Clinical Pastoral Education (CPE) Kuarter Mojowarno telah berlangsung pada tanggal 28 Maret- 2 Juni 2016. Kegiatan ini merupakan program kerjasama di bidang pastoral antara Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW), RSK. Mojowarno dan United Evangelism Mission (UEM).
CPE merupakan warna baru dalam dunia pastoral yang diperkenalkan oleh Horst Osterman di RS HKBP Balige. Program ini kemudian dilanjutkan oleh Pdt. Nursini Sihombing, M,Th. dari Gereja Kristen Angkola (GKA) sebagai Supervisor CPE di Indonesia. Kerjasama program ini telah berlangsung sejak tahun 2011 dan menjadikan RSK. Mojowarno sebagai salah satu basis pastoral care dimana para peserta dari gereja-gereja mitra datang untuk belajar sebagai chaplin/konselor.
Adapun peserta CPE kali ini adalah: Pdt. Soni Saksono Putro, M.Psi.,M.Min. (GKJW), Pdt. Yessy P. Kapitan, S.Si. (GKJW), Pdt. Yohana Thesia, S.Th. (GKI Tanah Papua), Pdt. Otto Aibekob, S.Th. (GKI Tanah Papua), Pdt. Budi Sikowai, M.Th. (GKI Tanah Papua), Pdt. Sariyani Barus, M.Th. (GBKP), Pdt. Rimson Manurung, S.Th. (HKBP), Pdt. Santoso, S.Th. (GKJTU). Pdt. Nursini Sihombing, M.Th. selaku Supervisor.
Membaca dan mendengar kata clinical pastoral education tentunya sepintas akan terbesit bahwa program ini merupakan pelatihan seni pendampingan pastoral bagi orang sakit, tetapi jika diikuti prosesnya, program ini tidak hanya menolong pasien dan juga warga jemaat yang dikunjungi, tetapi juga menolong diri chaplin.
Dalam proses ini pasien/warga yang dituweni (dikunjungi) akan mendapatkan pendampingan pastoral sehingga baik pelayanan di rumah sakit maupun di jemaat dapat berlangsung secara utuh (holistik). Dan bagi participants CPE proses ini akan menyentuh dua aspek yaitu personal dan professionality sebagai chaplin. Oleh karena itu pentingnya peserta di CPE Kuarter ini untuk mengikuti kelas pengenalan (biasanya sudah dilaksanakan sebelum CPE Kuarter di masing-masing sinode/gereja selama dua minggu), sehingga mendapatkan dasar dan gambaran tentang CPE dengan lebih jelas.
Aspek personal yang menjadi tujuan utama dan secara umum dalam proses CPE adalah chaplin mampu untuk melihat kembali dirinya melalui proses penceritaan ulang sejarah hidupnya. Dengan melihat kembali ke masa lalu maka kita dapat mengetahui ‘siapa’ kita sekarang ini.
Pengalaman-pengalaman hidup sejak kanak-kanak akan membentuk dan menentukan karakter kepribadian seseorang. Proses ini akan membantu chaplin menyembuhkan dirinya dari setiap luka dan trauma yang pernah dialami. Proses ini juga akan menumbuhkan empati dan kemampuan membebaskan diri dari bentuk-bentuk kemarahan, kepercayaan diri yang rendah ataupun berlebihan, kekurangan konsentrasi, dan lain sebagainya.
