Katanya Percaya, Kok Diam Saja? Khotbah Minggu 11 Maret 2018

26 February 2018

Pra Paskah 4
Stola Ungu

Bacaan 1         : Bilangan 21 : 4-9
Bacaan 2         : Efesus 2 : 1-10
Bacaan 3         : Yohanes 3 : 14-21

Tema Liturgis  : Mengosongkan Diri dalam Ketaatan kepada Kehendak Tuhan
Tema Khotbah : Katanya Percaya, Kok Diam Saja?

 

KETERANGAN BACAAN
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

Bilangan 21 : 4-9

Penghayatan Iman Israel sangat dekat dengan konsep Perjanjian. Maka berkat dan kutuk senantiasa menjadi warna perjalanan iman mereka dalam rangka mengikatkan dirinya pada Perjanjian bersama dengan Allah. Pelanggaran hukum serta pemberontakan, dilihat sebagai kegagalan bangsa Israel dalam menjaga kesetiaan terhadap perjanjian bersama dengan Allah. Pelanggaran nota kesetiaan dalam Perjanjian inipun sudah selayaknya mendapat konsekuensi.

Bangsa Israel sadar bahwa mereka telah חָטָא (chata). Chata diterjemahkan sebagai dosa, tetapi juga memiliki makna ‘to purify through forfeit’. Sehingga, perkataan bangsa itu juga memiliki kesan bahwa mereka sadar, hukuman melalui ular tedung yang mematikan ini memang merupakan konsekuensi dan denda yang wajar bagi mereka, sebab mereka telah melenceng dari kesepakatan Perjanjian.

Kesadaran bangsa Israel itu segera direspon Allah dengan tindakan penyelamatan. Barangsiapa yang melihat ular tembaga yang tergantung, ia akan tetap hidup. Di dalam PL, melihat רָאָה (raa) merupakan sebuah kata yang mengalami perluasan makna. Kata ini sering diasosiasikan dengan רֹאֶה (ro‘e) yaitu nabi-nabi yang menerima sabda dan penglihatan langsung dari Allah. Dengan demikian, melihat memiliki dimensi menerima sabda Allah dan percaya kepada Sang Pemberi sabda. Demikianlah melihat menjadi simbol tindakan percaya.

Efesus 2 : 1-10

Dalam Efesus pasal 2 ini, penjelasan penulis diawali dengan melihat ke ‘belakang’. 2:1-3 menjelaskan bahwa dahulu jemaat seharusnya telah mati karena kesalahan dan dosanya. Jemaat seharusnya menjadi bagian dari orang-orang yang menerima murka karena hidup dalam ketaatan kepada roh-roh dan menuruti hawa nafsunya (bandingkan dengan konsep Yahudi mengenai konsekuensi Perjanjian dengan Allah). Yang menarik, παράπτωμα  (paraptoma)  yang diterjemahkan sebagai pelanggaran, dapat juga diterjemahkan sebagai jatuh tergelincir. Maka, ada dimensi kesengajaan dan ketidaksengajaan dalam kata ini. Sedangkan ἁμαρτία (hamartia) yang diterjemahkan sebagai dosa, juga memiliki makna ‘meleset dari sasaran’, ‘gagal mencapai target’.

Kemudian penulis memunculkan campur tangan Allah yang menyelamatkan manusia. Dan dengan tegas melarang manusia untuk memegahkan diri dan merasa selamat karena kemampuannya sendiri. Sebab, keselamatan itu atas prakarsa dan kasih karunia Allah.

Setelah itu ditutup pada ayat 10 yang menjelaskan tujuan hidup setiap orang percaya : melakukan pekerjaan baik yang telah dipersiapkan Allah. Demikianlah manusia yang dulunya παράπτωμα  (paraptoma) dan ἁμαρτία (hamartia) , karena kemurahan Allah telah diselamatkan dan memiliki tujuan hidup yang baru.

Yohanes 3 : 14-21

Penulis Injil Yohanes kembali mengingatkan peristiwa ular tembaga yang ditinggikan di tiang, dalam rangka berbicara mengenai Yesus yang juga akan ditinggikan. Yang menarik bahwa kata yang diterjemahkan ditinggikan ini memakai kata dasar ὑψόω (hupsoo) yang juga dipakai dalam Yoh 8:28 ; 12: 32 berhubungan dengan salib, tetapi dipakai juga dalam Kis 2:33 dan Kis 5:31 yang berbicara mengenai peninggian dalam kemuliaan. Penulis Injil Yohanes mengingatkan bahwa salib bukanlah sebuah kehinaan, tetapi justru sebuah peninggian dan jalan mutlak menuju kemuliaan.

