Bulan Alkitab
Stola Putih
Bacaan 1 : Yeremia 15:15-21
Bacaan 2 : Roma 12:9-21
Bacaan 3 : Matius 16:21-28
Tema Liturgis : Firman Allah Mendasari Sikap dan Tindakan Umat
Tema Khotbah : Sikap menyangkal diri
Keterangan Bacaan
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Yeremia 15:15-21
Penyebutan seorang ibu yang gagal melahirkan tujuh kali dalam ps. 15: 9 memaksa Yeremia memikirkan ibunya sendiri dan situasinya seperti “seorang yang menjadi buah perbantahan dan buah percederaan bagi seluruh negeri” (ay. 10). Hampir dengan putus asa ia berbantah dengan Allah untuk membalaskan dendam kepada para penganiayanya. Mengingatkan Allah bagaimana Yeremia menjadi pengantara musuh-musuhnya (ay. 11, 15). Bagaimana ia senang dengan firman Allah (ay. 16), dan bagaimana ia menyebabkan menderita kesepian yang tak tertahankan (ay. 17). Yeremia menutup dengan mempersalahkan Allah karena mengkhianati dan meninggalkan dia seperti “sungai yang curang, air yang tidak dapat dipercaya” (ay. 18). Jawaban Allah adalah kemurahan dan tuduhan Yeremia sendiri perlu bertobat (kembali kepada Allah) dan memperhatikan benar jawabannya sendiri kepada Allah (ay. 19a). Jika Yeremia melakukan itu, ia akan menjadi “penyambung lidah” dari Allah dan Allaqh akan bersamanya melawan para penganiaya itu (ay. 19b-21).
Roma 12:9-21
Ayat-ayat ini merupakan kumpulan kata-kata mutiara yang berakar pada pengertian kasih tanpa pamrih. Ayat 10b mengidentikkan kehormatan dan rasa malu (“hendaknya saling mendahului dalam memberi hormat”). Kehormatan harus diberikan. Rasa malu adalah sikap peka terhadap kehormatan seseorang, perhatian terhadap apa yang dipikirkan, dikatakan dan dilakukan orang lain. Nasehat Paulus itu mengarah pada kehidupan yang terhormat. Di atas semua itu “layanilah Tuhan”, berbuatlah hal-hal yang terhormat: bergembira dalam pengharapan, sabar, tekun dalam doa. Juga dengan membantu orang-orang yang menderita: janda, anak yatim piatu, para tawanan dan yang kekurangan.
Juga dinasehatkan jangan mengutuk para penganiaya, jangan mengecilkan atau menyerang kehormatan orang lain, bahkan yang menganiaya sekalipun. Allah akan mengusahakan keseimbangan dalam kehormatan dan rasa malu. “Menumpukkan bara api di atas kepalanya” rupanya diambil dari cara penghukuman di Mesir, dimana pesakitan meletakkan di atas kepalanya sebuah piring berisi bara api untuk mengungkapkan penyesalan. Pembalasan dengan tindakan “terhormat” terhadap tindakan lawan yang “mempermalukan” merupakan tindakan yang dapat mempengaruhi lawan untuk bertobat. Dengan kata lain, janganlah membalas perbuatan yang mempermalukan, melainkan balaslah kejahatan yang mempermalukan dengan jawaban yang terhormat.
Matius 16:21-28
Nubuat pertama tentang kesengsaraan menghilangkan setiap keraguan mengenai Mesias macam apakah Yesus itu. Yesus mengungkapkan dengan terus terang masa depan duniawiNya akan mencakup penderitaan dan kematian sesuai dengan rencana BapaNya (“Ia harus pergi ke Yerusalem”). Sekalipun mengakui bahwa Yesus adalah Mesias, namun Petrus membuang kemungkinan bahwa kemesiasan Yesus itu dapat mencakup penderitaan. Sikap Petrus yang demikian menyebabkan dia dihardik dengan keras. Keberatannya terhadap kemungkinan penderitaan Mesias dianggap datang dari Iblis, menjadi batu sandungan pada jalan Yesus, dan semata-mata pikiran manusia.