Aspek kepribadian yang ingin dicapai adalah mengubah diri dari Ministry of Doing menjadi Ministry of Being, misalnya dengan belajar seni mendengar, menyentuh, menggali perasaan. Hal ini akan menumbuhkan feeling of chaplin yang berempati bukan sekedar simpati. Berikut contoh end point evaluation tentang perubahan Ministry of Doing ke Ministry of Being:
Ministry of Doing |
Ministry of Being |
Rencana perkunjungan:
Menemui pasien/ jemaat untuk hadir dan mendoakannya sebagai pendeta. |
Rencana perkunjungan:
Menemui pasien/jemaat untuk hadir, mendengar, menggali perasaan sbg pendeta sekaligus chaplin. |
Bersimpati, sharing (yang lebih banyak bercerita biasanya chaplin sbg pendeta) | Berempati, mempick up feeling/ gali perasaan, mendengar, hadir, menyentuh sbg pendeta sekaligus chaplin. |
Cenderung menasehati, mengkhotbahi. | Journey dengan perasaan dan cerita pasien/jemaat |
Tidak sabar, karena banyak yang dikunjungi maka seringkali kunjungan tergesa ditutup dengan doa. | Sabar tapi ada batas waktu juga, dalam perkunjungan tidak selalu saling berdoa, kadang chaplin hanya berdoa dalam hati. |
Contoh:
a. Mengunjungi orang sakit maka chaplin akan datang berombongan dan seperti melakukan rutinitas perkunjungan, datang, doa, pulang. b. Mengunjungi orang berduka datang, dengar (kadang hanya sekedar untuk mencari informasi, menggali perasaan, masih dangkal), lalu doa dan pulang. |
Contoh:
a. Mengunjungi pasien bukan terpatok dari segi kuantitas (seberapa banyak yang harus dikunjungi) tetapi pada kualitas perkunjungan itu sendiri. b. Intensitas perkunjungan itu diperlukan dengan tetap menjaga tidak terjatuh pada rutinitas. |
Program ini menuntut setiap pesertanya untuk memiliki target dalam perkunjungan, penulisan verbatim, self-verbatim, case study, biblical image, mid and end point evaluation dimana prosesnya berbekal dari percakapan bersama pasien/warga jemaat. Learn with living documents (belajar dari dokumen yang hidup). Melalui percakapan yang diverbatimkan (percakapan chaplin dan pasien yang dituliskan), dipresentasikan dan diproses oleh peers (peserta lain dalam grup), kita dapat melihat teknik pendampingan (ministry) yang kita lakukan, isu yang dimiliki oleh pasien/warga jemaat dan juga isu dari chaplin sendiri. Itulah yang membuat teknik Clinical Pastoral Education ini begitu istimewa dan membawa warna baru bagi pendampingan pastoral yang sudah dilakukan.
Seorang chaplin yang terluka yang menyembuhkan, memang tidak salah, tetapi chaplin juga butuh ditolong dari dirinya sendiri sebelum dia juga menolong orang lain. CPE menjawab pertanyaan itu dengan proses pertolongan dua arah antara pasien dengan chaplin yang terjadi selama proses percakapan pastoral. Identitas pasien/warga jemaat, dan proses chaplin dalam grup juga sangat dijaga kerahasiannya, sehingga proses ini juga membantu setiap peserta untuk membangun percaya dan dipercaya satu dengan lainnya. Sampai pada akhir prosesnya diharapkan masing-masing peserta telah masuk pada tahap acceptance (penerimaan) akan kelebihan dan kekurangan dirinya, dengan itu maka kepercayaan diri dari chaplin juga akan berdampak pada pelayanannya, bahkan jiwa kepemimpinannya akan dibentuk dalam proses ini.
Clinical Pastoral Education ini tentunya bisa diterapkan untuk semua kalangan dengan penyesuaian model pengajaran dan proses. GKJW sebagai salah satu gereja yang mendukung terlaksananya program ini diharapkan mampu memfasilitasi setiap pendetanya dengan proses ini, sehingga harapan ke depan GKJW memiliki pendekatan pastoral yang betul-betul menjawab apa yang menjadi pergumulan dan kebutuhan warga, bahkan para pendetanya, sehingga kita tidak hanya mendampingi ketika warga/pendeta memiliki masalah. Inti dari CPE ini adalah memulihkan tanpa merusak, sehingga dalam kasus-kasus pastoral, bahkan dengan kasus pastor pastorum yang biasanya terjadi dengan penyelesaian dikotomi mencari benar dan salah, dapat difokuskan pada pemulihan (restoring) bagi mereka yang membutuhkan pendampingan pastoral.
Beberapa pendeta GKJW juga merupakan Alumni Clinical Pastoral Education kuarter Mojowarno, diantaranya Pdt. Evi Umboh, S.Th, Pdt. Ari Mustyorini, M.Si. dan Pdt. Arivia Novi Susanti, S.Si. Harapan ke depan, semoga ilmu CPE ini bisa dikemas dan dikembangkan secara nyata baik bagi jemaat- jemaat di GKJW maupun menjadi rintisan berdirinya Unit Pastoral Centre di GKJW.