Allah telah menunjukkan kasih setia-Nya melalui tindakan penyelamatan. Persoalan selanjutnya mengenai manusia memilih percaya atau tidak kepada tindakan Allah tersebut. Jika percaya maka mereka akan selamat, jika tidak maka mereka akan menerima hukuman. Tindakan percaya itulah yang menyelamatkan.

Benang Merah Tiga Bacaan

Manusia sering jatuh dalam kesalahan-kesalahan yang membuatnya menerima konsekuensi ‘hukuman’. Namun demikian, kasih setia Allah selalu diberikan setiap kali manusia mau kembali menyambut dan percaya kepada tindakan penyelamatan Allah. Sebagai wujud percaya dan menyambut penyelamatan Allah, manusia memperbarui kehidupannya dan melakukan kehendak Allah.

 

RANCANGAN KHOTBAH: Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan; bisa dikembangkan sesuai konteks jemaat)

Pendahuluan

Suatu hari, sebuah gunung berapi meletus dengan dahsyat. Proses letusan itu tentulah menimbulkan awan panas, lahar panas dan lahar dingin. Seperti yang sudah seharusnya, tim SAR segera melakukan evakuasi pada desa-desa yang berada di radius yang berbahaya. Dalam misi penyelamatan itu, terdapat cerita yang menarik.  Ada seorang perempuan paruh baya yang tidak mau dievakuasi. Salah satu anggota tim SAR berkata kepadanya: “Mari bu segera evakuasi, awan panas diperkirakan akan sampai disini 1 jam lagi”. Namun kata ibu itu : “Pak, saya tidak perlu dievakuasi, saya percaya Tuhan akan menyelamatkan saya. Saya tidak mau pergi bersama bapak!” Si ibu itu menolak dengan keras dan malah mengusir Tim SAR serta menutup pintu rumahnya. Dia bergumam dalam hatinya : “Aku percaya, Tuhan akan menyelamatkanku. Dia pasti akan melindungi dan menolongku”. Kemudian dia memejamkan matanya menantikan pertolongan Tuhan.

Ketika dia membuka matanya, dia sangat terkejut karena mendapati bahwa dirinya telah meninggal. Lalu dia berteriak-teriak marah dan berkata: “Tuhan! Mengapa Engkau tidak melindungi saya! Mengapa Engkau membiarkan saya mati! Mengapa Engkau tidak menolong saya, padahal saya sudah percaya! Mengapa?”. Kemudian terdengarlah suara Tuhan menjawab dengan santainya : “Sudah Ku tolong tadi.. eh.. malah kautolak!”

Isi

Bp Ibu Sdr.. Percaya adalah sebuah hal yang penting dalam perjalanan iman seseorang. Ketiga bacaan kita pada hari ini menegaskan hal tersebut. Secara eksplisit dijelaskan dalam bacaan ketiga (Yoh 3:15,18) bahwa percaya ini adalah kunci sentral dalam menyambut anugerah kasih Allah yang mendatangkan keselamatan. Namun, kita perlu paham : percaya yang dimaksud ini yang bagaimana?

Cerita yang di awal tadi mungkin bisa mewakili kebiasaan dan penghayatan beberapa orang mengenai sikap percaya. Mungkin ada beberapa orang yang menghayati dan melakukan seperti yang dilakukan oleh wanita tadi. Kepercayaannya kepada Tuhan membuatnya menyerahkan segalanya kepada Tuhan, sehingga ia tidak perlu melakukan apa-apa. (misal : percaya bahwa Tuhan akan memberikan pekerjaan, tetapi tidak mencari dengan serius, percaya bahwa Tuhan akan memberikan nilai bagus tetapi tidak belajar dengan sungguh-sungguh, percaya bahwa Tuhan akan membuat dia menjadi orang sukses tapi hidupnya hanya bermalas-malasan saja). Mengapa demikian? Sebab, orang-orang ini suka menyimbolkan percaya dengan sebuah tindakan pasif dan menutup mata. Jadi menurutnya, percaya itu berarti menantikan dengan diam. Yang penting mengaku dalam hati. Percaya itu keyakinan di dalam hati. Pokok’e yakin! Sing penting yakin!

