Pemahaman Alkitab September 2022

1 August 2022

Pemahaman Alkitab (PA) September (I)
Bulan Kitab Suci

Bacaan: Yunus 3 : 1 – 10
Tema Liturgis: Jalanilah Kehidupan di dalam Terang Firman Allah!
Tema PA: Melakukan Firman Tuhan

Pengantar
Menunda adalah pekerjaan mudah yang dapat dilakukan oleh hampir semua orang. Bahkan dewasa ini kita tentu mengenal atau pernah mendengar orang mengatakan “Kalau bisa ditunda, mengapa harus dikerjakan?” atau kalimat dari tokoh Squidward dalam serial kartun SpongeBob SquarePants yang mengatakan “Kenapa harus melakukan hari ini kalau kau bisa melakukannya besok?”, “Aku akan tetap bersantai meski itu akan membunuhku.” Dalam kata yang lain, kebiasan menunda disebut pula sebagai “prokastinasi.” Banyak sekali faktor yang mendukung kita untuk menunda-nunda sesuatu. Bisa jadi karena kita yakin pasti ada hari esok, mengerjakan sesuatu yang tidak kita sukai, stress, memiliki banyak pekerjaan yang lain dan sebagainya. Bahkan ada pula yang mengatakan, lebih efektif jika mengerjakan tugas mepet deadline. Tentu ada banyak alasan yang masih bisa kita temukan untuk menunda termasuk ketika kita merespon panggilan Tuhan.

Penjelasan Teks
Seperti Yunus di pasal sebelumnya, ketika Allah memanggilnya untuk memberitakan Firman Allah pada Niniwe. Ia memilih untuk menunda keberangkatannya ke sana dan pergi ke tempat yang lain. Setelah peristiwa besar terjadi pada diri Yunus dalam perjalanan itu, pada pasal 3 ini Allah kembali memanggil Yunus untuk menjadi utusan-Nya bagi Niniwe. Berbeda dengan pasal 1, respon Yunus terhadap panggilan Allah di pasal 3 langsung ditanggapi dengan keberangkatannya ke Niniwe. Kitab Yunus, merupakan sebuah rangkaian cerita yang tidak bisa tidak, harus kita baca hingga pasalnya yang terakhir. Sebab keseluruhan teks dalam Kitab Yunus berkaitan satu dengan yang lain.

Kita tentu mengetahui sejak pasal pertama, Yunus bin Amitai (Yun. 1:1) adalah seorang Ibrani yang takut akan Tuhan (Yun. 1:9). Itu berarti Yunus adalah bagian dari bangsa Israel. Sebagai seorang Ibrani, tentu ia memahami bahwa keselamatan hanya akan diberikan Allah kepada bangsa pilihan yaitu Israel. Alasan ia menunda perjalanan pelayanannya ke Niniwe adalah karena ia sungguh mengetahui bahwa Allah akan menyelamatkan Niniwe jika mereka bertobat (Yun. 4:2).

Niniwe sendiri adalah kota yang besar, dituliskan dalam pasal ini, 3 hari perjalanan luasnya (Yun. 3:3) dan memiliki penduduk lebih dari 120.000 jiwa (Yun. 4:11). Kota ini merupakan ibu kota Kerajaan Asyur yang terletak di timur Sungai Tigris.1 Niniwe juga digambarkan dalam Kitab Nahum sebagai kota perdagangan (bdk. Nah. 3:16). Selain itu, dalam Kitab Nahum kita juga akan menemukan banyak keterangan tentang Niniwe yang kaya, kuat, tetapi juga penyembah berhala, mereka melakukan persundalan, perampasan (bdk. Nah. 2:9; 1:14; 3:1; 3:4). Dalam keberadaan hidup mereka yang demikian, Yunus masuk ke kota itu dan memberitakan bahwa dalam waktu 40 hari Niniwe akan ditunggangbalikkan. Kata “ditunggangbalikkan” dalam bahasa Ibrani (Hapakh) dapat berarti “dibinasakan” tetapi dapat pula berarti “diubahkan”.

Menariknya, di ayat 5-9 orang-orang Niniwe merespon dengan cepat Firman Tuhan yang diberitakan Yunus dengan pertobatan. Pertobatan yang dilakukan Niniwe, tidak hanya perkataan “ampun” atau “maaf”, mereka merespon berita Firman Tuhan sebagai sebuah panggilan pertobatan. Kita dapat melihat bahwa mereka melakukan puasa, mengenakan kain kabung, duduk di abu. Beberapa hal yang dilakukan oleh orang Niniwe ini adalah wujud kerendah-hatian dan penyesalan mereka karena telah mengakui diri melakukan kejahatan dalam kehidupannya. Tidak satupun dari mereka – yang dituliskan dalam Kitab Yunus – yang menawar atau menunda aksi pertobatan tersebut.

