Pelayanan diakonia dan panggilan kemanusiaan menjadi inti dari keberadaan gereja di tengah dunia, terutama dalam konteks penanggulangan bencana. Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) secara konsisten mengaktualisasikan imannya melalui langkah-langkah strategis untuk membangun ketangguhan komunitas menghadapi berbagai risiko bencana. Keterlibatan ini tidak hanya terbatas pada respon pasca-bencana, tetapi juga berfokus pada upaya mitigasi, kesiapsiagaan, serta penguatan teologi dan praktik yang pro-kehidupan dan pro-alam.
Komitmen GKJW dalam isu kebencanaan diwujudkan melalui partisipasi aktif dalam berbagai forum, baik di tingkat nasional, ekumenis, maupun internasional. Upaya kolaboratif ini sejalan dengan Teologi Ngrembaka yang menjadi fondasi spiritual GKJW, mendorong pertumbuhan, kemandirian, dan solidaritas dalam kasih. Dengan menjalin kemitraan dan memperkuat kapasitas internal serta jejaring lokal, GKJW bertekad untuk menghadirkan Gereja Tangguh Bencana (GTB) yang mampu menjadi agen keselamatan dan kesejahteraan bagi seluruh ciptaan, selaras dengan semangat kesatuan dalam Tubuh Kristus.
1. Keterlibatan GKJW dalam Peringatan Bulan PRB dan Pengukuhan Forum Pelokalan Indonesia “LokaNusa”
Komitmen pelayanan kemanusiaan GKJW ditegaskan melalui utusannya, Pdt. Krisna Yoga Pradipta, dalam Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Mojokerto pada 1–3 Oktober 2025. Acara ini menjadi ajang penting bagi gerakan kemanusiaan dan kolaborasi lintas sektor.
Utusan GKJW berpartisipasi aktif, khususnya dalam sesi sharing session. Hari pertama membahas “Aksi Merespon Peringatan Dini”, yang sejalan dengan semangat GKJW untuk mendorong partisipasi jemaat dalam membangun budaya kesiapsiagaan berbasis komunitas iman. Hari kedua mengangkat tema sentral “Gereja Tangguh Bencana Berbasis Komunitas Iman dan Rumah Ibadah Tangguh Bencana (RITB)”. Tema ini sangat relevan dengan arah pengembangan Gereja Tangguh Bencana (GTB) di GKJW. Program RITB, sebagai tindak lanjut kebijakan nasional, bertujuan memperkuat peran rumah ibadah dalam mitigasi dan respon bencana. Melalui sesi ini, GKJW memperoleh penguatan teologis dan praktis untuk memperkaya dan menyempurnakan Buku Panduan GTB GKJW agar lebih kontekstual dan aplikatif.
Keterlibatan ini merupakan perwujudan nyata dari Teologi Ngrembaka, yang menekankan pertumbuhan, kemandirian, dan kebersamaan dalam kasih. Teologi ini menjadi fondasi spiritual bagi GKJW dalam mengembangkan tata kelola risiko GTB berbasis komunitas dan selaras dengan nilai-nilai iman.
Di sela kegiatan utama BNPB, GKJW juga berpartisipasi dalam Konsolidasi Nasional LHP-PHP ToGETHER 2.0 sebagai Peer Humanitarian Partner (PHP) dari Yayasan Sheep Indonesia (YSI). Pertemuan ini menjadi sarana penting bagi para pelaku kemanusiaan lokal untuk berbagi pengalaman, memperkuat sinergi, dan memperkokoh posisi strategis mereka.
Puncak dari ToGETHER 2.0 adalah Kongres Pelokalan Indonesia ke-I, yang melahirkan Forum Pelokalan Indonesia “LokaNusa”. Forum kolektif ini bertujuan memperkuat kapasitas dan jejaring organisasi kemanusiaan lokal, serta mendorong praktik pelokalan dalam kebijakan dan implementasi kemanusiaan di Indonesia.
Dengan bergabungnya GKJW di bawah payung LokaNusa, gereja menegaskan komitmennya untuk terus berperan aktif dalam jejaring kemanusiaan nasional. Kolaborasi ini diharapkan dapat memperkaya perspektif GKJW, memperluas jangkauan pelayanan, serta memperkuat Sistem Tanggul Bencana GKJW di Majelis Agung (TB-MA), Majelis Daerah (TB-MD), dan Majelis Jemaat (TB-Jemaat). Langkah strategis ini mengaktualisasikan mandat GKJW sebagai gereja yang ngrembaka—tumbuh dalam iman, melayani dalam kasih, dan tangguh menghadapi tantangan zaman.
