Dalam Jeda dan Keheningan Khotbah Rabu Abu 2 Maret 2022

21 February 2022

Rabu Abu – Masa Pra Paskah
Stola Ungu

Bacaan 1: Yoel 2 : 1 – 2, 12 – 17
Bacaan 2: 2 Korintus 5 : 20b – 6 : 10
Bacaan 3: Matius 6 : 1 – 6, 16 – 21

Tema Liturgis: Bertirakat sebagai Jalan Memperbarui Panggilan dan Iman
Tema Khotbah: Dalam Jeda dan Keheningan

Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

Yoel 2 : 1 – 2, 12 – 17
Dalam tradisi para imam (Bil. 10:8), tindakan meniup sangkakala dilakukan oleh para imam untuk menandai awal mula sebuah peperangan besar. Tiupan sangkakala akan menggetarkan semua orang yang mendengarnya, bahkan bumi ikut gemetar dan langit ikut berguncang (Ay. 9). Hal tersebut tidak hanya terjadi kepada orang jahat, tetapi juga bisa terjadi bahkan di tengah para umat pilihan (bdk. Amos 3). Artinya orang-orang terpilih pun tidak luput dari hari penuh kegentaran. Dikisahkan dalam Yoel, mereka tidak berperang melawan manusia, tetapi melawan TUHAN – menghadapi sebuah hari yang disebut hari TUHAN. Gambaran hari TUHAN yang dikisahkan oleh Yoel, sangat menakutkan. Bumi gelap gulita, bahkan gambaran fajar yang biasanya digunakan sebagai gambaran awal mula terang (siang hari) pun, justru menjadi gambaran awal mula bencana. Serangan TUHAN itu serupa tentara yang menghancurkan semuanya. Bagaikan pasukan yang belum pernah dilihat sebelumnya, baik dalam jumlah maupun kekuatannya (lih. Ay. 2-10). Semua gambaran figuratif itu untuk menunjukkan bahwa ketika hari TUHAN datang, tidak ada yang terluput, tidak ada yang bisa mengelak, semuanya muram, semua menderita sengsara, dan semua hancur.

Hal ini sebenarnya ironis, karena Israel adalah negara kecil, yang justru mendapatkan tekanan dari bangsa-bangsa besar di sekitarnya, Mesir dan Mesopotamia (Asyur dan Babel). Mereka adalah orang kecil, di tengah pertarungan bangsa-bangsa besar. Wong cilik, biasanya adalah kelompok yang paling dibela oleh TUHAN, tetapi mengapa mereka justru harus mengalami penderitaan sebesar itu?

Penderitaan adalah kepastian. Dan Yoel memberikan penekanan, penderitaan terjadi karena orang meninggalkan TUHAN. Karena itu, ketika sangkakala dibunyikan, mereka justru diminta berbalik kepada TUHAN, berpuasa, menangis, dan mengaduh (Ay. 12). Manusia hidup di dunia yang penuh dosa, maka bisa dipastikan, manusia yang tinggal di dunia yang penuh dosa tersebut – bahkan orang-orang pilihan sekalipun – tidak luput dari dosa. Dosa itulah yang mendatangkan hari TUHAN, kesengsaraan dan kehancuran.

Yang unik dalam narasi Yoel ini adalah ketika TUHAN digambarkan dengan sedemikian sangar dan ngeri, tetapi kepada orang-orang yang mau menyesal dan bertobat dikatakan Dia adalah pengasih dan penyayang, panjang sabar, dan berlimpah kasih setia. Bahkan dikatakan bahwa TUHAN menyesal karena Dia menghukum (Ay. 13). Ada sebuah hal yang bisa membuat TUHAN sedemikian murka: dosa (bahkan di tengah orang-orang pilihan). Dan ada sesuatu yang bisa segera meluluhkan hati TUHAN: pertobatan. Ada satu yang melunakkan TUHAN, TUHAN tidak kuat dengan orang yang sungguh-sungguh bertobat. Jika ini disebut kelemahan, kelemahan TUHAN adalah TUHAN tidak pernah benar-benar bisa membenci dan menghukum manusia, ketika orang tersebut menyesal.

