Identitas dan Sejarah Ringkas Balewiyata

29 January 2009

Read this article in English

Salib di Kapel IPTh. Balewiyata

Se-lazim-nya manusia, demikian pun Balewiyata, beridentitas. ‘BALEWIYATA’ adalah nama diri. Nama diri dalam Jawa. Pencetusnya tidak diketahui lagi. Yang pasti, dia haruslah seorang yang tahu benar ke-jawa-an dan bahasa Jawa. Sekaligus, dia juga hampir pasti seorang teolog yang telah berhasil mengawinkan antara ke-jawa-an dan kekristenan. Jawa yang kental dengan olah ngelmu kebatinan yang serius dikawinkan dengan teologi kekristenan. Perkawinan yang apik. Sosok pencetus seperti itu, yang mendekati pas adalah DR. B.M. Schuurman. Dialah seorang doktor teologi, dari Belanda. Dia juga penulis buku dogmatik berpola pikir Jawa. Buku itu ditulis dalam bahasa Jawa. Dia turut membidani terlahirkannya Balewiyata. Dia juga menjadi martir Balewiyata, karena kesewenang-wenangan penjajah Jepang. Karenanya, Pak Sardjonan, misalnya, menduga, bahwa Schuurman-lah pencetus nama diri Balewiyata. ‘Bale’ berarti ‘omah, pendhopo’ dan ‘Wiyata’ berarti ‘piwulang’. Balewiyata berarti ‘rumah tempat menerima pengajaran.’ [Sardjonan, “Balewiyata sebagai Jantung GKJW”, Sumardiyono, ed., 75 Tahun Balewiyata: Berteologi di Tengah Masyarakat Majemuk (Malang: Institut Pendidikan Teologia Balewiyata, 2002), 71].

Identitas Balewiyata adalah sebuah tempat ‘memperkaya ataupun memperdalam kehidupan kerohanian atau pengetahuan tentang agama’. Baik beragama secara esoteris, lazim disebut beriman, maupun beragama secara eksoteris, lazimnya adalah beragama, diperkaya dan diperdalam di Balewiyata. Dimensi spiritual dan akal dari kehidupan manusia menjadi pusat perhatian Balewiyata. Menjadi seorang beriman dan beragama secara batin-lahir adalah inti keprihatinan Balewiyata. Dalam bahasa mistik Jawa, mikrokosmos diselaraskan dengan makrokosmos. Orang yang telah berdamai di dalam dirinya niscaya berdamai dengan sesama, dengan lingkungannya juga. Orang yang telah sampai pada penghayatan diri sebagai manusia yang terselamatkan, niscaya dia tergerak untuk mempersaksikan keselamatan atas dirinya kepada siapa dan apa saja yang dijumpainya. Secara teknis, orang yang menjadi makin beriman adalan seorang pemberita kabar baik. Dua variabel inilah inti identitas Balewiyata.

***

Mojowarno. Masa perintisan Balewiyata diawali dari tiga tonggak bersejarah, di Mojowarno. Tahun 1905, tahun 1914, dan tahun 1918. Ketiganya merupakan perintisan pengadaan ‘pendidikan theologia’ di Jawa Timur. Dua tonggak pertama dipancangkan oleh Ds. D. Cromelin dan tonggak ketiga dipancangkan oleh Ds. J.M.S. Baljon. Semuanya berlangsung di Mojowarno. [Purbodarsono, “Sekolah Theologia ‘Bale Wiyata’ Malang”, Suharto – Sardjonan, ed., Peringatan 50 Tahun Majelis Agung Greja Kristen Jawi Wetan (Malang: Majelis Agung Greja Kristen Jawi Wetan, tanpa tahun), 145.] Sayangnya, perintisan tersebut tidak berhasil. Sebab, secara konseptual pendidikan teologia sebagaimana akhirnya merupakan identitas Balewiyata memang belum jelas sosoknya. Sudah ada banyak ‘kursus-kursus kilat’ bagi para ‘pelayan Firman … Voorganger (=pemuka)’ di berbagai daerah, di mana Zendeling berada. [Sardjonan, “Balewiyata sebagai Jantung GKJW”, Sumardiyono, ed., 75 Tahun Balewiyata: Berteologi di Tengah Masyarakat Majemuk (Malang: Institut Pendidikan Teologia Balewiyata, 2002), 67] Namun, kursus tersebut bersifat darurat. Rupanya, terdapat prioritas lain, yakni bidang pendidikan secara umum ketimbang pendidikan teologi khusus. Lagipula, adalah masuk akal, bahwa belajar membaca dan menulis pasti jauh lebih didahulukan sebelum orang membaca, memahami, dan memahamkan tulisan Kitab Suci. Karenanya, ketika Ds Cromelin diutus untuk kedua kalinya ke Mojowarno, perintisan pendidikan teologi yang pernah digagasnya tidak diperjelas sosoknya. Dia datang di Mojowarno, diutus oleh ‘Konferensi para zendeling’, setelah ‘mendapat tugas di Konsulat Zending Jakarta,’ ‘untuk menjabat sebagai Direktur Sekolah Normal, sehingga tidak sempat mengurusi soal pendidikan Teologia itu.’ [Sardjonan, “Balewiyata sebagai Jantung GKJW”, Sumardiyono, ed., 75 Tahun Balewiyata: Berteologi di Tengah Masyarakat Majemuk (Malang: Institut Pendidikan Teologia Balewiyata, 2002), 68]