Ucapan-ucapan mengenai pengorbanan dan upah menjadi murid mengikuti nubuat pertama tentang kesengsaraan. Ucapan mengenai memikul salib menghubungkan nasib para murid dengan nasib Yesus sendiri. Dengan demikian mereka diberitahu bahwa menjadi murid mencakup pengambilan bagian dalam salib. Ucapan-ucapan pada ayat 25-26 berkisar sekitar tema hidup dan mengisyaratkan bahwa hanya dengan menyangkal diri dan dengan membiarkan Allah memimpin kitalah yang memungkinkan kita dapat menemukan kebebasan dan kebahagiaan. Pada ayat 27, kepercayaan khas Yahudi dalam memberi ganjaran dan hukuman, seperti ditentukan oleh kedatangan Kerajaan Allah dalam penghakiman diberi interpretasi kekristenan: yaitu bahwa Yesus Anak Manusia akan diberi kekuasaan. Ayat 28 menunjuk pada kedatangan segera kerajaan, kematian dan kebangkitan, dan Pentakosta.
BENANG MERAH TIGA BACAAN
Penderitaan menjadi tema hidup dalam melakukan karya Allah. Itulah yang harus dialami oleh Tuhan Yesus, para pengikutNya dan nabi Yeremia. Ditunjukkan dalam bacaan 2 bagaimana sikap yang seharusnya dalam menanggung penderitaan.
RANCANGAN KHOTBAH: Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan…bisa dikembangkan sendiri sesuai konteks jemaat)
Pendahuluan
Setiap kepala negara, Presiden atau Perdana Menteri atau Raja atau Kaisar, selalu dijaga oleh pasukan khusus, yang di negara kita disebut PASPAMPRES (Pasukan Pengamanan Presiden). Kemanapun dia pergi mesthi selalu dikawal dan dilindungi oleh pasukan itu. Pengamanan ini harus diterima oleh kepala negara, walaupun nampaknya ada yang malah merasa tidak nyaman, tidak bebas, apalagi yang suka blusukan dan ingin dekat dengan rakyat, seperti Presiden Joko Widodo. (Ternyata menjadi presiden itu tidak bebas dan tidak nyaman. Karena itu, saya tidak mau jadi presiden…)
Keselamatan dan keamanan pemimpin negara harus dijaga sangat ketat. Sebab, keselamatan dan keamanannya mencerminkan dan bahkan menjadi jaminan keselamatan dan keamanan bangsa yang dipimpinnya. Jika keselamatan dan kemanannya terancam, berarti keselamatan dan keamanan bangsa juga terancam. Selain itu, keselamatan, keamanan dan kenyamanan adalah hak dan kehormatan pemimpin negara atas jabatannya yang sangat tinggi. Pemimpin negara tidak boleh menderita. Dengan begitu, dia dapat melaksanakan kepemimpinan dengan leluasa.
Isi
Rupanya begitulah juga yang menjadi pikiran Petrus tentang Tuhan Yesus sebagai Mesias, sebagai Raja yang diurapi Allah. Bagi Petrus, Mesias itu tidak boleh menderita. Dia menginginkan keamanan, keselamatan dan kenyamanan Tuhan Yesus terjamin. Rupanya Petrus dan semua murid yang lain -sebagai pengikut Meisas- juga menginginkan keamanan, keselamatan dan kenyamanan hidup dari keselamatan dan keamanan Tuhan dan Guru mereka. Mereka tidak menghendaki adanya penderitaan dan kesulitan dalam persekutuannya dengan Tuhan Yesus. Rupanya keinginan pribadi mereka yang seperti itu yang menjadi latar belakang kata-kata Tuhan Yesus dalam Mat. 16:24 “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku”. Pikiran mereka itu bisa dikatakan wajar, karena sudah lama mereka dan bangsanya hidup menderita dalam jajahan bangsa Romawi. Penderitaan itu begitu menyengsarakan, menghapus kedamaian dan melenyapkan kebahagiaan.
Pikiran Petrus tentang Mesias seperti itu -dan juga pikiran semua murid tentang diri mereka itu- oleh Tuhan Yesus dianggap sebagai pikiran manusia semata yang bukan dan berbeda dengan pikiran Allah, bahkan dianggap sebagai pikiran yang datang dari Iblis. Karenanya Tuhan Yesus menghardik Petrus dengan keras “Enyahlah Iblis!” Pikiran itu menjadi batu sandungan di jalan Tuhan Yesus dalam melaksanakan misi Allah di dunia. Pikiran yang nyandhungi atau mengganggu pelaksanaan misi penyelamatan Allah itu harus disingkirkan. Mesias, dalam melaksanakan misi penyelamatan Allah, itu harus menderita sengsara dan dibunuh, tetapi segera bangkit hidup kembali. Itu harus dialamiNya, sekalipun Mesias itu dipilih dan diurapi oleh Allah sendiri. Itulah pikiran Allah.