2 Korintus 5 : 20b – 6 : 10
Korintus adalah gambaran komunitas idaman. Korintus adalah sebuah jemaat kosmopolitan. Bagaimana tidak? Jemaat itu kaya, mereka multietnis, komunitas itu berjalan dengan sangat terorganisir, pertemuan jemaat terjadi dengan semarak – bisa saya bayangkan yang datang juga banyak. Bukankah orang senang jika dalam kegiatan jemaat banyak yang datang dan semarak. Tapi bagi Paulus semua itu omong kosong – karena jemaat itu terpecah, orang kaya hanya mau duduk dengan orang kaya, orang miskin kumpul sendiri dengan yang miskin. Mereka terbagi-bagi menjadi kelompok-kelompok, ada kelompok Apolos, kelompok Petrus, kelompok Paulus, dan kelompok Yesus – mungkin masih ada kelompok lain. Segala semarak yang tampak di tengah jemaat itu tidak berarti tanpa kesehatian tubuh Kristus.

Surat pertama dan surat kedua Paulus kepada Korintus adalah surat gembala yang sangat unik. Paulus sangat mencintai jemaat itu – dia juga pendirinya, tetapi pada saat yang sama tampak bahwa Paulus sedemikian kesal kepada jemaat itu. Surat Korintus adalah sebuah surat benci tapi cinta.

Dalam perikop bacaan kedua ini, Paulus hingga mengatakan ‘dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah’ (5:20). Pernyataan ini disusul oleh gambaran Kristus yang telah mati karena dosa manusia, tetapi manusia yang dibenarkan oleh Kristus itu – jemaat Korintus – justru berpotensi untuk menjadikan kasih karunia Kristus itu sia-sia (6:1). Karena itu Paulus menekankan berdamailah dengan Allah, karena masih ada kesempatan: Allah berkenan dan menolong mereka sekalian.

Paulus menunjukkan bagaimana dia melayani, dia rela menanggung penderitaan demi terwujudnya pelayanan penuh kesabaran dan kemurnian, sehingga bisa terwujud kebenaran dan keadilan (Ay. 3-7). Sebuah pelayanan sejati bagi Paulus – sebagai upaya berdamai dengan Allah – adalah memeluk keutuhan hidup, yang dalam ayat 8-20 digambarkan sebagai menerima keberadaan diri yang saling bertentangan (dicela – dihormati, diumpat – dipuji, tidak dikenal – terkenal, dan seterusnya). Kesediaan hidup bersama Allah bukanlah sekadar mewujudkan kehidupan yang baik secara tatanan hidup manusia ideal, tetapi bagaimana memeluk kehidupan dengan utuh, demi terwujudnya karya Allah yang sejati.

Matius 6 : 1 – 6, 16 – 21
Yesus memang agaknya sangat ekstrem menceritakan gambaran kerajaan Allah – dan cara mengikut Allah – dalam khotbah-Nya di bukit. Dia menolak semua kebiasaan yang umum dilakukan orang dalam melakukan kebaikan. Orang memberi (bersedekah) akan senang jika pemberiannya diapresiasi. Orang berpuasa akan menunjukkan bahwa dia sedang berpuasa kepada orang lain. Orang yang memiliki banyak hal dalam hidup akan bahagia. Dan Yesus mengatakan semua itu tidak penting. Melalui bacaan ketiga ini, Yesus seolah ingin mengatakan apresiasi, dihargai orang, dan memiliki segala-galanya tidak ada artinya.

Sedekah dan puasa (serta berdoa dalam perikop di antaranya) adalah sebuah aktivitas yang cenderung dimaknai berdimensi rohani, mengumpulkan harta biasa dianggap sebagai pekerjaan duniawi. Orang sering memisahkan antara yang rohani dan yang duniawi, tetapi Yesus menyatakan bahwa semua itu sesungguhnya muaranya sama: relasi dengan Allah. Baik tindakan yang jasmani maupun yang rohani selalu bersangkut paut dengan spiritualitas seseorang. Semua itu ibadah. Ibadah itu arahnya kepada Allah, bukan kepada manusia, jadi relasi yang terjalin dalam ibadah adalah manusia dengan Allah. Dengan demikian, apa artinya ibadah jika relasi manusia dengan Allah itu berubah sekadar menjadi relasi manusia dengan manusia (diapresiasi, dihargai, dipandang lebih oleh orang lain).