Baca Juga:  "Kesayangan Tuhan"

Kediri. Salah satu resort yang memulai secara serius perintisan pendidikan teologi adalah Kediri. Tanggal 12 Januari 1925 diresmikan ‘Sekolah Pendidikan Pendeta Jawa’, bertempat di ‘Paviliun Kapanditan Semampir Kediri … sebagai ruang belajar atau kelas’. Jumlah siswanya adalah 15 orang. Disebut serius, sebab, perintisan ini sudah langsung meng-asrama-kan para peserta didik. Para pengikut kursus tinggal di sebuah tempat khusus, bersama dengan istri. Kurang lebih 75 tahun setelah GKJW Jemaat Mojowarno berdiri, berdirilah Sekolah Pendidikan Pendeta Jawa pertama, di Kediri. Istilahnya, waktu itu, adalah ‘pendidikan Guru Injil’. Kalau pada umumnya kursus bagi ‘Voorganger’ hanya berlangsung selama 1½ tahun, Guru Injil yang dididik khusus di Kediri tidak jauh berbeda. Kurang lebih dalam kurun waktu yang sama. Bedanya, Guru Injil dididik khusus, jauh lebih intensif. Hidup berkomunitas, di dalam asrama. Dimulailah sistem belajar sembari menjalani praktek hidup bersaudara-saudari secara intensif. Kelak, perintisan ini menjadi warna dasar pendirian pendidikan teologi yang lebih khusus lagi. Pola dasarnya telah dirintis di Kediri. Selesai angkatan pertama.

Malang. Pandang mata bergeser. Modernisasi diikuti dengan urbanisasi. Itu satu hal. Hal lain adalah bahwa kawasan di ‘sebelah Timur Gunung Kawi’ adalah kawasan nan subur. Jemaat-jemaat mulai nampak lebih pesat berkembang ke dua arah itu: Surabaya dan Malang. Dari keduanya, yang bagaikan Yerusalem, di ketinggian, adalah Malang. Maka, Malang-lah pilihan pusat pengembangan pendidikan teologi di Jawa Timur.[bndk. Sardjonan, Ibid.,69]

Tanggal 18 Agustus 1926, demikian dicatat oleh Nortier, ‘ditancapkanlah sekop pertama ke dalam tanah untuk penggalian lubang fondasi’ pembangunan kompleks Balewiyata. [C.W. Nortier, “Sekolah Teologia Balewiyata di Malang”, Ibid., 33-41.] Lokasi itulah Balewiyata sampai kini berada. Upacara peletakan batu-batu pertamanya adalah tanggal 3 September 1926. [EG van Kekem, “Pesantren Kristen di Malang”, Ibid., 42-46] Satu hal menarik yang dicatat oleh Nortier adalah bahwa di antara sekian pemborong pembangunan gedung baru, yang mengajukan diri, akhirnya, seorang Pak Haji disepakati sebagai pemborong pembangunan kompleks Balewiyata.[C.W. Nortier, Ibid.]. Adapun arsiteknya adalah de Heer S.S. de Vries.
Pembangunan gedung-gedung berlangsung cepat. Dalam waktu 5 bulan, persisnya, 13 Januari 1927 dimulailah pelajaran, hari pertama di Balewiyata di Malang.

Hari Jadi Balewiyata sendiri, sebagaimana dicacat oleh Nortier, adalah 6 Januari. ‘Hari peresmiannya adalah 6 Januari 1927.’ [C.W. Nortier, Ibid.]

***

Pada hari pertama pelajaran, siswa Balewiyata terdiri atas 2 orang pendengar / peninjau, 8 orang lainnya adalah siswa yang telah berkeluarga. Mereka ini tinggal di rumah-rumah ‘kopel’ Balewiyata. Sedangkan 10 orang lainnya, yang masih lajang, tinggal di dalam asrama, di dalam kompleks yang sama. Mereka ‘menuntut ilmu’ selama 4 tahun.[Ibid.] Angkatan pertama tamat. Kemudian, berturut-turut dibuka kelas baru. Tahun 1932 dibuka kelas baru. Siswanya berjumlah 16 orang. 6 orang di antaranya ‘sudah berkeluarga.’ [Purbodarsono, Ibid., 146] Menyusul, pada tahun 1934 dibuka lagi kelas baru. Kali ini siswa yang berasal dari luar GKJW berdatangan. Mereka terdiri atas 5 orang dari Bali, beberapa orang dari Sekitar Muria, dari GKP, dari Kalimantan, dan dari Halmahera.

