“Kita ini berorganisasi sudah lama. Kita bertemu bukan sebagai orang baru. Bahkan kita bersaudara sudah ratusan tahun jika dilihat dari sejarahnya. Jika harus menunggu putaran, sekarang ada 180 Jemaat di GKJW. Bisa berdaur-daur kita bisa jagongan, bertemu bareng,” kata Pdt. Kristanto, Ketua Majelis Daerah Surabaya Timur I (MD ST-1).
Pdt. Kristanto menyampaikan hal tersebut dalam sambutan pembukaan acara Sambung Rasa PHMA dengan PHMJ se-MD Surabaya Timur I, yang bertempat di GKJW Jemaat Surabaya, Senin (26/2/2024) malam. Hal ini berdasarkan keputusan Sidang ke-44/2023 MD ST-1 yang berlangsung di Jemaat Sidotopo pada Artikel 36. “Walaupun secara timeline mundur 1 semester dari rencana karena mencari waktu pertemuan yang pas; sama-sama bisa,” terangnya lebih lanjut.
Ragam Persoalan
Unsur PHMA yang hadir diwakili oleh Ketua Pdt. Pdt. Natael Hermawan Prianto, Wakil Ketua Pdt. Yetti Anggraeni, dan Bendahara I Pdt. Tri Agus Kriswiadi. Sementara dari 10 Jemaat di lingkup MD ST-1, ada 2 yang berhalangan hadir.
Acara Sambung Rasa ini bersifat dialog, saling memberi masukan dan juga tanya jawab. Beragam persoalan disampaikan oleh perwakilan utusan Jemaat, baik dari unsur pendeta ataupun perwakilan Pelayan Harian Majelis Jemaat (PHMJ).
Misalnya, saat Pdt. Luvi (Tropodo) mengisahkan tentang gap generasi soal penggunaan PAH (Pancaran Air Hdiup). “Warga sepuh akan merasa bangga dengan GKJW jika memegang salinan dalam bentuk cetak fisik,” terangnya lebih lanjut. Jadi, ada modifikasi dari bentuk digital yang tersedia untuk disesuaikan dengan konteks lokal Jemaat.
Menanggapi hal ini, Pdt. Natael menceritakan pengalamannya saat berjejaring. Menurutnya memang hal ini tidak mudah. Apalagi dalam media sosial. “GKJW punya medsos seperti Facebook, Instagram, atau YouTube. Nah, ada masukan, supaya narasi yang dibuat tidak usah banyak-banyak (panjang). Namun dari generasi non-milenial justru berpendapat sebaliknya, ‘Info kok tidak utuh? Ini kan bisa membuat mis-komunikasi’. Jadi memang perlu strategi untuk menjembatani kedua generasi tadi.”
Demikian juga saat Heri Saptono (Rungkut) yang menghendaki agar Majelis Agung (juga memberikan kontribusi pemikirannya kepada warga jemaat. “Jadi warga juga turut bangga dengan apa yang dilakukan oleh Majelis Agung,” urainya.
Beberapa contoh aktual adalah kasus-kasus yang terkait dengan etika sosial. Misalnya pandangan resmi GKJW terhadap LGBT, kasus korupsi, dan lain-lain. “Setidaknya ada artikel khusus yang bisa menjadi pegangan teologis. Materi-materi yang bisa dipakai sebagai bahan penggembalaan buat majelis yang ada di Jemaat.”
Mencari Titik Temu yang Sama
Perbincangan yang hangat tentu saja adalah soal besaran Dana Persekutuan (Daper) tiap-tiap Jemaat sebesar 30% setiap tahunnya. Tentu hal ini mempengaruhi kegiatan yang ada di Jemaat.
Maka, ada masukan untuk mengoptimalkan aset-aset GKJW yang selama ini tidak memberikan kontribusinya. Atau juga menjual sebagian aset yang non produktif untuk memperbesar pengelolaan aset yang lainnya.