Yesus seolah mengatakan, sebaik apapun perbuatan kita di hadapan manusia, kalau di hadapan Allah tidak ada artinya, ya sia-sia saja. Maka, Yesus mengajak kembali menghayati keutuhan hidup (baik yang jasmani maupun rohani) sebagai sesuatu yang selalu berkait dengan spiritualitas – lakukan pertama kali untuk Allah. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu (Ay. 4, 18). Yang tampak oleh mata itu kemudian, yang lebih dari itu adalah niat yang tidak tampak mata.

Benang Merah Tiga Bacaan:
Orang baik (umat pilihan, jemaat yang mutakhir dan semarak, rajin bersedekah, berdoa, berpuasa, dan memiliki segalanya) pun tidak luput dari kesalahan dan dosa – baik itu disadari atau tidak (tidak disadari karena dianggap sesuatu yang wajar). Maka orang yang baik pun – apalagi yang jahat – diajak untuk selalu menguji hatinya dan bertobat kepada Tuhan.

 

Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silahkan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)

Pendahuluan
Apa yang tidak ditawarkan oleh internet hari ini? Semuanya ada. Mulai belanja, hiburan, belajar, komunikasi dan sosialisasi, komunitas, penyembuhan, bahkan milyaran orang hidup dari internet. Yang baik-baik sampai yang rusak-rusak semua tersedia dengan melimpah. Internet adalah wahana hidup yang tidak ada matinya. Internet membuat orang tidak berhenti, karena orang bisa berpindah dari satu wahana ke wahana lain. Serupa pasar malam yang riuh, kita bisa beranjak dari satu titik ke titik lain tanpa ada habisnya. Internet menyajikan segalanya, selalu ada yang bisa dinikmati.

Jika ada yang tidak ditawarkan internet adalah jeda dan keheningan. Jeda memberikan kesempatan untuk sejenak berhenti, melepaskan segala hal untuk sementara waktu. Keheningan yang memberikan kesempatan untuk berjumpa dengan diri, bertemu dengan kesejatian. Rabu Abu ditandai dengan jeda dan keheningan. Dalam jeda dan keheningan itulah, Allah yang adalah roh, yang begitu lembut dan tak kasat itu, dirasakan.

Isi
Yang sangat unik hari ini adalah di tengah segala keramaian hidup, banyak orang merasa kesepian. Di tengah derasnya arus kehidupan, banyak orang justru merasa kehausan. Di tengah banyaknya informasi yang lalu lalang, orang semakin merasa tidak tahu apa-apa. Di tengah banyaknya aktivitas di dunia yang tidak ada matinya ini, banyak orang justru merasa kematian di dalam jiwanya.

Semua ada, tapi rasanya selalu ada yang kurang. Semakin banyak mengonsumsi, orang justru menjadi semakin lapar. Selalu ada yang kosong di dalam, bahkan diisi dengan apa pun, tetap saja kosong. Lalu banyak orang menjadi sedemikian rakus. Apa pun dimakan, apa pun dibeli, apa pun dilakukan. Maunya supaya yang kosong itu tidak lagi terasa kosong, tapi tetap saja ada yang kurang, kosong itu tak juga kunjung terisi. Semakin rakus, semakin kosong, semakin tidak damai sejahtera.

Banyak kesalahan terjadi karena orang tidak bisa berhenti. Tidak berhenti berkumpul dengan kelompoknya, seperti jemaat Korintus, tidak berhenti memuji kehebatan diri sebagai umat pilihan, seperti Israel, tidak berhenti menyalahkan orang lain, tidak berhenti berbicara, tidak berhenti makan, tidak berhenti berkhotbah, tidak berhenti menasihati, tidak henti dipuji karena perbuatan baiknya, tidak henti dihargai orang karena capaiannya, dan tidak berhenti yang lain.

Karenanya tidak jarang, semakin baik komunitas, termasuk gereja, semakin dia ingin menjadi bertambah baik dan baik. Lalu kadang ukuran baik itu perlahan-lahan bergeser, bukan lagi untuk Tuhan, tetapi untuk mendapatkan pujian dari yang lain, supaya terus disebut baik. Lalu semakin besar jemaat, semakin banyak yang tidak terpelihara. Semakin banyak dana, semakin kecil yang disisihkan bagi aksi solidaritas, karena kegiatan gereja harus semakin semarak. Pelan-pelan tanpa sadar, spiritualitas – relasi dengan Tuhan – digantikan oleh kegiatan-kegiatan yang tidak habis-habis. Dengan semakin banyaknya kegiatan, rasanya semakin ada yang kurang. Pelayanan digantikan aksi organisasi. Pastoral digantikan pelayanan yang menarik dan menyenangkan hati. Bahkan jemaat pun terbiasa – dibiasakan – untuk terus menjadi konsumen iman. Khotbah gak asik, enaknya buka HP. Lagu gak bagus, enaknya pindah gereja. Semakin konsumtif katanya semakin beriman. Dan gereja pun kemudian tidak berbeda dengan internet. Sebuah pasar malam yang riuh di luar, penuh perayaan, tetapi kosong di dalam. Yang biasanya rerasan tetap hobi rerasan, yang suka menyalahkan tetap bangga menyalahkan, yang suka abai tetap tak peduli, yang sombong tetap tinggi hati, yang biasa memimpin ingin terus di depan.

