Pdt. Sri Wismoady Wahono dan KH. Abdurrahman Wahid
MALANG – Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menetapkan ‘Jadilah Sahabat Bagi Semua Orang’ sebagai tema Natal 2019 ini. Tema tersebut menjadi pesan damai umat Kristiani, yang sejatinya juga sudah didengungkan sejak puluhan tahun lalu. Tidak hanya orang Kristen, namun umat beragama lain, termasuk Presiden ke 4 Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sejak tahun 1970-an, melalui konsep Persaudaraan Sejati di Malang.
“Persaudaraan sejati merupakan suatu proses kesadaran bahwa kita adalah satu dalam keluarga besar Republik Indonesia. Di mana kita telah mengikrarkan bahwa kita adalah satu bangsa yaitu bangsa Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai suku dan agama,” urai Pendeta GKJW Jemaat Sendang Biru, Widi Kurnianto menerangkan mengenai latar belakang Persaudaraan Sejati.
Ia menceritakan mengenai latar belakang pandangan yang melibatkan tokoh agama lintas keyakinan tersebut. Dengan titik tolak, pada tahun 1996, usai peristiwa kerusuhan dan perusakan rumah ibadah di Situbondo dan Surabaya, yang berlanjut pada perusakan fasilitas Pendidikan.
“Waktu itu, cukup memprihatinkan banyak pihak. Namun, sejak saat itu, ada kesadaran para pemimpin umat beragama,” beber dia kepada Malang Post.
Pada saat itu, diakuinya, Pendeta GKJW Sri Wismoady Wahono, bersama KH. Abdurrahman Wahid yang kala itu merupakan Ketua PBNU, memprakarsai berkumpulnya para pemimpin umat Kristen, Katolik, Budha, Konghucu, Hindu, aliran kepercayaan dan pimpinan NU. Tempatnya di Hotel Satelit Surabaya. Mereka berkumpul bersama menganalisa keadaan yang telah dan sedang terjadi. Setelah itu, bahu membahu mengatasi upaya memecah belah kebersamaan yang selama ini tenang dan saling hormat dalam kehidupan beragama. “Peristiwa Situbondo itu membuat adanya kesepakatan dan pernyataan bahwa kita adalah satu saudara yang tidak bisa dipecah belah begitu saja,” terangnya.
Hanya saja, Widi mengakui, bila pertemanan atau persaudaraan Wismoady yang sempat menjabat sebagai Direktur IPTh Balewiyata Malang terjalin sejak tahun 1970-an. Ia tidak paham pasti sejak tahun berapa, akan tetapi dari sebuah artikel di media cetak yang terbit pada 16 Agustus 1978, Gus Dur sudah membuat tulisan berjudul ‘Dialog, Musyawarah ataukah Kongkow?’. Gus Dur menceritakan dalam sebuah acara dengan sejumlah Pendeta GKJW.
“Jadi dulu persaudaraan sejati itu sudah didengungkan, dengan upaya kognitif oleh Pak Wismoady dan Gus Dur. Mereka menunjukkan dalam seminar dan kuliah tamu di IPTh. Nah, sejak peristiwa Situbondo, jadi aplikatif, menunjukkan secara terbuka, kepada umat lintas agama,” urai pria asal Mojowarno, Jombang tersebut.
Ia menuturkan, Wismoady dan Gus Dur, bersama dengan Pdt. Dr. Octavianus, membuat sebuah proposal untuk lembaga Pro-Eksistensi pada tahun 2002 untuk mewujudkan nilai Persaudaraan Sejati secara aktif. Namun, Wismoady keburu meninggal dunia di tahun tersebut, pada bulan September.
“Semangat itu sempat tidak bergema lagi. Begitu pula setelah Gus Dur meninggal pada tahun 2009. Memang sempat dilanjutkan oleh penerusnya, KH. Hasyim Muzadi, namun berbeda kepala, ya berbeda idealismenya,” tambah dia.
Terlepas dari spirit Persaudaraan Sejati yang digaungkan Wismoady dan Gus Dur, jauh sebelum itu di GKJW sendiri memiliki beberapa konsep yang juga mengutamakan prinsip ‘Aku Saudaramu’ pada 1930-an. Pada tahun 1970-an, GKJW diakuinya memiliki Studi Agama-Agama (SAA), sebagai bekal para calon pendeta GKJW. Lantas pada 1988, ada SITI (Studi Intensif Tentang Islam), dan pada 1990an berkembang menjadi SIKI (Studi Intensif Kristen Islam). “Ya 1970-an itu Pak Wismo dan Gus Dur itu sudah berkiprah (di Balewiyata), dan semakin intensif ketika ada SIKI (1990an),” sebutnya.
Sementara itu, terkait program implementasi Persaudaraan Sejati itu diwujudkan di Majelis Agung Balewiyata dengan adanya program PAU (Persaudaraan Antar Umat) dan kini berkembang menjadi KAUM (Komisi Antar Umat). Widi sendiri pernah menjabat Ketua KAUM pada tahun 2016-2019.
“Kalau melanjutkan cita-cita persaudaraan sejati itu, dengan adanya pelatihan jurnalistik. Temanya jurnalisme damai. Jadi kami ada pelatihan di Jombang, hunting berita di Museum Islam Indonesia di Cukir, Ponpes Tebu Ireng. Ada juga program Live in, jadi mahasiswa hidup atau tinggal di area Ponpes. Sedangkan santri, tinggal di lingkungan gereja,” terang Widi. Diakuinya, memang masih terbatas ponpes tertentu saja yang bekerja sama. Terutama Ponpes yang beraliran Nahdlatul Ulama (NU). “Tetapi juga tidak semua yang NU,” tegas dia.
Widi menjelaskan, terlepas dari program secara teologis, umat Kristiani juga diajarkan untuk terus menggemakan Persaudaraan Sejati dalam kehidupan sehari-hari. “Memang tidak bisa semua dijelaskan dengan kata-kata, tetapi ada perbuatan, empati, saling peduli, yang menunjukkan ini menggemakan Persaudaraan Sejati antar umat. Misalnya, umat Islam, biasanya turut menjaga ketika kami beribadah. Begitu juga sebaliknya. Persaudaraan Sejati itu konsep empati,” pungkas dia.(ley/ary)
Artikel ini diambil dari Malang Post atas seijin redaksi.
Foto: Repro Majalah Duta