“Ketika Jemaat wajib memenuhi besaran Daper 30%, rasanya seperti kena pinjol (pinjaman online),” ungkap Oka (Sukolilo) yang disambut sejenak tawa bersama, saat menyampaikan hal ini.
Menurutnya, dengan sistem anggaran seperti ini, di Jemaat akan mendahulukan dana yang akan diberikan ke MA. Baru setelah itu dibagi-bagi ke komisi, yang tentu saja jumlahnya menjadi kecil.
Apalagi pasca pandemi Covid-19, tingkat kehadiran warga dalam beribadah bisa menurun hingga 50%-nya. Maka sudah pasti anggaran akan menurun. “Apakah keputusan yang sudah bertahun-tahun dijalankan ini masih relevan pada masa sekarang ini?” cetusnya.
Untuk itu, ia juga menyampaikan soal apakah aset GKJW tidak bisa dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan GKJW tiap tahunnya? Juga soal kemitraan yang dibangun, apakah hanya dengan UEM saja?
Menanggapi hal ini, Pdt. Natael lalu menceritakan kilas balik sejarah GKJW, bagaimana terbentuknya sebagai lembaga yang menaungi Jemaat-jemaat yang tersebar di Jawa Timur. Juga awal mula GKJW ber-program (program oriented) pada 1985 (baru dijalankan 1987). Hingga pada akhirnya menjadi budget oriented mulai tahun 2024 ini dengan sistem keuangan anggaran berimbang.
“Dampaknya ada pada manajerial organisasi yang jadi money oriented,” terangnya lebih lanjut. Sembari memberikan gambaran kebutuhan anggaran pertahun.
“Kalau menuruti program yang dijalankan, maka dalam setahun kita bisa mencapai angka 21 milyar. Padahal kekuatan kita hanya 15,9 milyar. Ini itungan saat jumlah Jemaat masih 178 (sekarang sudah 180). Itupun yang 14,9 milyar hanya untuk payroll (kebutuhan pendeta). Jadi praktis hanya 1 milyar untuk kegiatan. Itupun sebagian besarnya sudah diambil untuk bantuan beasiswa.”
Secara ‘matematika’, kebutuhan GKJW ditopang dari pisungsung (persembahan) yang ada. Tetapi ada juga dari sumber yang lain. Misalnya pengelolaan aset, program kemitraan dengan UEM, dan juga dari dana hibah pemerintah.
Ditambahkan oleh Pdt. Yetty yang kini berada di Jemaat Tulangbawang, Malang. Bahwa dari Jemaat besar dan kecil sebenarnya punya persoalan yang sama. “Dan ini menjadi pergumulan bersama. Iki programe apik, terus duite ndi?” katanya saat mengawali percakapan.
Ia juga berharap agar aset yang dimiliki GKJW bisa dikembangkan sehingga bisa mencukupkan kebutuhannya. Tak lupa, ia juga mengingatkan bahwa generasi di Eropa sudah berubah. Tentu ada perubahan pola pikir dan perilaku. Maka bisa jadi ke depan, ada perubahan pola kemitraan yang selama ini sudah berjalan.
Di samping itu, perlu ada pemahaman yang juga perlu diubah. Menurut pengemban jabatan hasil PAW Sidang ke-121/2023 ini, tidak tepat kalau MA disebut sebagai pencari dan pembagi uang. “Cobalah untuk diubah juga pemahaman kata ‘setor’ ini karena nanti ada debt collector-nya.”
Baginya, yang lebih penting adalah memahami bersama, “Bagaimana kita bisa berkontribusi untuk pekerjaan Tuhan melalui GKJW ini. Inilah keluarga kita. Inilah rumah kita bersama. Bagaimana kita bisa nyengkuyung bersama. Dan mari letakkan pengharapan bersama kita pada Gusti Yesus,” pungkasnya.