Penderitaan juga harus dialami oleh nabi Yeremia dalam melaksanakan misi Allah kepada umat Israel pada zamannya. Nabi Yeremia pun merasakan penderitaan itu begitu menyengsarakan. Penderitaan yang dialaminya itu rasanya seperti penghukuman Allah sendiri. Penderitaannya dirasa begitu parah dan tak berkesudahan. Rasanya dia tidak tahan dengan penderitaan yang dialaminya.
Penderitaan juga harus sanggup dialami oleh setiap orang yang mau mengikut Tuhan Yesus Sang Mesias. Sebagaimana Tuhan Yesus siap menanggungnya, para pengikutNya juga harus sanggup memikul penderitaan sebagai salib. Itu berarti Tuhan Yesus tidak menghendaki para pengikutNya menginginkan keselamatan, keamanan dan kenyamanan hidup. Keselamatan, keamanan dan kenyamanan hidup itu pasti akan diberikan oleh Tuhan kepada para pengikutNya yang mau menyangkal diri. Itu semua pasti akan diberikan tanpa perlu diinginkan, tanpa perlu diminta-minta, cukup diyakini saja.
Penderitaan itu bukanlah takdir/ ketentuan atau kepastian bagi orang Kristen. Itu juga bukan keniscayaan ataupun tujuan. Penderitaan itu adalah kesanggupan orang percaya. Untuk mampu menanggung penderitaan atau memikul salib, sikap yang harus dimiliki adalah menyangkal diri. Sikap menyangkal diri adalah sikap membuang keinginan, keinginan untuk selalu nyaman dan aman dalam mengikut Kristus. Jangan kegi atau tergoda jika ada orang yang kelihatan kristen sekali yang mengaku beriman teguh dan rajin berdoa, lantas karena itu mengatakan bahwa hidupnya selalu aman dan nyaman.
Orang yang mampu menyangkal diri tidak akan kuatir sekalipun keselamatan, keamanan dan kenyamanan hidupnya terancam. Orang yang mampu menyangkal diri bahkan akan mampu memberkati atau mendoakan orang yang mengancam atau menganiaya dirinya, mampu memberi makan dan minum kepada orang yang memusuhi dirinya. Dia akan mampu membalas kejahatan terhadap dirinya dengan kebaikan. Dia akan mampu bersukacita dalam pengharapan dan sabar dalam kesesakan.
Menyangkal diri tidak hanya dibutuhkan ketika hidup sedang dalam penderitaan. Dalam segala keadaan, sikap menyangkal diri tetap dibutuhkan. Sikap ini akan memampukan kita mengambil tindakan yang sebaiknya dan seharusnya kita lakukan. Dengan menyangkal diri kita akan dapat mengasihi dan berbuat baik kepada semua orang dengan tulus tanpa pamrih apapun, kasih kita tidak pura-pura, tetapi nyata dan murni. Dengan menyangkal diri kita akan mampu menjauhi segala jenis kejahatan, bisa menghormati semua orang -yang rendah dan lemah sekalipun-, selalu semangat melayani Tuhan. Dengan menyangkal diri kita akan mampu menerima penolakan terhadap kemauan kita sendiri dan menerima kemauan orang lain, sehingga kita bisa bersatu dan kompak dengan semua orang. Dengan mampu menyangkal diri kita akan bisa menjadi berkat bagi semua ciptaan Tuhan.
Penutup
Sikap menyangkal diri bukanlah perkara yang mudah untuk diwujudkan, namun juga bukan perkara yang mustahil untuk diwujudkan. Untuk bisa menyangkal diri, kita harus selalu mengingat bahwa menyangkal diri itu adalah sabda Tuhan Yesus sendiri dan itu menjadi syarat untuk mengikut Dia. Untuk itu, kita perlu terus mengingatnya, melatih diri, berusaha dan membiasakan diri serta memohon kekuatan Roh Kudus. Kiranya Tuhan menolong kita. Amin. [st]
Nyanyian: KJ 372:1,2./ 376:2,3.