Pandangan yang demikian ini biasanya dibentuk dari pemahaman yang kurang utuh dari pembacaan pada Efesus 2:8. Ayat ini rentan ditarik dengan konklusi bahwa perbuatan manusia tidaklah penting sebab yang menyelamatkan adalah kasih karunia Allah saja! Namun, Apakah benar demikian? Apakah benar bahwa kasih karunia Allah yang besar kepada manusia itu, membuat manusia tidak perlu melakukan apa-apa? Jadi sekali lagi, apakah benar bahwa percaya itu hanya masalah keyakinan dalam hati saja?

Mari kita lihat cerita dalam bacaan ketiga dan pertama. Dalam bacaan ke tiga, Kristus yang disalib disandingkan dengan ular tembaga yang tergantung. Sama seperti bangsa Israel yang melihat ular dan percaya atas tindakan penyelamatan Allah lalu diselamatkan. Demikian juga manusia yang ‘melihat’ Kristus tersalib dan percaya pun akan diselamatkan dan terbebas dari hukuman.

Sebelumnya diceritakan dalam kitab Bilangan bahwa setiap orang yang dipatuk ular tedung namun melihat ular tembaga yang tergantung, akan selamat. Perlu dipahami bahwa kata ra’a dalam bahasa Ibrani yang diterjemahkan dengan melihat/memandang ini juga memiliki aspek percaya. Melihat ular tembaga adalah wujud bangsa Israel percaya bahwa melalui tindakan itu, Allah menyelamatkan mereka. Keyakinan pada pertolongan Allah membuat bangsa Israel mau ‘melihat’. Dalam konteks mereka, melihat ular tidaklah sederhana. Sebab sebelum melihat, mereka pastilah harus terlebih dahulu mencari posisi dimana Musa meletakkan ular tersebut. Jadi, mereka beranjak dari tempatnya, mencari, kemudian menatap ular tersebut. Demikianlah percaya diwujudkan dalam sebuah usaha.

Begitu juga dalam bacaan kita yang kedua, dijelaskan (Ef 2:1) bahwa manusia telah mati karena dosa dan pelanggarannya. Yang menarik, kata dosa hamartia dalam bahasa Yunani memiliki makna dasar meleset dan gagal untuk mencapai target. Mereka ini diselamatkan oleh percaya kepada Kristus dan dalam ayat 10, diberi target yang baru untuk dicapai : melakukan pekerjaan baik dan hidup di dalam kehendak Allah. Sehingga, percaya tidak berhenti ketika kita menerima pengorbanan Kristus bagi kita di dalam hati. Namun, juga berkaitan dengan perjuangan mencapai tujuan hidup yang baru ini.

Jadi, percaya tentu bukan seperti cerita di awal tadi. Percaya tidak seharusnya membuat seseorang diam saja menanti Tuhan bekerja dan menyelamatkan, tanpa harus berbuat sesuatu. Bukan! Sebab percaya berarti bertindak dan melakukan sesuatu. Keyakinan dalam hati itu mestinya menjadi dorongan yang kuat untuk mewujudkan keyakinannya  di dalam sebuah usaha dan tindakan yang relevan.

Penutup

Allah mengasihi manusia tidak hanya dalam kata. Kasih itu membuat-Nya rela menderita sampai mati di kayu salib. Masa pra Paskah ini mengingatkan kita bahwa Allah telah memberikan teladan kepada kita. Segala yang kita hayati dan yakini tidak bisa kita simpan rapat-rapat dalam hati saja. Perlu diwujudkan dalam gerakan, tindakan, dan usaha nyata.

Jika bangsa Israel percaya kepada Allah dan membuat mereka melihat ular tembaga, dan jemaat Efesus percaya kepada Allah dan membuat mereka berusaha untuk hidup dan melakukan kehendak Allah dalam hal-hal baik setiap hari. Lalu pertanyaannya kepada kita : Kepercayaan kita kepada Allah itu, mampu menggerakkan kita untuk melakukan apa? Jangan sampai jika nanti saatnya tiba, Tuhan berkata kepada kita : “Katanya percaya, kok diam saja?”  [vin]

Nyanyian: KJ. 343

RANCANGAN KHOTBAH: Basa Jawi

Pambuka

Ing setunggaling wekdal, wonten redi ingkang nembe kemawon njeblug, saestu nggegirisi. Inggih kados limrahipun redi yen njeblug, mesthi sinarengan wedhus gembel (awan panas), lahar (ingkang benter lan asrep), lsp. SAR minangka petugas ingkang limrahipun ngayahi perkawis-perkawis ingkang sifatipun ngrencangi tiyang-tiyang ingkang sami ngungsi saking dusunipun, tlatah ingkang ndrawasi. Ing saktengahing swasana mbebayani punika, SAR klayan trengginas milujengaken tiyang-tiyang saking tlatah ingkang mbebayani punika. Ing saktengahing kawontenan mekaten menika, wonten tiyang estri wetawis yuswa seked taun ingkang mbegegeg, mboten purun diungsekaken dateng panggenan aman.