2. Solidaritas Membangun Ketangguhan: Merumuskan Protokol Bersama Berbasis Diakonia Ekumenis
Melanjutkan komitmennya, Greja Kristen Jawi Wetan melalui utusannya, Pdt. Nicky Widyaningrum, turut serta dalam kegiatan penyusunan Joint Protocol Ketangguhan berbasis Diakonia Ekumenis. Acara ini diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) bersama Protestantse Kerk in Nedherland (PKN) pada tanggal 8-10 Oktober 2025 di STT Lewa, Sumba, beberapa hari setelah peringatan Bulan PRB.
Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan dari 20 sinode gereja anggota PGI, yang secara historis memiliki pengalaman kemitraan dengan gereja-gereja Belanda yang tergabung dalam PKN. Ibadah pembukaan menekankan pentingnya mewujudkan kepedulian terhadap bumi.
Di hari pertama, diskusi berfokus pada peran perspektif teologi Protestan yang memengaruhi pengelolaan bumi. Pdt. Hendri Lokra mendorong gereja untuk memperbarui cara pandang pro-alam dan mengembangkan teologi bencana menjadi teologi ketangguhan, yang menekankan tindakan preventif sebelum bencana. Secara teologis, Pdt. Shuresj Tomaluweng menawarkan teologi Salib dan Inkarnasi sebagai jalan membangun ketangguhan. Bersama Pdt. Lenta Enni Simbolon, peserta juga mendalami isu Ecumenical Diakonia terkait ketangguhan menghadapi bencana dan perubahan iklim, merujuk pada dokumen gerejawi WCC dan PGI. Data BNPB mengenai 2.170 bencana di tahun 2025 menjadi latar belakang penting bahwa krisis tidak mungkin dihadapi seorang diri.
Hari kedua diisi dengan berbagi pengalaman dan tantangan dalam membangun ketangguhan antar gereja. Sebuah simulasi digelar untuk menggali orkestrasi, komunikasi, dan koordinasi yang biasa dilakukan gereja dalam merespons bencana, dengan catatan setiap sinode telah memiliki mekanisme manajemen bencana. Dinamika diskusi kelompok ini selanjutnya dirumuskan menjadi bahan penyusunan Joint Protocol. Di masa mendatang, gereja diharapkan tidak lagi sendiri, tetapi mampu meminimalisir dampak bencana melalui semangat kesatuan dalam Tubuh Kristus dan solidaritas.
Kegiatan ini diakhiri di hari ketiga dengan penandatanganan protokol sebagai simbol keterlibatan dan komitmen gereja anggota PGI dan PKN untuk memulai langkah bersama membangun ketangguhan merespons bencana. Sebagaimana kuda yang melambangkan Sumba—sebuah kegagahan dan kekuatan sosial yang hidup dalam kawanan—ketangguhan dalam menghadapi bencana harus dibangun bersama mitra dan kawan dalam semangat kemanusiaan.
Melalui dua langkah strategis ini—mulai dari penguatan jejaring lokal di tingkat nasional melalui LokaNusa hingga perumusan protokol ekumenis di tingkat internasional bersama PGI dan PKN—GKJW menegaskan kembali posisinya sebagai gereja yang bertumbuh (ngrembaka) dan peduli pada keselamatan seluruh ciptaan. Keterlibatan aktif utusan GKJW, baik Pdt. Krisna Yoga Pradipta maupun Pdt. Nicky Widyaningrum, mencerminkan implementasi nyata dari teologi yang tidak lagi hanya berorientasi ke dalam, melainkan teologi yang membumi, tanggap terhadap krisis alam, dan berkomitmen pada aksi kemanusiaan. Dengan bekal pengetahuan dan kolaborasi dari forum-forum ini, GKJW akan terus menyempurnakan Sistem Tanggul Bencana di semua aras pelayanannya, memastikan bahwa gereja hadir sebagai agen ketangguhan yang solid, inklusif, dan siap menghadapi tantangan zaman demi terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungan hidup.