Demikian, seterusnya. Balewiyata menjadi lembaga pendidikan teologi formal. Para lulusannya menjadi pendeta di GKJW dan berbagai Gereja dari luar GKJW serta bertugas di kesatuan ABRI maupun POLRI. Di dalam buku Peringatan 50 Tahun Greja Kristen Jawi Wetan dicantumkan lengkap nama-nama siswa, asal Gereja, dan penugasan setamat mereka dari Balewiyata. Sampai dengan tahun 1965 Balewiyata telah menamatkan 14 angkatan.[Purbodarsono, Ibid., 162-167]

Baca Juga:  Pelantikan Direktur IPTh. Balewiyata

Liku-liku dialami oleh Balewiyata, sejalan dengan perjalanan GKJW sendiri, dalam berjalan seiring dengan masyarakat Jawa Timur dan Indonesia. Tahun 1942, ‘setelah Jepang menduduki Indonesia, Bale Wiyata terpaksa ditutup, karena para pengasuhnya, antara lain DR. B.M. Schuurman ditawan oleh tentara pendudukan Jepang, sampai wafatnya di dalam tawanan.’ [Purbodarsono, Ibid., 149]. Selama masa pergolakan politik Indonesia, Balewiyata terhenti. Ketika Angkatan ke-6 berjalan selama 6 bulan, Balewiyata tutup. Angkatan ke-7 baru dimulai lagi setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Persisnya adalah pada tahun 1947. Bukan di Mojowarno, melainkan kembali ke Malang.

Sifat oikumenis Balewiyata yang tercipta sejak masa-masa awal berdirinya diteruskan pada era pasca perang dan proklamasi kemerdekaan. Pada tahun 1955 Sekolah Teologia Gereja Kristen Sekitar Muria atau GITJ di Pati bergabung dengan Balewiyata. Berikutnya, GKI Jawa Barat menjadi pendukung Balewiyata. Dan, 1956, GKI Jatim juga menjadi pendukung Balewiyata. [Purbodarsono, Ibid., 153-154]. Pada era inilah masa pendidikan di Balewiyata diubah menjadi 5 tahun. Sebelum, kemudian, pada tahun 1959 diperpanjang lagi menjadi 6 tahun.

Langkah lanjutnya, masih dengan semangat beroikumene yang sama, Balewiyata digabungkan dengan Akademi Theologia Yogyakarta. Sidang Majelis Agung ke-44 di Mojowarno, pada tahun 1963, memutuskan hal itu. [Purbodarsono, Ibid.,156] Menuntaskan sampai lulus siswa tingkat VI, Sekolah Theologia Bale Wiyata dibubarkan. Secara prinsip, ia telah digabungkan dengan ATJ untuk kemudian menjadi Sekolah Tinggi Theologia Duta Wacana.

Namun, mengingat historisitas dan identitas Balewiyata hampir tak mungkin tergantikan oleh lahirnya Sekolah Teologi, maka keberadaan Balewiyata dilestarikan. Khususnya, gerakan pemberitaan Kabar Baik yang dilakukan oleh warga gereja sendiri, nyaris tak dapat dihidupkan oleh sebuah Sekolah Teologi seperti Duta Wacana. Padahal, itulah salah satu mutiara yang diapresiasi tinggi di GKJW. Maka, Balewiyata pasca penggabungan diri dengan ATJ lebih dikonsentrasikan ke sana. Pendidikan teologi bagi calon pelayan di Jemaat dipercayakan kepada Duta Wacara. Pendidikan teologi lanjutan bagi para pelayan di Jemaat, baik pejabat khusus gerejawi maupun warga gereja non pejabat khusus dilakukan oleh Balewiyata. ‘Untuk melanjutkan usaha pendidikan Theologia,’ demikian tulis Pak Purbodarsono, Majelis Agung kemudian mendirikan Bale Wiyata bentukan baru yang dikelola sendiri oleh GKDW [ejaan lama] dengan diberi nama Institut Pendidikan Theologia Bale Wiyata.’ [Purbodarsono, Ibid.,157] Bentuk kegiatannya adalah, misalnya, ‘kursus ekstensi, kursus tertulis, konperensi studi, dan seminar-seminar’ [Sardjonan, Ibid.,77], baik diselenggarakan secara ‘Go Structure’ maupun ‘Come Structure’ [Harso Mulyadi, “IPTh. Balewiyata Tahun 1965-1970”, Sumardiyono, ed., Ibid., 92]

Salah satu keputusan Majelis Agung, dalam Sidangnya ke-56 tahun 1971, sebagaimana dikutip Pak Sardjonan, adalah demikian: ‘Bila di kemudian hari ternyata ada kebutuhan lagi, maka pendidikan untuk calon pendeta dapat diaktifkan kembali dengan bentuk baru.’ [Sardjonan, Ibid., 76] Dan, benar. Sidang Majelis Agung ke-88 tahun 1998 memutuskan, GKJW ‘mengadakan sekali lagi pendidikan teologi’ bentuk baru yang disebut crash programme, di Balewiyata, di Malang. Itu berlangsung tahun 1999 – 2001.

Renungan Harian

Renungan Harian Anak