Sebuah laporan dari UNICEF dan organisasi human trafficking menyebutkan bahwa sekitar 40-70 ribu anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual. Sementara itu, kurang lebih 30 persen mereka yang terlibat prostitusi di Indonesia berusia dibawah 18 tahun.
Di tingkat global terdapat kurang lebih 1,4 juta orang mengalami eksploitasi seksual komersial dengan 40 sampai 50 persen diantaranya adalah anak-anak. Eksploitasi seksual anak (ESKA) sendiri merupakan salah satu bentuk terburuk dari penggunaan anak sebagai tenaga kerja dan menjadi salah satu bentuk perbudakan modern.
Paparan tersebut diungkapkan Pdt. Sonia Parera-Hummel, sekretaris eksekutif UEM region Asia dalam program “UEM goes to Churches” di kompleks Balewiyata tanggal 21-22 Maret 2018 lalu. Program kali ini memang khusus menyoroti masalah perdagangan manusia dan pelacuran anak dengan studi kasus di Jawa khususnya di GKJW dan GKJTU.
Anak yang dilacurkan (AYLA) terjadi karena berbagai sebab. Kemiskinan adalah faktor besar yang menyebabkan hal itu. Menjual orang lain (atau bahkan menjual dirinya sendiri) dianggap sebagai jalan keluar paling cepat dari kemiskinan.
Sementara itu, faktor budaya juga menjadi sebab terjadinya AYLA. Dalam kultur Jawa klasik, anak dianggap berposisi lebih rendah dibanding orang tua. Posisi tersebut mewajibkan seorang anak memiliki ketaatan mutlak terhadap orang yang lebih tua. Akibatnya, anak tidak berdaya ketika ada orang yang lebih tua yang menjerumuskannya pada perdagangan manusia yang berujung pada ekploitasi seksual.
Hal-hal lain yang menyangkut faktor budaya ialah berubahnya gaya hidup masyarakat menjadi lebih individualis dan konsumtif. Tuntutan pemenuhan gaya hidup tersebut dapat pula memacu perdagangan manusia.
Bagaimana Gereja?
Perdagangan manusia , AYLA, dan ESKA adalah fenomena yang terjadi dan dialami tidak hanya di luar jemaat gereja, tetapi juga dalam lingkungan jemaat gereja. Dalam kerangka keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan, fenomena ini harus menjadi perhatian gereja.
Perhatian tersebut harus diwujudkan dalam bentuk usaha konsolidasi, preventif, kuratif, dan advokasi. Tentu hal tersebut tidak mudah mengingat besarnya sindikat yang harus dilawan. Perdagangan manusia memang menghasilkan keuntungan sangat besar sehingga si pelaku akan selalu berusaha mempertahankan usahanya.
Sadar atau tidak, korban atau pelaku kejahatan ini bisa jadi adalah anggota jemaat kita. Namun kesadaran dan kepedulian gereja terhadap persoalan perdagangan manusia, AYLA, dan ESKA masih rendah.
GKJW melalui Kelompok Kerja Pendampingan dan Perlindungan Anak (P2A) di lingkup MA, MD, dan Jemaat, yayasan MARIAM, Dewan-Dewan Pembinaan, termasuk IP.Th Balewiyata serta Pembuat Keputusan didorong agar lebih utuh dalam menangani masalah-masalah berkaitan dengan perdagangan manusia, AYLA, dan ESKA dari mulai konsolidatif, pencegahan, kuratif hingga advokasi.
Data yang lebih lengkap tentang prostitusi anak di Indonesia bisa didapatkan disini
Gambar: The Armory Show at 100 – NY Historical Society