Setelah itu semua, di ayat 10 kita melihat kalimat yang unik “…maka menyesallah Allah…” Peristiwa Allah yang menyesal ini merupakan respon Allah terhadap pertobatan yang dilakukan orang-orang Niniwe. Dalam bahasa Ibrani, kata “menyesal” (nâcham) mengekspresikan tindakan seseorang yang menarik napas panjang atau bernafas dengan kuat karena sangat marah, sedih atau lega. Kata ini juga menggambarkan perubahan sikap seseorang dari apa yang direncanakan sebelumnya (dari yang buruk menjadi baik dan sebaliknya).2 Dengan demikian, Allah yang menyesal (nâcham) dalam ayat ini menggambarkan keadaan dimana Allah berbalik dari rencana-Nya menghukum Niniwe dan menunjukkan belas kasihan serta menyelamatkannya.

Dalam pasal ini, kita benar-benar melihat Allah yang berinisiatif menyelamatkan dan membebaskan Niniwe dari kejahatan. Belas kasihan Allah yang diberikan pada Niniwe, berarti Allahpun mengasihi bangsa-bangsa yang lain. Sebelum menghukum bahkan Ia memperingatkan dan peringatan itu direspon dengan segera oleh Niniwe. Pada akhir kisah pertobatan Niniwe, kita melihat bahwa Allah tidak menunda pengampunan-Nya. Sedangkan Niniwe pun tak menunda pertobatannya.

Di dalam kehidupan kita, Allah pun memanggil kita umat-Nya untuk dapat mengerti Firman-Nya dan melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya. Tentu kita memiliki respon yang berbeda-beda dalam menanggapi panggilan Allah. Tetapi kita perlu mengingat bahwa belas kasihan Allah terhadap kehidupan kita merupakan anugerah yang perlu kita respon tanpa menawar dan menunda. Sebuah kalimat mengatakan demikian “when asked: what’s the biggest mistake we make in life?” The Buddha replied, “The biggest mistake is you think you have time,” yang dalam terjemahan bebas berarti “ketika bertanya: apakah kesalahan terbesar yang kita buat dalam hidup? Buddha menjawab, “kesalahan terbesar adalah berpikir bahwa kita memiliki waktu.” Hidup adalah kesempatan untuk menikmati anugerah keselamatan dan pengampunan, segera merespon Firman Allah adalah cara menghargai kehidupan.

Time is free but it’s priceless. You can’t own it but you can use it. You can’t keep it but you can spend it. And once it’s lost, you can never get it back.”

 Materi Diskusi

  1. Setelah pembacaan Alkitab dalam Ibadah-ibadah terkhusus Ibadah Minggu, kita selalu mendengar ucapan bahagia “berbahagialah kita yang mendengar Firman Tuhan dan melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.” Menurut saudara, bagaimana penjelasan kalimat tersebut dihubungkan dengan respon orang-orang Niniwe terhadap Firman Allah yang disampaikan oleh Yunus?
  2. Apakah kita pernah menunda/ menawar perubahan diri? Mengapa? [marr].

 


 

Pemahaman Alkitab (PA) September (II)
Bulan Kitab Suci

 

Bacaan: Roma 8 : 31 – 39
Tema Liturgis: Jalanilah Kehidupan di dalam Terang Firman Allah!
Tema PA: Ia Setia, Percayalah!

Pengantar
“…awak dewe tau nduwe bayangan, mbesuk yen wes wayah omah-omahan, aku moco koran… kowe blonjo…nanging saiki wes dadi kenangan, aku karo kowe wes pisahan, aku kiri kowe kanan wes bedo dalan…”

Kalimat di atas adalah sepenggal lirik lagu Mendung Tanpa Udan yang diciptakan oleh Kukuh Prasetya Kudamai dan dipopulerkan oleh Ndarboy Genk, Denny Caknan, dan beberapa penyanyi dangdut lainnya. Lagu ini pernah hits di tahun 2021 mengiringi situasi pandemi yang kita rasakan bersama. Menceritakan sepasang kekasih yang dulunya saling mencintai, kemudian memutuskan berpisah karena keadaan yang sulit dan tidak memungkinkan untuk bersatu (prinsip/ jalan hidup yang berbeda). Keadaan yang menekan, menuntut ataupun menyesakkan memang seringkali menjadi alasan perpisahan. Tetapi tidak demikian dengan kasih Kristus dalam kehidupan umat percaya, yang diceritakan oleh Rasul Paulus dalam kitab Roma.

Penjelasan Teks
Surat kepada Jemaat di Roma dituliskan oleh Rasul Paulus sebelum ia dapat berkunjung ke sana. Jemaat di Roma secara umum terpisah menjadi golongan Kristen Yahudi dan Kristen non-Yahudi. Konflik yang terjadi salah satunya adalah ketika jemaat Kristen non-Yahudi dipaksakan mengikuti tradisi-tradisi Yahudi secara spesifik yaitu melakukan hukum Taurat. Di pasal-pasal yang lain, Rasul Paulus menjelaskan mengenai dilema yang dialami oleh jemaat di Roma.