Salah setunggaling anggota Tim Sar dhawuh dateng tiyang kalawau, : “Moggo bu, enggal dikebat ngungsi. Awan panas badhe nglangkungi tlatah ngriki wetawis sakjam malih”. Wangsulanipun ibu punika : “Pak, kula mboten purun ngungsi, kula punika pitados bilih Gusti Allah kula badhe milujengaken kula. Kula mboten purun manut bapak!”. Ibu kalawau tetep pengkuh kaliyan keyakinan dalasan pikajengipun. Malah tim SAR kalawau dipunusir saking griyane ibu punika mawi kasar sinarengan kari griyanipun dipuntutup banter. Lan piyambakipun nggremeng ing manahipun : “Aku percaya Gusti Allah bakal nylametake aku, ngreska ngayomi aku.” Nunten ibu punika merem, awit nengga pitulungan saking Gusti Allah.

Bakda ibu menika melek, piyambakipun kaget sanget awit piyambakipun sampun pejah. Piyambakipun njerit-njerit lan duka saha ngundamana Gusti Allah, : “Gusti, kenging punapa Gusti mboten milujengaken kula? Kenging menapa kula ndadak pejah awit ketrajan hawa bentering redi njeblug punika? Kenging punapa Gusti mboten mitulungi, mboten nglanthing kawula? Kamangka kula sampun estu-estu pitados mesti badhe dipuntulungi Gusti.” Tumunten, Gusti paring wangsulan klayan swanten ingkang alus sarta sareh sanget, : “Dekmau wes Tak tulungi, lha nanging malah mbok tolak”

Isi

Bapa Ibu …

Pitados (percaya) pancen setunggaling bab ingkang wigatos tumrap gesanging saben manungsa. Tetiganipun waosan kita ing nginggil ngandaraken bab punika. Sacara cetha, kajlentrehaken ing waosan ingkang katiga (Yok 3 : 15,18) bilih pitados punika syarat mutlak anggenipun saben tiyang dipunwilujengaken inggih awit saking berkah peparingipun Gusti. Lan ingkang asring dipun lirwakaken inggih punika pitakenan “Pitados sing kepriye?”

Ilustrasi ing pambuka wau sajakipun makili kawontenan sawetawis tiyang anggenipun ngetrapaken pitadosipun. Wonten tiyang ingkang gadhah pemanggih bilih pitados dhumateng Gusti Allah inggih menika, mboten perlu nindakaken punapa-punapa, awit samukawisipun sampun dipunaturaken dateng Gusti. Conto ingkang asring pinanggih, mekaten : pitados dateng Gusti Allah bilih badhe maringi pedamelan, nanging piyambakipun mboten purun ngudi kanthi tumemen. Pitados dateng Gusti Allah bilih Gusti badhe maringi angka rapot sae, nanging piyambakipun mboten purun sinau. Pitadhos dateng Gusti Allah bilih Gusti mesthi ndadosaken piyambakipun dados tiyang ingkang sukses ing gesangipun, nanging piyambakipun gesangipun namung sarwa males. Kenging menapa mekaten?  Awit tiyang-tiyang mneika nggadahi panginten bilih pitados punika mboten merlokaken tumindak menapa-menapa tumrap manungsanipun. Nggih cekap sedhakep, utawi tangan ngapurancang, mripat merem nyuwun kanthi tumemen. Dados miturut tiyang menika, pithados menika ngantos-antos kanthi mendel mawon. Pokoke atiku yakin!

Pemanggih ingkang mekaten punika, minangka pemanggih bab pitados ingkang mboten wetah, pemanggih ingkang mboten jangkep nalika piyambakipun maos Efesus 2:8. Ayat menika gampil dipunsalah artosaken bilih tumindakipun manungsa menika mboten wonten artosipun, awit kawilujengan menika namung peparingipun Gusti. Titik. Menapa mekaten ta sejatosipun?

