedakan : listening, to listen to dan  to hear). Beberapa ketrampilan “turunan” dari ketrampilan mendengarkan :

  1. Memperjelas. Perasaan dan pikiran orang bermasalah biasanya chaotic, campur aduk, berlapis-lapis. Kita dapat memperjelas inti pesan yang disampaikan atau persepsi kita sendiri tentang penghayatan atau pengalaman orang yang kita layani.
    Contoh: (1) Kalau saya tidak salah, Bapak mengalami kebingungan. Mau menceraikan isteri Bapak atau tidak”. (2) Apakah penangkapan saya ini salah?” Bapak betul-betul sedang kecewa pada Tuhan ya?”
  2. Memantulkan. Kita memantulkan perasaan atu pengalaman orang yang kita layani secara umum. Menirukan dengan sama atau mengulangi apa yang diungkapkan oleh orang yang kita layani dengan kata-kata baru.
    Contoh:   (1) “Kalau saya perhatikan, tampaknya ibu betul-betul gelisah, ya” (2) “Bapak bingung untuk memilih ini atau itu” (3) “Ibu merasa penyakit Ibu tidak dapat disembuhkan.”
  3. Menafsir. Kita perlu menolong orang yang kita damping agar dapat melihat masalahnya dengan perspektif yang baru. Dalam hal ini kita dapat menggunakan perumpamaan, ilustrasi, gambar, permainan, meditasi, touching, sentuhan, cerita, tokoh panutan, ayat-ayat, nyanyian, doa, dan sebagainya. Kadang saya bertanya tentang mimpi atau bayangan yang masih terlintas.  Kita bantu orang mengambil learning point, hikmah, insight.
    Contoh:Apakah bapak masih bermimpi tentang anak menantu Bapak? Seberapa sering, Biasanya muncul pukul berapa? Hari apa?” Kalau begitu pelajaran apa yang dapat Bapak ambil dari peristiwa yang menyedihkan ini?
  4. Mengarahkan. Namun bukan berarti kita mengambil alih kekuasaan atau mengontrol. Ketrampilan ini untuk mendorong orang mulai mengemukakan permasalahannya. Ini biasanya terjadi pada awal atau akhir pendampingan resmi.
    Contoh:  (1) Omong punya omong, coba mulai ceritakan masalah Kakak”. (2) Kalau sekarang belum dapat mengemukakan tidak apa-apa. Bagaimana kalau minggu depan?” Hari Kamis, pukul 5 sore, persis pada hari ini? (3) Rasanya, kita sudah 3 bulan ya, bertemu setiap minggu. Bagaimana kalau pertemuan kita akhiri minggu depan?”
  5. Memusatkan. Banyak perasaan yang diungkapkan secara samar-samar atau loncat-loncat.
    Contoh:  (1) “Coba ceritakan pengalaman yang benar-benar menyakitkan saat ini.” (2) “Coba ceritakan hubungan Bapak dengan anak Bapak yang pertama, dulu.”
  6. Memberi informasi. Inilah yang disebut dengan membimbing, memberi nasihat.  Nasihat sebaiknya sederhana, rinci, akurat, tepat guna, dan mudah dilakukan.
    Contoh: (1) Kalau boleh saya usulkan, sebaiknya Nona menemui suster X, di ….., ini nomer telponnya. Apakah Nona tahu bagaimana caranya ke sana? Ini petanya atau naik bis nomer …. “
  7. Mengajukan pertanyaan.  Ketrampilan ini dapat digabungkan dengan ketrampilan yang lain. Kita tidak hanya menjadi pendengar yang baik, melainkan juga menjadi penanya yang baik.  Hindari pertanyaan yang berisi lebih dari 2 isi dan pertanyaan yang bersifat interogratif dan retorik.
    Contoh (Harus dihindari): (1) “Ibu sakit apa?”, (2) “Gimana anak-anak Ibu?”, (3) “Ketika itu Mas Adi sedang di situ juga ya?”
  8. Menantang. Menantang dalam pengertian “confront, challenge” dan bukan nantang dalam bahasa Jawa atau mengajak berkelahi. Kita dapat menggunakan “saat diam” untuk menantang.
    Contoh: (1) Apakah Bapak merasa tidak pantas untuk menangis? (2) Rasa-rasanya, hubungan kita ini sudah berubah. Saya mengambil keputusan untuk menghentikan pertemuan kita yang rutin ini. Saya masih dapat menyapa kami sebagai warga paroki. Saya ingin Anda dibantu oleh teman saya, ini …… Dia jauh lebih pantas menangani Anda.”

 

Baca Juga:  Clinical Pastoral Education Kuarter Mojowarno 2016

4. TAHAPAN DALAM KONSELING

Konseling adalah sebuah proses yang memiliki arah tujuan dan terkendali. Pada umumnya proses konseling berlangsung atau berjalan sebagai berikut:

  1. Pembukaan & membangun hubungan baik
    Proses ini merupakan kunci awal bagi keberhasilan konseling,karena pada tahap ini, pendamping dituntut untuk dapat membangun kepercayaan orang yang didampingi. Bila orang yang didampingi percaya kepada pendamping, maka ia bersedia membuka diri lebih jauh dalam mengemukakan persoalannya.
  2. Menggali masalah
    Pada tahap ini, pendamping diharapkan berperan aktif dalam menggali permasalahan orang yang didampingi. Pendamping diharapkan lebih banyak memberikan pertanyaan terbuka (open ended question) seperti: ‘bisa ada ceritakan lebih jauh…?’ ‘ saya ingin tahu lebih banyak soal….’ ‘menurut anda bagaimana…?’ ‘bagaimana perasaan anda…”, dan sebagainya
    Dalam rangka menggali masalah, konselor juga diharapkan melakukan active listening (mendengarkan secara aktif) terhadap apa yang dikemukakan konseli. Selain itu, ketrampilan turunan dari mendengarkan diatas perlu digunakan pada tahap ini, guna memperoleh kejelasan duduk persoalan orang yang didampingi.
  3. Penutup / Terminasi
    Terminasi adalah tahap mengakhiri sesi konseling yang sudah berlangsung dalam jangka waktu tertentu. Tahap ini dapat dilakukan dengna lancar apabila pendamping telah melakukan kontrak pada awal sesi konseling akan bekerja, dan sebagainya.


Catatan Kaki:

[1] David K Switzer, Minister as A Crisis Counselor, Nashville: Abingdon Press,1978, p. 16

[2] R. J. Hunter Pastoral Care and Counseling (Comparative Terminology) dalam Rodney J Hunter, Dictionary of Pastoral Care and Counseling, Nashville : Abingdon Press, 1990, p. 845

[3] Wayne E Oates, Pastoral Counseling, Philadelphia, Fortress Press, 1974, p. 12

[4] Rincian sikap & ketrampilan konseling pastoral ini bisa dibaca dalam buku : Totok S. Wiryasaputra, Pengantar ke dalam Konseling Pastoral, Yogyakarta : Diandra Pustaka Indonesia, 2014

 

Catatan: Makalah ini Disampaikan dalam Pembinaan Majelis GKJ Sarimulyo, Yogyakarta, 19 Mei 2016

 

Renungan Harian

Renungan Harian Anak