Rabu Abu adalah kesempatan untuk bertobat, bahkan bertobat untuk berbuat hal-hal yang tampaknya baik, tapi tidak membawa keutuhan dalam hidup. Semoga kita pun berkenan membuka hati untuk bertobat, kembali mengizinkan Tuhan memimpin hidup kita – bukan kita yang memimpin Tuhan. Kita butuh keriuhan, kita tidak mungkin menolaknya, kita hidup di dalamnya. Namun, pertobatan tidak sekadar tentang keriuhan, tetapi juga kesediaan untuk tenang, bercermin, menep (mengendap), dan kembali menemukan Tuhan di wajah kita, di wajah sesama, Tuhan dalam semua.

Penutup
Albert Nolan, seorang rohaniwan, menyatakan salah satu tanda zaman di abad ke-21 yang sedemikian canggih dan segala sesuatu tersedia ini adalah justru kehausan luar biasa akan spiritualitas. Sebanyak apa pun yang tersedia di sekitar kita, tanpa spiritualitas, nyatanya hidup tidak pernah sungguh-sungguh terasa utuh. Maka, jika Anda merasakan kehausan akan spiritualitas, haus akan hidup yang sungguh utuh, datanglah kepada sumbernya. Datanglah kepada Tuhan, kepada dia yang berada di tempat tersembunyi, dalam jeda dan keheningan. Amin. [gide].

 

Pujian:

  • PKJ. 172 Di Heningnya Malam Ini
  • KK. 12 Kusembah Dikau, Tuhan 

Rancangan Khotbah: Basa Jawi

Pambuka
Punapa ingkang boten kita panggihi wonten ing internet? Sedayanipun kacawisaken. Wiwit kabetahan blanja, keremanipun manah, pasinaon, komunikasi, grup lan komunitas, ngantos kathah sanget tiyang ingkang gesang saking internet. Wiwit prekawis ingkang sae ngantos awon sanget, saged kita panggihi wonten ing internet. Kados pasar malem ingkang boten wonten pungkasanipun, internet mawujud dados prekawis ingkang boten nate lerem, boten wonten kèndelipun. Kita saged pindah saking setunggal bab dhumateng sanesipun. Wonten kemawon ingkang saged dipun raosaken.

Nanging, mbok bilih boten sedaya prekawis saged kita temahi ing internet. Wonten ingkang boten kita panggihi ing ngriku, inggih punika wekdal ening lan menep. Kita mbetahaken wekdal ening supados kita saged ngraosaken malih punapa ingkang kita alami. Kita mbetahaken menep, supados kita saged ningali gesang kanthi sawetah, ing ngriku kita pepanggihan kaliyan kayekten. Kaliyan Gusti. Lan Rabu Abu punika wekdal kangge kita ngraosaken ening lan menep.

Isi
Ingkang dados kaprihatosan kita samangke, ing jaman ingkang tan saya rame punika malah kathah tiyang ingkang rumaos piyambakan, boten kagungan rencang. Jagad tansaya mawarni-warni wujudipun, nanging kita nemahi tiyang ingkang ewet nampi prekawis ingkang benten kaliyan piyambakipun. Ing satengahipun aktivitas ingkang boten wonten pungkasanipun, lan ketingalipun estu ngremenaken, malah kathah tiyang ingkang rumaos lungkrah, sayah, lan ngrumaosaken wonten kemawon ingkang kirang wonten gesangipun.

