Bacaan : Yohanes 8 : 39 – 47 | Nyanyian : KJ 436 : 1, 2
Nats: “Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku.” [ayat 42]
Sudah 2 hari ini Caca tidak enak makan. Sebab, dia tahu kedua sahabat karibnya nyontek saat ulangan mendadak kemarin. Hal itu sangat mengganggu pikirannya. Di satu sisi, dia tahu bahwa mencontek itu sesuatu yang salah. Tapi di sisi lain, mereka berdua adalah sahabat terbaik yang dimilikinya. Lalu, haruskah mengingatkan mereka? Bagaimana jika mereka berdua marah dan tidak mau lagi menjadi sahabatnya? Ah, sungguh membingungkan! Begitulah pikiran Caca.
Hidup ini adalah pilihan. Sekalipun kita sungguh-sungguh ingin menerima segalanya, ada saatnya kita hanya bisa memilih satu hal saja. Dan pilihan itu tentu berisiko. Seperti pilihan Yesus, yakni melakukan kehendak Allah yang mengutusNya. Risikonya cukup jelas, Dia harus melawan rasa kemanusiaanNya. Selain itu, Dia juga harus berhadapan dengan masyarakat yang sangat kuat memegang tradisi ke-Yahudi-an mereka. Bahkan, jika orang belum benar-benar mengenalNya, Yesus terkesan pongah. Bagaimana tidak, Dia berani mengklaim diriNya berasal dari Allah, sementara mereka semua tidak berasal dariNya. Tapi itulah risiko dari sebuah pilihan untuk mewartakan apa yang benar. Tentu, Yesus memiliki dasar yang kuat untuk melakukan hal itu. Dia bukan orang yang sok suci, sebab sampai akhir hidupNya ternyata memang Dia mampu menjaga kesucianNya. Dia bukan orang munafik, sebab Dia bertanggungjawab atas apa yang dikatakanNya sampai ajal menghelaNya.
Mungkin kita berpikir bahwa Yesus melakukan itu semua tanpa rasa gentar karena Dia adalah Anak Allah. Tapi kalaupun Dia melakukannya dengan hati gentar selaku manusia, itu adalah hal yang wajar. Benar-benar gentar untuk melakukan hal yang benar-benar benar, bukanlah kelemahan, melainkan sebuah perjuangan untuk berdiri di jalan kebenaran Allah. Jika kita gentar melakukan yang benar, tidak apa-apa. Allah Sang Sumber Kebenaran, akan menguatkan kita yang berada di jalan itu. [cahyo_s]
“Tetaplah menjadi benar, meski untuk itu hatimu gentar.”