“Jadi tujuan dari acara ini memang sebenarnya adalah ketika kita sudah membedah acara ini, kita nantinya akan membuat satu buku sejarah khusus Bongsorejo, termasuk adalah memperbarui pemahaman kita. Selama ini yang kita pahami adalah 126 ini adalah usia gedung gereja. Sekarang kita memahami dengan hal yang baru. Sing ulang tahun itu bukan gedungenggih, tetapi adalah manusianya. Berarti kalau dimulai tahun 1870, tahun 2024 ini sekarang usia kita bukan lagi 126 tahun tapi 154. Berarti tahun depan langsung 155 tahun.”
Demikian pernyataan penutup dan kesimpulan yang disampaikan oleh Tri Kridaningsih, pendeta Jemaat GKJW Bongsorejo dalam acara Ngobras (Ngobrol Sejarah). Bertema Nresnani, Nduweni, Ngopeni Bongsorejoku, kegiatan yang berlangsung pada Minggu malam (7/7/2024 ) di pendopo seberang gereja ini menghadirkan 5 narasumber.
Mereka adalah Widianto, warga yang juga menulis buku 100 tahun GKJW Bongsorejo. Hadiyanto dan Wiryo Widianto, pemerhati sejarah gereja (GKJW) dan penulis buku. Serta Seken, kepala desa Bongsorejo dan Tri Kridaningsih, pendeta jemaat.
Menurut Widianto, yang diulangtahuni memang gedung gereja permanen. Padahal pada tahun 1873 sudah ada gereja pertama, yang bangunannya separo tembok. Pindah ke selatan seperti yang ada sekarang. “Mungkin lokasinya lebih besar”.
Ditambahkan oleh Wiryo, pada tahun 1873 itu desa babatan (babat alas) disebut Bongsorejo. Bongso artinya rakyat, masyarakat. Rejo artinya makmur. Oleh zendeling Johanes Kruyt bahkan dia dijuluki sebagai Putri Tercantik.
Klaas Waridin bersama rombongan 35 orang dari Mojoroto (Mojowarno), yang datang ke hutan Godek ini, tentunya kalau berdoa dengan cara Kristen. Itu terjadi pada tanggal 22 Nopember tahun 1870.
“Menurut saya ini bisa dijadikan tanggal kelahiran Jemaat Bongsorejo. Sedangkan untuk peringatan peresmian gedung gereja, bisa mempergunakan tanggal 6 Juni.”
Hal ini mengutip keterangan yang didapatkan dari Mededeelingen (media zending) tahun 1882. Di sana dituliskan bahwa peresmian bangunan gereja sekaligus pentahbisan Voorganger (pamulang) Bongsorejo pertama, Joram Lestari oleh Johannes Kruijt dilakukan pada tanggal 6 Juni 1881”
Melengkapi data sejarah jemaat, menurut Hadiyanto, tahun 1888, tercatat ada 243 jiwa yang warganya Kristen semua. “Ada yang unik di Bongsorejo ini, yaitu adanya perjanjian yang disebut Ambabaddi Bongsorejo.”
Ada 4 butir perjanjian. Di antaranya membagi secara adil 105 bauw luasan hasil reklamasi (babat alas) kepada 35 orang tadi. Kecuali bagi 7 orang yang punya jabatan khusus, seperti perangkat desa dan pendeta.
Selain itu, jika ada pelanggaran norma seperti mencuri, mabuk, dan lain-lain, tanahnya akan disita dan diberikan kepada kerabat yang bisa mengurusnya. Jika dalam satu tahun itu mengulangi lagi perbuatannya, tanah akan diambil seluruhnya (disita).
Terhadap “perjanjian” itu, Seken menguraikan kenyataan yang ada sekarang. Tanah sawah hanya tinggal 20 persen yang dimiliki warga Bongsorejo. Sedangkan untuk pekarangan yang seluas 40 ha, yang 5 ha dimiliki oleh orang luar Bongsorejo. “Mengapa demikian, karena kalau dibeli sendiri harganya murah. Makanya banyak dijual ke orang luar.”
Kegiatan dalam rangkaian HUT yang juga disiarkan live streaming via YouTube ini, dihadiri oleh sekitar 150 warga. Mulai dari adiyuswa hingga anak-anak turut hadir. Tampak antusias mengikuti hingga usai acara. Sebagai hiburan, Ngobras diawali dengan pantomin dan tembang Jawa. Serta diselingi dengan hiburan karaoke dan doorprize untuk yang bisa menjawab pertanyaan.
Video Ngobras dapat diikuti dibawah ini
Berita & Foto : Hendra Setiawan
Video : Multimedia GKJW Jemaat Bongsorejo