Beberapa kali Rasul Paulus mengulang pembahasannya mengenai kebenaran Allah, pembenaran, dan hal yang berkaitan dengan keselamatan dan iman. Dalam pasal ini, kita juga melihat pembahasan mengenai keyakinan iman kita kepada Kristus yang memberikan keselamatan. Keselamatan bagi Rasul Paulus diwujudkan oleh pengorbanan Tuhan Yesus di kayu Salib. Rasul Paulus menyebutnya sebagai “pembenaran” yaitu terbebasnya manusia dari keterikatan dengan dosa. Iman kita kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah mati di kayu Salib itu, pada akhirnya membuat kita memperoleh keselamatan. Jadi keselamatan dalam hal ini bukan kita peroleh karena pertama-tama tindakan kita, melainkan karena Allah yang bertindak melalui pengorbanan Yesus Kristus bagi kita. Buah dari pengorbanan Yesus Kristus itu adalah damai sejahtera dan pengharapan.

Oleh karena itu, Rasul Paulus memberi penekanan kepada jemaat di Roma dalam dilema kehidupan iman mereka (baik oleh tuntutan mengikuti tradisi Yahudi ataupun oleh tantangan kehidupan yang lain). Pertanyaan pada psl. 8:1 “jika Allah dipihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” memberikan sebuah pengharapan di tengah kesesakan. Kalimat ini bukan berarti bahwa orang beriman tidak akan merasakan penderitaan, kesusahan, dilema dan seterusnya, tetapi di dalam semuanya itu, Allah bersama dengan umat-Nya.

Konsep kebenaran Rasul Paulus juga tidak lepas dari pemahaman Yahudi. Dalam pemahaman Yahudi, kebenaran Allah atau Allah yang benar (righteous) berarti Allah yang dapat dipercaya dan diandalkan kesetiaannya.3 Serupa dengan pemahaman itu, Rasul Paulus kemudian merumuskan kebenaran Allah sebagai: karakter Allah sendiri yang benar dan adil (biasanya menggunakan perumpamaan seorang Hakim), Allah yang setia pada relasi perjanjian dengan umat-Nya, dan tindakan penyelamatan secara eskatologis melalui kematian dan kebangkitan Kristus.4 Pemahaman ini dapat kita lihat di ayat 32, Rasul Paulus menunjukkan bahwa Allah melakukan tindakan penyelamatan (secara eskatologis: berbicara mengenai masa depan atau hari akhir) melalui Anak-Nya yang diserahkan bagi kita. Di ayat 33, Rasul paulus menggambarkan Allah sebagai seorang Hakim: Allah yang mendengarkan gugatan, Allah yang membenarkan/ membela, Allah yang menghukum. Sedangkan di ayat 35-39 kita menemukan gambaran Allah yang setia kepada umat-Nya dalam pelbagai keadaan.

Dalam perikop ini, kita diajak oleh Rasul Paulus melihat dengan jelas tentang bagaimana Allah yang terus menyertai umat-Nya yang percaya. Tak seperti lagu Mendung Tanpo Udan, yang mana seseorang bisa saja berpisah karena keadaan yang sulit. Kasih Kristus tak akan terpisah dari kehidupan kita meskipun kita menghadapi berbagai keadaan yang bagi kita tak mungkin dapat terselesaikan sekalipun. Pengorbanan Kristus di kayu salib yang memberikan damai sejahtera dan pengharapan, juga menguatkan kita untuk menjalani berbagai tantangan kehidupan.

Refleksi
Sebagai umat Allah yang percaya kepada-Nya, tentu dalam kehidupan tidak hanya hal-hal manis dan menyenangkan saja yang pernah kita rasakan. Kita tentu pernah – sekalipun sebagai orang Kristen atau orang yang beriman kepada Kristus – mengalami dilema dalam kehidupan, tekanan, kesesakan seperti yang dialami oleh jemaat di Roma. Keadaan yang sulit, biasanya memang menantang iman percaya kita. Seringkali bahkan membuat kita ragu dan bimbang.

Rasul Paulus ingin menunjukkan kepada setiap umat Tuhan, bahwa dengan pengharapan kepada Sang Kristus yang telah mati dan bangkit, kita akan merasakan keabadian kasih dan kesetiaan Allah yang melampaui sekat-sekat kesulitan, dosa, dan maut. Artinya, dalam segala perkara kasih Allah yang ada dalam Kristus Yesus tidak mungkin terpisah daripada umat. Asalkan mereka beriman dan percaya.

Materi Diskusi

  1. Pernahkah saudara mendengar/ membaca pertanyaan, “Jika Allah mengasihi kita, mengapa ada penderitaan?” Bagaimana kita menanggapi pertanyaan tersebut berkaitan dengan bacaan kita?
  2. Tentu setiap kita pernah mengalami jatuh bangun dalam kehidupan. Bagaimana cara kita sebagai umat Allah yang percaya ketika menghadapi penderitaan/ kesusahan hidup? [marr].

1  https://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=Niniwe, diakses 25 Januari 2022, pukul 22.00

2  https://media.neliti.com/media/publications/102764-utuslah-aku-eksposisi-yunus-pasal-3-4-te-522b3ca7.pdf, diakses 25 Januari 2022, pukul 22.17.

3  David Alinurdin, “Konsep Kebenaran Allah Menurut Rasul Paulus di dalam Surat Roma”. Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan. Vol. 17 No.1, 2018, hal. 4.

4  Ibid, hal. 5.

Renungan Harian

Renungan Harian Anak