—
RANCANGAN KHOTBAH: Basa Jawi
Pambuka
Saben pimpinaning negari, menapa menika Presiden utawi Perdana Mentri utawi Ratu utawi Kaisar, mesthi tansah dipun reksa dening prajurit mirunggan, ingkang ing negari kita dipun sebut PASPAMPRES (Pasukan Pengamanan Presiden). Dhateng pundia panjenenganipun tindak mesthi tansah dipun reksa dening prajurit menika. Pangreksa menika kedah dipun tampi dening pimpinaning negari, nadyan ketingalipun wonten pimpinaning negari ingkang malah rumaos boten sekeca, boten merdika (bebas), menapa malih ingkang remen blusukan lan cecaketan kaliyan rakyat, kados Presiden Joko Widodo. (Jebul dados presiden menika boten sekeca lan boten bebas. Pramila kula boten purun dados presiden…)
Keamanan lan kawilujenganipun pimpinaning negari kedah dipun reksa kanthi temen-temen. Awit keamanan lan kawilujenganipun mratandhani lan malah dados jaminan keamanan lan kawilujenganing bangsa ingkang kapimpin. Menawi keamanan lan kawilujenganipun wonten salebeting bebaya (terancam), ateges keamanan lan kawilujenganing bangsanipun ugi saweg wonten ing bebaya. Kejawi saking menika, keamanan, kawilujengan lan katentremanipun ugi dados hak lan pakurmatan tumrap pimpinaning negari atas kalenggahanipun ingkang inggil sanget. Pimpinaning negari boten pareng ngalami kasangsaran. Kanthi mekaten, pimpinaning negari saged nindakaken ayahan lan jejibahanipun kanthi sae.
Isi
Rupinipun inggih mekaten ingkang dados penggalihipun Petrus tumrap Gusti Yesus minangka Sang Mesih, minangka Ratu ingkang jinebadan dening Allah. Menggahing Petrus, Sang Mesih menika boten pareng ngalami kasangsaran. Piyambakipun ngersakaken bilih keamanan, kasugengan lan katetremanipun Gusti Yesus menika pinesthi. Rupinipun Petrus lan sedaya muridipun -minangka pendherekipun Sang Mesih- ugi ngersakaken keamanan, kawilujengan lan katentremaning gesangipun saking keamanan lan kawilujenganipun Gusti lan Gurunipun. Para murid nalika samanten kepengin boten ngalami kasangsaran lan pakewet ing patunggilanipun kaliyan Gusti Yesus. Pepinginan pribadinipun para murid ingkang mekaten menika rupinipun dados jalaran Gusti Yesus dhawuh ing Matius 16:24: “Saben wong kang arep ndhèrèk Aku, kuwi kudu nyingkur awaké dhéwé, manggul salibé lan ngetutaké Aku.” Sacara kamanungsan, penggalihipun para murid menika limrah, amargi sampun dangu tiyang-tiyang menika dan bangsanipun gesang sangsara dipun jajah dening bangsa Rum. Kasangsaran menika karaos nyiksa sanget, ngrisak katentreman lan nyirnakaken kabingahan.
Pamanggihipun Petrus bab Sang Mesih ingkang kados makaten menika -lan ugi pepinginanipun sedaya murid kagem dhiri pribadinipun menika- dipun anggep dening Gusti Yesus minangka pikiranipun manungsa ingkang sanes lan benten kaliyan penggalihipun Gusti Allah, malah kaanggep minangka pemanggih ingkang tuwuh saking Iblis. Pramila Gusti Yesus nggetak Petrus kanthi sora: “Sumingkira, Iblis!” Pikiran menika nyandhungi tindakipun Gusti Yesus netepi pakaryanipun Allah ing donya. Pikiran ingkang nyandhungi lan ngreridhu pakaryan karahayonipun Gusti Allah menika kedah dipun singkiraken. Sang Mesih -anggenipun nindakaken pakaryan karahayonipun Gusti Allah- menika kedah ngalami sangsara lan dipun sedani, nanging tumunten wungu gesang malih. Menika kedah dipun alami dening Gusti Yesus, nadyan Panjenenganipun menika Sang Mesih ingkang dipun piji lan dipun jebadi dening Allah pribadi. Makaten menika menggah penggalihanipun Allah.
Kasangsaran ugi kedah dipun alami dening Nabi Yeremia ing salebeting anggenipun nindakaken pakaryanipun Allah dhateng umat Israel. Nabi Yeremia ugi ngraosaken bilih kasangsaran menika saestu nyiksa gesangipun. Kasangsaranipun menika raosipun kados paukuman saking Gusti Allah pribadi. Kasangsaranipun kraos ageng sanget lan kados boten wonten telasipun. Panjenenganipun rumaos semplah awit saking kasangsaran ingkang dipun alami menika.