Sumangga kita titipriksa waosan katiga lan kapisan. Waosan ketiga, Sang Kristus sinalib kabandingaken sawer rerekan ingkang kadamel saking tembaga ingkang dipungantungaken ing tekenipun Musa. Bangsa Israel kala semanten dipundhawuhi supados mirsani sawer rerekan menika tuwin pitados, nunten tiyang punika badhe nampeni kawilujengan. Mekaten ugi manungsa ingkang mirsani (mandeng) Sang Kristus sinalib saha pitados dhateng Panjenenganipun badhe manggih kawilujengan, uwal saking paukuman.

Ing kitab Wilangan (waosan kapisan), saben tiyang Israel kepagut dening sawer bedudak, nanging yen tiyang menika purun mirsani/mandeng sawer rerekan ingkang gumanthung ing tekenipun Musa temah badhe angsal wilujeng. Tembung mandheng/mirsani basa Ibrani ra’a nggadhahi teges “pitados”. Mandheng sawer rerekan minangka wujud nggenipun bangsa Israel mitadosi bilih lantaran/srana tumindhak mandeng menika, Gusti Allah temah milujengaken. Sejatosipun kala semanten, anggenipun tiyang-tiyang Israel mirsani/mandeng sawer rerekan punika sanes perkawis ingkang sederhana. Awit tiyang-tiyang Israel  anggenipun saged mirsani sawer rerekan punika kedhah langkung rumiyin ngertos panggenanipun/dunungipun sawer rerekan menika. Pramila, tiyang Israel kedhah ngobahaken sarira (beranjak dari tempatnya), madosi, murih anggenipun cetha mirsani sawer rerekan menika. Mekaten ugi menggahing pitados, tiyangipun kedah gadhah greget obah.

Waosan kapindho (Efesus 2:1) njlentrehaken bab saben manungsa sampun wonten ing rehing pejah, awit saking dosa lan panerakipun. Tembung dosa “hamartia” ing basa Yunani nggadhahi teges mboten tepat sasaran, mboten kados ingkang dipunajeng-ajeng, mboten kasil. Miturut Efesus 2: 10, tiyang-tiyang ingkang dipunwilujengaken dening Sang Kristus kaparingan bebahan (kewajiban) inggih menika nindakaken kabecikan lan gesang wonten kersanipun Gusti Allah. Matemah, pitados mboten ateges yen kita sampun nampeni Sang Kristus ingkang sampun kersa ngorbanaken sarira murih kita wilujeng namung kita simpen ing manah lan batos kemawon. Ananging, kedhah kita wujudaken ing tengahing pangudi murih maujudipun gesang enggal.

Ringkesipun, pitados punika mboten kados ingkang dipuncariyosaken ing ilustrasi kala wau. Pitados mboten malah ndadosaken tiyangipun mendel/pasif, namung nengga (njagakake) pitulunganipun Gusti Allah kemawon. Kosok wangsulipun, pitados kedah kaejawantah/kawujudaken wonten ing saklebeting pangudi/pambudidaya. Kapitadosan mestinipun murugaken tiyangipun gumregah tumindak selaras kaliyan pitadosipun.

Panutup

Gusti Allah anggenipun nresnani mnungsa, mboten namung anggenipun dhawuh kemawon. Ananging Gusti nresnani sacara nyata, ngantos dumugeng rucating nyawan-Ipun ing kajeng salib. Wekdal pra paskah punika ngemutaken kita sami, bilih Gusti Allah sampun paring tuladha dumateng kita. Samukawis ingkang kita suraos lan kita yakini, kalebet anggen kita pitados dumateng Gusti Allah mboten saged kita simpen ing telenging batos kita kemawon. Malah perlu kita wujudaken ing lampah tumindak ing gesang nyata kita ing padintenan.

Bangsa Israel pitados dateng Gusti Allah srana ngestokaken dhawuhipun Musa minangka abdinipun Gusti Allah, supados mirsani/mandeng sawer rerekan. Lan kapitadosanipun pasamuwan Efesus dateng Gusti Allah, ingkang saged njalari tuwuhipun pangudi ingkang selaras kaliyan Gusti saha tumindak becik saben dinten ing sedhengah perkawis. Pramila sakmangke tuwuh pitakenan kangge kita sedaya : Kapitadosan kita dateng Gusti Allah punika, nuwuhaken kita nindakaken punapa? Sampun ngantos ing tembenipun mangke, Gusti ndangu kita : “Jarene percaya karo Aku, kok meneng wae?” [vin]

Pamuji: KPJ 106, 123:2

Renungan Harian

Renungan Harian Anak