Sedayanipun kados-kados kacawisaken, nanging tansah wonten kemawon ingkang raosipun kirang. Tansaya kathah anggen kita nyecep, nanging tansah kita rumaos ngelak. Wonten ingkang kosong, suwung, ing lebet manah kita. Sanes suwung ingkang nentremaken, nanging suwung ingkang ndadosaken kita boten ayem. Biasanipun menawi sampun mekaten, tiyang lajeng pados kegiatan-kegiatan, supados ingkang suwung punika sageda kaisi, nanging ingkang suwung tetep kemawon suwung. Tansaya kathah ingkang dipun isiaken, tansaya kopong, awit sedaya ingkang dipun isiaken boten mbekta tentrem rahayu. Tansaya mboten saged kèndel, tan saya kraos anggenipun mboten saged tentrem.

Kathah kalepataning manungsa punika dipun wiwiti awit piyambakipun boten saged kèndel. Boten saged kendel makempal kaliyan kelompokipun piyambak – kados pasamuwan in Korinta, boten saged kèndel muji dhirinipun piyambak – kados tiyang Israel ingkang nyebut dhirinipun bangsa kang pinilih, boten saged kèndel nyacad tiyang sanes, boten saged kèndel nyambut damel, boten saged kèndel anggenipun ngendikan, boten saged kèndel anggenipun dhahar, boten saged kèndel anggenipun ngotbahi tiyang sanes, boten kèndel dipun puji dening tiyang sanes awit kasaenanipun, lan boten saged kèndel ingkang sanes-sanesipun.

Awit punika kathah kelompok, kalebet Greja, ingkang sae lajeng boten kepingin kèndel anggenipun dados sae. Lan kadhang ukuran saenipun lajeng geser, boten malih kagem Gusti, nanging supados dipun pirsani dening tiyang sanes grejanipun sae. Lajeng tansaya ageng pasamuwan, tansaya kathah ingkang boten karumat. Tansaya kathah dananipun, tansaya sekedhik ingkang dipun cawisaken kangge sedherek ingkang mbetahaken, awit wonten kemawon kabetahanipun Greja. Tansaya kathah kegiatan Greja, tansaya wonten ingkang rumaos kirang.

Pastoral ing Greja dipun gantosaken kaliyan urusan birokrasi lan organisasi. Peladosan dipun gantosaken dening semangat kados pundi ngremenaken warganing pasamuwan lan supados Greja tansaya semarak. Warganipun pasamuwan kadhang boten sadhar lajeng dados konsumen-konsumen iman. Bilih khotbah boten sekeca, dipun tinggal HPan; bilih musikipun boten sekeca pindhah Greja; peladosan boten cocok kaliyan manahipun pados ingkang sanes. Pungkasanipun Greja boten benten kaliyan internet, rame nanging mboten nentremaken. Ingkang remen reraosan tetap remen reraosan. Ingkang biasanipun boten ngreken panggah kemawon boten ngreken sesaminipun. Ingkang sombong tetep sombong. Ingkang remen nyacad tetep remen nyacad. Ingkang biasanipun wonten ngajeng boten purun lereh.

Rabu Abu punika wekdal kangge kita mratobat, lumebet mratobat saking prekawis ingkang ketingalipun sae, nanging boten ndadosaken tentrem rahayu. Mugi kita purun mbikak manah kita kangge pamratobat supados Gusti Allah ingkang mimpin gesang kita malih, sanes kita ingkang malah ndhikte Gusti Allah. Inggih, kita mbetahaken rame-rame, kita boten saged selak, kita taksih gesang wonten ing karamenan. Nanging, pamratobat punika boten namung prekawis rame-rame, nanging ugi ening lang menep. Ngupados pasuryanipun Gusti wonten ing tengah gesang kita, sesami, lan sedaya ingkang tumitah.

Panutup
Wonten salah satunggaling tokoh rohani, naminipun Albert Nolah. Piyambakipun ngendikan bilih abad ke-21 punika nggadhahi tandha-tandha ingkang benten kaliyan saderengipun, salah satunggalipun para tiyang ingkang tansaya ngelak ing babagan spiritualitas. Sanajan kita nggadhahi sedaya prekawis, nanging tanpa spiritualitas, gesang kita mboten badhe saged tentrem rayahu. Menawi kita ngraosaken bab ingkang kados mekaten samangke, mangga sowan dhumateng sumbering tentrem rahayu, inggih punika boten sanes Gusti Allah piyambak. Amin. [gide].

 

Pamuji: KPJ. 70 Amung Godhong

Renungan Harian

Renungan Harian Anak