Kasangsaran ugi kedah sagah dipun alami dening saben tiyang ingkang nedya ndherek Gusti Yesus Sang Mesih. Kados dene anggenipun Gusti Yesus cumadhang nanggel kasangsaran, para pendherekipun ugi kedah sagah ngalami kasangsaran minangka salib ingkang kedah dipun panggul. Menika ateges Gusti Yesus boten ngersakaken para pendherekipun namung kepengin slamet, aman lan nyaman (sekeca). Keamanan, kawilujengan lan sekecaning gesang menika mesthi badhe dipun paringaken dening Gusti dhateng para pendherekipun ingkang purun “nyingkur awake dhewe”. Menika sedaya mesthi badhe dipun paringaken tanpa perlu dipun suwun, diinginkan, cekap dipun yakini kemawon.
Kasangsaran menika sanes takdir utawi pepesthen tumraping tiyang Kristen. Kasangsaran ugi sanes tujuan. Kasangsaran menika kasagahanipun tiyang pitados. Supados kwagang/ saged nanggel kasangsaran utawi manggul salib, sikep ingkang kedah dipun gadhahi nggih menika “nyingkur awake dhewe”. “Nyingkur awake dhewe” menika sikep lan patrap mbucal pepinginan, pepinginan tansah nyaman lan aman ing salebeting ndherek Sang Kristus. Sampun kegi menawi wonten tiyang ingkang ketingalipun kristen sanget lan ngaken pitados teguh sarta sregep ndedonga, karana menika lajeng ngucap bilih gesangipun tansah aman lan nyaman.
Tiyang ingkang saged “nyingkur awake dhewe” boten badhe sumelang (kuatir) nadyan keamanan, kawilujengan lan katentremaning gesangipun terancam. Tiyang ingkang saged “nyingkur awake dhewe” malah badhe saged mberkahi utawi ndongakaken tiyang ingkang ngancam utawi nganiaya dhirinipun, saged maringi tedha lan ngombe dhateng tiyang ingkang sengit dhateng piyambakipun. Tiyang mekaten menika badhe saged males piawon klayan kasaenan. Piyambakipun badhe saged bebingah ing salebeting pangajeng-ajeng lan sabar ing salebeting panindhes.
“Nyingkur awake dhewe” menika dipun betahaken boten namung ing salebeting kasangsaran. Ing sadhengah kawontenan, “nyingkur awake dhewe” ugi tetep dipun betahaken. Sikep “nyingkur awake dhewe” (mbucal pepinginan) badhe nyagedaken kita nindakaken menapa ingkang kedah utawi prayoginipun kita tindakaken. Srana “nyingkur awake dhewe” kita badhe saged nresnani lan nandukaken kasaenan dhateng sedaya tiyang kanthi tulus tanpa pamrih, katresnan kita boten lamis, nanging nyata lan murni. Srana “nyingkur awake dhewe” kita badhe saged nebihi sawernining piawon, ngajeni sedaya tiyang -ingkang asor lan sekeng-, tansah nggadhahi greget (semangat) lelados dhumateng Gusti. Srana “nyingkur awake dhewe” (mbucal pepinginan) kita badhe saged “nrima” menawi pikajeng kita dipun tampik dening tiyang sanes lan kita saged nampi karsanipun tiyang sanes, satemah kita sedaya saged gesang tetunggilan lan kompak kaliyan sedaya tiyang. Srana saged “nyingkur awake dhewe” kita badhe saged dados berkah tumrap sedaya titahipun Gusti.
Panutup
Sikep lan patrap “nyingkur awake dhewe” menika sanes prekawis ingkang gampil dipun lampahi, nanging ugi sanes prekawis ingkang mokal dipun wujudaken. Supados kita saged “nyingkur awake dhewe”, kita kedah tansah enget bilih “nyingkur awake dhewe” menika sabdanipun Gusti Yesus pribadi lan menika dados sarat ndherek Panjenenganipun. Ingkang menika, kita prelu tansah enget, nggladhi dhiri, mbudidaya lan ngulinakaken dhiri sarta nyuwun kakiyatan saking Sang Roh Suci. Gusti mesthi mitulungi kita. Amin. [st]
Pamuji: KPK 81:1,2,4; 54:3.